You are on page 1of 17

REFERAT

PENATALAKSANAAN KELOID
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Program Pendidikan Kedokeran Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Falkutas Kedokteran Universtas Trisakti Rumah Sakit Umum Kardinah Tegal

Pembimbing: Dr. Sri Primawati Indraswari, Sp. KK

Penyusun: Andriati Nadhilah W 030.06.027

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Kardinah Tegal Periode 8 Oktober 10 November 2012 Falkutas Kedokteran Universitas Trisakti

LEMBAR PENGESAHAN
i

REFERAT

PENATALAKSANAAN KELOID
Oleh: Andriati Nadhilah W 030.06.027

Menyetujui:

Tegal, Pembimbing

2012

Koordinator Kepanitraan Klinik

Dr. Sri Primawati Indraswari, Sp. KK

Dr. Hj. Erna Khaeriyah

Kata Pengantar
ii

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya, penyusun dapat menyelesaikan Referat tentang Penatalaksanaan Keloid ini tepat pada waktunya. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas kepanitraan klinik bagian Ilmu Penyakit Kulitdan Kelamin Falkutas Kedokteran Universitas Trisakti di RSU Kardinah Tegal periode 8 Oktober 10 November 2012. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Sri Primawati Indraswari, Sp. KK atas bimbingannya dalam menyusun referat ini serta teman-teman dan semua pihak yang ikut membantu dalam menyeesaikan referat ini sehingga dapat selesai pada waktunya. Saya menyadari bahwa Referat ini masih jauh dari sempurna, dan atas segala keterbatasan yang kami miliki, maka semua saran dan kritik yang membangun akan kami terima dengan lapang hati. Besar harapan saya semoga referat yang saya susun ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi teman-teman klinik, pembaca dan saya sendiri.

Tegal, 20 Oktober 2012

Penyusun

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN .i


iii

KATA PENGANTAR ....ii DAFTAR ISI .iii BAB I. PENDAHULUAN..1 BAB II Definisi ....2 Epidemiologi ...2 Etiologi 3 Patofisiologi.....3 Manifestasi Klinik ...............5 Penatalaksanaan ......6 Konservatif...7 Silicone Gel Sheet8 Pembedahan.8 Bedah beku..9 Laser...10 Radioterapi.10 Pencegahan11 BAB III Kesimpulan................................................12 DAFTAR PUSTAKA ...13 BAB I PENDAHULUAN Keloid adalah pertumbuhan jaringan ikat padat hiperproliferatif jinak akibat respon penyembuhan luka abnormal. Keloid terjadi karena sintesis dan penumpukan kolagen yang berlebihan dan tidak terkontrol pada kulit yang sebelumnya terjadi trauma dan mengalami
iv

penyembuhan luka. (Robles & Berg, 2007; Harting dkk, 2008) Keloid berbeda dengan skar hipertrofik karena keloid menyebar melewati garis batas luka awal, menginvasi kulit normal di sekitarnya, tumbuh mirip pseudotumor dan cenderung rekuren setelah eksisi. (Urioste dkk, 1999; Harting dkk, 2008) Penanganan keloid merupakan tantangan bagi dermatolog, terutama karena respon terhadap pengobatan yang bervariasi. Berbagai metoda terapi telah dilakukan untuk mengobati keloid. Metoda terapi keloid yang banyak digunakan saat ini adalah kortikosteroid, pembedahan, radiasi, laser dan silicone gel sheets. Beberapa metoda lain, masih dalam taraf eksperimen, seperti interferon, bleomisin dan 5-fluorouracil. (Durani & Bayat, 2007) Keloid sering timbul kembali walaupun telah diterapi dengan berbagai teknik. (Jackson dkk, 2001) Sampai saat ini pun, belum ada baku emas penanganan keloid. (Sridharani dkk, 2010) Oleh karena itu, pemahaman mendasar tentang patogenesis, berbagai metoda penanganan dan pencegahan kekambuhan keloid penting untuk dimiliki oleh dokter yang akan menangani kondisi ini. Keloid dapat muncul pada daerah dada, bahu, punggung, leher belakang, dan daun telinga.4 Lebih sering muncul pada orang kulit hitam, Hispanik, dan Asia, dan jarang dijumpai pada Kaukasian. Pada wanita lebih sering dijumpai dari pada pria. Keloid lebih sering muncul pada 5ecade ketiga. Walaupun sering muncul pada daerah yang terkena trauma, namun dapat muncul secara spontan.4

BAB II Definisi Keloid adalah pembentukan jaringan parut berlebihan (pertumbuhan proliferatif) diatas permukaan kulit yang disebabkan oleh trauma atau luka dan bekas operasi karena sintesis dan deposisi yang tidak terkontrol dari jaringan kolagen pada dermis.1, 2

Gambar. Keloid Luka pada kulit seperti luka bakar, insisi pembedahan, ulkus dan lain-lain diperbaiki melalui deposisi dari komponen yang akan membentuk kulit baru. Komponen tersebut meliputi pembuluh darah, saraf, serat elastin (memberelastisitas kulit), serat kolagen (memberi ketegangan kulit), dan gliko-saminoglikan yang membentuk matriks di mana serat-serat struktural, saraf dan pembuluh darah berada.1,2 Pada beberapa orang, jaringan parut yang terbentuk akibat proses penyembuhan luka tumbuh secara abnormal menghasilkan jaringan parut hipertrofik atau keloid. Jaringan parut abnormal tersebut dapat menyebabkan gangguan psikis dan fungsional pada pasien dan penatalaksanaannya relatif sulit.1,2. Epidemiologi Keloid dapat diturunkan dominan dan resesif autosom. Meskipun dapat terjadi pada semua kelompok usia, jarang ditemukan pada bayi baru lahir atau orang tua dan memiliki kejadian tertinggi di individu yang berusia 10-20 tahun. Pada keloid tingkat kolagen lebih tinggi dibandingkan rata-rata jaringan parut. Keloid terletak di lokasi yang sebagian besar menjadi perhatian kosmetik, beberapa keloid dapat menyebabkan kontraktur, yang dapat mengakibatkan hilangnya fungsi jika diatasnya bersama atau dalam pengrusakan signifikan jika terletak di wajah. Keloid bentuk yang lebih sering pada orang Polinesia dan Cina daripada orang India dan Malaysia. Sebanyak 16% dari orang dalam sampling acak dari Afrika hitam dilaporkan memiliki keloid. Orang putih setidaknya umumnya terkena. Prevalensi ini telah dilaporkan lebih tinggi pada wanita muda dari pada laki-laki muda. Keloid mempengaruhi kedua jenis kelamin sama-sama dalam kelompok usia lainnya. Onset terjadi paling sering pada individu usia 10-30 tahun. Etiologi
vi

Selain trauma, faktor penyebab yang mungkin untuk terjadinya keloid masih belum bisa dijelaskan. Keloid biasanya berhubungan dengan faktor penyembuhan luka yang tidak baik seperti infeksi, luka bakar, inflamasi kronis, penutupan luka yang tidak adekuat, tegangan yang berlebihan, benda asing dan trauma berulang, namun dapat muncul pada luka yang bersih.8 Beberapa faktor lain yang diketahui berpengaruh adalah herediter dan ras, umur dan faktor endokrin, jenis luka dan lokasi trauma seperti yang telah dijelaskan diatas. Pathogenesis Secara umum, keloid timbul setelah cedera atau inflamasi kulit pada individu yang beresiko. Keloid dapat terjadi dalam jangka waktu satu bulan sampai satu tahun setelah trauma atau inflamasi. Trauma kulit pada dermis retikuler atau lapisan kulit lebih dalam lagi cenderung berpotensi menjadi skar hipertrofik dan keloid. Beberapa penyebab keloid yang sering dilaporkan adalah: akne, folikulitis, varicella, vaksinasi, tindik telinga, luka robek dan luka operasi. Luka kecil sekalipun, bahkan bintil bekas gigitan serangga dapatmenjadi keloid. Injeksi menggunakan jarum ukuran kecil, seperti injeksi anestesi lokal, biasanya tidak menimbulkan keloid. Keloid dapat terjadi pada injeksi yang memprovokasi inflamasi, seperti vaksinasi. Penelitian di Taiwan mendapatkan bahwa 10% remaja mendapat keloid pada tempat bekas injeksi vaksin Bacil Calmette Guerin (BCG). (Robles& Berg, 2007) Setelah terjadi trauma/luka, pada lokasi luka terjadi degranulasi platelet, aktifasifaktor pembekuan dan komplemen, mengakibatkan pembentukan bekuan fibrin untuk hemostasis. Bekuan ini selanjutnya berperan sebagai rangka untuk penyembuhan luka. Degranulasi platelet menyebabkan pelepasan dan aktifasi sitokin poten termasuk transforming growth factor- (TGF-), epidermal growth factor (EGF), insulin like growth factor-1 (IGF-1) dan platelet-derived growth factor (PDGF). Growth factor berfungsi merekrut dan mengaktifkan sel netrofil, epitel, endotel makrofag, sel mast dan fibroblas. 2 Penelitian lain tentang patogenesis keloid mendapatkan bahwa pada keloid terjadi downregulation gen yang terkait apoptosis. Selain itu pada biakan fibroblas keloid didapatkan produksi kolagen dan matriks metalloproteinase lebih besar dibandingkan fibroblas dermal normal. Berikut beberapa teori yang sering dianggap sebagai patogenesis keloid: Aktifitas Fibroblas Abnormal
8

vii

Fibroblas yang terdapat pada keloid memproduksi type I procollagen secara berlebihan. Secara in vitro, fibroblas keloid juga mengekspresikan lebih banyak vascular endothelial growth factor (VEGF), transforming growth factor-(TGF-)1/2, reseptor platelet derived growth factor (PDGF-) dan mengalami penurunan kebutuhan growth factor . Ladin dkk melaporkan bahwa fibroblas keloid mengalami penurunan frekuensi apoptosis. 9 Fibroblas keloid (FK) menghasilkan kolagen dalam jumlah banyak. Selain itu FK juga menghasilkan elastin, fibronektin, dan proteoglikan serta chondroitin 4 sulfat (C4S)lebih banyak dibanding fibroblas normal. Fibroblas keloid menghasilkan kolagen tipe I dan memiliki kapasitas untuk berproliferasi 20 kali lebih besar dibandingkan dengan fibroblasnormal. Reaksi Imunitas Abnormal Beberapa teori menyatakan bahwa keloid disebabkan oleh reaksi imun spesifik. Immunoglobin (Ig) yang meningkat pada keloid, adalah: IgA, IgG dan IgM. Pelepasan produk sel mast yang dimediasi oleh IgE juga berperan pada pembentukan keloid.Histamin berhubungan dengan sintesis kolagen karena menghambat enzim lysil oksidase kolagen yang berperan terhadap cross-linking kolagen, sehingga mengakibatkan peningkatan jumlah kolagen pada keloid. Aktifitas metabolik sel mast juga berperan danmendasari terjadinya rasa gatal yang sering menyertai kondisi ini. (Urioste dkk, 1999)4 Peningkatan Produksi Asam Hyaluronat Asam hyaluronat merupakan glikosaminoglikan yang terikat pada reseptor di permukaan fibroblas dan memiliki peranan penting dalam mempertahankan sitokin tetap terlokalisir dalam sel. Salah satu sitokin yang dimaksud adalah TGF-1. Produksi asam hyaluronat meningkat pada fibroblas keloid, dan kadarnya kembali normal setelah pengobatan dengan triamsinolon. Beberapa peneliti tidak setuju dengan teori ini, berdasarkan temuan kadar asam hyaluronat yang lebih rendah dalam dermis keloidal dibandingkan dermis normal.5 Pengaruh Melanin terhadap Reaksi Kolagen-kolagenase Peningkatan kadar melanin berpengaruh terhadap terjadinya akumulasi kolagen melalui mekanisme penurunan pH menjadi lebih asam sehingga kemampuan enzim kolagenase mendegradasi kolagen menjadi berkurang. Penelitian ini juga menjelaskan kejadian keloid pada
viii

kulit berwarna disebabkan karena keberadaan melanin yang lebih banyak akan mengganggu keseimbangan sintesis dan degradasi kolagen pada penyembuhan luka.4 Manifestasi klinik Secara klinis keloid merupakan nodul fibrosa, papul atau plak, keras, elastis, berkilat, tidak teratur, berbatas tegas, terdapat telangiektasis dan berwarna merah muda, merah sampai coklat gelap.2,3 Pasien sering mengeluhkan rasa gatal dan nyeri.3,5 Keloid cenderung tumbuh lambat lebih dari beberapa bulan sampai tahun. Secara histopatologis menunjukkan adanya hialinisasi serabut kolagen yang tersusun melingkar. Keloid biasanya diagnosis banding dengan skar hipertrofi, dermatofibroma dan dermatofibrosarkoma protuberans.2 Skar hipertrofi sama dengan keloid, namun secara klinis tinggi skarnya tidak tumbuh melebihi batas dari lukanya.3 Keloid tidak mengalami resolusi spontan, tetapi dengan pengobatan yang sesuai progresinya dapat dihambat. Keloid dapat menyebabkan terganggunya pasien secara fisik maupun psikologis dan menyebabkan dampak negatif pada kualitas hidupnya.2 Walaupun prevalensi keloid ini tinggi pada populasi umum, namun masih menjadi tantangan bagi dermatolog untuk menanganinya karena kekambuhan sering terjadi setelah penanganan. Penanganan kombinasi sepertinya merupakan stategi yang optimal.4 Terdapat beberapa penanganan pada keloid. Namun, tidak ada penanganan keloid yang dinyatakan 100% efektif.3 Ada beberapa penanganan keloid seperti kompresi, kortikosteroid intralesi, penggunaan silikon, vitamin dan bahan farmakologi secara topikal, pembedahan, bedah beku, laser, radioterapi, penanganan kombinasi dan beberapa penanganan keloid lainnya.1,3,6 Penatalaksanaan Keloid Penanganan keloid merupakan tantangan bagi dermatolog. Beberapa metoda terapi telah digunakan dengan tingkat keberhasilan bervariasi. Berdasarkan pemahaman tentang patogenesis keloid yang ada saat ini, terdapat tiga pendekatan terapi yang dapat digunakan:manipulasi terhadap aspek mekanis penyembuhan luka, koreksi terhadap ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi kolagen, dan perubahan responimun/inflamasi.2 Penanganan keloid merupakan masalah yang sulit, karena rendahnya respon penyembuhan terhadap berbagai terapi dan cenderung kambuh. Keloid yang hanya diterapi dengan pembedahan memiliki angka kekambuhan sampai 80%. Pada algoritma yang terdapat dalam referat ini, ukuran dan jumlah lesi keloid harus diukur dalam merencanakan penanganan keloid. Penggolongan ini penting karena lesi yang kecil (dini) dapat diterapi secara radikal dengan cara pembedahan dan terapi adjuvant. Terapi laser sebagai
ix

monoterapi juga efektif untuk terapi radikal keloid dini. Terapi konservatif non bedah, tidak efektif jika digunakan sebagai monoterapi.5 Diskusi dengan pasien untuk menentukan tujuan akhir terapi merupakan hal penting yang harus dilakukan dalam menangani keloid yang besar dan multipel. Pasien dengan keloid berukuran besar biasanya disertai infeksi dan nyeri, sehingga pengurangan ukuran massa keloid dan terapi simtomatik dengan berbagai modalitas terapi harus dipertimbangkan.5 Penanganan keloid yang paling sering digunakan dan paling sering dilaporkan efikasinya adalah injeksi kortikosteroid intralesi, bedah eksisi, 5-fluoruorasil, cryotherapy, laser, radiasi dan silicone gel sheeting.1, 8

A. Konservatif

Kortikosteroid Intralesi Kortikosteroid intralesi telah lama digunakan untuk terapi keloid karena memiliki respon yang baik, mudah digunakan dan efek samping yang rendah. Kortikosteroid intralesi menginhibisi pertumbuhan fibroblas dan produksi mediator inflamasi, mengurangi sintesis kolagen dan mengubah sintesis glykosaminoglikan sehingga mengurangi jumlah kolagen pada keloid. Secara klinis mengurangi rasa gatal, melembutkan dan meratakan lesi. Keloid yang besar memiliki respon yang baik dengan penanganan triamsinolon asetonid intralesi. Dapat dikombinasi dengan terapi lain untuk meningkatkan respon dan efikasi terapi. Kekambuhan sering dan dapat muncul dalam beberapa bulan atau tahun. Dosis triamsinolon asetonid yang diperlukan untuk terapi keloid lebih tinggi daripada untuk penyakit lain. Robles menganjurkan Dosis yang digunakan untuk kotikosteroid intralesi 10-40 mg/mL dengan interval 4-6 minggu dan batas dosis perbulan dari
x

triamsinolon asetonid adalah 20 mg, tergantung dari ukuran, lokasi dan respons keloid. Injeksi KIL menyebabkan keloid jadi mendatar, lebih lunak dan meringankan gejala nyeri dan gatal. Efek samping kortikosteroid intralesi yang bisa muncul termasuk hiper-hipopigmentasi, atropi, dan telangiektasi. Sedangkan efek samping sistemik jarang muncul pada kortikosteroid intralesi. Namun injeksi kostikosteroid ini sering tidak nyaman bagi pasien, tidak praktis dan sulit dilakukan pada keloid yang besar dan atau keras juga multipel.3 5-Fluorouracil 5-Fluorouracil (5-FU), merupakan analog pirimidin yang banyak digunakan dalam pengobatan kanker dan glaukoma. Dalam sel 5-FU dikonversikan menjadi substrat aktif yang menghambat sintesis DNA dengan cara kompetitif terhadap penggabungan urasil. Penelitian terbaru mendapatkan bahwa 5-FU memiliki efikasi yang baik untuk menangani keloid. Kemampuan 5-FU untuk untuk mengganggu TGF-b signaling merupakan dasar penggunaan 5-FU untuk menghambat pembentukan keloid. Teknik yang digunakan dalam penelitian efikasi 5-FU terhadap keloid adalah dengan injeksi intralesi atau menempatkan kain yang sebelumnya direndam dengan 5-FU selama 5 menit sebelum luka ditutup. Efek samping yang sering terjadi adalah nyeri di lokasi injeksi, ulserasi dan rasa terbakar. 10, 11 Penelitian Kontochristopoulos dkk menggunakan injeksi 5-FU intralesi dengan interval 1 pekan, sebanyak 6 kali, mendapatkan hasil yang baik. Perbaikan secara klinis dibuktikan juga dengan temuan histopatologi berupa; berkurangnya jumlah hyalinized collagen fibers, berkurangnya prominent vascularity, pendataran papila dermis tanpa tanda atrofi, pigmentary incontinence, penurunan ekspresi Ki-67 dan penurunan ekspresi TGF-b. Ki-67 adalah petanda proliferasi sel. Fitzpatrick juga melaporkan perbaikan klinis pada keloid yang diterapi dengan injeksi intralesi 5-FU, walaupun bukan sebagai terapi tunggal. 1, 9, 10, 12 Karena terapi 5-FU sistemik dihubungkan dengan anemia, leukopenia dan trombositopenia, maka pasien harus dimonitor gambaran darah tepinya secara ketat. Terapi menggunakan 5-FU juka tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau menyusui dan pada pasien dengan bone marrow suppression.9, 10, 12 B. Penggunaan Silikon gel sheeting Pemberian silikon gel sheeting secara topikal merupakan alternatif lain untuk penanganan keloid. Silikon ini dapat melembutkan dan menurunkan pruritus, merah dan nyeri.4 Penggunaan
xi

silikon sedikitnya 12 jam perhari atau dua kali sehari dalam beberapa bulan agar efektif. Dapat digunakan sebagai terapi tambahan seperti pada terapi pembedahan, kortikosteroid intralesi dan laser. Silokon gel sheet ini merupakan campuran dan kombinasi dari beberapa ekstrak herbal dan derivate silicone. Oleh ahli international merekomendasikan silikon gel ini sebagai profilaksis lini pertama setelah bedah eksisi. Namun, ada sebuah penelitian lanjutan yang dilakukan oleh seorang ahli dari Thailand Muangman dkk tahun 2001, tentang pengunaan gel ini sebagai penanganan keloid.4 Cybele Scagel adalah kombinasi dari ekstrak herbal dan turunan silicon dalam bentuk preparat gel yang terdiri dari 12% A. cepa (0nion extract), 1% allantoin, asiaticoline (ekstrak daun gotu kola), ekstrak lidah buaya (Aloe barbadensis), Kazinol F (ekstrak paper mulberry), ekstrak tamarind, dan nano hydroxyproline C yang dibuat untuk mengobati parut hipertrofik. Pada penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa penggunaan obat topkal ini dapat mengurangi rasa nyeri dan gatal-gatal setelah epitelisasi pada luka bakar dan dapat mencegah terbentuknya parut hipertrofik setelah luka bakar (Muangman dkk., 2011). Penelitian ini dirancang untuk menilai manfaat dan potensi Cybele Scagel dalam pencegahan parut hipertrofik dan keloid. 4 Sampai saat ini tidak ditemukan ada efek samping dalam penggunaan gel ini. C. Pembedahan Bedah eksisi merupakan cara penanganan keloid yang pertama kali dikenal. Pertama kali dilakukan oleh Druit di tahun 1844 dan disempurnakan oleh De Costa pada tahun 1903. Secara umum pembedahan diperlukan sebagai terapi lini kedua untuk lesi yang tidak berespon terhadap terapi lain. Selain itu bedah eksisi juga dilakukan pada lesi keloid yang luas sehingga membutuhkan debulking lebih dahulu sebelum terapi lain dilakukan. Bedah eksisi merupakan lini kedua dalam penanganan keloid. Penanganan ini bukan hanya invasif tetapi juga memiliki angka kekambuhan yang tinggi yaitu sekitar 50%. Pada keloid yang kecil dapat langsung ditutup dan pada keloid yang besar dapat menggunakan skin graf namun dapat menyebabkan keloid pada daerah donor. Untuk menghindarinya dapat digunakan autograf. Pada metode ini menggunakan kulit dari keloid untuk menutupi defek setelah dilakukan pembedahan debulking. 3 Banyak teknik yang berkembang untuk debulking ini, seperti penggunaan suction-assisted lipectomy, aspirator bedah ultrasonik dan rekonstruksi bedah mikro dengan menggunakan arthroscopic shaver. Bedah eksisi merupakan prosedur yang sering digunakan untuk tindakan
xii

debulking.3 Pada bedah eksisi dapat dilakukan debulking parsial untuk mengurangi ketebalan dari tumor. Kuretase sebagai prosedur pada tindakan debulking baik untuk mengangkat massa tumor nodular yang lembut, namun tidak efektif dilakukan untuk mengangkat tumor apabila didapati jaringan tumor dan fibrosis bersama-sama. Kuretase jarang dilakukan sebagai prosedur debulking sedangkan debulking eksisi dilakukan lebih dari 90% pada tumor. Tindakan debulking digunakan pada tumor yang terlihat oleh mata. Setelah dilakukan tindakan debulking maka penyuntikan kortikosteroid intralesi akan lebih mudah dan waktu penyuntikan yang diperlukan pun akan lebih singkat. Tidak ada komplikasi yang terjadi seperti nekrosis flap, infeksi, bentuk yang irregular, seroma atau hematoma pada salah satu penelitian dengan penggunaan teknik debulking. Terapi tambahan setelah operasi seperti injeksi steroid sebaiknya dipertimbangkan.3 Kombinasi tindakan debulking dengan injeksi kortikosteroid intralesi beberapa waktu setelah pembedahan menjamin tidak terganggunya penutupan defek dan resolusi yang cepat dibandingkan bila penggunaan teknik secara sendiri-sendiri. Injeksi triamsinolon asetonid dapat dilakukan 3-4 minggu setelah operasi. Dari kebanyakan penelitian didapati bedah eksisi dikombinasi dengan injeksi steroid menunjukkan kekambuhan kurang dari 50%. D. Bedah Beku Bedah beku atau cryotherapy menggunakan refrigerant, sebagai terapi tunggal atau dikombinasi dengan injeksi KIL telah lama digunakan sebagai terapi keloid. Metoda aplikasi cryotherapy adalah dengan cara ditempelkan, disemprotkan, dan disuntikkan intralesi.2, 3 Kelebihan dari bedah beku ini secara langsung menyebabkan stasis dan pembentukan trombus sehingga terjadi nekrosis serta perlunakan dan pendataran keloid. Secara in vitro, cryotherapy mampu mengubah sintesis kolagen dan differensiasi keloidal collagen menjadi normal. Kelemahan dari bedah beku cryotherapy adalah nyeri yang ditimbulkan cukup berat danwaktu penyembuhan yang lama, sehingga pasien sering tidak datang kembali. Metoda inimemerlukan kombinasi dengan cara pengobatan lain. Pada pasien dengan warna kulitgelap dapat terjadi efek hipopigmentasi, yang dapat menimbulkan masalah baru.4 E. Laser Laser memiliki harapan baik untuk penanganan terhadap keloid. Pulsed-dye laser (PDL) memberikan angka respon yang baik dan menurunkan kekambuhan. Mekanisme kerjanya masih belum jelas. Diketahui PDL 585 nm memiliki target pembuluh darah yang menyebabkan fototermolisis selektif. Sehingga pembuluh darah yang berlebihan pada keloid dapat dihancurkan,
xiii

selanjutnya terjadi hipoksia lokal. Hasilnya peningkatan asam laktat yang menstimulasi kolagenase dan penghancuran kolagen.3,
9

Dapat dikombinasi dengan injeksi kortikosteroid.4,

Laser

karbondioksida (CO2) merupakan salah satu jenis laser yang pertama kalidigunakan untuk terapi keloid. Pada tahun 1982 continous wave CO2 laser sukses dalameksisi keloid. Keuntungan laser adalah bersifat non traumatik dan memiliki efek antiinflamasi. Namun selanjutnya didapat bahwa eksisi keloid menggunakan continous wave CO2 laser yang dilanjutkan dengan penyembuhan luka sekunder, gagal menekan pertumbuhan dan mencegah rekurensi keloid. Saat ini laser CO2 digunakan untuk debulking keloid berukuran besar, sebelum terapi lain dimulai.2 F. Radioterapi Penanganan keloid hanya menggunakan radioterapi dinyatakan tidak dapat dipercaya. Hasil yang lebih baik didapati bila dikombinasi dengan pembedahan dengan tingkat kekambuhan yang lebih rendah dan merupakan salah satu cara yang efektif.4,
8, 9

Radiasi dilakukan segera setelah

pembedahan. Pada salah satu penelitian, pasien mendapat radiasi 1500-2000 rad. Hati-hati penggunaan luas dari radiasi ini, karena ditakutkan efek karsinogenesisnya. Efek samping yang sering terjadi adalah transient erythema dan hiperpigmentasi. Terapi radiasi memiliki resiko karsinogenesis, sehingga walaupun resiko ini kemungkinan kecil terjadi pada keloid, pasien harus tetap diberitahu agar waspada karena secara teori hal itu mungkin terjadi. Terapi ini sebaiknya dilakukan pada pasien dewasa dan kecacatan yang bermakna akibat keloid, yang gagal dengan penanganan keloid lain.9 Pencegahan Pencegahan pembentukan keloid merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam penanganan keloid. Klinisi harus waspada terhadap faktor resiko keloid, termasuk riwayat keloid, riwayat keloid dalam keluarga, tension di lokasi trauma dan warna kulit gelap. Keloid timbul jika sebelumnya terjadi cedera kulit walaupun cedera tersebut ringan sekali. Keloid juga dapat berasal dari proses inflamasi yang lemah, termasuk akne dan injeksi. Perhatian khusus harus diberikan ketika mengobati pasien dengan riwayat keloid. Faktor yang dapat dikelola untuk mencegah terjadinya keloid adalah daya mekanik luka (stretching tension), pencegahan infeksi luka dan reaksi benda asing.7 Beberapa hal penting untuk mencegah keloid adalah:5 1. Hindari gerakan berlebihan yang dapat meregangkan luka
2. Gunakan perban dan kain pembalut luka dengan tepat. xiv

3. Hindarkan luka dari daya mekanis langsung (misalnya gesekan dan garukan)
4. Gunakan gel sheeting dan plester perekat. 5. Untuk pasien dengan luka di telinga, kurangi kontak dengan bantal ketika tidur,untuk

mencegah gesekan.
6. Untuk pasien wanita dengan luka di dada, gunakan bra dan pakaian dalam ketatuntuk

mencegah regangan kulit yang disebabkan oleh berat payudara. 7. Untuk pasien dengan luka di supra pubik, dianjurkan untuk memakai korset. 8. Setelah pembedahan dan trauma, luka yang terjadi harus dijaga tetap bersih dengancara melakukan irrigasi dan mengoleskan obat antibakteri atau antijamur.
9. Setelah pembedahan dan trauma, hindari kontak antara dermis daerah luka (termasuk lubang

tindik telinga) dengan benda asing. 7

BAB III KESIMPULAN Penanganan keloid merupakan tantangan bagi dermatolog. Beberapa metoda terapi telah digunakan dengan tingkat keberhasilan bervariasi. Berdasarkan pemahaman tentang patogenesis keloid yang ada saat ini, terdapat tiga pendekatan terapi yang dapat digunakan:manipulasi terhadap aspek mekanis penyembuhan luka, koreksi terhadap ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi kolagen, dan perubahan responimun/inflamasi. Terdapat algoritma penanganan yang cukup baik, namun diskusi dengan pasien untuk menentukan tujuan akhir terapi merupakan hal penting yang harus dilakukan dalam menangani keloid.

xv

DAFTAR PUSTAKA 1. Hartyng M, Hicks MJ, Levy ML. Dermal hypertrophies. In: Wolff K, et al, editor.
Fitzpatricks dermatology in general medicine. 7 Edition. New York: Mc. Graw Hill, 2008. h.
th

553-4
2. Thompson. Lester. 2001. Skin Keloid. ENT Journal. 3. Butler, P.D., Longaker, M.T., Yang, G.P. Current progress in keloid research and

treatment. J Am Coll Surg. 2008 206:731-41


4. Urioste, S.S., Arndt, K.A., Dover, J.S. Keloids and hypertrophic scars: Review and

treatment strategies. Seminars in Cutaneous Medicine and Surgery 1999, 18(2):159-71


5. Berman, B., Villa A.M., Ramirez, C.C. 2005. Novel opportunities in the treatment and

preventionof scarring. J Cutan Med Surg 32-6.


6. Muangman P, Aramwit P, Palapinyo S, et al. Efficacy of the combination of herbal

extracts and a silicone derivative in the treatment of hypertrophic scar formation after burn injury. African Journal of Pharmacy and Pharmacology Vol. 5(3), pp. 442 - 446, March 2011.
xvi

7. Ogawa R. The most current algorithms for the treatment and prevention of

hypertrophicscars and keloids. Plast Reconstr Surg.2010, 125:557-68.


8. Steifert O, Mrowietz U. 2009. Keloid scarring: bench and bedside. Arch Dermatol Res

301:259-72
9. Robles, D.T., Berg, D. 2007. Abnormal wound healing: keloids. Clinics in

Dermatology 25:26-32.
10. Robles, DT., Moore, E., Draznin M., Berg D. 2007. Keloids : Pathopysiology and

Management. Dermatology Online Journal 13 (3):9 11. Agung G. I. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin; Tumor Kulit: Tumor Jinak kulit; 5th ed, p. 230. ed: Djuanda A, Hamzah M, Aishah S. Falkutas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2009 12. Sridharani, S.M., Magarakis, M., Manson, P.N., Singh, N.K., Basdag, B., Rosson, G.D. The emerging role of antineoplastic agents in the treatment of keloids and hypertrophic scars. Annals of Plastic Surgery, 2010; 64:355-61

xvii

You might also like