You are on page 1of 8

UJIAN AKHIR SEMESTER MATA KULIAH KRITIK SENI RUPA II Dosen Pengampu: Prof. Dr. Tjetjep R. R., M.A.

Oleh : Muallim Arif 2450407027 Seni Rupa Kons. DKV

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG FAKULTAS BAHASA DAN SENI JURUSAN SENI RUPA 2012

Kritik Holistik

A. Uraian Mengenai Kritik Seni Holistik

Kritik seni adalah kritik yang digunakan dalam memahami dan mengevaluasi karya. Aktivitas kritik seni memiliki peranan penting dalam kehidupan seni dan masyarakatnya untuk mengungkap berbagai ragam nilai, makna dan permasalahan tentang karya seni. Pengertian kritik dalam seni tidak diartikan sebagai kecaman yang menyudutkan hasil karya atau penciptanya. Hampir sama dengan apresiasi, kritik seni pada dasarnya merupakan kegiatan menanggapi karya seni. Perbedaannya hanyalah kepada fokus dari kritik seni yang lebih bertujuan untuk menunjukkan kelebihan dan kekurangan suatu karya seni. Keterangan mengenai kelebihan dan kekurangan ini dipergunakan dalam berbagai aspek, terutama sebagai bahan untuk menunjukkan kualitas dari sebuah karya. Para ahli seni umumnya beranggapan bahwa kegiatan kritik dimulai dari kebutuhan untuk memahami (apresiasi) kemudian beranjak kepada kebutuhan memperoleh kesenangan dari kegiatan memperbincangkan berbagai hal yang berkaitan dengan karya seni tersebut. Sumber nilai dari setiap karya seni pada dasarnya berkaitan langsung tiga komponen utama yang menunjang kehidupan seni di dalam kehidupan masyarakat. Tiga komponen kehidupan seni tersebut meliputi: (1) seniman, (2) karya seni, (3) penghayat. Tak akan pernah ada kehidupan seni dalam masyarakat manapun bila salah satu komponen tersebut ditiadakan. Tiga komponen tersebut saling berinteraksi dan menentukan nilai setiap karya seni. Maka tidak sepantasnya evaluasi karya seni dilakukan dengan mengabaikan salah satu dari komponen sumber nilai tersebut bila ingin mendapatkan pemahaman mengenai maknanya secara utuh. Kritik seni holistik merupakan cara pemecahannya (HB. Sutopo, 1995:8). Kritik holistik menghargai seniman dengan segala kemampuan dan kekhususannya yang memiliki gagasan dan mencipta karya seni, juga konteks budayanya yang meresap ikut membentuk gagasan dan idium ekspresinya. Kritik holistik juga menghargai karya seni sebagai objek estetik dengan segala elemen yang ada yang membentuk suatu kesatuan yang khas, sebagai fakta objektif yang memiliki potensi sebagai pacu penciptaan nilai hayatan. Demikian pula menghargai penghayat dengan segala kondisi psikologisnya dan sebagai pelaku pencipta makna yang memiliki konteks budayanya sendiri yang perlu diperhitungkan

dalam menyusun kesimpulan kritik. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan dan bergantung dan tak satupun dapat ditiadakan serta dipisahkan. 1. Seniman Sebagai Sumber Informasi Genetik. Informasi Genetik meliputi kondisi seniman dengan pengalaman khususnya, lingkungan fisik seniman dengan konteks budayanya, proses dan teknik penciptaannya, dan lain-lain yang semuanya berkaitan dengan yang ada sebelum karya seni selesai diciptakan. Beragam hal tersebut merupakan kondisi yang yang bisa membentuk atau mengambil bagian dalam proses pembentukan karya seni, yang kesemuanya disebut faktor genetik (HB. Sutopo, 1995:11) 2. Karya Seni Sebagai Sumber Informasi Objektif. Sumber informasi objektif diperoleh melalui pengamatan terhadap karya seni yang telah selesai diciptakan. Informasi yang dapat ditangkap meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan elemen-elemen yang ada dalam karya seni tersebut dan struktur yang terbentuk di dalamnya. Karya seni dipandang sebagai satu kondisi objektif yang dinyatakan bisa dibentuk oleh karya seni itu sendiri. Standar yang nyata ada pada karya itu sendiri, bukan datang dari luar karya seni yang dipandang sebagai faktor ekstra estetik bahkan sering dipandang sebagai non estetik. 3. Penghayat Sebagai Sumber Informasi Afektif Informasi afektif meliputi segala tanggapan yang dirasa dan timbul dalam diri penghayat yang menghadapi karya seni. Penghayatan ini memunculkan beragam tafsir makna nilai akibat melakukan interaksi secara dialektis dengan karya seni di dalam proses penghayatan yang mendalam (HB. Sutopo, 1995: 12). Pengalaman, budaya, kondisi psikologis, dan kreativitas penghayat menentukan terjadinya kualitas nilai hayatan. Kritikus sebagai penghayat ahli hendaknya memiliki kemampuan kreatif dan imajinatif seperti halnya seniman. (Kuspit, 1984). Ketiga informasi tersebut diatas secara lengkap akan memberikan masukan yang sangat berharga bagi kritikus untuk melakukan analisis sebagai bagian penting dalam membentuk kesimpulan yang berupa sintesis sebagai hasil akhir dari proses evaluasi. Kelemahan dalam karya kritik seni selalu disebabkan oleh kurangnya informasi-informasi tersebut di atas, karena itu seorang kritikus seni yang handal punya kewajiban mengumpulkan informasi selengkap-lengkapnya.

Tahapan dalam kritik untuk menemukan, mencatat dan mendeskripsikan segala sesuatu yang dilihat apa adanya dan tidak berusaha melakukan analisis atau mengambil kesimpulan. Agar dapat mendeskripsikan dengan baik, seorang pengkritik harus mengetahui istilah-istilah tehnis yang umum digunakan dalam dunia seni rupa. Tanpa pengetahuan tersebut, maka pengkritik akan kesulitan untuk mendeskripsikan fenomena karya yang dilihatnya.

Identitas Karya: Judul Karya Nama Seniman Tahun Penciptaan Ukuran Media : Ironi dalam Sarang : Mulyo Gunarso : 2008 : 140x180 cm : Cat Akrilik dan pensil di atas Kanvas

Deskripsi Karya lukis oleh Gunarso yang berjudul Ironi dalam Sarang masih divisualisasikan dengan metaforanya yang khas yaitu bulu-bulu meski tidak sebagai figure sentralnya. Material subjeknya merupakan gambar tentang semut-semut yang mengerumuni sarang burung dan diatasnya dilapisi lembaran koran, di dalamnya terdapat berbagai macam makanan seperti, beras putih, yang diberi alas daun pisang di atasnya terdapat seekor semut, bungkusan kertas seolah dari koran bertuliskan ulah balada tradisi, potongan dari sayuran kol, satu butir telur dan juga makanan yang dibungkus plastic bening, di sampingnya juga terdapat nasi golong, seperti ingin menggambarkan makanan untuk kenduri. Selain itu di dalam sarang juga terdapat kerupuk dan jajanan tradisional yang juga dibungkus plastik bening, dan entah mengapa diantara sejumlah makanan yang berbau tradisional juga terdapat sebuah apel merah, minuman soda bermerek Coca-Cola yang tentunya bukan menggambarkan produk dalam negeri. Tumpahan Coca-Cola menjadi pusat krumunan semut yang datang dari segala penjuru. Medium lukisan Gunarso adalah cat akrilik yang dikerjakan diatas kanvas berukuran 140 cm x 180 cm dengan kombinasi pensil pada backgroundnya membentuk garis vertikal. Teknik yang digunakan dominan ialah dry brush yaitu teknik sapuan kuas kering. Bentuk atau form dari karya Gunarso ialah realistik dengan gaya surealisme. Proses penciptaannya terlihat penuh persiapan dan cukup matang tercermin dari hasil karyanya yang rapi, rumit, dan tertata. Gunarso sepertinya asyik bermain-main dengan komposisi. Bagaimana ia mencoba menyampaikan kegelisahannya dalam bentuk karya dua dimensi yang menyiratkan segala kegelisahan melalui torehan kuas di kanvas dengan pilihan warna-warna yang menjadi karakter dalam karya lukisnya. Analisis Makna atau isi karya seni selalu disampaikan dengan bahasa karya seni, melalui tanda atau simbol. Ungkapan rupa dan permainan simbol atau tanda tentu tidak datang begitu saja, ada api tentu ada asap. Begitu juga ketika kita menganalisis sebuah karya, perlu tahu bagaimana asap itu ada, dengan kata lain, bagaimana kejadian yang melatarbelakangi penciptaan karya. Pada dasarnya tahapan ini ialah menguraikan kualitas unsur pendukung subject matter yang telah dihimpun dalam deskripsi. Representasi visual ditampilkan dengan bentuk realis yang terencana, tertata dan rapi, sesuai dengan konsep realis yang menyerupai bentuk asli suatu objek. Permainan garis pada background dengan kesan tegak, kuat berbanding terbalik dengan bulu-bulu yang entah

disadarinya atau tidak. Penggunaan gelap terang warna juga telah bisa memvisualisasikan gambar sesuai nyata, tetapi Gunarso tidak memainkan tekstur disana. Kontras warna background dengan tumpahan Coca-Cola yang justru jadi pusat permasalahan ternyata tak begitu terlihat jelas agak mengabur, begitu juga dengan kerumunan semut-semut sedikit terlihat mengganggu, tetapi secara keseluruhan komposisi karya Gunarso terlihat mampu sejenak menghibur mata maupun pikiran kita untuk berfikir tentang permasalahan negeri ini.

Interpretasi Setiap karya seni pasti mengandung makna, membawa pesan yang ingin disampaikan dan kita membutuhkan intepretasi/penafsiran untuk memaknainya yang didahului dengan mendeskripsikan. Dalam mendeskripsikan suatu karya seni, pendapat orang membaca karya seni boleh saja sama tetapi dalam menafsir akan berbeda karena diakibatkan oleh perbedaan sudut pandang atau paradigma. Gunarso tak pernah lepas dari hubungannya terhadap kegelisahan sosial, yang selalu menjadi isu social bangsa ini. Dengan bulu-bulunya yang divisualkan dalam lukisan sebagai symbol subjektif, yaitu menyimbolkan sebuah kelembutan, kehalusan, ketenangan, kedamaian atau bahkan kelembutan, kehalusan tersebut bisa melenakan dan menghanyutkan, sebagai contoh kehidupan yang kita rasakan di alam ini. Inspirasi bulu-bulu tersebut didapatnya ketika dia sering melihat banyak bulu-bulu ayam berserakan. Dalam karya ini, Gunarso mengibaratkan manusia seperti semut, yang selalu tidak puas dengan apa yang didapat, menggambarkan tentang seorang atau kelompok dalam posisi lebih (misalnya pejabat) yang terlena oleh iming-iming negara asing, sehingga mereka sampai mengorbankan bahkan menjual kekayaan negerinya kepada negara asing demi kepentingan pribadi maupun golongannya. Divisualisasikan dengan semut sebagai gambaran orang atau manusia (subjek pelaku) yang mana dia mengkerubuti tumpahan Coca-Cola sebagai idiom atau gambaran negeri asing. Gunarso ingin mengatakan tentang ironi semut yang mengkerubuti makanan, gula, sekarang mengkerubuti sesuatu yang asing baginya, meski cukup ganjal karena semut memang sudah biasa dengan mengkerubuti soft drink CocaCola yang rasanya manis. Mungkin Gunarso mengibaratkan semut tadi sebagai semut Indonesia yang sebelumnya belum mengenal soft drink, sedangkan sarang burung sebagai gambaran rumah tempat kita tinggal (negeri ini), yang ironisnya lagi dalam sarang terdapat makanan gambaran sebuah tradisi yang bercampur dengan produk asing yang nyatanya lebih banyak diminati.

Dalam berkarya Gunarso mampu mengemas karyanya hingga memiliki karakter tersendiri yang mencerminkan bagian dari kegelisahan, latar belakang serta konflik yang disadurkan kepada audiens, bagaimana dia mampu menarik dan memancing audiens untuk berinteraksi secara langsung dan mencoba mengajak berfikir tentang apa yang

dirasakan olehnya tentang issu yang terjadi di dalam negerinya, kegelisahan tentang segala sesuatu yang lambat laun berubah. Perkembangan zaman yang begitu cepat, menuntut kita untuk beradaptasi dan menempatkan diri untuk berada di tengahnya, namun itu semua secara tidak kita sadari baik itu karakter sosial masyarakat, gaya hidup dan lain sebagainya dari barat tentunya, masuk

tanpa filter di tengah-tengah kita, seperti contoh, pembangunan gedung dan Mall oleh orang asing di negeri kita ini begitu juga dengan minimarket, kafe yang berbasis franchise dari luar negeri sebenarnya merupakan gerbang pintu masuk untuk menjadikan rakyat Indonesia semakin konsumtif dan meninggalkan budayanya sendiri. Hal tersebut berdampak pada nasib kehidupan makhluk di sekeliling kita atau lingkungan di sekitar kita. Gunarso seolah ingin memberi penyadaran kepada kita, untuk memulai menyelamatkan dan melestarikannya, siapa lagi kalau tidak dimulai dari kita?

You might also like