You are on page 1of 7

Parasetamol atau asetaminen adalah obat analgesik and antipiretik yang populer dan digunakan untuk melegakan sakit

kepala, sengal-sengal dan sakit ringan, dan demam. Digunakan dalam sebagian besar resep obat analgesik salesma dan flu. Ia aman dalam dosis standar, tetapi karena mudah didapati, overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi. Berbeda dengan obat analgesik yang lain seperti aspirin dan ibuprofen, parasetamol tak memiliki sifat antiradang. Jadi parasetamol tidak tergolong dalam obat jenis NSAID. Dalam dosis normal, parasetamol tidak menyakiti permukaan dalam perut atau mengganggu gumpalan darah, ginjal atau duktus arteriosus pada janin. Kata asetaminofen dan parasetamol berasal dari singkatan nama kimia bahan tersebut: Versi Amerika N-asetil-para-aminofenol asetominofen Versi Inggris para-asetil-amino-fenol parasetamol Sejarah Sebelum penemuan asetaminofen, kulit sinkona digunakan sebagai agen antipiretik, selain digunakan untuk menghasilkan obat antimalaria, kina. Karena pohon sinkona semakin berkurang pada 1880-an, sumber alternatif mulai dicari. Terdapat dua agen antipiretik yang dibuat pada 1880-an; asetanilida pada 1886 dan fenasetin pada 1887. Pada masa ini, parasetamol telah disintesis oleh Harmon Northrop Morse melalui pengurangan p-nitrofenol bersama timah dalam asam asetat gletser. Biarpun proses ini telah dijumpai pada tahun 1873, paraetamol tidak digunakan dalam bidang pengobatan hingga dua dekade setelahnya. Pada 1893, parasetamol telah ditemui di dalam air kencing seseorang yang mengambil fenasetin, yang memekat kepada hablur campuran berwarna putih dan berasa pahit. Pada tahun 1899, parasetamol dijumpai sebagai metabolit asetanilida. Namun penemuan ini tidak dipedulikan pada saat itu. Pada 1946, Lembaga Studi Analgesik dan Obat-obatan Sedatif telah memberi bantuan kepada Departemen Kesehatan New York untuk mengkaji masalah yang berkaitan dengan agen analgesik. Bernard Brodie dan Julius Axelrod telah ditugaskan untuk mengkaji mengapa agen bukan aspirin dikaitkan dengan adanya methemoglobinemia, sejenis keadaan darah tidak berbahaya. Di dalam tulisan mereka pada 1948, Brodie dan Axelrod mengaitkan penggunaan asetanilida dengan methemoglobinemia dan mendapati pengaruh analgesik asetanilida adalah disebabkan metabolit parasetamol aktif. Mereka membela penggunaan parasetamol karena memandang bahan kimia ini tidak menghasilkan racun asetanilida. Penggunaan Demam Parasetamol telah disetujui sebagai penurun demam untuk segala usia. WHO hanya merekomendasikan penggunaan parasetamol sebagai penurun panas untuk anak-anak jika suhunya melebihi 38.5 C. Namun efektifitas parasetamol sendiri untuk demam anak masih dipertanyakan, jika dibandingkan dengan efektifitas

ibuprofen. Nyeri Parasetamol digunakan untuk meredakan nyeri. Obat ini mempunyai aktifitas sebagai analgesik, tetapi aktivitas anti-inflamasinya sangat lemah. Parasetamol lebih dapat ditoleransi oleh pasien yang mempunyai riwayat gangguan pencernaan, seperti pengeluaran asam lambung berlebih dan pendarahan lambung, dibandingkan dengan aspirin. Efek Samping Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi lambung, mempengaruhi koagulasi darah, atau mempengaruhi fungsi ginjal. Namun, pada dosis besar (lebih dari 2000 mg per hari) dapat meningkatkan resiko gangguan pencernaan bagian atas. Hingga tahun 2010, parasetamol dipercaya aman untuk digunakan selama masa kehamilan. Overdosis Penggunaan parasetamol diatas rentang dosis terapi dapat menyebabkan gangguan hati. Pengobatan toksisitas parasetamol dapat dilakukan dengan cara pemberian asetilsistein (N-asetil sistein) yang merupakan prekusor glutation, membantu tubuh untuk mencegah kerusakan hati lebih lanjut. Mekanisme Aksi Mekanisme aksi utama dari parasetamol adalah hambatan terhadap enzim siklooksigenase (COX: cyclooxigenase), dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa obat ini lebih selektif menghambat COX-2. Meskipun mempunyai aktifitas antipiretik dan analgesik, tetapi aktifitas anti-inflamasinya sangat lemah karena dibatasi beberapa faktor, salah satunya adalah tingginya kadar peroksida dapa lokasi inflamasi. Hal lain, karena selektifitas hambatannya pada COX-2, sehingga obat ini tidak menghambat aktifitas tromboksan yang merupakan zat pembekuan darah. 2222222222222222222 ANALGETIKA OPIOID Karakteristik analgetika opioid:

Mengurangi nyeri dan menimbulkan euforia dengan berikatan pada reseptor opioid di otak, yaitu reseptor pada reseptor opioid di otak, yaitu reseptor (mu), (kappa), dan d (delta) Enkefalin dan endorfin berikatan dengan reseptor dan d Dinorfin berikatan dengan reseptor

Obat analgetik opioid: morfin, metadon, meperidin (petidin), fentanil, buprenorfin, dezosin, butorfanol, nalbufin, nalorfin, dan pentazosin

Morfin dan derivatnya : Efek analgetik yaitu dengan mengurangi persepsi nyeri di otak (meningkatkan ambang nyeri), mengurangi respon psikologis terhadap nyeri (menimbulkan euforia), danmenyebabkanmengantuk/tidur (efek sedatif) walau ada nyeri.Diberikan secara per oral, injeksi IM, IV, SC, dan rektal, durasinya rata-rata 4-6 jam.Diindikasikan untuk nyeri berat yang tak bisa dikurangi dengan analgetika non opioidatau obat analgetik opioid lain yang lebih lemah efeknya. Contoh : Morfin, Heroin, Hidromorfon, Oksimorfon, Levorfanol, Levalorfan, Kodein, Hidrokodon, Oksikodon, Nalorfin, Nalokson, Nalbufin, Te`bain Meperidin dan derifat fenilpiperidin : Menimbulkan efek analgetik, efek euforia, efek sedatif, efek depresi nafas dan efek samping lain seperti morfin, kecuali konstipasi.Efek analgetiknya muncul lebih cepat daripada morfin, tetapi durasi kerjanya lebih singkat hanya 2-4 jam. Diindikasikan untuk obat praoperatif pada waktu anestesi. Contoh : Meperidin, Alfaprodin, Difenoksilat, Fentanil, Loperami Metadon Dan Opioid lain: Mempunyai efek analgetik mirip morfin, tetapi tidak begitu menimbulkan efek sedatif. Diberikan secara per oral, injeksi IM, dan SC. Dieliminasi dari tubuh lebih lambat dari morfin (waktu paruhnya 25 jam) dan gejalawithdrawalnya tak sehebat morfin, tetapi terjadi dalam jangka waktu lebihlama. Diindikasikan untuk analgetik pada nyeri hebat, dan juga digunakan untuk mengobati ketergantungan heroin. Contoh : Metadon, Propoksifen, Dekstromoramida, Bezitramida Fentanil Merupakan opioid sintetik dengan efek analgetik 80 kali lebih kuat dari morfin, tetapi depresi nafas lebih jarang terjadi. Diberikan secara injeksi IV, dengan waktu paruh hanya 4 jam dan dapat digunakan sebagai obat praoperatif saat anestesi. Obat Antagonis Opioid : Naltrekson, Nalorfin, Levalorfan, Siklazosin, Pentazosin, Butorfanol

33333333333333333333333333 OBAT ANALGESIK A. Definisi dan Mekanisme Analgetik

Obat analgetik, antipiretik serta Obat Anti Inflamasi non Steroid (OAINS) merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia.Walaupun demikian, obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Atas kerja farmakologisnya, analgesik dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu: 1. 1. Obat Analgesik Narkotika/Analgesik opioid Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Pada semua analgesik opioid dapat menimbulkan adiksi/ketergantungan. Ada 3 golongan obat ini yaitu : a. Obat yang berasal dari opium-morfin, b. Senyawa semisintetik morfin, dan c. Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin. Mekanisme umum dari analgesic opioid adalah : Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel, selain itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ ke dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah terjadinya pengurangan terlepasnya serotonin, dan peptida penghantar nyeri, seperti contohnya substansi P, dan mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat. 2. Obat Analgesik Non-Narkotik Dalam Ilmu Farmakologi juga sering dikenal dengan istilah Analgetik/ Analgetika/ Analgesik Perifer. Penggunaan obat analgetik non-narkotik atau obat analgesik perifer ini cenderung mampu menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgetik Non-Narkotik / Obat Analgesik Perifer ini juga tidak mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna. Dalam obat analgetik perifer ini dibagi menjadi 3 golongan, yaitu: a. Obat analgetik-antipiretik b. Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS) c. Obat Pirai Namun, pada makalah ini hanya akan ditekankan pada obat analgetik saja. Analgetik atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghalangi kesadaran. Sebagai obat analgesic, obat ini hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang, misalnya sakit kepala, mialgia, artralgia, dan nyeri lain yang berasal dari integument, terutama terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Efek analgesiknya jauh

lebih rendah daripada obat analgesic opioid, tapi obat ini tidak menimbulkan ketagihan dan tidak menimbulkan efek samping sentral yang merugikan. Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase (COX) sehingga konversi asam arakhidonat menjadi Prostaglandin E2 (PGE2) dan Prostasiklin (PGI2) terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan cara yang berbeda.Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosid. Ini menjelaskan mengapa efek antiinflamasi paracetamol praktis tidak ada. B. Definisi dan Mekanisme Timbulnya Rasa Nyeri Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh, rasa nyeri timbul bila ada jaringan tubuh yang rusak, dan hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri. Dengan kata lain, nyeri pada umumnya terjadi akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata. Menurut Torrance & Serginson (1997), ada tiga jenis sel saraf dalam proses penghantaran nyeri yaitu sel syaraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor atau interneuron, dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel syaraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sum-sum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor. Mediator nyeri antara lain mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas di kulit, mukosa, dan jarigan lainnya. Nociceptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di system saraf pusat. Dari sini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan yang hebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sinaps yang amat banyak melalui sum-sum tulang belakang, sumsum tulang lanjutan dan otak tengah. Dari thalamus impuls diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri. Stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi p, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan mensensitasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke otak (Torrance & Serginson, 1997). Secara skematis, mekanisme terjadinya rasa nyeri adalah: Adanya stimulus dari luar (bisa karena penyebab fisika maupun kimia), menyebabkan adanya kerusakan membran sel. Membran sel yang rusak akan mengalami labilisasi lisosomes dan terjadi pelepasan enzim fosfolipase yang akan menghidrolisa fosfolipid dari membran sel untuk menghasilkan asam arakhidonat. Prostaglandin disintesis dari asam arakhidonat melalui jalur COX. Dengan kata lain, prostaglandin dihasilkan oleh jaringan yang sedang terluka atau sakit yang disintesis dari asam lemak tak jenuh rantai panjang yaitu asam arakidonat. Proses pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat dengan bantuan COX, ditunjukkan oleh persamaan reaksi di bawah ini:

Sedangkan untuk tipe prostaglandin yang dapat menimbulkan respon nyeri adalah Prostaglandin E2 (PGE2) dan Prostasiklin (PGI2). Kehadiran obat penghilang rasa sakit seperti obat-obat analgesik dapat menghambat proses pembentukan molekul inidengan cara menghambat kerja enzim COX (Zulfikar, 2010) Penggolongan obat dan Mekanisme Kerjanya Untuk obat-obat analgesic terbagi dalam beberapa golongan, yaitu: 1. Golongan Salicylates, contoh obatnya: a. Aspirin/asetosal Mempunyai kemampuan menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim siklooksigenase secara ireversibel, pada dosis yang tepat,obat ini akan menurunkan pembentukan prostaglandin maupun tromboksan A2, pada dosis yang biasa efek sampingnya adalah gangguan lambung .Efek ini dapat diperkecil dengan penyangga yang cocok ( misalnya, minum aspirin bersama makanan yang diikuti oleh segelas air atau antasid). b. Salisilamid Salisilamid adalah amida asam salisilat yang memperlihatkan efek analgesic dan antipiretik mirip asetosal, walaupun dalam badan salisilamid tidak diubah menjadi salisilat. Efek anlgesik antipiretik salisilamid lebih lemah daripada salisilat, karena salisilamid dalam mukosa usus mengalami metabolism lintas pertama, sehingga hanya sebagian salisilamid yang diberikan masuk sirkulasi sebagai zat aktif. Obat ini mudah diabsorpsi usus dan cepat didistribusi ke jaringan. Obat inimenghambat glukoronidasi obat anlagesik lain di hati misalnya Na salisilat dan asetaminofen, sehingga pemberian bersama dapat meningkatkan efek terapi dan toksisitas obat tersebut. c. Diflunisial Obat ini merupakan derivate difluorofenil dari asam salisilat, tetapi dalam tubuh tidak diubah menjadi asam salisilat. Bersifat analgesic dan anti-inflamasi tetapi hampir tidak bersifat antipiretik. Obat ini juga berperan dalam penghambatan prostaglandin melalui penghambatan enzim COX. 2. Golongan para Aminophenol, Contoh Obatnya : Acetaminophen, adalah metabolit dari fenasetin. Untuk Fenasetin, tidak digunakan lagi dalm pengobatan, karena penggunaannya dikaitkan dengan terjadinya anemia hemolitik, dan mungkin kanker kandung kemih. Obat ini menghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer dan tidak memiliki efek antiinflamasi yang bermakna. Obat ini berguna untuk nyeri ringan sampai sedang seperti nyeri kepala,mialgia,nyeri pasca persalinan dan keadaan lain. Efek samping kadang-kadang timbul peningkatan ringan enzim hati.

Farmakodinamik Efek analgesic paracetamol serupa dengan salisilat, yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek antiimflamasinya sangat lemah, oleh karena itu paracetamol tidak digunakan sebagai antireumatik. Paracetamol merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. PG dihambat akibat adanya penghambatan enzim COX. 3. Golongan Pyrazolone dan Derivatnya Dalam kelompok ini termasuk dipiron, antipirin, dan aminopirin. Antipirin (fenazon) adalah 5okso-1-fenil-2,3-dimetilpirazolidin. Aminopirin (amidopirin) adalah derivate 4-dimetilamino dari antipirin. Dipiron adalah derivate metansulfonat dari aminopirin yang larut baik dalam air dan dapat diberikan dalam suntikan. Selain itu, masih ada derivate dipiron yaitu methampiron (antalgin) yang banyak digunakan/tersedia dalam bentuk suntikan atau tablet. Saat ini antipirin dan aminopirin tidak dianjurkan digunakan lagi karena lebih toksik daripada dipiron. Obat ini berperan dalam penghambatan prostaglandin melalui penghambatan enzim COX. DAFTAR PUSTAKA Anonim . 2011. Analgesic dan obat-obatnya . http://habib.blog.ugm.ac.id/kuliah/. Diakses pada 15 Juni 2011 Gunawan, Sulistia . 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : UI Press Zulkarnaen . 2010 . Prostaglandin . http://www.chem-is-try.com . Diakses pada 15 Juni 2011

You might also like