You are on page 1of 12

`

Pedoman Penatalaksaaan Septik Artritis pada Anak-Anak Keberhasilan dalam Meningkatkan Proses Perawatan dan Efek Keluaran dari Penderita Septik Artritis pada Pinggul Oleh: Mininder S. Kocher, Rahul Mandiga, Jane M. Murphy, Donald Goldmann, Marvin Harper, Robert Sundel, Kirsten Ecklund, dan James M. Kasser.

Latar Belakang: Perkembangan dari pedoman praktik klinis merupakan pemahaman sentral dari perkembangan evidence-based-medicine. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengembangkan suatu pedoman dalam penatalaksanaan septik artritis pada anak dan untuk mengevaluasi keberhasilan pedoman tersebut dalam memperbaiki proses perawatan dan efeknya terhadap keluaran dari penderita septik artritis pinggul pada anak-anak. Metode: Sebuah pedoman praktik klinis yang dikembangkan oleh komite ahli interdisiplin dengan menggunakan teknik evidence-based-medicine. Keberhasilan pengobatan dievaluasi dengan membandingkan kelompok kontrol yang terdiri dari 30 anak yang menderita septik artritis yang diterapi sebelum penggunaan pedoman klinis dengan kelompok prospective cohort yang terdiri dari 30 anak yang diterapi dengan menggunakan pedoman klinis. Parameter benchmark dari proses perawatan dan hasil keluaran dibandingkan dari kedua kelompok. Hasil: Pasien-pasien yang diterapi dengan menggunakan pedoman dibandingkan dengan yang tidak diterapi dengan pedoman klinis menunjukkan peningkatan hasil yang signifikan dari hasil pemeriksaan C-reactive protein awal dan follow-up (93% berbanding dengan 13% dan 70% berbanding dengan 7%), penilaian bone-scanning yang lebih rendah (13% berbanding dengan 47%), compliance yang lebih besar dengan pemberian antibiotik yang direkomendasikan (93% berbanding dengan 7%), perubahan pemakaian menjadi antibiotik oral yang lebih cepat (3,9 hari berbanding dengan 6,9 hari), dan waktu rawat inap di rumah sakit yang lebih singkat (4,8 berbanding dengan 8,3 hari). Tidak ada perbedaan yang signifikan antar kelompok dalam menilai variabel proses perawatan, dan tidak ada hasil yang signifikan dalam menilai variabel outcome yang meliputi perawatan kembali di rumah sakit, infeksi berulang, drainase berulang, perkembangan osteomyelitis, septik osteonekrosis, dan pembatasan dalam pergerakan.
1

Kesimpulan: Pasien yang diterapi berdasarkan dengan pedoman praktik septik artritis mempunyai sedikit perbedaan dalam proses perawatan perbaikan keberhasilan perawatan tanpa perbedaan yang signifikan pada outcome. Level of Evidence: Studi terapeutik, Level III-3 (studi cohort retrospektif). Lihat instruksi dari pengarang untuk deskripsi lengkap dari level of evidence.

Pedoman

penatalaksanaan

merupakan

kumpulan

rekomendasi-rekomendasi

dalam

penatalaksanaan pasien-pasien dengan kondisi klinis khusus berdasarkan dari tinjauan sistematis dari bukti-bukti terbaik yang ada1-5. Tujuan dari pedoman ialah untuk meminimalisir variasi dengan membuat standarisasi proses penatalaksanaan, untuk mengoptimalkan outcome secara klinis, dan untuk meningkatkan efisiensi biaya1-5. Perkembangan dari pedoman merupakan fokus mayor dari perkembangan evidence-based-medicine6,7. The National Guideline Clearinghouse yang dibentuk oleh Agency for Healthcare Research and Quality, dalam kerjasama dengan American Medical Association dan the American Association of Health Plans, untuk mengembangkan dan menyebarluaskan pedoman praktek klinis. Walaupun banyak pedoman telah dibuat untuk memperbaiki penatalaksanaan dari berbagai macam kondisi medis (the National Guidline Clearinghouse saat ini memiliki 903 macam pedoman), hanya beberapa yang telah dipelajari secara formal untuk mengevaluasi keberhasilan pedoman dalam mengevaluasi keberhasilan perawatan dan outcome klinis. Septik Artritis (SA) pada anak merupakan kondisi medis serius yang berpotensi mempengaruhi sistemik dan muskuloskeletal. Terdapat beberapa variabel yang dinilai dalam penatalaksanaan SA pada anak, meliputi work-up diagnosis, studi imaging, penatalaksanaan bedah, terapi antibiotik, dan follow-up. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan suatu pedoman praktek klinis dalam penatalaksanaan SA pada anak dan untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan studi ini dalam memperbaiki proses perawatan dan efeknya terhadap outcome dari SA pada pinggul.

Metode: Sebuah penuntun praktek klinis mengenai penatalaksanaan SA pada anak-anak telah dikembangkan pada tahun 1995 oleh kelompok interdisiplin yang meliputi ilmu Pediatri, Orthopedi, Penyakit Menular, Kegawatdaruratan, Rheumatologi, Radiologi, Farmasi,

Keperawatan, Pekerja Sosial, dan Fisioterapi dalam Rumah Sakit Umum tingkat tersier. Kelompok peserta disiplin ilmu dipilih karena kelompok ini memiliki pengalaman dalam penatalaksaan infeksi muskuloskeletal pada anak-anak, dengan proses review literatur yang sistematis, dan dengan perkembangan dari pedoman praktek klinis. Review literatur yang
3

digunakan hanya yang tergolong dalam kategori evidence level-1, 2, dan 3 (level 1B [sebuah individual clinical trial acak atau penelitian prospective inception cohort dengan angka followup lebih dari 80%], 1C [serial kasus all-or-none], 2B [sebuah penelitian individual cohort maupun clinical trial acak kualitas rendah])9-48. Data-data dari MEDLINE (tahun 1966-1995) digunakan dalam pencarian artikel mengenai septik artritis melalui proses berikut: pencarian pertama (septic arthritis [MeSH]); pencarian kedua (septic [tw] AND arthritis [tw]); pencarian ketiga (Nos. 1 and 2); pencarian keempat [pediatric [MeSH]]; pencarian kelima (Nos. 3 and 4); pencarian keenam (Limit human). Data-data ini dilengkapi dengan mereview bahan-bahan berdasarkan artikel yang diterima dan buku-buku. Pencarian juga dibatasi pada penelitianpenelitian yang diterbitkan dalam bahasa inggris. Abstrak dari setiap artikel ditinjau, dan artikel dengan semua kemungkinan untuk diinklusi diterima dan ditinjau. Sebuah konsensus oral kemudian ditelaah untuk membuat rekomendasi dalam membuat kriteria inklusi, kriteria eksklusi, standar evaluasi laboratorium, standar kriteria imaging, indikasi untuk aspirasi, indikasi untuk drainase pembedahan, indikasi untuk pemberian obat-obatan, pemilihan antibiotik, dosis antibiotik, transisi dari antibiotik parenteral ke oral, kriteria keluar dari rumah sakit, dan followup. Ketidaksetujuan terhadap rekomendasi-rekomendasi yang diberikan diselesaikan sesuai dengan opini konsensus. Catatan-catatan dikembangkan berdasarkan informasi terkait work-up laboratorium, informasi terkait pemeriksaan laboratorium terhadap spesimen aspirasi, data-data untuk keputusan, dan rencana discharge. Keefektifan dari pedoman penatalaksanaan kemudian dievaluasi dengan membandingkan antara kelompok kontrol yang terdiri dari 30 anak yang sebelumnya yang menderita septik artritis yang diterapi sebelum pemanfaatan dari pedoman (pada tahun 1993, 1994, atau 1995) dengan suatu kelompok studi prospective cohort dari 30 anak yang diterapi dengan menggunakan pedoman (pada tahun 1995, 1996, atau 1997). Jumlah pasien penderita septik artritis pada pinggul yang cukup besar kemungkinan mewakili dari keadaan pada rumah sakit perawatan tingkat tersier. Pedoman penatalaksanaan ini dikembangkan terkait tatalaksana septik artritis pada seluruh sendi pada anak-anak. Namun, penulis memperoleh bahwa efektivitas dari pedoman dalam hubungannya dengan tatalaksana septik artritis pada pinggul dengan berdasar pada kejadiannya cukup umum, memiliki potensi komplikasi yang serius, pedoman ini telah dikembangkan di institusi penulis oleh karena terdapat tambahan tatalaksana dalam terapi septik artritis pada pinggul, dan meneliti mengenai efektivitas dari pedoman untuk terapi satu buah sendi akan
4

mengakibatkan sebuah keseragaman dari populasi pasien sebagai perbandingan. Kriteria eksklusi yang jelas untuk kedua kelompok meliputi usia kurang dari enam bulan atau lebih dari delapan belas tahun, adanya penyakit penyerta mayor, infeksi postoperatif, penyakit infeksi sendi kronis, trauma perforasi, psoriasis, poliartritis, berhubungan dengan osteomyelitis atau abses psoas, follow-up obyektif dengan pemeriksaan fisik dan radiografi kurang dari satu tahun dan kurang dari dua tahun follow-up klinis (via telepon). Dalam periode pengumpulan data untuk kelompok yang tidak diterapi berdasarkan pedoman penatalaksanaan, empat pasien dieksklusi karena menderita sepsis neonatal; satu oleh karena mengidap imunokompromis; dan satu oleh karena follow-up yang tidak adekuat. Seluruh pasien dari setiap kelompok telah diterapi dengan drainase pembedahan dari septik pinggul melalui pendekatan anterior. Dari ukuran sampel didapatkan bahwa tiga puluh pasien dari setiap kelompok cukup untuk mendapatkan kekuatan 85% ( = 0,15) untuk mendapatkan 20% reduksi dari rawat inap di rumah sakit pada kelompok yang diterapi berdasarkan dengan pedoman tatalaksana dibandingkan dengan rata-rata lama tinggal di rumah sakit selama 8.3 hari untuk kelompok yang diterapi tidak berdasarkan pada pedoman, dengan asumsi standar deviasi umum sebesar 2.1, dengan pengunaan dari two groups t test dengan 0.050 two level significancy level. Lama dirawat di rumah sakit dipilih sebagai dasar end point untuk mengukur ukuran sampel oleh karena kurangnya baseline yang stabil dalam mengestimasi prevalensi septik osteonekrosis maupun infeksi berulang. Parameter patokan dari proses dan outcome dibandingkan antara kedua kelompok. Parameter perjalanan penyakit mencakup pencatatan riwayat trauma, infeksi yang diderita akhir-akhir ini, penggunaan antibiotik, demam dan/atau menggigil, dan pincang. Parameter pemeriksaan fisik meliputi pencatatan temperatur saat dirawat, hasil pemeriksaan pinggul, cara berjalan, dan vital sign. Pemeriksaan laboratorium, radiografi, dan terapi termasuk pemeriksaan sel darah lengkap dengan diferensiasi, pemeriksaan ESR awal, dan pemeriksaan C-reactive protein awal; pemeriksaan kultur darah awal, pemeriksaan radiografi pinggul awal, USG untuk evaluasi pinggang di awal, bone scan awal, penghitungan sel cairan sendi, waktu dari timbulnya keluhan awal hingga drainase (jam); penempatan drain; perolehan spesimen untuk evaluasi patologi, penggunaan antibiotik rekomendasi dan dosisnya; ESR follow-up; C-reactive protein follow-up; waktu hingga penggantian ke antibiotik oral (hari); dan durasi rawat inap di rumah sakit (hari). Drainase presumptive didefinisikan sebagai drainase pembedahan dalam kasus dimana
5

penghitungan jumlah sel cairan sendi dan pengecatan gram atau kultur secara preoperatif belum dilakukan atau dalam kasus dimana jumlah sel cairan sendi <50.000 sel darah putih per lapangan pandang dan hasil pengecatan gram negatif. Rekomendasi untuk pemberian antibiotik intravena awal adalah cefazolin 50 mg/kg setiap delapan jam (dosis maksimum 12 mg/hari) atau clindamycin 40 mg/kg/hari dalam dosis yang terbagi setiap delapan jam (dosis maksimum 4.8 g/hari). Rekomendasi untuk antibiotik oral didefinisikan sebagai cephalexin 100mg/kg/hari terbagi dalam empat dosis per hari. sebagai antibiotik lain dan dosis lain. Parameter outcome termasuk dirawat kembali di rumah sakit, infeksi berulang, perkembangan ke arah osteomyelitis, drainase berulang, septik osteonekrosis, dan terbatasnya ruang gerak. Seluruh pasien memiliki minimal 2 tahun follow-up subyektif (mean 6.2 tahun, 4.7 hingga 9.5 tahun) dari perjalanan klinis mereka melalui interview via telepon dan minimal 1 tahun follow-up obyektif (mean 1.5 tahun, 1.1 hingga 2.7 tahun) dengan pemeriksaan fisik dan radiografi. Perbandingan statistik diantara kedua kelompok yang diterapi berdasarkan pedoman penatalaksanaan dan kelompok yang diterapi tidak berdasarkan dengan pedoman dianalisis dengan uji chi-square atau uji Fisher exact untuk membandingkan proporsi dan dengan penggunaan sampel independen uji T dengan uji Levene untuk kesamaan variasi dalam membandingkan variable continous. Analisis statistik dilakukan dengan SPSS (versi 10.1; SPSS, Chicago, Illinois), SAS (versi 6.12; SAS Institute, Cary, North Carollina), dan nQuery Advisor (versi 4.0; Statistical Solutions, Saugus, Massachussets). Seluruh p value yang tercatat merupakan two tailed dengan alpha > 0.05 menyatakan signifikansi. Antibiotik yang tidak direkomendasikan didefinisikan

Tabel I Perbandingan antara Pasien yang Diterapi berdasarkan Guidline dan yang Diterapi Tidak berdasarkan dengan Guidline* Pasien Diterapi Variabel Berdasarkan Guideline (N=30) Usia (tahun)+ Laki-laki Durasi Gejala+ Riwayat Trauma Riwayat Menderita Infeksi dalam Waktu Dekat Riwayat Pemakaian Antibiotik Riwayat Demam/Menggigil Riwayat Lemah Pengukuran Suhu Hasil Pemeriksaan Pinggul Status Berjalan Pengujian Vital Signs Pemeriksaan Darah Lengkap Awal dengan Diferensiasi Pemeriksaan ESR Awal Pemeriksaan C-Reactive Protein Awal Kultur Darah Awal Pemeriksaan Radiografi Pinggul Awal Pemeriksaan USG Pinggul Awal Pemeriksaan Bone Scan Awal Penghitungan Jumlah Sel Cairan Sendi Kultur Cairan Sendi Perkiraan Drainase 30 (100%) 28 (93%) 29 (97%) 29 (97%) 28 (93%) 4 (13%) 28 (93%) 29 (97%) 4 (13%) 28 (93%) 4 (13%) 28 (93%) 25 (83%) 27 (90%) 12 (40%) 28 (93%) 30 (100%) 14 (47%) 0.49 <0.001 1.00 0.20 1.00 0.039 1.00 1.00 0.010
7

Pasien Diterapi Tidak Berdasarkan Guideline (N=30)

P Value

6.0 (2.5) 16 (53%) 1.7 (1.5) 24 (80%) 26 (87%) 24 (80%) 28 (93%) 29 (97%) 30 (100%) 29 (97%) 28 (93%) 28 (93%) 30 (100%)

5.8 (3.2) 14 (47%) 1.9 (1.7) 19 (63%) 23 (77%) 22 (73%) 25 (83%) 25 (83%) 29 (97%) 29 (97%) 26 (87%) 30 (100%) 30 (100%)

0.74 0.81 0.71 0.25 0.51 0.76 0.42 0.20 1.00 1.00 0.67 0.49 1.00

Waktu Pembedahan+ Penempatan Drain Spesimen Patologis yang Diperoleh Rekomendasi Digunakan Pemeriksaan ESR Follow Up Pemeriksaan C-Reactive Protein Follow Up Pemeriksaan Darah Lengkap Follow Up Waktu sampai Penggantian Antibiotik Oral Lama Tinggal di Rumah Sakit+ Readmisi ke Rumah Sakit Infeksi Berulang Terjadinya Osteomyelitis Drainase Berulang Septic Osteonecrosis Terbatasnya Pergerakan saat Follow Up Terakhir Antibiotik dan Dosis

10.0 (3.0) 27 (90%) 26 (87%) yang 28 (93%) 23 (77%) 21 (70%) 24 (80%) 3.9 (1.1) 4.8 (1.2) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 1 (3%)

10.3 (6.0) 29 (97%) 25 (83%) 2 (7%) 23 (77%) 2 (7%) 23 (77%) 6.9 (2.0) 8.3 (2.1) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)

0.80 0.61 1.00 <0.001 1.00 <0.001 1.00 <0.001 <0.001 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00

* nilai yang diberikan berdasarkan jumlah pasien dalam persentase dalam kurung kecuali dinyatakan lain. Tanda + dinyatakan sebagai nilai rata-rata dan standar deviasi. Hasil (Tabel I) Pedoman praktek klinis, lembar pengaturan, dan lembar informasi discharge ditunjukkan dalam Appendix. Kelompok yang diterapi dengan guideline, dibandingkan dengan kelompok yang diterapi sebelum pengadaan guideline, memiliki hasil pemeriksaan C-reactive protein inisial dan followup yang lebih tinggi (93% berbanding dengan 13%), angka inisial bone scan yang lebih rendah (70% berbanding 7%), angka drainase presumptive yang lebih rendah (13% berbanding dengan 47%), angka kepatuhan penggunaan antibiotik yang direkomendasikan (93% berbandng dengan 7%), waktu yang lebih cepat dalam penggantian ke antibiotik oral (3.9 berbanding dengan 6.9 hari), dan angka rawat inap di rumah sakit yang lebih sebentar (4.8 berbanding dengan 8.3 hari) (Tabel 1).
8

Tidak ada perbedaan yang signifikan antar kelompok berdasarkan usia, jenis kelamin, maupun durasi gejala. Tidak ada perbedaan yang signifikan yang ditemui berdasarkan hubungannya dengan pencatatan variabel proses yang meliputi riwayat trauma, riwayat infeksi, penggunaan antibiotik, demam maupun menggigil, maupun pincang; pencatatan temperatur awal, hasil dari pemeriksaan pinggul, cara berjalan, vital signs; penggunaan pemeriksaan darah lengkap dengan diferensiasi maupun dengan pemeriksaan erythrocyte sedimentation rate inisial; pemeriksaan kultur darah inisial, pemeriksaan radiografi pinggul di awal, pemeriksaan USG pada pinggul, pemeriksaan cairan sendi maupun kultur cairan sendi; mendapatkan sebuah spesimen untuk evaluasi patologis, pemeriksaan darah lengkap dan ESR follow-up, waktu (jam) dari munculnya keluhan pertama hingga dilakukannya drainase; maupun penempatan drain. Di bidang outcome, tidak ada hasil yang signifikan antar kelompok berdasarkan keterbatasan dalam bergerak. Tidak ada pasien dari kedua kelompok yang dirawat kembali ke rumah sakit maupun yang mengalami infeksi berulang, drainase berulang, perkembangan ke arah osteomyelitis, maupun septik osteonekrosis.

Diskusi Penulis telah mengembangkan pedoman praktek klinis untuk penatalaksanaan septik artritis pada anak-anak dan menyatakan keefektifannya dalam meningkatkan proses perawatan tanpa memperburuk outcome. Walaupun septik artritis pada anak-anak merupakan kondisi yang jarang ditemui, tetap dirasakan perlunya suatu pengembangan dari pedoman ini di institusi penulis berdasarkan berbagai macam perbedaan dalam diagnosis work-up, studi imaging,

penatalaksanaan pembedahan, pemberian antibiotik, dan follow-up. Pedoman ini dikembangkan oleh kelompok interdisiplin yang terdiri dari spesialis di bidang Pediatri yang terlibat dalam penatalaksanaan septik artritis pada anak-anak. Review sistematis terhadap bukti-bukti terbaik yang bisa didapatkan telah dilakukan dan konsensus rekomendasi telah dibuat untuk

mengembangkan sebuah algoritma untuk penegakkan diagnosis dan manajemen anak dengan septik artritis. Secara dasar, hipotesis penulis adalah dengan penggunaan pedoman penatalaksanaan akan memberikan standarisasi yang lebih besar dalam perawatan dan meningkatkan efisiensi dari perawatan tanpa meningkatkan komplikasi.
9

Dalam mengevaluasi efek dari pedoman penatalaksanaan ini, penulis menemukan bahwa pasien yang diterapi dengan pedoman menunjukkan angka variasi perawatan yang lebih sedikit. Terdapat angka yang lebih tinggi dari performance pemeriksaan C-reactive protein inisial dan follow-up, penggunaan bone scintigraphy yang lebih sedikit, angka presumptive drainage yang lebih rendah, dan angka kepatuhan yang lebih tinggi dalam penggunaan terapi antibiotik. Sebagai tambahan, penggunaan pedoman penatalaksanaan mengakibatkan peningkatan efektivitas dalam perawatan. Berkurangnya lama rawat inap di rumah sakit (dari 8.3 ke 4.8 hari) dan dari waktu hingga penggantian ke antibiotik oral (dari 6.9 ke 3.9 hari) merupakan suatu loncatan jauh dan memiliki potensi dalam mengurangi biaya dan memberikan kenyamanan baik kepada pasien maupun keluarga. Lebih penting lagi, pada penggunaan pedoman penatalaksanaan, angka peningkatan terhadap kejadian yang tidak diharapkan seperti opname kembali di rumah sakit, infeksi berulang, drainase berulang, perkembangan ke arah osteomyelitis, septik osteonekrosis, dan keterbatasan fungsi gerak. Terbatasnya penelitian ini termasuk adanya kesulitan dalam menyamakan standar dari proses medis. Walaupun pedoman penatalaksanaan berdasar pada telaah sistematis dari bukti-bukti, beberapa keputusan yang spesifik dalam algoritma adalah berdasarkan opini. Dalam step 5 dari pedoman keputusan untuk melakukan aspirasi pada pinggul merupakan kesatuan dalam menegakkan kecurigaan terhadap septik artritis setelah pencatatan anamnesis awal (step 1), pemeriksaan fisik (step 2), pemeriksaan laboratorium (step 3), dan imaging (step 4). Dalam institusi penulis, digunakan algoritma prediksi klinis untuk membedakan septik artritis dari synovitis transien; bagaimanapun juga, penggunaan dari aturan prediksi dan pedoman penatalaksanaan tidak dimaksudkan untuk menggantikan penegakan klinis. Dosis rekomendasi terapi antibiotik adalah lebih tinggi dibanding dosis antibiotik perioperatif pada umumnya. Rekomendasi ini dibuat utamanya berdasarkan atas laporan dari literatur penyakit infeksi yang menunjukkan bahwa dosis lebih tinggi dibutuhkan untuk penetrasi ke dalam tulang dan sendi sehingga dosis sedemikian memberikan hasil yang lebih rendah terhadap infeksi berulang maupun persisten
12,26,35-39,42-44,47

Walaupun

penggunaan

pedoman

penatalaksanaan meningkatkan kepatuhan mengkonsumsi antibiotik (93% terhadap 7%), dan walaupun terdapat dosis yang kurang dari pedoman, tidak ada pasien yang tidak diobati berdasarkan atas pedoman yang masuk kembali ke rumah sakit maupun menderita infeksi
10

berulang, drainase berulang, oseteomyelitis, maupun osteonekrosis. Perubahan kontemporer dalam penatalaksanaan infeksi tulang dan sendi dalam beberapa fase pembelajaran (1993 sampai 1997) kemungkinan dapat memberikan masukan untuk perubahan menuju antibiotik oral yang lebih cepat dan waktu tinggal di rumah sakit yang lebih sebentar pada kelompok yang diterapi sesuai dengan pedoman. Perubahan pemberian antibiotik menuju oral yang lebih cepat (setelah tujuh puluh dua jam setelah terapi antibiotik intravena) direkomendasikan untuk diberikan hanya pada pasien dengan septik artritis tanpa komplikasi (tanpa faktor risiko untuk prognosis yang buruk) yang memiliki respon yang baik terhadap drainase awal dan pemberian antibiotik intravena. Ketika seorang bayi atau anak yang diagnosisnya tertunda, hanya mengalami sedikit perbaikan terhadap pemberian antibiotik intravena, atau berhubungan dengan osteomyelitis, penggunaan dari pedoman penatalaksanaan tidak dilanjutkan. Pasien-pasien seperti ini idealnya diterapi dengan dikonsultasikan terhadap penyakit menular, imaging tambahan untuk mencari bukti hubungan dengan osteomyelitis, dan pemanjangan pemberian antibiotik intravena. Drainase presumptive yang dilakukan didefinisikan sebagai drainase yang dilakukan pada pasien yang pemeriksaan cairan sendinya belum dilakukan sebelum operasi maupun yang tidak konsisten dengan klinis septik artritis (WBC <50.000 per lapangan pandang dan pengecatan gram memberikan hasil negatif). Walaupun angka dilakukannya drainase presumptive menurun pada kelompok yang diterapi berdasarkan dengan pedoman (dari 47% ke 13%), di beberapa instansi drainase presumptive mungkin diindikasikan. Contohnya termasuk pada kasus septik artritis yang khas, dimana aspirasi preoperatif kemungkinan dapat menunda drainase, dan pasien dengan angka parameter cairan sendi pada level menengah namun terdapat kecurigaan besar terhadap adanya penggunaan antibiotik sebelum aspirasi. Dalam kasus-kasus seperti ini, risiko untuk tidak melakukan drainase terhadap pasien yang berpotensi mengidap septik artritis pinggul lebih penting daripada risiko untuk melakukan drainase pada pasien yang kemungkinan tidak menderita septik artritis. Dengan pengurangan lama pasien menginap di rumah sakit, terdapat potensi untuk memindahkan pasien pada setting outpatient. Evaluasi multisentral terhadap pedoman penatalaksanaan untuk hip replacement, knee replacement, dan penatalaksanaan terhadap fraktur pinggul menunjukkan pengurangan lama pasien menginap di rumah sakit tanpa perubahan pada outcome, namun terdapat pergeseran besar terhadap biaya rehabilitasi pusat dan perawatan di rumah. Dalam
11

populasi yang anak-anak yang menderita septik artritis pada pinggul, pergeseran biaya menuju perawatan rumah secara intensif kurang disukai mengingat sejak pasien keluar dari rumah sakit mengkonsumsi antibiotik dan memerlukan perawatan rumah yang minimal. Bagaimanapun juga, pencatatan biaya formal tidak dilakukan dalam penelitian ini. Evidence-based medicine meliputi fakta-fakta paling teliti, eksplisit, dan bijaksana dalam penarikan keputusan mengenai perawatan pasien. Perkembangan dari pedoman penatalaksanaan merupakan titik berat dalam pengembangan evidence-based medicine dalam menstardarisasi proses perawatan, optimalisasi outcome, dan meningkatkan efektivita perawatan. Bagaimanapun juga, pedoman hanya bisa dianggap sebagai pedoman yang kuat jika bukti-bukti yang terdapat di dalamnya berdasar atas fleksibilitas, pengalaman klinis, dan kebijaksanaan praktek dalam mengaplikasikannya. Kerugian dari pedoman praktek mencakup potensinya dalam melukai pasien ketika diaplikasikan secara kaku terhadap pasien yang bervariasi secara individual, hilangnya otonomi dokter, dan potensi untuk memaksakan kesetujuan terhadap penilaian klinis yang berbeda. Tujuan keseluruhan dari pedoman ini adalah untuk membekali praktisi klinis dengan sebuah kerangka analisis mengenai penatalaksanaan dan evakyasu terhadap anak-anak dengan septik artritis. Pedoman ini tidak bertujuan untuk menggantikan penilaian klinis. Ketika seorang pasien tidak khas, tidak memiliki faktor risiko terhadap outcome yang buruk, atau tidak berespon terhadap terapi, penelitian ini sebaiknya diabaikan dan penelitian ini sebaiknya diaplikasikan sesuai dengan indikasi klinis.

12

You might also like