You are on page 1of 12

TUGAS MAKALAH DOKTER MUDA

EMPIEMA

Oleh: Andy Pranata kusuma 010710280

DEPARTEMEN / SMF ILMU PENYAKIT PARU FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2012

EMPIEMA 1. Definisi Empiema toraks didefinisikan sebagai suatu infeksi pada ruang pleura yang berhubungan dengan pembentukan cairan yang kental dan purulen baik terlokalisasi atau bebas dalam ruang pleura yang disebabkan karena adanya dead space, media biakan pada cairan pleura dan inokulasi bakteri. Empiema adalah akumulasi pus diantara paru dan membran yang menyelimutinya (ruang pleura) yang dapat terjadi bilamana suatu paru terinfeksi. Pus ini berisi sel sel darah putih yang berperan untuk melawan agen infeksi (sel sel polimorfonuklear) dan juga berisi protein darah yang berperan dalam pembekuan (fibrin). Ketika pus terkumpul dalam ruang pleura maka terjadi peningkatan tekanan pada paru sehingga pernapasan menjadi sulit dan terasa nyeri. Seiring dengan berlanjutnya perjalanan penyakit maka fibrin-fibrin tersebut akan memisahkan pleura menjadi kantong kantong (lokulasi). Pembentukan jaringan parut dapat membuat sebagian paru tertarik dan akhirnya mengakibatkan kerusakan yang permanen(1) 2. Etiologi Stafilokokus aureus merupakan bakteri penyebab empiema yang paling sering ditemukan dalam isolasi mikrobiologi, selebihnya adalah bakteri gram negatif. Sering ditemukannya bakteri gram negatif pada biakan terjadi diantaranya karena tingginya insidensi resisten karena pemberian antibiotik pada fase awal pneumonia. Pada penelitian yang dilakukan Yu Chen dkk pada pasien efusi pleura dengan empiema didapatkan Klebsiella Pneumoniae merupakan penyebab terbanyak(2).Penyebab terjadinya empiema sendiri terbagi menjadi: 1. a. b. c. d. e. Infeksi yang berasal dari dalam paru : Pneumonia Abses paru Bronkiektasis TBC paru Aktinomikosis paru

f. 2. a. b. c. d. e.

Fistel Bronko-Pleura Infeksi yang berasal dari luar paru : Trauma Thoraks Pembedahan thorak Torasentesi pada pleura Sufrenik abses Amoebic liver abses (3)

3 . Klasifikasi Empiema dibagi menjadi 3 fase yaitu: 1. Stadium 1 disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi pada hari-hari pertama saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan peningkatan permeabilitas dan terjadi penimbunan cairan pleura namun masih sedikit. Cairan yang dihasilkan mengandung elemen seluler yang kebanyakan terdiri atas netrofil. Stadium ini terjadi selama 24-72 jam dan kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen. Cairan pleura mengalir bebas dan dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang rendah dan enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang rendah serta glukosa dan pH yang normal, drainase yang dilakukan sedini mungkin dapat mempercepat perbaikan. 2. Stadium 2 disebut juga dengan stadium fibropurulen atau stadium transisional yang dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang meluas dan bertambahnya kekentalan dan kekeruhan cairan. Cairan dapat berisi banyak leukosit polimorfonuklear, bakteri, dan debris selular. Akumulasi protein dan fibrin disertai pembentukan membran fibrin, yang membentuk bagian atau lokulasi dalam ruang pleura. Saat stadium ini berlanjut, pH cairan pleura dan glukosa menjadi rendah sedangkan LDH meningkat. Stadium ini berakhir setelah 7-10 hari dan sering membutuhkan penanganan yang lanjut seperti torakostomi dan pemasangan tube.
3. Stadium 3 disebut juga stadium organisasi (kronik). Terjadi pembentukan kulit

fibrinosa pada membran pleura, membentuk jaringan yang mencegah ekspansi pleura

dan membentuk lokulasi intrapleura yang menghalangi jalannya tuba torakostomi untuk drainase. Kulit pleura yang kental terbentuk dari resorpsi cairan dan merupakan hasil dari proliferasi fibroblas. Parenkim paru menjadi terperangkap dan terjadi pembentukan fibrotoraks. Stadium ini biasanya terjadi selama 2 4 minggu setelah gejala awal.(1)

4. Patofisiologi Akibat invasi basil piogenik ke pleura akan mengakibatkan timbulnya radang akut yang diikuti pembentukan eksudat serous. Dengan banyaknya sel PMN yang mati akan meningkatkan kadar protein dimana mengakibatkan timbunan cairan kental dan keruh. Adanya endapan-endapan fibrin akan membentuk kantong-kantong yang melokalisasi nanah tersebut. Apabila nanah menembus bronkus, timbul fistel bronkus pleural. Sedangkan bila nanah menembus dinding thorak dan keluar melalui kulit disebut emphiema nesessitasis. Emphiema dapat digolongkan menjadi akut dan kronis. Emphiema akut dapat berlanjut ke kronis. Organisasi dimuli kira-kira setelah seminggu dan proses ini berjalan terus sampai terbentuknya kantong tertutup.(1) 5. Manifestasi Klinis

Empiema dibagi menjadi dua stadium yaitu : A. Empiema Akut Terjadi sekunder akibat infeksi tempat lain, bukan primer dari pleura. Pada permulaan, gejalagejalanya mirip dengan pneumonia, yaitu panas tinggi dan nyeri pada dada pleuritik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura. Bila stadium ini dibiarkan sampai beberapa minggu maka akan timbul toksemia, anemia, dan clubbing finger. Jika nanah tidak segera dikeluarkan akan timbul fistel bronkopleura. Adanya fistel ditandai dengan batuk yang makin produktif, bercampur nanah dan darah masif, serta kadang-kadang bisa timbul sufokasi (mati lemas).(1)

Pada kasus empiema karena pneumotoraks pneumonia, timbulnya cairan adalah setelah keadaan pneumonianya membaik. Sebaliknya pada Streptococcus pneumonia, empiema timbul sewaktu masih akut. Pneumonia karena baksil gram negatif seperti E. coli atau Bakterioids sering kali menimbulkan empiema.(1) B. Empiema Kronis Batas yang tegas antara empiema akut dan kronis sukar ditentukan. Disebut kronis jika empiema berlangsung selama lebih dari tiga bulan. Penderita mengeluh badannya terasa lemas, kesehatan makin menurun, pucat, clubbing fingers, dada datar, dan adanya tanda-tanda cairan pleura. Bila terjadi fibrotoraks, trakea , dan jantung akan tertarik ke sisi yang sakit.(2)

6. Diagnostik

A. Anamnesis -

Demam dan keluar keringat malam. Nyeri pleura. Dispnea. Anoreksia dan penurunan berat badan.(1)

Pemeriksaan Fisik -

Pada auskultasi dada ditemukan penurunan suara napas. Pada perkusi dada ditemukan suara flatness. Pada palpasi ditemukan penurunan fremitus. Sisi yang sakit lebih cembung, tertinggal pada pernapasan Mediastinum terdorong ke sisi yang sehat

- Pada empiema yang kronis hemitoraks yang sakit mungkin sudah mengecil karena

terbentuknya schwarte.(1)

C. Pemeriksaan Penunjang
-

Foto Thorax Pasien dengan Empiema(1)

Foto toraks(2)

Tes kultur dan kepekaan dari drainase hasil aspirasi dari pleura Computed tomography. CT scan digunakan untuk membedakan kelainan parenkim

terhadap pleura, mengevaluasi kelainan parenkim, menentukan lokulasi, mengevaluasi permukaan pleura, dan membantu dalam penentuan terapi. Tidak semua penderita efusi parapneumonia dengan komplikasimemerlukan pemeriksaan CT toraks, tetapi berguna pada penderita efusi komplikasi dengan lokulasi untuk pertimbangan terapi, yang akan menurunkan morbiditas, mortalitasmaupun lamanya rawat tinggal(1)

CT Scan Thorax Pasien dengan Empiema(1) 7. Komplikasi 1. Fistel Bronko pleura 2. 3. 4. Syok Sepsis Gagal jantung kongesti(1)

8.

Penatalaksanaan

torPrinsip pengobatan empiema adalah


1. Pengosongan nanah

Prinsip ini seperti umumnya yang dilakukan pada abses, untuk mencegah efek toksisnya. a. a) b) c) Closed drainage-tube toracostory water scaled drainage dengan indikasi: Nanah sangat kental dan sukar diaspirasi. Nanah terus terbentuk setelah dua minggu. Terjadinya piopneumotoraks.

Upaya WSD juga dapat dibantu dengan pengisapan negatif sebesar 1020 cmH2O. Jika setelah 3-4 minggu tidak ada kemajuan, harus diempuh cara lain seperti empiema kronis. b. Drainage terbuka (open drainage) Karena menggunakan kateter karet yang besar, maka perlu disertai juga dengan reseksi tulang iga. Open drainage ini dikerjakan pada empiema kronis, hal ini bisa terjadi akibat pengobatan yang terlambat atau tidak adekuat misalnya aspirasi yang terlambat atau tidak adekuat, drainase tidak adekuat sehingga harus mengganti atau membersihkan drain.(1)

2.

Antibiotik Mengingat kematian sebagai akibat utama dari sepsis, maka antibiotik memegang peranan penting. Antibiotik harus segera diberikan begitu diagnosis ditegakkan dan dosisnya harus tepat. Pemilihan antibiotik didasarkan pada hasil pengecatan gram dan apusan nanah. Pengobatan selanjutnya tergantung pada hasil kultur dan sensitivitasnya. Antibiotik dapat diberikan secara sistematik atau topikal. Biasanya diberikan penicilin. Pemilihan awal didasarkan pada CAP dan HAP ( laktam, penisilin, sefalosporin,

kabapenem). Jika dicurigai bakteri anaerob ditambah metronidazole atau clindamycin. Lama pemberian antibiotik : 2-4 minggu(3) 3. Fibrinolitik Intraeura Diberikan pada empiema dengan pus yang kental dan atau empiema yang berkantongkantong. Kontraindikasi : fistula bronkopleura, gangguan koagulan . Fibrinolitik intra pleura volume total 50-100ml. Jenis obat yang diberikan:
-

Streptokinase 200.000 250.000 IU 1-2x/hari Urokinase 50.000 100.000 IU 1 x 1 hari

Saat pemberian WSD di klem 4 8 jam. Obat diberikan selama 3 hari berturut-turut(2)

3.

Penutupan Rongga Empiema Pada empiema menahun sering kali rongga empiema tidak menutup karena penebalan dan kekakuan pleura. Pada keadaan demikian dilakukan pembedahan (dekortikasi) atau torakoplasti.

a.

Dekortikasi Tindakan ini termasuk operasi besar dengan indikasi:

a) b) c) b.

Drain tidak berjalan baik karena banyak kantng-kantung. Letak empiema sukar dicapai oleh drain. Empiema totalis yang mengalami organisasi pada leura visceralis. Torakoplasti

Jika empiema tidak mau sembuh karena adanya fistel bronkopleura atau tidak mungkin dilakukan dekortikasi. Pada pembedahan ini, segmen dari tulang iga dipotong subperiosteal, dengan demikian dinding toraks jatuh kedalam rogga pleura karena tekanan atmosfer.(2)

4.

Pengobatan Kausal

Misalnya subfrenik abses dengan drainase subdiafragmatika, terapi spesifik pada amoeniasis, dan sebagainya.(3)

5.

Pengobatan tambahan Perbaiki keadaan umum lalu fisioterapi untuk membebaskan jalan nafas. Infeksi dikontrol dengan pemberian obat Antimikrobial, berdasarkan hasil uji sensitivitas kultur organism dari sputum. Pasien mungkin akan diberikan obat antibiotic selama bertahun-tahun dengan tipe antibiotic yang berbeda sesuai dengan perubahan dalam interval. Beberapa dokter sering kali memeberikan penyakit ISPA timbul. Pasien dianjurkan untuk diberikan vaksin ulangan influenza dan pneumonia. Postural drainage merupakan dasar dari rencana penatalaksanaan medis untuk bronkhiektasis. Drainase yang memanfaatkan gaya gravitasi diharapkan akan mengurangi jumlah sekret dan tingkat infeksi (seringkali sputum mukopurulen harus diangkat dengan bronchospy). Pada area dada, lakukan perkusi untuk membantu menaikkan sekresi. Postural drainase dimulai pada jangka waktu pendek dan selanjutnya meningkat. Untuk meningkatkan pengenceran dan pengeluaran sputum, dapat diberikan aerosolized nebulizerdan dapat meningkatkan intake cairan. Facetent sangat ideal untuk memberikan kelembapan tambahan pada aerosol. Pasien harus dicegah untuk merokok, karena hal tersebut akan dapat merusak drainase bronchial akibat dari paralisis kerja siliari, meningkatkan sekresi bronchial, dan menyebabkan peradangan pada membrane mukosa sehingga mengakibatkan hyperplasia dari kelenjar mukus.

Intervensi surgical, meskipun sering digunakan, diindikasikan untuk pasien dengan pengenceran dan pengeluaran sputum yang berlanjut dalam jumlah besar, serta pasien dengan pneumonia dan hemoptisis berulang karena tidak berobat secara teratur.(1)

9 . Prognosis Prognosis dipengaruhi oleh umur serta penyakit yang melatarbelakanginya. Angka kematian meningkat pada usia tua, penyakit asal yang berat, dan pengobatan yang terlambat. Faktor prognosis buruk pada empiema apabila: 1. Didapatkan nanah di rongga pleura 2. Pewarnaan Gram cairan pleura positif 3. Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 40mg/dL 4. Biakan cairan pleura positif 5. pH cairan pleura < 7,0
6. Kadar LDH cairan pleura > 3 kali nilai normal serum(1)

DAFTAR PUSTAKA
1. Rogayah, Rita. Empiema. 2010. Jakarta : Dept. Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran

Respirasi FKUI. Diakses tanggal 28 Maret 2012 : http://staff.ui.ac.id/internal/140240448/material/empiema.pdf


2. Yu Chen, Kuan MD et al. Emphasis on Klebsiella Pneumoniae in Patients with Diabetes

Mellitus. 2000. American College of Chest Physician. Diakses tanggal 1 April 2012 : http://chestjournal.chestpubs.org/content/117/6/1685.full.pdf+html
3. Fauci, Anthony et al. Harrisons Manual of Medicine 17 th Edition. 2009. New York : The

McGraw-Hill Company

You might also like