You are on page 1of 35

ABSTRAK

Pertumbuhan dan perkembangan Kota Bogor yang terus meningkat dari tahun ke tahun berdampak pula pada terus bertambahnya jumlah dan jenis moda transportasi yang ada. Konsekuensi dari keadaan tersebut salah satunya adalah tingginya volume lalu lintas yang terjadi setiap hari pada daerah-daerah pusat perkotaan maupun daerah bangkitan lalu lintas lainnya seperti kawasan perumahan dan industri. Tingginya volume lalu lintas menyebabkan kemacetan di ruas-ruas jalan yang ada baik di ruas jalan kolektor maupun jalan arteri, hal tersebut terjadi karena jumlah dan peningkatan moda transportasi tidak dibarengi dengan peningkatan infrastruktur yang ada seperti lebar jalan yang belum memadai dan kondisi yang masih buruk. Pelebaran Jalan Tanah Baru dimaksudkan, dapat mempermudah arus lalu lintas yang akan menuju Tanah Baru dan Sebaliknya, mengurangi kepadatan dijalan Cimahpar yang disebabkan pertemuan kendaraan dari tanah baru dan dapat menampung jalur penataan trayek untuk angkutan umum yang akan melayani ke wilayah tersebut. Pengumpulan data dilapangan diawali dengan survei pendahuluan. Kegiatan survei ini meliputi pengumpulan data dilapangan berdasarkan pengamatan visual dan pengukuran, juga masukan dari berbagai sumber sehingga didapatkan gambaran kondisi lapangan pada rute jalan rencana (sepanjang rute terpilih). Kemudian dilanjutkan dengan survei detail yaitu : survei topografi, survei hidrologi, survei lalu lintas dan survei geoteknik. Hasil analisis memperlihatkan bahwa klasifikasi medan jalan Tanah Baru cukup datar dan landai, dengan jarak pandang henti (jh) = 75 m, jarak pandang mendahului (jd) = 350 m. Memperhatikan kondisi jalan existing dan terbatasnya lahan maka direncanakan 14 jenis tikungan Spiral spiral (S-S) dan 2 jenis tikungan Spiral circle spiral (S-C-S), sedangkan tebal perkerasan kaku (rigid) didapat 160 mm, namun dipakai tebal perkerasan 250 mm.

iii

Pelayanan yang ekstra bagi pemenuhan kebutuhan warga juga menjadi tuntutan utama karena semakin berkembang dan beragamnya kebutuhan seluruh warga terhadap barang dan jasa. Implikasi dari semua ini adalah meningkatnya kebutuhan pengadaan sarana transportasi masyarakat Kota, timbulnya kemacetan, meningkatnya jumlah pedagang kaki lima secara berlebihan, rusaknya tata kota, semakin menurunnya

iii

kualitas kebersihan kota sebagai akibat dari kelebihan penduduk dan segala aktivitasnya yang melebihi daya dukung lingkungan. Dengan posisinya yang strategis sebagai salah satu penyangga ibukota serta kondisi alamnya yang relatif lebih nyaman dibanding kota penyangga lainnya menjadikan kota Bogor menjadi pilihan bagi penduduk baik yang datang dari sekitar Bogor maupun para perantau dari daerah-daerah lainnya yang menjadikan Bogor atau Jakarta sebagai sumber mencari mata pencaharian. Kondisi tersebut memberikan dampak yang luas bagi Kota Bogor baik dalam tatanan kemasyarakatan, perekonomian, dan kondisi lainnya. 2.1.1 Karakteristik Fisik Wilayah Secara geografis Kota Bogor terletak pada 106,48 Bujur Timur dan 6,36 Lintang selatan. Terletak pada jarak 50 km di selatan Ibu Kota Negara serta 180 km dari Bandung, ibukota propinsi Jawa Barat. Secara Topografis Kota Bogor terdiri dari daerah yang berbukit bergelombang dengan perbedaan ketinggian yang cukup besar, bervariasi antara 190 s/d 350 m diatas permukaan laut. Kemiringan lereng lahan Kota Bogor adalah berkisar 0-2% (datar) seluas 1.763,94 Ha, 2-15% (landai) seluas 8.91,27 Ha, 15-25% (agak curam) seluas 1.109,89 Ha, 25-40% (curam) seluas 764,96 Ha, dan > 40% (sangat curam) seluas 119,94 Ha. Dilihat dari kondisi geologisnya, maka secara umum Kota Bogor ditutupi oleh batuan vulkanik yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Pangrango (berupa batuan breksi tupaan/kpbb) dan Gunung Salak (berupa alluvium/kal dan kipas alluvium/kpal). Lapisan batuan ini berada agak dalam dari

iii

permukaan tanah dan jauh dari aliran sungai. Endapan permukaan umumnya berupa alluvial yang tersusun oleh tanah, pasir dan kerikil hasil pelapukan endapan, hal ini baik untuk vegetasi. Dari struktur geologi tersebut, maka Kota Bogor memiliki jenis aliran Andesit seluas 2.719,61 Ha, Kipas Aluvial seluas 3.249,98 Ha, Endapan 1.372,68 Ha. Tufaan 3.395,75 Ha dan Lanau Breksi Tufan dan Capili seluas 1.112, 56 Ha.

iii

Gambar 2.1. Wilayah Administrasi Kota Bogor

Sumber air bagi Kota Bogor menurut asalnya terdiri dari sungai, air tanah dan mata air. Sungai utama yang mengalir di Kota Bogor terdiri dari Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane, dan beberapa anak sungai. Pada umumnya aliran sungai tersebut dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat Kota Bogor sebagai sarana MCK dan usaha perikanan karamba serta sumber air baku bagi PDAM dan keberadaan air tanah di Kota Bogor kualitasnya terbilang cukup baik. Namun demikian tingkat pelapukan batuan yang cukup tinggi selain tingginya laju perubahan penutupan lahan oleh bangunan menyebabkan kapasitas infiltrasi air hujan menjadi sangat rendah yang pada akhirnya mempertinggi run off, hal ini merupakan salah satu penyebab menurunnya muka air tanah di musim kemarau. Curah hujan rata-rata di wilayah Kota Bogor berkisar antara 3.000 sampai 4.000 mm/tahun. Curah hujan bulanan berkisar antara 250 335 mm dengan waktu curah hujan minimum terjadi pada bulan September sekitar 128 mm, sedangkan curah hujan maksimum terjadi di bulan Oktober sekitar 346 mm. Temperatur rata-rata wilayah

iii

Kota Bogor berada pada suhu 26C, temperatur tertinggi sekitar 34,4C dengan kelembaban udara rata-rata lebih dari 70 %. Kecepatan angin rata-rata per tahun adalah 2 km/jam dengan arah Timur Laut. 2.1.2 Karakteristik Kependudukan Peran dan fungsi Kota Bogor dalam konstelasi regional maupun nasional telah menciptakan kesempatan yang luas dalam peekembangan dan pertumbuhan Kota Bogor, seperti tercermin dalam pertumbuhan penduduk yang meningkat dengan stabil disertai dengan dinamika kegiatan yang cukup tinggi dan terus meningkat. Jumlah penduduk merupakan salah satu faktor utama yang memperngaruhi perkembangan suatu perkotaan. Penambahan dan pengurangan jumlah penduduk akibat adanya perubahan batas administrasi, migrasi, kelahiran, dan juga kematian mempengaruhi kebutuhan akan saran dan prasarana perkotaan yang akhirnya menentukan arahan perkembangan perkotaan. Dalam perkembangannya, Kota Bogor memiliki rate pertumbuhan penduduk sebesar 2,2 % dari tahun 1999 2004. Dari data perkembangan jumlah penduduk terlihat bahwa jumlah penduduk meningkat setiap tahunnya. Dalam lima tahun, jumlah penduduk meningkat dari 1.035.221 jiwa menjadi 1.095.573 jiwa. Perkembangan penduduk Kota Bogor yang pesat terjadi pada tahun 2004 sebesar 40.672 jiwa, jumlah ini merupakan peningkatan yang cukup besar karena pada tahun sebelumnya, pertambahan jumlah pendudunya hanya mencapai 6.265 jiwa. Menurut proyeksi jumlah pertambahan penduduk, pertumbuhan jumlah penduduk Kota Bogor akan mencapai 1.159.461 jiwa pada tahun 2009, 1.227.074 jiwa pda tahun 2014, dan 1.298.630 jiwa pada tahun 2019.

iii

2.1.3

Karakteristik Sosio Ekonomi Laju Inflasi Kota Bogor dilihat dari rata-rata selama 5 tahun terakhir (2001-

2005) sebesar 11,18 %. Hal ini disebabkan oleh kebijakan Pemerintah mengurangi subsidi BBM pada tahun 2005. Proporsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB kota Bogor rata-rata selama lima tahun terakhir ( 2001-2005) adalah Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sebesar 9.88 %, yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 1.26% dan Dana Perimbangan sebesar 8.26% Indeks Pembangunan Manusia Kota Bogor pada tahun 2005 sebesar 74,94 % yang terdiri dari Indeks Kesehatan sebesar 78 %, Indeks Pendidikan 88,10 % serta Indeks Daya Beli 58,71 %. Adanya berbagai upaya penanganan krisis dan didukung oleh penerapan otonomi daerah yang lebih luas memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berdampak pada perbaikan kondisi perekonomian Kota Bogor. Perbaikan kondisi tersebut bisa dilihat dari nilai PDRB berdasarkan harga konstan tahun 2000, selama 5 tahun (2001- 2005) mencapai rata-rata Rp. 3.181.424,52 juta atau rata-rata per kapita sebesar Rp. 3.888.071,98 per tahun. PDRB sektor primer tercatat sebesar Rp. 11.680,58 juta, sektor sekunder sebesar Rp. 1.230.386,77 juta dan sektor tersier sebesar Rp. 1.939.357,24 juta. Laju pertumbuhan Ekonomi Kota Bogor selama 5 tahun terakhir mencapai rata-rata 5,95 %. Sektor yang pertumbuhannya paling tinggi dari tahun 2001- 2005 adalah sektor tersier. Untuk mendapatkan gambaran komprehensif terhadap struktur perekonomian yang terdapat pada suatu wilayah biasanya analisis dilakukan dengan mengklasifikasi lapangan-lapangan usaha ekonomi dalam klasifikasi sektor, yaitu: Sektor

Primer,Sektor Sekunder dan Sektor Tersier.

iii

a. Sektor Primer Sektor pertanian kontribusinya terhadap PDRB akan semakin menurun sebesar 0,37% terhadap nilai total PDRB Kota Bogor, dengan laju pertumbuhan 4,45%. Angka-angka ini sangat kecil, karena sektor pertanian masih menghadapi beragam permasalahan yang perlu ditangani, yaitu rendahnya kualitas sumber daya manusia, produktivitas, efesiensi usaha, lahan yang semakin menyempit akibat konversi lahan pertanian, keterbatasan sarana dan prasarana, terbatasnya kredit dan pemanfaatan teknologi yang masih kurang. b. Sektor Sekunder Sektor Sekunder merupakan sektor ekonomi yang lebih bertumpu pada pengintegrasian sumber daya manusia, modal, teknologi dan bahan baku yang berasal dari hasil sektor primer. Sektor ini meliputi lapangan usaha industri pengolahan, listrik, gas, air minum dan konstruksi. Sumbangan Sektor ini terhadap PDRB Kota Bogor selama 5 tahun terakhir (2001-2005) adalah sebesar 38,67 %, dengan laju pertumbuhan 5,99%. c. Sektor Tersier Sektor Tersier merupakan sektor ekonomi yang bertumpu nilai tambah yang diperoleh dari proses pengolahan informasi, daya cipta, organisasi dan koordinasi antar manusia dan tidak memproduksi dalam bentuk fisik melainkan dalam bentuk Jasa. Sektor ini meliputi lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran, angkutan, komunikasi, keuangan dan jasa-jasa.

iii

2.2

Kondisi Lalu Lintas dan Transportasi Eksisting

2.2.1 Gambaran Umum Kondisi Lalu Lintas Kondisi lalu lintas dan transportasi di Kota Bogor saat ini memerlukan upaya yang sungguh-sungguh baik dalam penyediaan, perawatan, maupun pendistribusian sebarannya. Ketimpangan dalam penyediaan, perawatan dan pendistribusian akan berdampak pada tidak seimbang dan meratanya pembangunan kota. Di Kota Bogor saat ini terdapat 2 terminal untuk kendaraan umum yang terdiri dari : 1. Terminal Tipe A Baranangsiang dengan luas 22.100 m2 dengan daya tampung 102 unit kendaraan untuk trayek Antar Kota Antar Propinsi (AKAP) dan trayek Antar Kota Dalam Propinsi (AKDP). (Sumber:
Wulanraini, Analisis Fungsi Jalan Pajajaran Sebagai Jalan Arteri Sekunder di Kota Bogor, TA Planologi Unpak, 2007)

2.

Terminal Tipe C yaitu terminal Bubulak dengan luas 11.850 m2 dan terminal Merdeka yang melayani angkutan kota. (Sumber: Wulanraini,
Analisis Fungsi Jalan Pajajaran Sebagai Jalan Arteri Sekunder di Kota Bogor, TA Planologi Unpak, 2007)

Semakin meningkatnya kebutuhan akan moda untuk transportasi yang lebih menimbulkan pertumbuhan jumlah moda/kendaraan yang berada di Kota Bogor. Dalam kurun waktu tahun 2002 sampai dengan 2005 rata-rata pertumbuhan nya adalah sebesar 32%. Moda/kendaraan yang terdaftar di Kota Bogor pada tahun 2005 adalah

iii

sejumlah 120.635 kendaraan dengan didominasi oleh keberadaan kendaraan pribadi sebanyak kendaraan pribadi sebanyak 111.013 unit (92,02%) dan kendaraan umum sebanyak 9.622 unit (7,98%). Kendaraan pribadi yang ada juga didominasi oleh sepeda motor dimana jumlahnya mencapai 73.146 unit (65,89%) dari keseluruhan jumlah kendaraan pribadi dan sisanya adalah kendaraan beroda empat dan sepeda non-motor. Pertumbuhan yang tinggi dari kendaraan pribadi bila dicermati sebenarnya terjadi dari peningkatan yang cukup signifikan dari jumlah sepeda motor, hal ini terjadi karena dengan kondisi sediaan jalan yang terbatas, sehingga menimbulkan kepadatan yang tinggi, maka pemilihan sepeda motor sebagai sarana dilakukan oleh penduduk untuk menjawab kebutuhan dalam melakukan pergerakan secara cepat dan murah. 2.2.2 Jaringan Jalan Eksisting

Panjang jalan di Kota Bogor tahun 2004 adalah sebanyak 620.595 km terdiri atas 33.810 km jalan negara, 6.358 km jalan propinsi dan 580.427 km jalan kota. Kondisi jalan di koa Bogor adalah: jalan baik sekali 5,67%, sedang 39,96%, rusak 27,63% (21,8%,0%,28,27%), dan rusak berat 24,81% (0%,0%,26,53%) sedangkan Jenis perkerasan permukaan jalannya adalah: permukaan aspal 86,05%, Kerikil 3,24%, tanah 1,46%, beton/conblok 6,3%, dan tidak dirinci 2,95%. 2.2.3 Pola Jaringan Jalan Sebagian besar ruas jalan dalam kota terdiri dari 2 lajur untuk dua arah, demikian pula jaringan jalan penghubung Kota Bogor dengan kota sekitarnya terdiri dari 2 lajur untuk dua arah. Jaringan transportasi Kota Bogor saat ini cenderung berpola radial

iii

konsentrik dengan berpusat pada Pusat Kota. Kondisi ini menyebabkan timbulnya beberapa titik-titik kemacetan terutama pada jam-jam sibuk. 2.2.4 Karakteristik Perjalanan Perjalanan yang terjadi dalam Kota Bogor adalah 1.063.753 perjalanan orang/hari (perjalanan Internal internal), sedangkan perjalanan yang melintasi Kota Bogor (perjalanan eksternal eksternal) adalah 675.354 perjalan orang/hari. Khusus perjalanan dari Kota Bogor menuju Jakarta adalah 53.188 perjalanan orang/hari atau sekitar 5% dari total perjalan yang terjadi dengan penggunaan angkutan umum sekitar 48,83% atau sebesar 25.972 perjalanan orang/hari. Untuk pola pergerakan dengan menggunakan moda Kereta Api, berdasarkan sumber pencatatan Stasiun Bogor, pada 2004 terdapat pergerakan berangkat dari Stasiun Bogor sebanyak 10.457.405 perjalanan orang/tahun atau 28.572 perjalanan orang/hari. (Sumber :
Wulanraini, Analisis Fungsi Jalan Pajajaran Sebagai Jalan Arteri Sekunder di Kota Bogor, TA Planologi Unpak, 2007)

2.2.5 Angkutan Umum Pelayanan angkutan umum di Kota Bogor sangat bergantung pada moda mobil penumpang umum dengan kapasitas 15 orang per unitnya. Dengan moda mobil penumpang umum seperti itu, pergerakan pada jam-jam sibuk akan membutuhkan jumlah moda yang sangat banyak, hal ini menyebabkan keberadaan angkutan umum makin menambah kepadatan di jalan Kota Bogor. Pada jam-jam lengang karena ingin bersaing untuk mendapatkan pendapatan yang setinggi-tingginya angkutan umum yang

iii

ada ini tetap beroperasi sehingga walaupun tidak banyak penumpang tetapi keberadaannya tetap menggunakan sebagian besar kapasitas jalan yang ada. Selain itu pada tahun 2005 di Kota Bogor mulai dioperasikannya bis Trans Pakuan yang melayani route dari terminal Bubulak ke terminal Baranangsiang. Sementara itu angkutan umum berupa bis baik bis besar ataupun bis kecil melayani angkutan antar kota antar propinsi maupun antar kota dalam propinsi menggunakan langsung jalan tol jagorawi tidak melalui jalan arteri di kota Bogor. Sedangkan angkutan umum berupa bis kecil yang melalui jalan arteri Kota Bogor, terutama Jalan Raya Bogor-Jakarta seperti Bogor-Tangerang, Bogor-Kampung Rambutan, BogorPasar Minggu dan Bogor-Depok. 2.2.6 Angkutan Kereta Api Untuk terminal kereta api maka di Kota Bogor terdapat dua stasiun kereta api yaitu Stasiun Kereta Api Bogor sebagai stasiun utama dan Stasiun Batu Tulis sebagai stasiun pembantu. Stasiun Bogor sangat berperan dalam melayani pergerakan penduduk yang menuju Jakarta, setiap harinya tercatat Stasiun Bogor digunakan oleh lebih dari 45.000 orang. 2.3 Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan Kota (RUJTJK) Kota Bogor tahun 2006 Grand design Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan Kota di Kota Bogor (sumber : Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota Bogor) yaitu mencakup penanganan Skenario Do Nothing atau tidak ada penanganan khusus terhadap jaringan transportasi jalan dan Skenario Do Something yang mencakup:

iii

(1)

Pembangunan jalan arteri dari simpang kedung halang ke sentul selatan/Bukit Sentul;

(2)

Pembangunan jalan tol tahap I : dari tol jagorawi gate sentul selatan simpang kedung halang;

(3) (4) (5)

Pembangunan Jalan R3 Pandawa (Jalan Kolektor); Pembangunan On Ramp pada tol Baranangsiang (R3); Perbaikan hirarki jaringan angkutan umum dan rerouting trayek akibat adanya relokasi Terminal Baranangsiang;

(6)

Pelaksanaan dan pengoperasian SAUM (Sistem Angkutan Umum Massal) dengan bus pada Koridor 1 : Terminal Bubulak Jl. KH. Sholeh Iskandar Jl. Pajajaran Pool Bus Wisata; Koridor 2 : Terminal Bubulak Jl. KH. Sholeh Iskandar Jl. R2 Terminal Tanah Baru;

(7)

Penetapan jaringan lintas (Tol Jagorawi Jl. Raya Bogor Jl. Raya Pajajaran Jl. Raya Tajur, Jl. KH. Sholeh Iskandar/Parung, Abdullah Bin Nuh, Jl. Raya Sindang Barang (Dramaga), Jl. A. Yani, Jl. Pemuda, dan;

(8)

Peningkatan kapasitas ruas jalan pada Jl. Raya Pajajaran, Simpang Pomad dan Jl. P. Ashogiri,Jl. Pasir Kuda, Jl. RE. Abdullah.

2.4

Permasalahan Transportasi di Kota Bogor Pola jaringan jalan radial konsentris menyebabkan arah pergerakan lalu-lintas

masih harus melintas pusat Kota. Kapasitas aksebilitas jaringan jalan masih terbatas dan terdapat sejumlah ruas jalan yang mengalami penyempitan disejumlah titik. jaringan transportasi lokal dan regional belum terpadu, tingginya frekwensi

iii

perisilangan kereta apai dengan jaringan jalan, tingginya populasi kendaraan bermotor, penggunaan badan jalan oleh PKL dan masih rendahnya disiplin lalu lintas. Sedangkan rencana besar pembangunan jalan tol Warung Jambu, Sentul dan Jalan arteri yang mendampingi jalan tol tersebut masih terhambat oleh proses pembebasan lahannya. Sedangkan jalan Alteleri Pandu Raya menuju Warung Jambu belum termanfaatkan optimal karena pembangunan jalan tersebut belum tuntas. Sementara kerusakan yang cukup parah terjadi di jalur utama Jalan KH. Sholeh Iskandar. 2.5 2.5.1 Elemen Perencanaan Geometrik Alinemen Vertikal Alinemen vertikal adalah perencanaan elevasi sumbu jalan pada setiap titik yang ditinjau, berupa profil memanjang. Pada perencanaan alinemen vertikal akan ditemui kelandaian positif (tanjakan) dan kelandaian negatif (turunan), sehingga kombinasinya berupa lengkung cembung dan lengkung cekung. Disamping kedua lengkung tersebut ditemui pula kelandaian = 0 (datar). Kondisi tersebut dipengaruhi oleh keadaan topografi yang dilalui oleh trase/route jalan rencana. Kondisi topografi tidak saja berpengaruh pada perencanaan alinemen horisontal, tetapi juga mempengaruhi alinemen vertikal. Untuk menghitung dan merencanakan lengkung vertikal ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu.: - Karakteristik kendaraan pada kelandaian Hampir seluruh kendaraan penumpang dapat berjalan baik dengan kelandaian 7-8% tanpa ada perbedaan dibandingkan pada bagian datar. Pengamatan

menunjukkan bahwa untuk mobil penumpang pada kelandaian 3% hanya iii

sedikit sekali pengaruhnya dibanding dengan jalan datar. Sedangkan untuk truk kelandaian akan lebih besar pengaruhnya. - Kelandaian Maksimum Kelandaian maksimum yang ditentukan untuk berbagai variasi kecepatan rencana, dimaksudkan agar kendaraan dapat bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti. Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh, mampu bergerak dengan kecepatan tidak kurang dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah. - Kelandaian Minimum Pada jalan yang menggunakan kerb pada tepi perkerasannya, perlu dibuat kelandaian minimum 0,5 % untuk keperluan kemiringan saluran samping, karena kemiringan melintang jalan dengan kerb hanya cukup untuk mengalirkan air ke samping. - Panjang Kritis Suatu Kelandaian Panjang kritis ini Tabel 2.1 diperlukan sebagai batasan panjang kelandaian maksimum, agar pengurangan kecepatan kendaraan tidak lebih dari separuh V rencana. Lama perjalanan pada panjang kritis tidak lebih dari 1 (satu) menit. Tabel 2.1
Kecepatan Pada Awal Tanjakan (Km/Jam) 80 60 4 630 320 5 460 210 6 360 160

Panjang Kritis (m)


Kelandaian (%) 7 270 120 8 230 110 9 230 90 10 200 80

Sumber :TPGJK (Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota), 1997

iii

- Lengkung Vertikal Cembung Ketentuan tinggi menurut Bina Marga (1997) untuk lengkung cembung seperti pada Tabel 2.2 berikut ini. Tabel 2.2 Ketentuan Tinggi Untuk Jenis Jarak Pandang
Untuk Jarak Pandang Henti (jh) Mendahului (jd) h1 (m) Tinggi Mata 1,05 1,05 h2 (m) Tinggi Objek 0,15 1,05

Sumber : TPGJK (Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota), 1997

Jh < L maka : L = 2 A . jh 399 399 A

Panjang L berdasarkan jh : (Rumus 2.1 )

Jh > L maka : L = 2 jh

(Rumus 2.2)

Ev

A.L 800

jd < L maka : L = 2 A . jd 840

Panjang L berdasarkan jd : , (Lihat Gambar 2.2) (Rumus 2.3 )


840 A

jd > L maka : L = 2 jd

, (Lihat Gambar 2.3) (Rumus 2.4 )

PVI g2 g1 h1 Jh 1 Jh 2 L Jh 2 Ev h2

iii

Gambar 2.2 Untuk jd < L

PVI g1 g2 c L L Jh d h2

a h1

Gambar 2.3 Untuk jd > L

Dimana : L jh jd A = = = = Panjang lengkung vertikal parabola (m) Jarak pandang henti (m) Jarak pandang mendahului (m) g1 + g2 (kelandaian tangen) (%)

- Lengkung Vertikal Cekung Ada 4 (empat) kriteria untuk menentukan panjang lengkung vertikal cekung: 1. Jarak sinar lampu besar dari kendaraan 2. Kenyamanan pengemudi 3. Ketentuan drainase 4. Performance secara umum
Jh

1O 60 cm

iii

Gambar 2.4 Untuk Jh < L


Jh

1O 60 cm

Gambar 2.5 Untuk Jh > L Dengan bantuan Gambar 4.4 dan Gambar 4.5, yaitu: tinggi lampu besar kendaraan = 0,60 m dan sudut bias = 10, maka diperoleh hubungan praktis, sebagai berikut :
Jh < L maka : L = 2 A . jh 120 + 3,5 jh 120 + 3,5 jh A

(Rumus 2.5)

Jh > L maka : L = 2 jh

(Rumus 2.6)

Dimana L jh A

= Panjang lengkung vertikal cekung = Jarak pandang henti = Kelandaian tangen (%)

- Pelebaran di Tikungan Pelebaran perkerasan atau jalur lalu lintas di tikungan dilakukan untuk mempertahankan kendaraan tetap pada lintasannya (lajurnya) sebagaimana pada bagian lurus.

iii

Hal ini terjadi karena pada kecepatan tertentu kendaraan pada tikungan cenderung untuk keluar lajur akibat posisi roda depan dan roda belakang yang tidak sama, tergantung dari ukuran kendaraan. 2.5.2 Alinemen Horisontal

Pada perencanaan alinemen horisontal akan ditemui dua jenis bagian jalan yaitu : bagian lurus dan bagian lengkung atau tikungan.

2.5.2.1 Bagian Lurus Panjang maksimum bagian lurus harus dapat ditempuh dalam waktu 2,5 menit (sesuai rencana), dengan pertimbangan keselamatan pengemudi akibat dari kelelahan.
Tabel 2.3:Pelebaran Di Tikungan Per Lajur (m) Untuk Lebar Lajur 2 x (B), 2 Atau 1 Arah
R 50 (m) 1500 1000 750 500 400 300 250 200 150 140 130 120 110 100 1 0.3 0.4 0.6 0.8 0.9 0.9 1.0 1.2 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.4 2 0.0 0.0 0.0 0.2 0.3 0.3 0.4 0.6 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.8 1 0.4 0.4 0.6 0.9 0.9 1.0 1.1 1.3 1.4 1.4 1.4 1.4 60 2 0.0 0.0 0.0 0.3 0.3 0.4 0.5 0.7 0.8 0.8 0.8 0.8 Keterangan : Kolom 1, Untuk (B) = 3,00 m 1 0.4 0.4 0.7 0.9 1.0 1.0 1.1 1.3 70 2 0.0 0.1 0.1 0.3 0.4 0.4 0.5 0.8 1 0.4 0.5 0.7 1.0 1.0 1.1 1.2 1.4 Kecepatan Rencana, VR (km/jam) 80 2 0.0 0.1 0.1 0.4 0.4 0.5 0.6 1 0.4 0.5 0.7 1.0 1.1 90 2 0.0 0.1 0.1 0.4 0.5 0.5 1 0.5 0.5 0.8 1.1 1.1 100 2 0.0 0.1 0.2 0.5 0.5 1 0.6 0.6 0.8 1.0 110 2 0.0 0.2 0.3 0.5 120 2 0.1 0.2 0.3

iii

R 50 (m) 90 80 70 1 1.4 1.6 1.7 2 0.8 1.0 1.0 1 60 2 1 70

Kecepatan Rencana, VR (km/jam) 80 2 1 2 1 90 2 1 100 2 1 110 2 120 2

Kolom 2, Untuk (B) = 3,50 m

Sumber : TPGJK (Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota), 1997

2.5.2.2 Tikungan 1). Jari-Jari Minimum Kendaraan pada saat melalui tikungan dengan kecepatan (V) akan menerima gaya sentrifugal yang menyebabkan kendaraan tidak stabil. Untuk mengimbangi gaya

sentrifugal tersebut, perlu dibuat suatu kemiringan melintang jalan pada tikungan yang disebut superelevasi (e). Untuk menghindari terjadinya kecelakaan maka ada 3 (tiga) keadaan, yaitu : Gaya sentrifugal masih seimbang dengan gaya-gaya

gesekan antara ban dan permukaan jalan.


fm = V 2

127 . R

(Rumus 2.7)

Dimana

fm = koefisien gesekan melintang V = kecepatan rencana (km/jam) R = jari-jari tikungan (m) Perkerasan diberi kemiringan sebesar (e) sedemikian

sehingga gaya sentrifugal yang timbul dapat diimbangi sepenuhnya oleh kemiringan jalan, dengan demikian tidak timbul gesekan (fm=0).
e = V 2

(Rumus 2.8)

127 . R

iii

Dimana e

= superelevasi (%)

V = kecepatan rencana (km/jam) R = jari-jari tikungan (m) Kemiringan (e) tidak cukup mengimbangi gaya

sentrifugal yang timbul sehingga timbul gaya gesekan antara ban dan perkerasan.
e + fm = V 2

(Rumus 2.9)

127 . R

Dimana

e = superelevasi (%) fm = koefisien gesekan melintang V = kecepatan rencana (km/jam) R = jari-jari tikungan (m)

2).

Lengkung Peralihan

Tiap kendaraan akan mengikuti jejak transisi pada waktu masuk atau meninggalkan lengkung lingkaran horisontal. Panjang lengkung peralihan (Ls), menurut Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997, diambil nilai yang terbesar dari 3 (tiga) persamaan berikut : Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk

melintasi lengkung peralihan, maka panjang lengkung :


Ls = VR . T 3,6

(Rumus 2.10)

Dimana

: iii

Ls = VR = T =

lengkung peralihan (m) kecepatan rencana (km/jam) waktu tempuh (3 detik)

Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal, digunakan

rumus modifikasi short :


Ls = 0,022 . VR 3 - 2,727 . VR . e C

(Rumus 2.11)

RC . C

Dimana : Ls VR VC C e
Ls =

= = = = =

lengkung peralihan (m) kecepatan rencana (km/jam) jari-jari busur lingkaran (m) perubahan percepatan (0,3-1,0 m/det2) superelevasi (%) Berdasarkan pencapaian perubahan kelandaian :

( em
:

- en

3,6 . re

. VR

(Rumus 2.12)

Dimana Ls em en re = = = =

lengkung peralihan (m) superelevasi maksimum superelevasi normal tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang jalan, sebagai berikut :

iii

re mak re mak

Untuk VR = 0,035 m/m/det

70 km/jam

Untuk VR = 0,025 m/m/det

80 km/jam

3). Bentuk-Bentuk Tikungan Lingkaran (Full Circle = FC),

T c

Keterangan :

L c

R c

= Sudut tikungan = Titik pusat lingkaran = Panjang tangen jarak dari TC ke PI atau PI ke CT

O Tc

Rc Lc Ec

= Jari-jari lingkaran = Panjang busur lingkaran = Jarak luar dari PI ke busur lingkaran

Gambar 2.6.

Komponen Full Circle (FC)

Full Circle (FC) adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian suatu lingkaran saja. Tikungan FC hanya digunakan untuk R (jari-jari tikungan) yang

iii

besar agar tidak terjadi patahan, karena dengan R yang kecil diperlukan superelevasi yang besar.

Tabel 2.4 Jari-Jari Tikungan Yang Tidak Memerlukan Lengkung Peralihan

VR 120 (km/jam) R min 2500 (m)


Sumber : TPGJK (Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota), 1997

100 1500

80 900

60 500

50 350

40 250

30 130

20 60

Rumus-rumus yang digunakan :


Tc = R c tg 1 2

(Rumus 2.13)

Dimana TC = RC =

: panjang tangen jari-jari lingkaran

EC = TC tg

1 4

(Rumus 2.14)

Dimana

EC = Jarak luar dari PI ke busur lingkaran Tc = panjang tangen

iii

LC =

2 RC o 360

(Rumus 2.15)

Dimana Lc Rc

: = panjang busur lingkaran = jari-jari lingkaran

Spiral Circle Spiral (SCS),


P I

E
Ys
T5

CSC S
X
5

c
s

R
s

Gambar 2.7

Komponen S-C-S

Keterangan : Xs = Absis titik SC pada garis tangen, jarak titik TS ke SC (jarak lurus lengkung peralihan) Ys = Ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak tegak lurus ke titik SC pada lengkung Ls = Panjang lengkung peralihan (panjang dari titik TS ke SC atau CS ke ST)

iii

Lc Ts SC Es s Rc P k

= Panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC ke CS) = Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST = Titik dari spiral ke lingkaran = Jarak dari PI ke busur lingkaran = Sudut lengkung spiral = Jari-jari lingkaran = Pergeseran tangen terhadap spiral = Absis dari p pada garis tangen spiral

Rumus-rumus yang digunakan :

Xs = Ls 1

Ls 40

2 2

. Rc

(Rumus 2.16)

Ys =

Ls

(Rumus 2.17)

6 . Rc 90 Ls 2 - Rc Ls Rc

s =

(Rumus 2.18)

6 . Rc

(1

Cos s

(Rumus 2.19)

= Ls

Ls

3 2 Rc Sin

40 . Rc

s (Rumus 2.20)

Ts =

( Rc ( Rc

+ p

) )

tg

1 2 1 2

+ k

(Rumus 2.21)

Es =

+ p

sec

Rc

(Rumus 2.22)

Lc =

( 2s )
180

. . Rc

(Rumus 2.23)

(Rumus 2.24) iii

Ltot = Lc + 2 Ls

Spiral-Spiral (S-S),
P
Ts K

E S C

s = C S S T

Gambar 2.8 Komponen S-S Untuk bentuk spiral-spiral berlaku rumus :


Lc = 0 dan

1 2

(Rumus 2.25)

L tot = 2 . Ls

(Rumus 2.26) (Rumus 2.27)

Ls

s . . Rc
90

iii

Ls

2 - Rc

6 . Rc

(1

Cos s

(Rumus 2.28)

= Ls

Ls

3 2 Rc Sin

40 . Rc

s (Rumus 2.29)

Ts =

( Rc ( Rc

+ p

) )

tg

1 2 1 2

+ k

(Rumus 2.30)

Es =

+ p

sec

Rc

(Rumus 2.31)

2.6

Perencanaan Perkerasan Jalan Prosedur perencanaan perkerasan kaku (Rigid) jalan raya didasarkan atas

perencanaan yang dikembangkan oleh NAASRA (National Association of Australian State Road Authorities), yaitu : 1. Menentukan umur rencana dari jalan yang hendak didesain, serta tentukan pula tahapan pelaksanaannya. 2. 3. Menentukan LHR awal tahun rencana (LHR0) Menentukan faktor pertumbuhan lalu lintas selama masa pelaksanaan dan selama umur rencana (i %) 4. 5. Menentukan LHR tahun rencana (LHRn) Hitung jumlah kendaraan niaga (JKN) selama umur rencana (n tahun) dengan persamaan : JKN = 365 x JKNH X R Dimana : JKN = jumlah kendaraan niaga (Rumus 2.32)

JKNH = jumlah kendaraan niaga harian pada saat jalan dibuka R = faktor pertumbuhan lalu lintas yang besarnya tergantung pada

faktor pertumbuhan lalu lintas tahunan (i) dan umur rencana (n). Apabila iii

pertumbuhan lulu lintas tahunan selama umur rencana tetap maka R dihitung dengan cara sebagai berikut :

R=

( 1 + i) n 1
e log (1 + i)

( i 0)

(Rumus 2.33)

Apa bila setelah waktu tertentu (m, tahun) pertumbuhan lalu lintas tidak terjadi lagi,maka dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :

R=

e log (1 + i)

( 1 + i) m 1 + ( n m )( 1 + i ) m 1

( i 0) (Rumus 2.34)

6.

Hitung persentase masing-masing kombinasi konfigurasi bebansumbu terhadap jumlah sumbu kendaraan niaga harian (JSKNH)

7.

Hitung jumlah repetisi kumulatif tiap-tiap kombinasi konfigurasi/beban sumbu pada lajur rencana dengan cara mengalikan jumlah sumbu niaga (JSKN) dengan persentase tiap-tiap kombinasi terhadap (JSKNH) dan koefisien distribusi lajur rencana seperti yang tertera pada tabel 2.14 berikut ini : Tabel 2.14. Koefisien distribusi kendaraan niaga pada lajur rencana
Jumlah Lajur 1. 2. 3. 4. 5.
6.

Kendaraan Niaga 1 Arah 1,00 0,70 0,50 -

Lajur Lajur Lajur Lajur Lajur


Lajur

2 Arah 1,00 0,50 0,475 0,45 0,425


0,4

Sebagai besaran rencana, beban sumbu untuk setiap konfigurasi harus dikalikan dengan faktor keamanan (FK) seperti tercantum pada tabel 2.15 berikut ini: Tabel 2.15 Faktor Kemanan iii

Peranan Jalan Jalan Tol Jalan Arteri Jalan Kolektor/LOkal

F.K 1,2 1,1 1,0

8.

Menentukan kekuatan lapisan tanah dasar yang diperoleh dengan CBR, seperti halnya pada perencanaan perkerasan lentur, meskipun pada umumnya kekuatan tanah dasar pada perkerasan kaku dinyatakan dalam modulus reaksi tanah dasar (k). Untuk menentukan modulus reaksi tanah dasar (k) rencana yang mewakili suatu seksi jalan, dipergunakan rumus sebagai berikut :

k k 2S
0

untuk jalan Tol (Rumus 2.35) Untuk jalan Arteri (Rumus 2.36) untuk jalan kolektor/Lokal (Rumus 2.37)

k 1,64S

k 0 k 1,28S
Dimana:

k0 = Modulus Reaksi Tanah Dasar yang mewakili suatu seksi

k = n

Modulus reaksi tanah dasar rata-rata dalam suatu seksi jalan

K = Modulus reaksi Tanah Dasar tiap titik di dalam seksi jalan N = Jumlah data k Faktor keamanan (FK) : FK = Standar deviasi (S) :
S= n k 2 ( k) n ( n 1)

S (Rumus 2.38) x 100% < 25 % K

(Rumus 2.39)

iii

9.

Tentukan tebal plat beton a. Pilih suatu tebal plat tertentu b. Untuk setiap kombinasi konfigurasi dan beban sumbu serta suatu harga k tertentu maka : Tegangan lentur yang terjadi pada plat beton ditentukan dari

nomogram sumbu kendaraan. Perbandingan tegangan dihitung dengan membagi tegangan

lentur yang terjadi pada plat dengan modulus of Repture beton. c. Persentase fatigue tiap-tiap kombinasi konfigurasi/beban sumbu ditentukan dengan membagi jumlah pengulangan beton rencana dengan jumlah pengulangan beban yang diijinkan. d. Cari total fatigue dengan menjumlahkan persentase fatigue dari seluruh kombinasi konfigurasi/beban sumbu. e. Langkah-langkah a sampai d diulangi hingga didapatkan plat terkecil dengan total fatigue yang lebih kecil atau sama dengan 100%. Ketebalan ini merupakan ketebalan dalam perencanaan perkerasan kaku yang berlaku untuk perkerasan beton bersambung tanpa tulangan, perkerasan beton bersambung dengan tulangan dan perkerasan beton menerus.

iii

Tabel 2.16. Perbandingan tegangan dan jumlah pengulangan yang diijinkan


Perbandingan Tegangan 0.15 b 0.52 0.53 0.54 0.55 0.56 0.57 0.58 Perbandingan Tegangan a 0.59 0.60 0.61 0.62 0.63 0.64 0.65 0.66 0.67 0.68
a b a

Jumlah Pengulangan beban Ijin 400.000 300.000 240.000 180.000 130.000 100.000 75.000 57.000 Jumlah Pengulangan beban Ijin 42.000 32.000 24.000 18.000 14.000 11.000 8.000 6.000 4.500 3.500

Perbandingan Tegangan 0.69 0.70 0.71 0.72 0.73 0.74 0.75 0.76 Parbandingan Tegangan 0.77 0.78 0.79 0.80 0.81 0.82 0.83 0.84 0.85

Jumlah Pengulangan Beban Ijin 2.500 2.000 1.500 1.100 850 650 490 360 Junlah Pengulangan Beban Ijin 270 210 160 120 90 70 50 40 30

Tegangan akibat beban dibagi denga kuat lentur tarik (modulus Of Rupture) Untuk perbandingan tegangan 0,50 jumlah pengulanagn beban adalah tidak terhingga dari : pavement Design, NAASRA, 1989 CATATAN : Tebal minimum plat untuk perkerasan kaku adalah 150 mm

10.

Hitung jumlah tulangan yang diperlukan a. Perkerasan beton bersambung dengan tulangan : Luas Tulangan pada perkerasan ini dihitung dari persamaan berikut ini:
As = 11,76 F. L. h fs

(Rumus 2.40)

Dimana : AS = luas tulangan yang diperlukan (cm2 /m)

iii

F = koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di bawahnya (tabel 4.20), tak berdimensi L = h = fs = Jarak antara sambungan, (m) tebal pelat, (mm) tegangan tarik baja ijin, (Mpa) ( 230 MPa)

Catatan : As minimum menurut SNI91, untuk segala keadaaan 0,14% dari luas penampang beton

Tabel 2.17 Koefisien gesekan antara pelat beton semen dengan lapisan pondasi dibawahnya

Jenis Pondasi
BURTU, LAPEN dan konstruKsi sejenis Aspal Beton, LATASTON Stabilisasi kapur Stabilisasi aspal Stabilisasi semen Koral sungai

Faktor Gesekan (F)


2.2 1.8 1.8 1.8 1.8 1.5

Jenis Pondasi
Batu pecah Sirtu Tanah

Faktor Gesekan (F)


1.5 1.2 0.9

b. Perkerasan beton menerus dengan tulangan: - Penulangan memanjang


Ps =

10 ft 0 1,3 ,2 F 0 f y x ft n

)(

(Rumus 2.41)

Dimana :Ps

= persentase tulangan memanjang yang dibutuhkan

terhadap penampang beton (%) ft = kuat tarik lentur beton yang digunakan 0,4 0,5 fr, dalam Mpa

iii

fy = tegangan leleh rencana baja (berdasarkan SNI91, Fy < 400 Mpa BJTD40) n = angka ekivalen antara baja dan beton = (lihat Tabel 4.21). F = koefisien gesekan antara pelat beton dengan bawahnya, tak berdimensi Es = modulus elastisitas baja Ec = modulus elastisitas beton, berdasarkan SNI91 digunakan 4700
1 f c MPa)

Es Ec

, tak berdimensi

lapisan di

Tabel 2.18 Hubungan antara Kuat Tekan Beton dan Angka Ekivalen Baja & Beton (n) (Fr)
f1 c
(kg/cm2) 115 120 135 140 165 170 200 205 250 260 320 330 425 450

f1 c
(MPa) 11,3 11,8 13,2 13,7 16,2 16,7 19,6 20,1 24,5 25,5 31,4 32,4 41,7 44,1

N 13 12 11 10 9 8 7 6

f 1 (rata-rata) c
MPa) 2,1 2,2 2,4 2,6 2,9 3,3 3,7 4,1

Persentase minimum tulangan memanjang pada perkerasan beton menerus adalah 0,6% dari luas penampang beton. Jarak antara retakan pada perkerasan beton menerus dengan tulangan dapat dihitung dengan persamaan :

iii

L cr =

11 ,76 F. L. h E ft n . p 2 . u fb (S c )

(Rumus 2.42)

Dimana : Lcr = Jarak teoritis antara retakan, dalam meter

iii

You might also like