You are on page 1of 23

trauma maksilofasial

BAB I PENDAHULUAN Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.1 Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi terjadinya kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat mengalami cacat permanen. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin. 1 Cedera maksilofasial, juga disebut sebagai trauma wajah, meliputi cedera pada wajah, mulut dan rahang. Hampir setiap orang pernah mengalami seperti cedera, atau mengetahui seseorang yang memiliki.1 Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma maksilofasial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta menggunakan penerangan yang baik. Trauma pada rahang mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak,hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Namun, trauma pada rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut terjadi mungkin disebabkan adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien dengan kesadaran yang menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari darah, patahan gigi.1 Kedaruratan trauma maksilofasial merupakan suatu penatalaksanaan tindakan darurat pada orang yang baru saja mengalami trauma pada daerah maksilofasial (wajah). Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada trauma maksilofasial oleh dokter umum hanya mencakup bantuan hidup dasar (basic life support) yang berguna menurunkan tingkat kecacatan

dan kematian pasien sampai diperolehnya penanganan selanjutnya di rumah sakit. Oleh karena itu, para dokter umum harus mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance Trauma Life Support) yang merupakan prosedur-prosedur penanganan pasien yang mengalami kegawatdaruratan.1 Prinsip-prinsip untuk mengobati patah tulang wajah adalah sama seperti untuk patah lengan atau kaki. Bagian-bagian dari tulang harus berbaris (dikurangi) dan ditahan dalam posisi cukup lama untuk memungkinkan mereka waktu untuk menyembuhkan. Ini mungkin membutuhkan enam minggu atau lebih tergantung pada usia pasien dan kompleksitas fraktur itu.2 Menghindari cedera merupakan hal yang terbaik, ahli bedah mulut dan maksilofasial menganjurkan penggunaan sabuk pengaman mobil, penjaga pelindung mulut, dan masker yang tepat dan helm untuk semua orang yang berpartisipasi dalam kegiatan atletik di tingkat manapun.2

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Definisi Trauma Maksilofasial Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan lunak antara lain : 1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato. 2. Cedera saraf, cabang saraf fasial. 3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen. 4. Cedera kelopak mata. 5. Cedera telinga. 6. Cedera hidung.3,4 2.2 Anatomi Maksilofasial Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia.1 Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah bagian atas, di mana patah tulang melibatkan frontal dan sinus. Bagian kedua adalah midface tersebut. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para midface atas adalah di mana rahang atas Le Fort II dan III Le Fort fraktur terjadi dan / atau di mana patah tulang hidung, kompleks nasoethmoidal atau zygomaticomaxillary, dan lantai orbit terjadi. Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di mana patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah.1

Gambar 1. Anatomi Maksilofasial. Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita).3 a. Bagian hidung terdiri atas : Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelahatas. Dan Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam ronggahidung dan bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalahsambungan dari tulang tapis yang tegak.3,4 b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti : Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri dari dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiridari dua dua buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahangbawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatudi pertengahan dagu. Dibagian depan dari mandibula terdapat processus coracoids tempat melekatnya otot.3,4

Facial danger zones (Zona bahaya wajah) Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar di beberapa lokasi di wajah, ada 7 lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang apabila terjadi trauma atau kesalahan dalam penanganan trauma maksilofasial akan berakibat fatal, lokasi-lokasi tersebut disebut dengan facial danger zone.3,6

Gambar 2. Facial Danger Zones 2.3 Epidemiologi Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar 6% dari seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr.Soetomo. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85 %, disusul fraktur zigoma 27,64 % dan fraktur nasal 12, 66 %. Penderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif,yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38 % disertai cedera di tempat lain, dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat, sekitar 56%. Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor.1,4

2.4 Etiologi Trauma Maksilofasial Trauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti oleh kendaraan bermotor dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang adalah tulang yang paling umum patah selama serangan. Trauma wajah dalam pengaturan masyarakat yang paling sering adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor, maka untuk serangan dan kegiatan rekreasi. Kecelakaan kendaraan bermotor menghasilkan patah tulang yang sering melibatkan midface, terutama pada pasien yang tidak memakai sabuk pengaman mereka. Penyebab penting lain dari trauma wajah termasuk trauma penetrasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan anakanak dan orang tua.1,3,4 Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).3,4 Berikut ini tabel etiologi trauma maksilofasial :

Penyebab pada orang Persentase (%) dewasa Kecelakaan lalu lintas 40-45

Penganiayaan / berkelahi 10-15 Olahraga Jatuh Lain-lain 5-10 5 5-10

Penyebab pada orang Persentase (%) anak

Kecelakaan lalu lintas

10-15

Penganiayaan / berkelahi 5-10 Olahraga (termasuk naik 50-65 sepeda) Jatuh 5-10

2.5 Klasifikasi Trauma Maksilofasial Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.3 2.5.1 Trauma jaringan lunak wajah Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar. Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan : 3,5 1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab: a. Ekskoriasi b. Luka sayat, luka robek , luka bacok. c. Luka bakar d. Luka tembak 2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan 3. Dikaitkan dengan unit estetik Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.

Gambar 3. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek. B. Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis Langer 2.5.2 Trauma jaringan keras wajah Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya, trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan : 3 1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetik.a a. Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibulla, gigi dan alveolus. b. Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks mandibula

Gambar 4. A. Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris yang biasa kearah inferomedial. B. Stabilisasi fraktur pada sutura zygomaticofrontalis Gambar 5. Fraktur pada daerah mandibula : A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D. Ramus E. Angulus F. Corpus G. Simfisis H. Parasimfisis 2. Berdasarkan Tipe fraktur :9 a. Fraktur simpel Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi. Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi. b. Fraktur kompoun Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak.

Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit. c. Fraktur komunisi Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk. Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak. d. Fraktur patologis keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan. 3. Perluasan tulang yang terlibat 3,9 1. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang. 2. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk ) 4 . Konfigurasi ( garis fraktur ) 7,9 1. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal. 2. Oblique ( miring ) 3. Spiral (berputar) 4. Komunisi (remuk) 5. Hubungan antar Fragmen 3 1. Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat 2. Undisplacement, bisa terjadi berupa : a. Angulasi / bersudut b. Distraksi c. Kontraksi

d. Rotasi / berputar e. Impaksi / tertanam Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah : 8 a. Dento alveolar b. Prosesus kondiloideus c. Prosesus koronoideus d. Angulus mandibula e. Ramus mandibula f. Korpus mandibula g. Midline / simfisis menti h. Lateral ke midline dalam regio insisivus

6. Khusus pada maksila fraktur dapat dibedakan :5,9 a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita) b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III c. Fraktur segmental mandibula

Gambar 6. (A). I Le Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan anterior) (B). I Le Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan sagital)

2.6 Patofisiologi Trauma Maksilofasial1 Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa dikalikan dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi menghasilkan kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-dampak kekuatan didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Ini berdampak parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda regional. Tepi supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah semua yang diperlukan untuk merusak zygoma dan tulang hidung.1 Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi. Bagian anterior dan / atau posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jika dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu. Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan merusak bagian-bagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan kematian. Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.7 Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial, aparatus lacrimalis, atau saluran nasofrontal.1,7 Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic dapat mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan zygomaticotemporal.1 Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah tulang dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui zygomaticotemporal,

zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan tulang sphenoid. Garis fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata serentak yang umum. Patah tulang rahang atas : ini dikelompokkan sebagai Le Fort I, II, atau III.9

Fraktur Le Fort I adalah fraktur rahang horizontal di aspek inferior rahang atas dan memisahkan proses alveolar dan langit-langit keras dari seluruh rahang atas. Fraktur meluas melalui sepertiga bagian bawah septum dan termasuk sinus maksilaris dinding lateralis memperluas ke tulang palatina dan piring pterygoideus. Fraktur Le Fort II adalah fraktur piramida mulai dari tulang hidung dan memperluas melalui tulang lacrimalis; ke bawah melalui jahitan zygomaticomaxillary; terus posterior dan lateral melalui rahang atas, bawah zygoma itu, dan ke dalam piring pterygoideus. Fraktur Le Fort III atau dysjunction kraniofasial adalah pemisahan dari semua tulang wajah dari dasar tengkorak dengan fraktur simultan dari zygoma, rahang, dan tulang hidung. Garis fraktur meluas melalui tulang ethmoid posterolaterally, orbit, dan jahitan pterygomaxillary ke fosa sphenopalatina.9 Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari lokasi trauma langsung.8 Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi langsung atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang atas atau rahang bawah.1 Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah.1

2.7 Manifestasi Klinis Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa : Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur mandibula. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur. Rasa nyeri pada sisi fraktur. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah nervus alveolaris. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus.3,10 2.8 Diagnosis 2.8.1 Anamnesa 1 Mendapatkan informasi tentang alergi, obat, status tetanus, riwayat medis dan bedah masa lalu, merupakan hal yang paling terakhir, dan peristiwa seputar cedera. Aspek yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: bagaimana mekanisme cedera? Apakah pasien kehilangan kesadaran atau mengalami perubahan status mental? Jika demikian, untuk berapa lama? Apakah gangguan penglihatan, kilatan cahaya, fotofobia, diplopia, pandangan kabur, nyeri, atau perubahan dengan gerakan mata? Apakah pasien mengalami tinnitus atau vertigo? Apakah pasien memiliki kesulitan bernapas melalui hidung? Apakah pasien memiliki manifestasi berdarah atau yang jelas-cairan dari hidung atau telinga? Apakah pasien mengalami kesulitan membuka atau menutup mulut? Apakah ada rasa sakit atau kejang otot? Apakah pasien dapat menggigit tanpa rasa sakit, dan pasien merasa seperti kedudukan gigi tidak normal? Apakah daerah mati rasa atau kesemutan pada wajah?

2.8.2 Pemeriksaan Fisik1,3 A. Inspeksi Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah : Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema. Luka tembus. Asimetris atau tidak. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal. Otorrhea / Rhinorrheaf. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign. Cedera kelopak mata. Ecchymosis, epistaksisi. Defisit pendengaran. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas

B. Palpasi 1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbukauntuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil. 2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi. 3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal, dan rahang atas. 4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos, menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk,dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual. 5. 7. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan proptosis. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti hyphema. 6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.

8. 9.

Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan kerusakan pada kompleks nasoethmoidal. Lakukan tes palpasi bimanual hidung, bius dan tekan intranasal terhadap lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak.

10. Lakukan tes traksi. Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari canthus medial. 11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi. 12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi pelebaran mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan rhinorrhea cairan cerebrospinal. 13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal, integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi, atauecchymosis daerah mastoid (Battle sign). 14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak. Secara Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau mobilitas. 15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah hidung. 16. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III. 17. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingival dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi. 18. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit. 19. Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk, atau ecchymosis. 20. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga eksternal, sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur. 21. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.3 2.9 Pemeriksaan Penunjang3 1. Wajah Bagian Atas : CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).

CT-scan aksial koronal. Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepaladan X-ray kepala 2. Wajah Bagian Tengah : CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D). CT scan aksial koronal. Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior (Caldwells), Submentovertek (Jughandles). 3. Wajah Bagian Bawah :

CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D. Panoramic X-ray. Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi : - Posteroanterior (Caldwells). - Posisi lateral (Schedell). - Posisi towne.

Gambar 7. Pemeriksaan Radiologi

2.10 Penatalaksanaan3 Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma masilofasial yaitu meliputi : 1. Periksa kesadaran pasien. 2. Perhatikan secara cermat wajah pasien : Apakah asimetris atau tidak. Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih. 3. Apakah ada Hematoma : a. Fraktur Zygomatikus Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secaracepat sebagai permukaan yang bersambungan secara seragam. Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas apakah ada hematoma, nyeri tekan dan krepitasi pada dinding zigomatikus. b.Fraktur nasal Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat kearah medial. c. Fraktur Orbita Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah ? Apakah sejajar atau bergeser ? Apakah pasien bisa melihat ? Apakah dijumpai diplopia ? Hal ini karena :

o Pergeseran orbita o Pergeseran bola mata o Paralisis saraf ke VI o Edema d. Fraktur pada wajah dan tulang kepala. Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri tekan, deformitas, krepitasi. Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung,pada fraktur Le Fort tipe II atau III banyak fragmen tulang kecil sub cutis pada regio ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika rahang tidak menutup secara sempurna berarti pada rahang sudah terjadi fraktur. iregularitas dan

e. Cedera saraf Uji anestesi pada wajah ( saraf infra orbita) dan geraham atas (saraf gigi atas). f. Cedera gigi Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak abnormal dan juga disekitarnya. 2.11 Prosedur penatalaksanaan kegawatdaruratan trauma maksilofacial.11 Pada pasien dengan trauma hebat atau multiple trauma akan dievaluasi dan ditangani secara sistematis, di titik beratkan pada penentuan prioritas tindakan berdasarkan atas riwayat terjadinya kecelakaan dan derajat beratnya trauma. 1. Apakah Pasien dapat bernapas ? Jika sulit : Ada obstruksi. Lidahnya jatuh kearah belakang atau tidak. 2.Curiga adanya Fraktur Mandibula. Kait dengan jari tangan anda mengelilingi bagian belakang palatum durum, dan tarik tulang wajah bag tengah dengan lembut kearah atas dan depan memperbaiki jalan napas dan sirkulasi mata. Reduksi ini diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang baik juga gaya yang besar jika fraktur terjepit dan jika reduksi tidak berhasil lakukan Tracheostomi. Untuk melepaskan himpitan tulang pegang alveolus maksilaris dengan forcep khusus (Rowes) atau forcep bergerigi tajam yang kuat dan goyangkan. 3. Jika lidah atau rahang bawah jatuh ke arah belakang Lakukan beberapa jahitan atau jepitkan handuk melaluinya,dan secara lembut tarik kearah depan, lebih membantu jika posisi pasien berbaring, saat evakuasi sebaiknya dibaringkan pada salah satu sisi 4. Jika cedera rahang yang berat dan kehilangan banyak jaringan Pada saat mengangkutnya, baringkan pasien dengan kepalapada salah satu ujung sisi dan dahinya ditopang dengan pembalut di antara pegangan. 5. Jika pasien merasakan lebih enak dengan posisi duduk Biarkan posisi demikian mungkin jalan napas akan membaik dengan cepat ketika ia melakukannya. Hisap mulutnya dari sumbatan bekuan darah. Jalan napas buatan (OPA, ETT) mungkin tidak membantu. 6. Jika hidungnya cedera parah dan berdarah Hisap bersih (suction) dan pasang NPA atau pipa karet tebalyang sejenis ke satu sisi.

Jika terjadi perdarahan : Ikat pembuluh darah yang besar atau jika terjadi perdarahan yang sulit gunakan tampon yang direndam adrenalin yang dipakai untuk ngedep perdarahan yang hebat. Tampon post nasal selalu dapat menghentikan perdarahan. Jika perlu gunakan jahitan hemostasis sementara. Tujuan Perawatan pasien trauma maksilofasial : a. c. Memperbaiki jalan napas. Dapat menggigit secara normal reduksi akan sempurna. 7. Pemeriksaan Intra Oral. Yang harus di perhatikan pada saat melakukan pemeriksaan intra oral adalah adanya floating pada susunan tulang-tulang wajah, seperti : Mandibular floating. Maxillar floating. Zygomaticum floating Yang dimaksud dengan floating disini adalah keadaan dimana salah satu dari struktur tulang diatas terasa seperti melayang saat dilakukan palpasi, jika terbukti adanya floating, berarti ada kerusakan atau fraktur pada tulang tersebut.3 Pasien dengan trauma maksilofasial harus dikelola dengan segera, dimana dituntut tindakan diagnostik yang cepat dan pada saat yang sama juga diperlukan juga tindakan resusitasi yang cepat. Resusitasi mengandung prosedur dan teknik terencana untuk mengembalikan pulmonary alveolaris ventilasi, sirkulasi dan tekanan darah yang efektif dan untuk memperbaiki efek yang merugikan lainnya dari trauma maksilofasial. Tindakan pertama yang dilakukan ialah tindakan Primary Survey yang meliputi pemeriksaan vital sign secara cermat, efisien dan cepat. Kegagalan dalam melakukan salah satu tindakan ini dengan baik dapat berakibat fatal.11 Jadi secara umum dapat disimpulkan, penderita trauma maksilofasial dapat dibagi dalam 2 kelompok : 1. Kelompok perlukaan maksilofasial sekunder pada relative trauma kecil, misalnya dipukul atau ditendang, dapat di terapi pada intermediate atau area terapi biasa pada ruang gawat darurat. b. Mengontrol perdarahan. d. Cegah deformitas reduksi pada fraktur hidung dan zigoma

2. Kelompok perlukaan maksilofasial berat sekunder kedalam trauma tumpul berat, misalnya penurunan kondisi secara cepat dari kecelakaan lalulintas atau jatuh dari ketinggian, harus diterapi di tempat perawatan kritis pada instalasi gawat darurat : 1.Trauma maksilofasial berat harus di rawat di ruang resusitasi atau kritis area diikuti dengan teknik ATLS 2.Yakinkan dan jaga potensi jalan napas dengan immobilisasi tulang leher. a. Setengah duduk jika tidak ada kecurigaan perlukaan spinal, atau jika penderita perlu melakukannya. b. Jaw trush dan chin lift. c. Traksi lidah : Dengan jari, O-slik suture atau dengan handuk 3. Endotrakel intubasi : oral intubasi sadar atau RSI atau krikotiroidotomi 4. Berikan oksigenasi yang adekuat . 5.Monitor tanda vital setiap 5 10 menit, EKG, cek pulse oximetry. 6. Pasang 1 atau 2 infus perifer dengan jarum besar untuk pengantian cairan. 7. Laboratorium : Crossmatch golongan darah, darah lengkap, ureum /elektrolit / kreatinin. 8. Fasilitas penghentian perdarahan yang berlangsung. a. Penekanan langsung. Jepitan hidung,Tampon hidung atau tenggorokan. b. Bahan haemostatic asam tranexamid (cyclokapron). Dosis : 25mg/kg BB IV bolus pelan selama 5 10 menit.3,11 Beberapa pegangan pada bedah plastik dapat digunakan dalam menangani trauma dan luka pada wajah : 1. Asepsis. 2. Debridement, bersihkan seluruh kotoran dan benda asing. 3. Hemostasis, sedemikian rupa sehingga setetes darah pun tidak bersisa sesudah dijahit. 4. Hemat jaringan, hanya jaringan yang nekrosis saja yang boleh dieksisi dari pinggir luka. 5. Atraumatik, seluruh tindakan bedah dengan cara dan bahan atraumatik. 6. Approksimasi, penjahitan kedua belah sisi pinggir luka secara tepat dan teliti. 7. Non tensi, tidak boleh ada tegangan dan tarikan pinggir luka sesudah dijahit. Benang hanya berfungsi sebagai pemegang

8. Eksposure, luka sesudah dijahit sebaiknya dibiarkan terbuka karena penyembuhan dan perawatan luka lebih baik, kecuali ditakutkan ada perdarahan di bawah luka yang harus ditekan (pressure)

You might also like