You are on page 1of 7

KAJIAN PENERAPAN MANAJEMEN KESELAMATAN KEBAKARAN ( FIRE SAFETY MANAGEMENT ) PADA BANGUNAN GEDUNG TINGGI DI INDONESIA Kebakaran merupakan

bencana yang merugikan bagi semua pihak, baik pemilik bangunan, pengelola/pengguna atau masyarakat lainnya yang berada dalam gedung. Di Jakarta data tahun 2001, kerugian akibat kebakaran mencapai 102 milyar rupiah. Seiring meningkatnya ukuran dan kompleksitas bangunan gedung, sudah seharusnya pula diiringi dengan peningkatan perlindungan terhadap masyarakat. Berbagai kejadian yang menimpa bangunan gedung tinggi akibat kebakaran atau emergency lainnya baik karena akibat kelalaian atau sebab lain seperti kasus kebakaran sejumlah bangunan di pusat bisnis Pontianak baru-baru ini ( Nopember 2003 ) dan Hotel Perdana Wisata ( 2002 ), atau pun akibat kesengajaan ( arsom fire ) seperti kasus di gedung WTC ( 2001 ), gedung JW Marriot ( 2003 ), dan hotel Harmoni Nagoya Batam ( 2003 ), telah menyadarkan pentingnya penerapan Fire Safety Management ( FSM ). Penerapan FSM telah dipersyatkan dalam Kepmeneg PU No. 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran Perkotaan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar bangunan tinggi belum menerapkan system FSM dengan baik dan konsisten. Undang-Undang Bangunan Gedung ( UUBG2002 ) yang mensyaratkan aspek keselamatan bangunan perlu ditindaklanjuti dengan penerapan pedoman teknis seperti FSM dan Rencana Tindak Darurat Kebakaran atau Fire Emergency Plan (FEP) yang merupakan sub bagian dari FSM. Berdasarkan kondisi yang ada saat ini, permasalahan yang masih terjadi pada bangunan tinggi adalah belum efektifnya system Manajemen Keselamatan Kebakaran yang diterapkan pada sebagian besar bangunan gedung tinggi yang ada di beberapa kota besar di Indonesia, sehingga keselamatannya kurang terjamin. Ada banyak faktor yang mempengaruhi pelaksanaan FSM yang akan coba digali padakajian ini. FIRE SAFETY MANAGEMENT DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN LEGAL Undang-undang Bangunan gedung Jaminan keselamatan bagi penghuni yang berada dalam bangunan, secara legal telah menjadi persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu bangunan gedung. Hal ini dituangkan melalui persyaratan keandalan yang harus dipenuhi oleh suatu bangunan gedung. Undang-undang no. 28/2002 tentang Bangunan Gedung pasal 16 butir 1 menyatakan : Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3), meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. Sedangkan pada pasal 17 butir 1 : Persyaratan keselamatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) meliputi persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, serta kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dalam bahaya petir. Pada UUBG 2002, memang tidak disebutkan secara langsung, mengenai

kewajiban pembentukan manajemen keselamatan kebakaran pada bangunan. Namun dalam system proteksi kebakaran., dikenal apa yang disebut sebagai segitiga proteksi, dimana manajemen keselamatan kebakaran (FSM) menjadi salah satu komponen tak terpisahkan, selain dua komponen lainnya : system proteksi aktif dan system proteksi pasif. Kepmenneg PU no. 10/KPTS/2000 Untuk menjamin keselamatan terhadap bahaya kebakaran baik pada penghuni bangunan dan lingkungan yang dapat terjadi sewaktu-waktu maka diperlukan upaya pengawasan dan pengendalian yang sistematis terhadap bahaya kebakaran dalam bangunan gedung. Dalam Bab VI butir 5.4, sebagai upaya jaminan keandalan system adalah : Unsur manajemen pengamanan kebakaran (fire safety management), terutama yang menyangkut kegiatan pemeriksaan, perawatan dan pemeliharaan, audit keselamatan kebakaran, dan latihan penanggulangan kebakaran harus dilaksanakan secara periodic sebagai bagian dari kegiatan pemeliharaan sarana proteksi aktif yang terpasang pada bangunan. Kepmenneg PU no.11/KPTS/2000 Dalam Kepmenneg PU no. 11/KPT/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan, Bab IV Manajemen Penanggulangan Kebakaran Bangunan Gedung, Klausul 1.1 point 1, mensyaratkan adanya manajemen keselamatan kebakaran pada suatu bangunan gedung : Setiap bangunan umum termasuk apartemen yang berpenghuni minimal 500 orang, atau yang memiliki luas lantai minimal 5.000 m2, atau mempunyai ketinggian bangunan lebih dari 8 lantai, atau bangunan rumah sakit, diwajibkan menerapkan Manajemen Penanggulangan Kebakaran (MPK). Tujuan adanya Manajemen Penanggulangan Kebakaran (MPK) ini, masih dalam Kepmen yang sama, sebagaimana disebutkan dalam Bab IV klausul 2.1 pointi 2 : Bangunan gedung melalui penerapan MPK harus mampu mengatasi kemungkinan terjadinya kebakaran melakui kesiapan dan keandalan system proteksi yang ada, serta kemampuan petugas menangani pengendalian kebakaran, sebelum bantuan dari instansi pemadam kebakaran tiba. Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa menjadi kewajiban bagi pemilik/penggelola bangunan gedung untuk menjamin keselamatan penghuni bangunan gedung melalui penerapan MPK. PENGENALAN JENIS BANGUNAN Bangunan Perkantoran Bangunan perkantoran mempunyai ciri yang membedakannya dari bangunan perdagangan/pusat perbelanjaan yang akan diuraikan pada bagian selanjutnya. Menurut NFPA hunian perkantoran (business occupancy) umumnya memiliki kerapatan penghunian yang lebih rendah dibandingkan dengan hunian perdagangan (mercantile occupancies) dan penghuni biasanya lebih families dengan suasana sekelilingnya. Pada hunian perkantoran jumlah kandungan bahan mudah terbakar bervariasi, pada kondisi tertentu dapat sebanyak hunian perdagangan dan untuk jalur penyelamatan barangkali bangunan perkantoran memiliki jalur penyelamatan yang membingungkan dan tidak langsung, sering terjadi disebabkan oleh tata letak kantor atau susunan ruang yang disewakan.

Bangunan Perhotelan Menurut NFPA 1 dan NFPA 101, hunian perhotelan bersama dengan motel, asrama, apartemen, dan arumah tinggal termasuk dalam hunian tempat tinggal (residential occupancies). Hunian tempat tinggal ini dicirikan oleh penghuni yang akan tidur untuk sebagian waktu yang dipergunakan dalam menghuni bangunan tersebut. Oleh karenanya, mereka mungkin tidak menyadari akan timbulnya api penyebab kebakaran dan mungkin akan terjebak / tertahan sebelum penyelamatan dapat dilakukan. Pada hunian tempat tinggal ini terdapat derajat bahaya tertentu yang diakibatkan oleh aktifitas memasak dan derajat pengenalan terhadap lingkungan sekitar. Pada bangunan perhotelan, umumnya penghuni tidak familier terhadap lingkungan oleh sebab umumnya penghuni hanya tinggal untuk sementara. Ketidak familieran terhadap kondisi sekitar dan kemungkinan dalam keadaan tidur ketika kebakaran terjadi menempatkan tamu hotel dalam bahaya / resiko tertentu. Permasalahan yang lain, konfigurasi tipikal bangunan hotel yang sering mensyaratkan penyelamatan tamu hotel dengan melintasi koridor dalam yang penuh dengan bahan pengekspos panas dan asap sungguh berbahaya bagi tamu tersebut. Oleh karenanya NFPA mensyaratkan keharusan pemasanganspringkler pada bangunan hotel ini dan harut hotel emergency organization dengan segenap kewajibannya. Bangunan Rumah Sakit Bangunan rumah sakit (hospital) menurut NFPA, dipergunakan untuk tujuan medis atau perawatan untuk seseorang yang menderita sakit fisik ataupun mental, menyediakan fasilitas untuk istirahat . tidur untuk 4 atau lebih penghuni. Penghuni ini (orang yang dirawat) karena kondisinya tidak mampu melayani dirinya sendiri. Bangunan rumah sakit sebagai bagian dari jenis hunian untuk perawatan kesehatan, per definisi menurut NFPA, dipergunakan 24 jam untuk tujuan perawatan medis, psikiatrik (perawatan jiwa), obstetric (kebidanan) atau bedah bagi 4 atau lebih penderita. Melihat kodisi / karakteristik spesifik penghuni dari bangunan Rumah Sakit tersebut, NFPA code baik untuk pencegahan kebakaran (NFPA 1 Fire Prevention Code) maupun untuk keselamatan jiwa (NFPA 101 Life Safety Code) sangat memperhatikan masalah pelayanan pihak terkait yang bertugas terhadap pasien, perencanaan evakuasi (evacuation plan), latihan penyelamatan darurat kebakaran (fire exit drill), prosedur baku dalam kasus kebakaran, pemeliharaan sarana jalan ke luar (eksit), pembatasan dalam aktiafitas merokok, pengaturan tempat tidur, tingkat bahaya dari bahan perabotan dan interior ruangan. HASIL SURVEY LAPANGAN Telah dilakukan survey pada bangunan gedung yang melibatkan 64 bangunan gedung terdiri dari : 30 bangunan hotel, 12 bangunan perkantoran, 11 bangunan rumah sakit, dan 11 bangunan pusat belanja. Responden tersebar di kota-kota besar Indonesia : Dari hasil survey, diperoleh data-data dan informasi terkait pelaksanaan FSM sebagai berikut : 1) Pada umumnya, manajemen bangunan gedung mengklaim telah melaksanakan manajemen keselamatan kebakaran. Sebanyak 73% dari responden mengaku telah menerapkan FSM, 16% menjawab tidak memiliki FSM khusus, dan 11% tidak memberikan jawaban. Namun, sejauh mana klaim tersebut dibuktikan? Hal ini

dapat diidentifikasi dari seberapa baik tugas-tugas manajemen keselamatan kebakaran dilaksanakan. Sebagai contoh, hanya 70& dari manajemen hotel yang pernah melakukan latihan kebakaran fire drill, angka ini hanya mencapai 59% pada bangunan perkantoran, dan 45% pada rumah sakit. Pelaksanaan tugas-tugas Salah satu kendala dalam pelaksanaan FSM adalah personil. Kendala ini dapat berupa jumlah personil yang tidak sesuai dengan kebutuhan ataupun personil yang ada tidak memiliki kualifikasi yang diharapkan dalam bidang fire safety. Tentang jumlah personil diperolah data, jumlah personil yang terlibat berada pada kisaran 3 sampai 90 orang . (lihat Gambar 6 ). Banyak factor yang mempegaruhi kisaran jumlah personil yang diperlukan dalam FSM, diantaranya adalah kompleksitas dan jumlah penghuni bangunan gedung. Tidak diperoleh data yang meyakinkan tentang jumlah alokasi biaya untuk keperluan pelaksanaan FSM. Sebagian besar responden memilih untuk tidak memberikan keterangan. Namun dari data yang masuk terdapat range yang besar pada jumlah biaya FSM, dari yang hanya dianggarkan Rp. 3 juta per tahun tetapi ada juga yang mencapai Rp. 200 juta per tahun. DISKUSI Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh mengenai pelaksanaan manajemen keselamatan kebakaran pada bangunan gedung, selanjutnya disusun mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan manajemen keselamatan kebakaran. Faktor-faktor tersebult, baik internal (yang berkaitan dengan lingkungan unit kerja) maupun eksternal (yang berkaitan dengan stakeholder lainnya)., yang berpengaruh positif maupun negative, selanjutnya dipetakan. Pada penelitian ini digunakan metode SWOT (Strengh=kekuatan,Weaknesses=kelemahan,Opportunities=peluang,Threats=anca man). Biaya kerugian akibat kebakaran Kebakaran menimbulkan kerusakan disekitarnya. Contoh yang paling mudah adalah korban luka atau korban jiwa, kerusakan lingkungan, rusaknya kekayaan, baik fisik maupun immateri seperti trademark, hubungan dengan pelanggan, atau gangguan terhadap organisasi. Jenis kerugian yang paling mudah dikuantifikasi adalah kerugian material, seperti kerusakan barangbarang, dan lain-lain. Jenis kerugian ini dapat dengan mudah dikonversi ke nilai uang, Kerugian lainnya yang lebih sulit untuk dinilai dengan uang adalah kehilangan data dan informasi yang rusak akibat terbakar, seperti dokumen-dokumen penting perusahaan, dan sebagainya. Biaya untuk proteksi kebakaran Sarana proteksi kebakaran pada bangunan gedung adalah kombinasi dari unsur yang bersifat organisasi dan unsur teknikal. Unsur yang bersifat organisasi meliputi pengembangan rencana tindak darurat, kebijakan, pelatihan personil, pengendalian internal, dan distribusi tanggung jawab. Sedangkan unsure teknik dalam proteksi kebakaran meliputi sejumlah system dan fungsi dalam bangunan yang bertujuan untuk melindungi orang dan property dari luka atau rusak akibat terbakar. Termasuk dalam biaya ini adalah biaya untuk penggantian atau pemeliharaan peralatan proteksi kebakaran yang telah terpasang.

Biaya asuransi Kaitannya dengan asuransi, bangunan-bangunan gedung yang sudah diasuransikan biasanya tidak memikirkan biaya kerusakan akibat kebakaran, karena semua kerugian itu akan ditanggung oleh pihak asuransi. Masalahnya akan menjadi lain apabila premi yang harus dibayarkan oleh suatu bangunan gedung yang memiliki system proteksi dapat lebih murah dibandingkan bangunan gedung dengan proteksi yang rendah? Dari studi ini tidak diperoleh relasi yang jelas mengenai peran asuransi dalam pembiayaan proteksi kebakaran pada bangunan gedung. Apabila bangunan dengan proteksi yang baik berpeluang untuk mendapatkan premi yang lebih murah, hal ini tentu akan dapat mengurangi bebanbiaya yang harus dikeluarkan oleh pihak pengelola gedung kaitannya dengan proteksi kebakaran. Biaya pengembangan standard an pemberlakuannya dan layanan umum Biaya ini tidak secara langsung berkaitan dengan operasional bangunan gedung, yaitu biaya pengembangan standar pada skala nasional kemudian proses pemberlakuannya di daerah-daerah. Termasuk dalam biaya ini adalah retribusi yang dipungut oleh pemerintah daerah untuk keperluan layanan institusi pemadam daerah. Selanjutnya biaya-biaya tersebut dibandingkan dengan manfaat yang akan diperoleh oleh pihak pengelola dengan penyediaan proteksi yang baik. Diantara manfaat yang diperolah misalnya nama baik, meningkatnya tingkat hunian, dan sebagainya, yang kemudian dikonversi ke nilai uang. Semua perhitungan tersebut dilakukan untuk jangka waktu lifetime bangunan secara keseluruhan. Dengan menganalisis cost-benefit dari penyediaan proteksi keakaran, mungkin biaya yang harus dikeluarkan oleh pengelola tidak akan dirasakan sebagai beban, bahkan sebuah investasi. Indikasi Kualitas Penerapan FSM Persoalan selanjutnya adalah bagaimana diketahui bahwa suatu bangunan telah menerapkan FSM dengan baik? Apakah bangunan gedung yang tidak ada histori kebakaran dapat disebut telah menerapkan FSM degnan biak? Apakah ahrus menunggu bangunan tersebut terbakar kemudian dilihat bagaimana kesiapan pihak manajemen dalam menghadapi keadaaan tersebut. Tentunya tidak perlu semahal itu untuk mengetahui kualitas penerpan FSM pada suatu bangunan gedung. Salah satu yang dapat dijadikan sebagai indikasi kualitas penerapan FSM adalah kelengkapan dokumen-dokumen FSM, misalnya dokumen Rencana Tindak Darurat Kebakaran (RTDK), daftar inventaris dan lokasi instalasi kebakaran, foarm-form pemeriksaan dan pengujian instalasi kebakaran, dan dokumen terkait lainnya. Bukti lainnya bahwa FSM telah diterpkan dengan baik misalnya (Fire Strategy, FRCG): Pemahaman dan perhatian pada keseluruhan strategi keselamatan kebakaran RTDK yang diketahui secara umum oleh seluruh penghuni bangunan Apresiasi yang baik terhadap fire hazard. Kemauan untuk mengubah tingkah laku yang membahayakan

Tidak ada jalur exit yang terblok, tumpukan barang, yang membahayakan. Elemen sentral dalam strategi pencegahan dan penanggulangan kebakaran adalah penerapan dan kualitas FSM. Bisa jadi, sebuah bangunan gedung dilengkapi dengan proteksi aktif yang hebat dan memiliki rancangan proteksi pasif yang baik, akan tetapi semua itu tidak akan banyak berguna sepanjang waktu apabila prinsipprinsip manajemen keselamatan kebakaran tidak diaplikasikan. KESIMPULAN DAN SARAN Perlindungan dari bahaya kebakaran telah menjadi persyaratan penting yang harus dipenuhi oleh suatu bangunan gedung. Meskipun mengalami perkembangan yang positif, kebakaran masih menjadi masalah bagi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari statistic kerugian yang dialami akibata kebakaran. Salah satu upaya yanga telah dilakukan pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat adalah dengan terbitnya UU No. 28 tahun 2002 tentang bangunan Gedung yang mensyaratkan keandalan bangunan, dimana keselamatan kebakaran menjadi salah satu bagiannya. Manajemen keselamatan kebakaran (Fire Safety Manajemen) menjadi salah satu elemen penting yang harus diterapkan pada bangunan gedung untuk mencapai keandalan gedung dari aspek keselamatankebakaran seperti disyaratkan. Kesimpulan Dari kajian yang telah dilakukan mengenai penerapan FSM pada bangunan gedung, di Indonesia, beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut: Pada dasarnya, FSM sudah diterapkan pada bangunan-bangunan gedung, meskipundengan foarmat yang berbeda-beda. Dari hasil survey diperoleh bahwa bangunanperhotelan relative lebih baik dalam hal kesadaran penerapan FSM dibandingkanbangunan perkantoran atau rumah sakiat. Walaupun demikian, masih ada pihakmanajemen bangunan yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang FSM. Dari hasil survey, kendala-kendala yang dihadapi dalam penerapan FSM antara lain : - Kurangnya personel - Kurangnya pelatihan personel - Kurangnya kemauan personalia - Sulit koordinasi antar personel - Kurangnya pengetahuan tentang FSM - Kuranagnya minat pada fire safety - Tidak ada tenaga ahli - Tidak konsisten - Belum terorganisir dengan baik - Kurangnya dukungan dana - Kurangnya sarana dan fasilitas - Belum ada kebijakan - Tidak ada dukungan atasan - Waktu - Komplain dari penghuni (tamu hotel) pada saat pelaksanaan latihan kebakaran

Kurangnya pemahaman tentang FSM memunculkan persepsi yang salah terhadap proteksi kebakaran. Proteksi kebakaran masih dianggap sebagai beban yang harus ditanggung oleh pengelola bangunan, bukan sebagai tanggung jawab. Perlunya disusun panduan generic untuk membantu para pengelola bangunan gedung dalam membentuk FSM. Saran Masih diperlukan upaya sosialisasi dan konsultansi mengenai penerapan peraturan perundang-undangan yang mengatur bangunan gedung, khususnya penerapan FSM. Perlu kajian lebih lanjut megnenai aspek pembiayaan dalam bidang, keselamatan kebakaran pada bangunan gedung. Kajian ini diperlukan untuk memberikan dasar pemahaman kepada pihak pengelola gedung mengenai pertimbangan cost-benefit proteksikebakaran pada bangunan gedung.

You might also like