You are on page 1of 51

PENGEMBANGAN PROFESIONALISME KONSELOR

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Profesi BK Tugas Individu Dosen Pengampu : Indah Lestari,SPd

Oleh Nama NIM Kelas Progdi : Sisilia Yulika Elly Pratiwi : 2010-31-248 : IIP : Bimbingan & Konseling

UNIVERSITAS MURIA KUDUS FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI BK 2010/2011

DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................. Daftar Isi........................................................................................................... BAB I Latar Belakang...................................................................................... BAB II Rasional............................................................................................... embangan pendidik professional................................................................ ria dan komponen profesi........................................................................... BAB III Trilogi Profesi Konselor..................................................................... elor sebagai pendidik.................................................................................. ponen trh ogi profesi konselor.................................................................... BAB IV Program Pendidikan Profesional Konselor........................................ umum pendidikan....................................................................................... am pendidikan sarjana (s-1) konseling....................................................... am pendidikan profesi konselor (ppk)........................................................ BAB V Lapangan Praktik Pelayanan Profesional Konselor............................. us pelayanan konseling............................................................................... anan konseling di sekolah/ madrasah......................................................... nan konseling di luar sekolaiv madrasah.................................................... ii 1 2 2 3 8 8 12 15 15 15 18 20 20 22 23

A.................................................................................................................Peng B..................................................................................................................Krite

A.................................................................................................................Kons B..................................................................................................................Kom

A.................................................................................................................Pola B..................................................................................................................Progr C..................................................................................................................Progr

A.................................................................................................................Mod B..................................................................................................................Pelay C..................................................................................................................Laya

ii

BAB VI Peran Organisasi Profesi Konseling................................................... BAB VII Langkah Strategis.............................................................................. Makna Keterkaitan Antarkomponen................................................................. Standar Kompetensi Konselor.......................................................................... BAB VIII Kesimpulan...................................................................................... Daftar Pustaka...................................................................................................

26 28 30 35 47 48

iii

BAB I LATAR BELAKANG Geliat gerakan Bimbingan dan Penyuluhan/Konseling (BP/BK) mulai dibangunkan oleh promotor yang amat peduli terhadap pengembangan pelayanan BP/BK, khususnya di bidang pendidikan. Geliat ini terus mewujud menjadi upaya dan gerakan yang semakin jelas corak dan isinya, yang kegiatannya terintegrasikan ke dalam sekolah dan yang selanjutnya pada dekade awal abad ke21 ini mulai jelas sosok dan substansinya sebagai profesi konseling yang mampu berkiprah dalam setting persekolahan maupun luar persekolahan. Gerakan tersebut, mungkin tampak lamban tetapi terarah dan pasti, serta secara bertahap memperoleh sokongan bahkan fasilitas regulasi dan aturan perundangan dari pemerintah yang semuanya memantapkan profesi yang sangat mementingkan optimalisasi perkembangan individu, kebahagiaan dan kemandirian pribadi, serta kemaslahatan kehidupan kemanusiaan itu berkembang menjadi profesi yang bermartabat.

BAB II RASIONAL Dalam pengembangan gerakan profesional pelayanan konseling

sebagaimana lintasannya terungkap pada Bab I di sana tampak benang merah arah profesionalisasi profesi yang dimaksudkan itu. Upaya pemerintah yang sejak tahun-tahun awal abad ke-21 ini menyelenggarakan profesionalisasi tenaga pendidik, memberikan suasana yang amat kondusif bagi semakin mantapnya profesionalisasi profesi konselor, yang adalah pendidik, dengan arah karakteristik dan trilogi profesi yang bermartabat. A. PENGEMBANGAN PENDIDIK PROFESIONAL Di awal abad ke-21 ini penyelenggaraan pendidikan di Indonesia mulai memasuki era profesional. Hal ini ditandai dengan penegasan bahwa "pendidik merupakan tenaga profesional" (UU No 20 tahun 2003 Pasal 39 ayat 2), dan "profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serts memerlukan pendidikan profesi" (UU No. 14 Tahun 2005 Pasal 1 Butir 4). Tentang pendidikan profesi disebutkan bahwa "pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian tertentu" (UU No. 20 Tahun 20 tahun 2005 Penjelasan Pasal 15). Dengan demikian persyaratan dasar untuk dapat mengikuti program pendidikan profesi adalah tamatan program sarjana. Hal ini terkait dengan jenis jenis program yang dapat diselenggarakan oleh perguruan tinggi, yaitu program akademik, profesi dan vokasi (UU No. 20 Tahun 2003 Penjelasan Pasal 15), di mana program sarjana merupakan salah satu jenis program akademik. Dengan tuntutan formal tersebut di atas, penyiapan pendidik profesional, dalam hal ini konselor sebagai pendidik profesional, ditempuh melalui pendidikan sarjana yang berorientasi akademik yang kemudian

dilanjutkan pada pendidikan profesi yang berorientasi keterampilan keahlian dalam bidang konseling. B. KRITERIA DAN KOMPONEN PROFESI 1. Kriteria Profesi Searah dengan pengertian profesional sebagaimana tersebut di atas, berbagai hal tentang kriteria peker can profesional itu telah banyak ditulis oleh para pakar, yang keseluruhannya dapat dikembalikan kepada tulisan Abraham Flexner tahun 1915 yang melihat kriteria profesi dalam enam karakteristik, yaitu: keintelektualan, kompetensi profesional yang dipelajari, objek praktik spesifik, komunikasi, motivasi altruistik, dan organisasi profesi. a. Keintelektualan. Kegiatan profesional merupakan pelayanan yang lebih berorientasi mental daripada manual (kegiatan yang memerlukan keterampilan fisik); lebih memerlukan proses berpikir dari pada kegiatan rutin. Melalui proses berpikir tersebut, pelayanan profesional merupakan hasil pertimbangan yang matang, berdasarkan kaidahkaidah keilmuan yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. b. Kompetensi profesional yang dipelajari. Pelayanan profesional didasarkan pada kompetensi yang tidak diperoleh begitu saja, misalnya melalui pewarisan "ilmu" dari pewaris kepada keturunannya, melainkan melalui pembelajaran secara intensif. Kompetensi profesional itu tidak diperoleh dalam sekejap, misalnya melalui mimpi, melalui semedi atau bertapa sekian lama, atau melalui penyajian sesaji kepada pemegang tuah Sakti. Seorang profesional harus dengan sungguhsungguh, serta mencurahkan segenap pikiran dan usalm, untuk mempelajari materi keilmuan, pendekatan, metode dan teknik, serta nilai berkenaan dengan pelayanan yang dimaksud. c. Objek praktik spesifik. Pelayanan suatu profesi tertcMu terarah kepada objek praktik spesifik yang tidak ditangani oleh profesi lain. Tiap-tiap profesi menangani objek praktik spesifiknya sendiri. Dokter sebagai tenaga profesional menangani penyembuhan penyakit, psikolog memberikan gambaran tentang kondisi dinamik aspek-aspek

psikis individu, sedangkan psikiater menangani ketidakseimbangan atau penyakit psikis, apoteker menangani pembuatan obat, akuntan menangani perhitungan keuangan berdasarkan peraturan yang berlaku, konselor menangani individu-individu normal yang mengalami masalah dalam kehidupan sehari-hari yang dapat mengimbas kepada pola kehidupan yang lebih luas dan masa depannya. Sejalan dengan ini semua, apa objek praktik spesifik pekerjaan pendidik profesional?, seperti: guru, konselor, dan pamong belajar?. Tidak lain adalah pelayanan berkenaan dengan penyelenggaraan proses pembelajaran terhadap peserta didik dalam bidang pelayanan yang menjadi kekhususan pekerjaan guru, konselor dan pamong belajar itu. Objek praktik spesifik masing-masing profesi tidaklah tumpang tindih sehingga satu profesi dengan prolem lainnya tidak saling mengaku objek praktik spesifiknya sama dengan objek praktik spesifik profesi yang berbeda. Demikianlah, objek praktik spesifik konselor pun harus dengan jelas dibedakan dari tangan guru dan jenis pendidik lainnya, kendatipun sama-sama profesi dalam bidang pendidikan. d. Komunikasi. Segenap aspek pelayanan profesional, meliputi objek praktik spesifik profesinya, keilmuan dan teknologinya, kompetensi dari dinamika operasionalnya, aspek hukum dan sosialnya, termasuk kode etik dan aturan kredensialisasi, serta imbalan yang terkait dengan pelaksanaan pelayanannya, semuanya dapat dikomunikasikan kepada siapapun yang berkepentingan, kecuali satu hal, yaitu materi berkenaan dengan asas kerahasiaan yang menurut kode etik profesi harus dijaga kerahasiaannya. Komunikasi ini memungkinkan dipelajari dan dikembangkannya profesi tersebut, dipraktikkan dan diawasi sesuai dengan kode etik, serta diselenggarakan perlindungan terhadap profesi yang dimaksud. e. Motivasi altruistik. Motivasi keda seorang profesional bukanlah berorientasi kepada kepentingan dan keuntungan pribadi, melainkan untuk kepentingan, keberhasasilan, dan kebahagiaan sasaran layanan, serta kemaslahatan kehidupan masyarakat pada umumnya. Motivasi

altruistik diwujudkan melalui peningkatan keintelektualan, kompetensi dan komunikasi dalam menangani objek praktik spesifik profesi. Motivasi altruistik ini akan menjauhkan tenaga profesional mengutamakan pamrih atau keuntungan pribadi, dan sebaliknya, mengutamakan kepentingan sasaran layanan. Bahkan, jika diperlukan, tenaga profesional tidak segan-segan mengorbankan kepentingan sendiri demi kepentingan/ kebutuhan sasaran layanan yang benarbenar mendesak. f. Organisasi profesi. Tenaga profesional dalam profesi yang sama membentuk suatu organisasi profesi untuk mengawal pelaksanaan tugas-tugas profesional mereka, melalui tridarma organisasi profesi, yaitu: (1) ikut serta mengembangkan ilmu dan teknologi profesi, (2) meningkatkan mutu praktik pelayanan profesi, dan (3) menjaga kode etik profesi. Organisasi profesi ini secara langsung peduli atas realisasi sisi-sisi objek praktik spesifik profesi, keintelektualan, kompetensi dan praktik pelayanan, komunikasi, kode etik, serta perlindungan atas para anggotanya. Organisasi profesi membina para anggotanya untuk memiliki kualitas tinggi dalam mengembangkan dan mempertahankan kemartabatan profesi. Organisasi profesi di camping membesarkan profesi itu sendiri, jugs sangat berkepentingan untitk ikut serta memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan umum masyarakat luas. Memperhatikan karakteristik yang menjadi tuntutan suatu profesi, dapatlah dipahami sepenuhnya bahwa tenaga profesional perlu dipersiapkan di perguruan tinggi, mulai dari pendidikan program sarjananya sampai dengan objek praktik program pendidikan profesinya. Aspek-aspek keintelektualan/ keilmuan, kompetensi dan teknologi operasional, kode etik, dan aspek-aspek sosialnya seluruhnya dipelajari melalui Program Sarjana Pendidikan dan Pendidikan Profesi. 2. Trilogi Profesi Memperhatikan keseluruhan ciri dan isi suatu profesi, dipahami bahwa spektrum suatu profesi dapat digambarkan dalam bentuk trilogi berikut:

Di dalam suatu profesi diidentifikasi tiga komponen yang secara langsung saling terkait, ketiganya harus ada, dan apabila, salah satu atau lebih komponen itu tidak ada, maka profesi itu akan kehilangan eksistensinya. Ketiga komponen Trilogi Profesi adalah: (1) dasar keilmuan, (2) substansi profesi, dan (3) praktik profesi. Komponen dasar keilmuan menyiapkan (calon) tenaga profesional dengan landasan dan arah tentang wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap (WPKNS) berkenaan dengan profesi yang dimaksud. Komponen substansi profesi memberikan modal tentang apa yang menjadi fokus dan objek praktik spesifik profesi dengan bidang khusus kajiannya, aspek-aspek kompetensi, sarana operasional dan manajemen, kode etik, serta landasan praktik operasinal. Komponen praktik merupakan realisasi pelaksanaan pelayanan profesi setelah kedua komponen profesi (dasar keilmuan dan subtansi profesi) dikuasai. Memperhatikan ketiga. komponen Trilogi Profesi tersebut di atas, dapatlah dikatakan bahwa suatu profesi tersebut diatas, dapatlah dikatakan bahwa suatu profesi tanpa dasar keilmuan yang tepat akan mewujudkan kegiatan professional yang tanpa arah dan atau bahkan malpraktik tanpa substansi profesi yang tepat jelas dan spesifik, suatu peofesi itu akan kerdi, mandul dan dipertanyakan isi dan manfaatnya, dan tanpa praktik profesi, maka profesi menjadi tidak terwujud, dipertanyakan eksistensinya, dan tenaga professional yang dimaksud tidak berarti apa-apa bagi kemasalahatan kehidupan manusia. 3. Profesi Bermartabat Di atas semua karateristik keprofesionalan, apabila trilogi profesinya telah terbina dan teraplikasikan yang ditampilkan sangat dengan baik, maka suatu profesi pada tenaga profesional yang semestinyalah menjadi profesi yang bermartabat. Kemartabatan suatu profesi tergantung mempersiapkan diri untuk pemegang profesi yang dimaksudkan itu. Kemartabatan yang dimaksudkan itu meliputi kondisi sebagai berikut: a. Pelayanan profesional yang diselenggarakan benar-benar bermanfaat bagi kemaslahatan kehidupan secara luas. Sebagaimana diketahui, upaya, pelayanan profesi merupakan hajat hidup semua orang dalam kadar yang

sangat mendasar dan penting, dari generasi ke generasi. Oleh karenanya, upaya pelayanan, apalagi yang bersifat formal dan diselenggarakan berdasarkan aturan perundangan, tidak boleh sia-sia atau terselenggara dengan cara-cara yang salah (malpraktik), melainkan terlaksana dengan manfaat yang setinggi-tingginya bagi sasaran pelayanan dan pihak-pihak lain yang terkait. b. Pelayanan profesional diselenggarakan oleh petugas atau pelaksana yang bermandat. Sesuai dengan sifatnya yang profesional itu, maka pelayanan profesi yang dimaksud haruslah dilaksanakan oleh tenaga yang benarbenar dipercaya untuk menghasilkan tindakan dan produk-produk pelayanan dalam mutu yang tinggi. Program pendidikan sarjana dan profesi yang terpadu dan sinambung dalam rangka pengembangan/pembinaan trilogi profesi merupakan sarana, dasar dan esensial untuk menyiapkan pelaksana yang dimaksudkan itu. Lulusan program pendidikan profesi diharapkan benar-benar menjadi tenaga profesional handal yang layak memperoleh kualifikasi bermandat, baik dalam arti akademik, kompetensi, maupun posisi pekerjaannya. c. Pelayanan profesional yang dimaksudkan itu diakui secara sehat oleh pemerintah dan masyarakat. Dengan kemanfaatan yang tinggi dan dilaksanakan oleh pelaksana yang bermandat, pemerintah dan masyarakat tidak ragu-ragu mengakui dan memanfaatkan pelayanan yang dimaksudkan itu. Dalam bidang pendidikan, peraturan perundangan telah secara umum menyatakan pentingnya keprofesionalan tenaga pendidik, yang selanjutnya mudah-mudahan dilanjutkan dengan pengakuan yang sehat atas lulusan Pendidikan Profesi Pendidik dan pelayanan yang mereka praktikkan. Demikian juga masyarakat diharapkan memberikan pengakuan secara tehnik" melalui pemanfaatan dan penghargaan yang tinggi atas profesi pendidik tersebut.

BAB III TRILOGI PROFESI KONSELOR Dikuasainya dan diterapkannya trilogi profesi konselor merupakan kunci bagi suksesnya profesionalisasi bidang konseling. Seluruh upaya dalam gerakan profesionalisasi tersebut di arahkan kepada pembinaan konselor yang benar-benar menguasai trilogy profesi konselor dan terandalkan dalam penerapannya. A. KONSELOR SEBAGAI PENDIDIK Menurut peraturan perundangan, keterkaitan konselor dengan pendidik dapat dilihat pada pasal/ayat aturan perundangan berikut: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, nwsyarakat, bangsa dan negara (UU No. 20/2003 Pasal 1 Butir 1). Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor) pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan (UU No. 20/2003 Pasal I Butir 6). Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai basil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakai terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (UU No. 20l2003 Pasal 39 Ayat 2). Dari kutipan di atas amatlah jelas bahwa konselor adalah pendidik, setara dengan jenis jenispendidik lainnya, seperti guru, dosen, widyaiswara, dan lain-lain yang tentu saja dikenai oleh tugastugas fungsional berkenaan dengan kegiatan pendidikan pada umumnya, tugas fungsional pokok dan mendasar bagi scmua pendidik sebagaimana tercantum dalam aturan perundangan itu adalah kegiatan berkenaan dengan : 8

Belajar dan pembelajaran Pembimbingan Pelatihan Penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (khustis untuk pendidik di perguruan tinggi). Dengan demikian amat jelas pula bahwa tugas semua pendidik, tidak

hanya guru, tidak terkecuali konselor, adalah melakukan kegiatan atau pelayanan kepada peserta didik agar peserta didik itu melakukan kegiatan belajar dan mengikuti proses pembelajaran, serta pembimbingan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan oleh pendidik. Apabila pada ayat tentang pengertian pendidikan yang dikutip di atas disebut "agar peserta didik secara aktif mengeinbangkan potensi dirinya", hal itupun hanya bisa dicapai melalui kegiatan belajar dan proses pembelajaran, pembimbingan dan/atau pelatihan yang dijalani oleh peserta didik. Lebih jauh, apabila pada ayat tersebut dikemukakan (peserta didik) "memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan ", itupun pencapaian hanya bisa melalui kegiatan dan pembelajaran pembimbingan dan/atau pelatihan. Kegiatan pembimbingan yang menjadi tugas semua pendidik, tidak hanya konselor, tidak lain adalah untuk memperkuat peserta didik dalam melakukan kegiatan belajar dan menjalani proses pembelajaran pembimbingan dan/atau pelatihan. Apa yang dimaksudkan oleh peraturan perundangan itu sesuai dengan kaidah pokok keilmuan pendidikan yang menyatakan bahwa tidak ada pendidikan tanpa kegiatan belajar dan proses pembelajaran, atau dengan kata-kata lain: pendidikan hanya dapat terselenggara melalui kegiatan belajar dan proses pembelajaran yang dijalani/diikuti oleh peserta didik. Dengan pengertian tersebut di atas, konselor sebagai pendidik, sebagaimana juga pendidik-pendidik lainnya, pastilah menanggung kewajiban untuk mengembangkan situasi di mansngu peserta ini melakukan kegiatan belajar dan mengikuti proses pembelajaran, serta mengikuti pembimbingan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan pendidik. Hal yang seringkali dipersoalkan adalah, kalau semua pendidik berurusan dengan kegiatan belajar, 9

proses pembelajaran pembimbingan dan/atau pelatihan terhadap peserta didik, lalu apa beda antara jenis pendidik yang satu dengan yang lainnya? Inilah pennasalahan yang orang sering menyebutnya sebagai konteks tugas dan ekspektasi kinerja. Kita lihat misalnya guru dan konselor. Memang perlu dipertanyakan dan dijawab dengan tegas, apa konteks tugas dan dan ekspektasi kinerja masing-masing bagi guru dan konselor; kalau tidak, akan muncul kerancuan yang membingungkan dan bahkan menyesatkan. Ada orang yang menyatakan bahwa di satu sisi guru menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan, sedangkan di sisi lain konselor tidak menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan. Ini merupakan salah satu contoh pernyataan yang membingungkan dan sekaligus agaknya menyesatkan. Pertama, mengapa untuk guru disebutkan digunakan kata pembelajaran, sedangkan konselor tidak, padahal semua pendidik, termasuk guru dan konselor, berkewajiban menyelenggarakan proses pembelajaran? Apakah ini bukan penyesatan terhadap nuokim aturan perundangan tersebut di atas? Kedua, mengapa hanya guru yang disebutkan menggunakan materi pembelajaran, dan apakah konselor tidak menggunakan materi pembelajaran tertentu dalam membelajarkan peserta didik (dalam hal ini klien)? Kalau tidak ada materi pembelajaran yang digunakan konselor, konselor menggunakan apa? Materi layanan konselingnya apa? Apakah layanan konseling bukan layanan pembelajaran dan materi yang ada di dalamnya bukan materi pembelajaran? Pertanyaan-pertanyaan tersebut timbal karena adanya konsep yang membingungkan. Ketiga, mungkin orang yang mengemukakan pernyataan tersebut mengira bahwa "materi pembelajaran" yang dimaksudkan undang-undang wujudnya hanyalah materi pelajaran seperti Fisika, IPS, IPA. Matematika di SD, SMP, SMA dan sebagainya. Kalau itu maksudnya, memang benar bahwa itu adalah materi pembelajaran sebagai bentuk tugas guru, bukan konselor. Tetapi, apakah materi pembelajaran yang dimaksudkan oleh undang-undang hanya berupa materi-materi pelajaran sekolah-sekolah seperti itu saja? Sesungguhnyalah, materi pembelajaran dapat berupa segala sesuatu yang layak dan dapat dipelajari oleh peserta didik, tidak hanya materi

10

pelajaran di sekolah. Materi kemampuan mengenal diri, sikap, kebiasaan dan keterampilan belajar, pengembangan bakat dan minat serta pilihan karir, dan lain sebagainya, semunya merupakan, materi yang perlu dipelajari oleh peserta didik melalui kegiatan belajar dan proses pembelajaran yang dijalani peserta didik melalui hubungannya dengan pendidik. Apa yang dibedakan orang tentang konteks tugas guru dan konteks tugas konselor seperti tersebut di atas, ternyata justru membingungkan dan tidak mencapai sasaran sebagaimana diinginkan. Sebenarnya secara lebih mudah, perbedaan antara konteks tugas guru dan konteks tugas konselor dapat dilihat dari dua hal yaitu (a) materi pembelajaran, dan (b) cara pembelajaran. Metode pembelajaran oleh guru adalah materi pembelajaran bidang studi yang diselenggarakan dengan cara mengajar, sedangkan materi pembelajaran konselor adalah pengembangan kemampuan pribadi, penyesuaian diri, sikap dan kebiasaan belajar, pilihan karir, dsb. Dengan cara seperti itu apa yang dimaksud dengan konteks tugas dan ekspektasi kinerja guru dan konselor menjadi jelas. Uraian selanjutnya tentang perbandingan antara konteks tugas dan ekspektasi kinerja guru dan konselor, keduanya sebagai pendidik profesional, dapat dibaca pada pembahasan tentang trilogi profesi. Lebih jauh, peraturan perundangan menyebutkan: Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (PP No. 1912005 Pasal 28 Butir 1). Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: a. Kompetensi pedagogik b. Kompetensi kepribadian c. Kompetensi profesional d. Kompetensi sosial (sda. Pasal 28 Ayat 3) Dengan tegas, peraturan mengemukakan bahwa pendidik merupakan agen pembelajaran, artinya pendidik sebagni pengajar, pendorong dan pembangkit motivasi belajar pescau didik dalam kegiatan mandiri maupun 11

melalui proses pembelajaran, pembimbingan/pelatihan yang dikelola oleh pendidik. Dengan demikian adalah menjadi tugas pendidik, termasuk konselor, untuk tidak bosan-bosannya, didasari oleh motivasi altruistik, mengupayakan agar peserta didik belajar dan menjalani proses pembelajaran pembimbingan/pelatihan dengan sepenuh daya untuk pengembangan dirinya secara optimal. Untuk itu pendidik perlu memiliki kompetensi yang dikategorikan sebagai kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial. Permendiknas No. 27/2008 tentang SKAKK secara jelas merinci unsurunsur keempat kategori kompetensi itu bagi konselor, yang adalah pendidik. B. KOMPONEN TRH OGI PROFESI KONSELOR 1. Ilmu Pendidikan Konselor diwajibkan menguasai ilmu pendidikan sebagai dasar dari keseluruhan kinerja profesionalnya dalam bidang pelayanan konseling, karena konselor digolongkan kedalam kualifikasi pendidik, dan oleh karenanya pula dikateorikan akademik seorang konselor pertama-tama adalah Sarjana Pendidikan. Dengan keilmuan inilah konselor akan menguasai dengan baik kaidah-kaidah keilmuan pendidikan sebagai dasar dalam memahami peserta didik (sebagai sasaran pelayanan konseling) dan memahami seluk beluk proses pembelajaran yang akan dijalani peserta didik (dalam hal ini klien) melalui modus pelayanan konseling. Dalam hal ini proses konseling tidak lain adalah proses pembelajaran yang dijalani oleh sasaran layanan (klien) bersama konselornya. Dalam arti yang demikian pulalah, konselor sebagai pendidik diberi label juga sebagai agen pembelajaran. 2. Substansi Profesi Konseling Di atas kaidah-kaidah ilmu pendidikan itu konselor membangun substansi profesi konseling yang meliputi objek praktis spesifik profesi konseling, pendekatan, dan teknologi pelayanan, pengelolaan dan evaluasi, serta kaidah-kaidah pendukung yang diambil dari bidang keilmuan lain. Semua subtansi tersebut menjadi isi dan sekaligus fokus pelayanan konseling. Secara keseluruhan substansi tersebut dikemas sebagai modus pelayanan konseling. Objek praktis spesifik yang menjadi fokus pelayanan konseling

12

adalah kehidupan efektif sehari-hari (KES). Dalam hal ini, sasaran pelayanan konseling adalah (a) kondisi KES yang dikehendaki untuk dikembangkan, dan (b) kondisi kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu (KES-T). Dengan demikian, pelayanan konseling pada dasarnya adalah upaya pelayanan dalam pengembangan KES dan penanganan KES-T. Kehidupan efektif sehari-hari (KES) dapat diwujudkan oleh individu setiap scat, di sembarang tempat dan pada berbagai kondisi dalam kehidupan individu, yaitu di dalam keluarga, dalam hubungan sosial, kegiatan pendidikan, karir, keagamaan, politik, ekonomi, seni budaya, olahraga, dan lain-lain, serta dalam kehidupun pribadi individual yang paling menyendiri sekalipun. KES itu terselenggara dalam suasana sadar tujuan, nyaman dun menyegarkan, merangsang dan menantang timbulnya rasa bahagia dan suasana positif lainnya, didukung kompelensi dan perencanaan yang memadai, dan diwarnai oleh suasana moral sosial-spiritual/religius yang sesuai dan/afittj diharapkan. Sebaliknya, dalam kondisi tertentu, individu jugs dimungkinkan berada dalam kondisi kehidupan "efektif sehari-hari" yang terkendala (KEST). Dalam kondisi KES-T (terganggu, terhambat, tersakiti, terugikun, terzalimi, ternoda, tersingkir, dan lain-lain) individu mengalami kesulitan, kesusahan, kekurangun, ketidakwajaran, kecewa, dan suasana-suasana lain yang membuatnya tidak bahagia, tidak berdaya, tidak berani, tidak menepati peraturan, dan berbagai suasana lain yank tidak diinginkan. Kondisi KES-T itu ditandai oleh saluh satu atau lebih gejala rasa aman terganggu, kompetensi tidak memadai dan/atau tidak teraplikasikan, aspirasi terlalu tinggi atau terlalu rendah, semangat terdegradasi, dan kesempatan yang ada terbuang sia-sia. Kondisi KES itulah yang diharapkan dominan ada ataupun terjadi dan diterjadikan oleh individu sepanjang hidupnya. Dalam pada itu, KES-T yang terjadi mestilah ditangani segera agar tidak berlarut-larut atau bahkan menimbulkan KES-T KES-T baru, dan agar kondisi KES terjelang kembali. Arah yang diharapkan adalah, individu yang bersangkutan mampu memperkembangkan dan niciii terjadi-kan kondisi KES pada dirinya sendiri, sekaligus aspek-aspek positifnya terimbaskan kepada lingkungan sekitarnya. Lebih jauh, adalah sangat menggembirakan apabila kondisi KES-T yang

13

dialami individu (a) tidak mengimbaskan hal-hal negatif kepada lingkungan, b) dapat diatasi oleh individu itu sendiri, dan (c) dapat dimanfaatkan oleh individu itu untuk memperkuat dan lebih mendorong kemampuan dan terjadinya KES pada dirinya. Itulah yang dimaksud dengan kemandirian positif dinamis. Demikianlah objek praktis spesifik profesi konseling, yaitu pengembangan kemampuan KES dan penanganan kondisi KES-T individu pada segenap aspek kehidupan dan tahap perkembangannya menuju kemandirian positif-dinamis dirinya.

14

BAB IV PROGRAM PENDIDIKAN PROFESIONAL KONSELOR Pembinaan konselor yang benar-benar profesional dilakukan melalui program pendidikan dua jenjang bersinambungan, yaitu program pendidikan Sarjana (S-1) Konseling dan lanjutanya program Pendidikan Profesi Konselor. Program-program pendidikan ini sudah memperoleh landasan formal yang mantap, yaitu Dasar Standardisasi Profesi Konseling (DSPK), dan kemudian Permendikas No. 27/2008 tentang Standar Kualifikasi Akadetnik dan Kompetensi Konselor, dengan tetap mendasarkan diri pada peraturan perundangan terdahulu yang telah ada. A. POLA UMUM PENDIDIKAN Memperhatikan ketentuan dan arah keprofesian konselor sebagaimana dikemukakan di atas, pendidikan profesional (calon) konselor disusun dalam dua tingkat program pendidikan yang sinambung, yaitu program Pendidikan Sarjana (S-1) Konseling dan program Pendidikan Profesi Konselor, yang struktur, digambarkan sebagai berikut. B. PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA (S-1) KONSELING Program Sarjana (S1) Konseling merupakan dasar bagi program Pendidikan Profesi Konselor (PPK). Dalam hal ini terpenuhilah kesinambungan linear antara program Pendidikan Sarjana (S1) Konseling dan program Pendidikan Profesi Konselor. Keterkaitan ini seharusnyalah sungguhsungguh signifikan yang secara keseluruhan menyangkut karakteristik dan trilogi profesi konselor. Substansi program Pendidikan Sarjana dan Pendidikan Profesi konselor sepenuhnya berada, di dalam, kawasan trilogi profesi yang dipuncaki oleh praktik profesi untuk sasaran pelayanan. 1. Visi dan Misi Visi dan misi umum, program Pendidikan Sarjana Konseling adalah sebagai landasan bagi tersedianya calon konselor profesional yang memenuhi karakteristik dun trilogi profesi konselor demi kemartabatan profesi; calon konselor ini diproyeksikan untuk melanjutkan studi kr

15

program PPK yang nantinya mampu menyelenggarakan pelayanan profesi konseling di semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan, dan di masyarakat luas. Misi khusus program Pendidikan Sarjana Konseling adalah menyiapkan sarjana calon konselor yang memiliki kemampuan akademik kesarjanaan pada umumnya, khususnya yang mendasari kualifikasi dan kompetensi profesi konselor setelah tamatan program sarjana konseling itu menyelesaikan program Pendidikan Profesi Konselor nantinya. 2. Tujuan a. Tujuan Umum Program Pendidikan Sarjana (S1) Sarjana bertujuan untuk menghasilkan Sarjana Pendidikan calon konselor yang mempunyai kemampuan akademik sarjana yang mendasari kualifikasi dan kompetensi konselor profesional. b. Tujuan Khusus Tujuan khusus Program Pendidikan Sarjana (N 1) Konseling adalah untuk menghasilkan : 1) Sarjana Pendidikan bidang konseling yang menguasai kemampuan dasar kesarjanaan dithun rangka karakteristik profesi dan trilogi Imstro konselor. Secara khusus, kemampuan sarjana konseling ini diorientasikan pada dasar-dasar keilmuan dan teknologi pelayanan konseling serta wawasan dinamis operasional tentang keberadaan dan kondisi lapangannya pada setting jalur, jenis, dan/atau jenjang satuan pendidikan yang relevan serta setting di luar persekolahan. 2) Sp. 1). 3) Sarjana yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti program pendidikan Magister dalam bidang tertentu, terutama bidang pendidikan. Sarjana konseling yang memenuhi persyaratan dasar untuk mengikuti program Pendidikan Profesi Konselor (Strata Satu

16

3. Kompetensi dan Kewenangan Lulusan a. Kompetensi Lulusan (a) (b) (c) (d) 1) Kompetensi kepribadian kompetensi pedagogic kompetensi profesional kompetensi sosial. Sarjana konseling berwenang memasuki dunia kerja

b. Kewenangan Lulusan: sebagaimana pemegang ijasah Sarjana lainnya, baik untuk instansi negeri maupun swasta, sesuai dengan formasi yang ada utamanya di bidang kependidikan. 2) Sarjana konseling berwenang melanjutkan studi pada program Pendidikan Profesi Konselor (PPK) sesuai dengan persyaratan yang berlaku. 3) Sarjana konseling berwenang melanjutkan studi pada program pendidikan magister (S2) bidang konseling, kependidikan atau non-kependidikan sesuai dengna persyaratan yang berlaku. 4. Perlengkapan Penyelenggaraan program sarjana konseling ditunjang oleh berbagai perlengkapan, terutama sebagai berikut: a. Ruang kuliah, seminar, pengelola, dosen, dan administrasi, serta perlengkapannya. b. Perpustakaan. c. Laboratorium beserta perangkat keras dan lunak masing-masing sesuai dengan materi trilogi profesi konseling. d. Tempat dan fasilitas wawasan pengenalan/orientasi aplikatif aspek-aspek lapangall keilmuan untuk dan pengembangan

teknologi substansi kurikulum, terutama pada lingkungan pendidikan dasar dan menengah.

17

C. PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI KONSELOR (PPK) Program Pendikan Profesi Konselor (PPK) merupakan kelanjutan langsung dari program Sarjana (S1) Konseling Kesinambungan (linear) antara program Pendidikan Sarjana (S1) Konseling dan program PPK merupakan keterkaitan yang sungguh-sungguh signifikan menyangkut keseluruhan karakteristik profesi dan trilogi profesi konselor. Substansi program PPK sepenuhnya berada di dalam kawasan trilogi profesi yang sudah diawali pembinaan dasar-dasarnya pada pendidikan program Sarjana (S-1) Konseling. Secara menyeluruh program PPK didasarkan pada ketentuan resmi tentang pendidikan profesi sebagai berikut: Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. (UU No. 2012003 Penjelasan Pasal 15). 1. Visi dan Misi Visi dan misi umum program PPK adalah tersedianya konselor profesional bergelar Konselor (disingkat Kons.) yang memenuhi semua karakteristik profesi dalam rangka trilogi profesi konselor demi kemartabatan profesi bagi terselenggaranya pelayanan konseling di semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, serta pelayanan konseling di luar satuan-satuan pendidikan. Misi khusus program PPK adalah menyiapkan konselor profesional bergelar Konselor (Kons.) yang memiliki kualifikasi dan menguasai secara penuh kompetensi konselor sebagaimana tercantum di dalam Permendiknas No. 27/2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor (SKAKK). 2. Tujuan a. Tujuan Umum Program PPK bertujuan untuk menghasilkan konselor profesional yang bergelar Konselor (Kons.) yang mampu menyelenggarakan praktik profesi konseling bermartabat di berbagai setting persekolahan, perguruan tinggi dan msayarakat luas.

18

b. Tujuan Khusus Tujuan khusus program PPK adalah untuk menghasilkan : 1) Tenaga profesional yang bergelar Konselor (Kons.) yang menguasai sepenuhnya standar kompetensi konselor dalam rangka karakteristik profesi dan trilogi profesi konselor. Secara khusus, kemamnpuan konselor ini diorientasikan pada standar kompetensi konselor sebagaimana tertuang di dalam Permendiknas No. 27/2008 tentang standar Kompetensi Akademik dan Kompetensi konselor. 2) Konselor yang memenuhi persyaratan dasar untuk menjalankan praktik-praktik konseling profesi konseling pada setting persekolahan, perguruan tinggi dan di luar persekolahan, serta berpraktik pribadi (private).

19

BAB V LAPANGAN PRAKTIK PELAYANAN PROFESIONAL KONSELOR A. MODUS PELAYANAN KONSELING Modus pelayanan konseling merupakan bentuk proses, pembelajaran yang diselenggarakan oleh konselor yang terkandung di dalamnya jenis layanan konseling, kegiatan pendukung, tahapan operasional, format pelayanan yang secara menyeluruh disusun/ direncanakan oleh konselor demi suksesnya pelayanan tersebut untuk kepentingan satuan layanan. 1. Jenis Layanan Sebagaimana telah disinggung terdahulu, ada Sembilan jenis layanan konseling yang dapat digunakan pada semua setting pelayanan., dalam wilayah persekolahan maupun di luar persekolahan, yaitu: a. Layanan Orientasi b. Layanan Informasi c. Layanan Penempatan dan Penyaluran d. Layanan Penguasaan Konten e. Layanan Konseling Perorangan f. Layanan Bimbingan Kelompok g. Layanan Konseling Kelompok h. Layanan Konsultasi i. Layanan Mediasi Sebagai metode dan cara-cara pelayanan terhadap klien, jenis jenislayanan tersebut di atas merupakan "kekayaan" konselor yang sewaktuwaktu dapat dikeluarkan dan diterapkan dalam praktik pelayanan profesionalnya. Masingmasing jenis layanan itu dapat secara sendiri-sendiri ataupun juga secara eklektik digunakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan klien. 2. Jenis Kegiatan Pendukung a. Aplikasi instrumentasi b. Himpunan Data

20

c. Konferensi Kasus d. Tampilan Kepustakaan e. Kunjungan Rumah f. Alihtangan Kasus Dari sejumlah kegiatan pendukung itu, yang sedapatdapatnya tidak perlu dilakukan adalah "alih tangan kasus", dalam arti konselor benar-benar mampu menyelenggarakan pelayanan yang benar-benar berhasil sesuai dengan kebutuhan klien yang memerlukan bantuan. Itu tidaklah berarti bahwa adalah sesuatu yang tahu bagi konselor untuk mengalihtangankan kasus kepada ahli yang berwenang. terlebih-lebih lagi apabila konselor mengingat "daerah larangan" untuk menggarapnya, yaitu kondisi sasaran layanan (klien) yang terkait dengan penyakit (penyakit fisik dan mental), kriminal, keabnormalan akut, ilmu hitam seperti guna-guna dsb, serta peredaran narkoba. Aplikasi kegiatan pendukung sangat tergantung pada kondisi jenis layanan yang digunakan oleh konselor dalam melayani kliennya. 3. Tahapan Operasional Pelayanan terhadap sasaran layanan tidaklah melalui kegiatan yang sifatnya acak, melainkan mengiktui aturan serangkaian tahapan yang terencana dan sistematis dengan mengikuti secara sungguh-sungguh: a. b. efisien c. Pengelolaan kegiatan berbasis kinerja; dengan menerapkan standar prosedur operasional (SPO) jenis layanan dan/atau kegiatan pendukung yang bersangkutan d. e. Prinsip, asas, dan kode etik profesi Peduli atas hasil layanan, dan motivasi altruistik konselor Aplikasi tahapan operasional pelayanan konseling itu terkait langsung kondisi dan kebutuhan sasaran layanan yang menjadi fokus pelayanan konseling itu sendiri. 4. Format Layanan Perencanaan berdasarkan kebutuhan Pendayagunaan semua kekuatan seumber daya seacra efektif dan

21

Kegiatan pelayanan konseling terhadap sasaran layanan yang di dalamnya memuat jenis-jenis layanan konseling, kegiatan pendukung, dan tahapan oeprasional dapat terlaksana dalam bentuk satuan layanan menurut bentuk atau format sebagai berikut: a. b. c. d. Format Format Individual, Kelompok, yaitu yaitu format format layanan layanan konseling konseling yang yang diaplikasikan secara langsung kepada satu orang klien. diaplikasikan dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Format Klasikal, yaitu format layanan konseling dalam suasana Format Lapangan, yaitu format layanan konseling dengan kelas yang diikuti oleh sejumlah sasaran layanan menggunakan unsur-unsur ataupun objek-objek yang ada di lapangan, di luar kelas. e. Format Komunikasi Khusus, yaitu cars khusus yang ditempuh konselor dengan menghubungi pihak-pihak terkait yang dapat memberikan kemudahan tertentu berkenaan dengan penanganan permasalahan klien f. Format Jarak Jauh, yaitu kegiatan pelayanan yang dilakukan Surat, telepon, handphone, atau bahkan fasilitas melalui komunikasi jarak jauh antaia konselor dan sasaran layanan, seperti menggunakan teleconference. B. PELAYANAN KONSELING DI SEKOLAH/ MADRASAH 1. Pelayanan Konseling dalam Kurikulum: KTSP Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum pendidikan yang diberlakukan untuk setiap satuan pendidikan (sekolah/madrasah) yang didasarkan pada Peraturan Materi Pendidikan Nasionul Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah serta Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah. Yaitu komponen mata pelajaran, muatan local, dan pengembangan diri. Komponen pengembangan diri terdiri dari dua sub-komponen, yaitu pelayanan konseling dan kegiatan ekstra kurikuler.

22

Dengan demikian, komponen KTSP pada satuan pendidikan dianggap lengkap apabila meliputi seluruh komponen mata pelajaran muatan local, pelayanan konseling, dan kegiatan ekstra kurikuler. Lebih jauh, tenaga pengampu masing-masing komponen KTSP telah pula ditentukan. Mata pelajaran dan muatan local diampu oleh guru, pelayanan konseling diampu oleh konselor, dan kegiatan ekstra kurikuler diampu oleh Pembina khusus yang masing-masing memiliki kewenangan dan kemampuan dalam bidang yang diampunya itu. Pada era profesionalisasi, para pengampu diampunya. Pada era profesionalisasi, para pengampu bidang-bidang yang dimaksud haruslah mereka yang benar-benar professional dalam bidangnya. Dalam kaitan ini pelayanan konseling yang merupakan salah satu pokok isi komponen KTSP, haruslah diampu oleh tenaga professional yang disebut konselor. Memenuhi trilogi profesinya konselor menguasai kaidah-kaidah keilmuan pendidikan sebagaimana juga dikuasai oleh guru. Dalam kaidahkaidah keilmuan pendidikan inilah konselor dan guru, dan juga para pendidik lainnya bertemu. Konselor dan guru sama-sama sebagai agen pembelaiaran bagi para siswa dalam KTSP. 2. Pengelolaan Pelayanan Konseling Berbasis Kinerja Pengelolaan kegiatan pelayanan konseling pada satuan kerja (misalnya di sekolah/madrasah) diselenggarakan dengan pola pengelolaan berbasis kinerja dengan pengawasan/pembinaan yang efektif baik dari pihak interen maupun eksteren sekolah/madrasah. a. Kinerja Konselor Pengelolaan pada dasarnya terfokus pada empat pilar kegiatan, yaitu perencanaan (planning-P), pengorganisasian (organizing-0), pelaksanaan (actuating-A), dan pengontrolan (controlling-C). Pengelolaan berbasis kinerja mendasarkan pelaksanaannya pada kinerja konselor berkenaan dengan POAC penyelenggaraan pelayanan konseling terhadap sasaran pelayanan yang menjadi tanggung jawabnya. Arah POAC adalah : C. LAYANAN KONSELING DI LUAR SEKOLAIV MADRASAH

23

Setting pelayanan konseling di luar persekolahan cukup, bervariasi dan semuanya merupakan lahan yang sangat prospektif bagi Konselor untuk berkarya dan mendarma baktikan pelayanan fungsionalnya kepada masyarakat luas. Sebagai pola pelayanan pada setting persekolahan, pada berbagai setting yang lain pun, semua modus pelayanan konseling di atas, disertai dengan kaidah-kaidah keilmuan dan teknologinya dapat diterapkan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan sasaran layanan masingmasing, 1. Konseling dalam Keluarga Konselor dapat menyelenggarakan praktik pelayanan konseling terhadap anggota kelurga fang memerlukannya, menurut bidang layanan konseling dan menggunakan aspek-aspek modus pelayanan konseling, yang tepat. Dalam kondisi yang lebih jauh, peranan Konselor dalam keluarga dapat berposisi sebagai "Konselor Keluarga". 2. Konseling dalam Instansi/ Lembaga Kerja Pelayanan konseling dalam instansi pada umumnya dilaksanakan terhadap individu dewasa atau karyawan dengan pennasalahan karir. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan anggota keluarga dari para karyawan yang dimaksud juga memerlukan pelayanan konseling. Dalam kaitan itu, Konselor yang berpraktik pada instansi/ lembaga dapat berposisi sebagai "Konselor Instansi/Lembaga bahkan bisa dengan status pegawai negeri. 3. Konseling dalam Organisasi/ Lembaga Kemasyarakatan Pelayanan konseling dalam organisasi kemasyarakatan seringkali sifatnya tidak permanen dan sangat tergantung pada pimpinan organisasi tersebut. Sedangkan dalam lembaga kemasyarakatan, seperti panti asuhan, sifatnya bisa relatif lebih permanen. 4. Konseling di Perguruan Tinggi Secara struktur kelembagaan perguruan tinggi lebih banyak persamaannya dengan sekolah/ madrasah; yang sangat berbeda adalah peserta didiknya, yaitu mahasiswa yang seluruhnya adalah orang dewasa. Oleh karenanya, penyelenggaraan pelayanan konseling di perguruan tinggi pada umumnya sejalan dengan apa yang dapat

24

terselenggara di sekolah/madrasah, sesuai dengan sasaran individu yang telah dewasa. 5. Kegiatan Pelayanan Konseling Mandiri (Privat) Kegiatan pelayanan konseling privat benar-benar merupakan kewenangan khas bagi para lulusan program PPK dengan gelar profesi Konselor (Kons.) Kedudukan dan sifat kegiatan pelayananan privat profesi konseling itu kurang lebih sama dengan praktik privat para dokter. Untuk ini Konselor memerlukan izin praktik yang dikeluarkan oleh organisasi profesi konseling.

25

BAB VI PERAN ORGANISASI PROFESI KONSELING Perlunya organisasi profesi, dalam hal ini profesi kosneling, menjadi salah satu karakterisiik adanya suatu organisasi profesi. Organisasi ini menghimpun orang-orang dengan profesi yang sama, dan di dalam kesamaan itulah mereka bersama-sama bersatu padu melakukan berbagai upaya agar profesi yang mereka panggul itu berguna bagi kehidupan, bagi kehidupan mereka sendiri, dan terlebih lagi bagi orang lain yang menjadi sasaran layanan, serta kemaslahatan kehidupan pada umumnya. Orientasi utama kehidupan organisasi profesi itu, apalagi yang amat peduli dengan salah satu karakteristik profesi itu sendiri, yaitu sifat pelayanannya yang didasarkan pada motivasi altruistik, adalah bagaimana supaya profesi itu benarbenar berkembang, memenuhi segala macam karakteristik kemantapan triloginya, serta kemartabatannya. Untuk itu, organisasi profesi pada umumnya berpegang pada apa yang disebut Iridartwi organisasi profesi, yaitu : 1. 2. 3. Ikut serta mengembangkan ilmu dan teknologi profesi Meningkatkan mutu pelayanan kepada sasaran layanan Menjaga kode etik profesi

Berkenaan dengan organisasi profesi konseling, tridarma tersebut di atas tentulah difokuskan kepada pelayanan konseling dengan keenam karakteristik, trilogi profesi dan kemartabatan sebagaimana telah diuraikan terdahulu. Dalam, kaitan itu, organisasi profesi konseling memberikan masukan dan sokongan yang sifatnya konstruktif kepada pihak-pihak pemeran utama pengembangan ilmu dan teknologi konseling, dalam hal ini pergunian finggi. Di lapangan praktik pelayanan profesi, pada berbagai setting persekolahan dan di luar persekolahan, organisasi profesi mendorong para pelaksana di lapangan dan lembagalembaga yang terkait untuk secara terus menerus meningkatkan pelayanan profesional mereka. Berbagai program pelatihan, penataran dan kegiatan dalam jabatan lainnya dengan tujuan peningkatan mutu pelayanan kepada sasaran layanan, didorong terlaksananya. Dalam pada itu, penegakan kode etik profesi dikawal

26

dengan baik agar tidak dilanggar, sehingga pelayanan profesi tidak dicemari oleh praktik yang melanggar (kegiatan malapraktik). Dalam hal itu, kemartabatan profesi perlu dijaga dan dilestarikan. Di samping memfokuskan diri pada kegiatan tridarma itu, organisasi profesi jugs melayani anggotanya dari sisi kesejahteraan kehidupan bersama dalam, organisasi, serta dalam perlindungan hukum untuk kelancaran kegiatan profesi dan keamanan para anggota dalam bekerja, dalam pengabdiaannya kepada masyarakat.

27

BAB VII LANGKAH STRATEGIS Berbagai hal telah diuraikan sejak latar belakang, arah dan upaya pengembangan tenaga profesional sampai dengan bentuk praktik pelayanan profesi konseling di berbagai setting. Untuk terpenuhinya semua karakteristik profesi, trilogi profesi, dan kemartabatan profesi konseling, berbagai upaya, dan bahkan per uangan masih perlu ditempuh, dengan arah yang jelas, dan dengan kegiatan yang konkrit. Upaya tersebut, berdasarkan dan search dengan peraturan yang berlaku, terutama yang terfokus pada: Dasar Standardisasi Profesi Konseling (DSPK) Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi Permendiknas No. 27/2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor Langkah-langkah tenarah dan konkrit terutama tertuju untuk memenuhi amanat Permendiknas No 27/2008 itu, khususnya Kktum yang menyatakan bahwa: Kualifikasi akademik Konselor dalam satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal adalah : (1) Sarjana pendidikan (S-1) dalam bidang bimbingan dan konseling (2) Berpendidikan profesi konselor Penyelenggara pendidikan yang satuan pendidikannya ntempekerjakan konselor wajib menerapkan Standar kualifikasi akademik dan Kompetensi Konselor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri paling lambat 5 tahun setelah Peraturan Menteri ini berlaku. Pemenuhan terhadap amanat tersebut secara khusus difokuskan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga konselor di sekolah/ madrasah dan perguruan tinggi. Untuk itu sangat perlu dan mendesak diperkuatnya jurusan/program studi di LPTK, yaitu jurusan/program studi Sarjana (S-1) Bimbingan dan Konseling serta program Pendidikan Profesi Konselor (PPK) sebagai penghasil tenaga konselor, yaitu pemegang gelar profesi Konselor (Kons) sesuai dengan Permendiknas tersebut. Selanjutnya para pemegang gelar profesi konselor tersebut 28

diangkat menjadi tenaga pendidik profesional pelaksana pelayanan konseling di sekolah/madrasah dan perguruan tinggi. Setidak-tidaknya ada tiga pokok langkah strategic yang perlu ditempuh dalam rangka memenuhi amanat Permendiknas No 27/2008, yaitu: 1. Memperkuat kedua tingkat program pendidikan profesional konselor, yaitu program Sarjana (S-1) Konseling dan program Pendidikan Profesi Konselor, melalui kegiatan: a. Memperkuat Kurikulum Program Sadana (S-1) Konseling sebagai dasar kemampuan akademik yang diikuti para mahasiswa calon konselor, yang kemudian mereka melajutkan studi ke program PPK b. Meningkatkan kualifikasi dosen program Sarjana (S-1) Konseling untuk memperkuat mutu pendidikan jenjang akademik calon tenaga profesional konselor itu, dengan jalan : 1) 2) Menempuh studi lanjut untuk memperoleh kualifikasi Mengikuti program PPK untuk memperoleh keterampilan Magister Pendidikan (sedapat-dapatnya dalam bidang konseling) keahlian konseling sebagai penyandang gelar profesi Konselor (Kons). Kesempatan ini diperoleh dosen-dosen jurusan/program studi BK melalui beasiswa dari pemerintah (Dikti) untuk mengikuti program PPK. c. Memberikan kesempatan kepada jurusan/ program studi Sarjana (S-1) Bimbingan dan Konseling yang sampai sekarang masih off untuk di-on-kan kembali, dan segera menyusun kurikulum sebagaimana tersebut pada butir no La di atas dan meningkatkan mutu dosendosenya melalui kegiatan sebagaimana tersebut pada butir no. Lb. 1) dan 2) di atas. d. Membuka program PPK di berbagai LPTK yang telah siap dengan dosen-dosen yang berkualifikasi S2 (Magister Pendidikan, sedapatdapatnya dalam bidang konseling) dan bergelar profesi Konselor (Kons.) tamatan PPK sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

29

2.

Memperkuat jajaran pelaksanaan pelayanan profesi konseling di a. Menyusun perangkat peraturan yang menetapkan pelaksana pelayanan konseling di sekolah/madrasah sebagai Konselor yang kedudukan dan fungsinya setara dengan guru; demikian jugs tentang hak-hak dan kewajibannya setara dengan guru. b. Memberi kesempatan kepada Sarjana (S-1) Bimbingan dan Konseling yang sudah beker a di sekolah/madrasah untuk melanjutkan studi (dalam jabatan) ke jenjang pendidikan profesi, yaitu program PPK dengan biaya dari pemerintah. c. Memberikan kesempatan kepada para Sarjana (S-1) Bimbingan dan Konseling untuk mengikuti program PPK (prajabatan) yang telah dibuka di LPTK, dengan beasiswa dari pemerintah, dan mereka yang telah menamatkan program PPK serta mendapat gelar profesi Konselor (Kons.) segera diangkat menjadi konselor di sekolah/madrasah. d. Mengangkat Konselor (Kons.) di perguruan tinggi untuk menangani pelayanan konseling bagi para mahasiswa.

sekolah/ madrasah dan perguruan tinggi, melalui kegiatan:

3.

Memperkuat organisasi profesi konseling untuk: a. Menyelenggarakan tridharma organisasi profesi konseling b. Menerbitkan izin praktik bagi para penyandang gelar profesi Konselor (Kons.) dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan. c. Menyelenggarakan kegiatan keorganisasian lainnya untuk kemajuan profesi konseling dan kepentingan anggota organisasi.

Makna Keterkaitan Antarkomponen 1. Lingkaran besar-lingkaran kecil, menjadi Satu Makna Filosofis Makro-kosmos dan micro-kosmos menjadi satu. Manusia seutuhnya dan individu yang sedang berkembang menjadi Dua unsur yang ada, serasi menjadi satu.

satu.

30

Makna keprofesian Pendidikan dan konseling (yang mana konseling berada dalam Pendidik (konselor) dan peserta didik (klien) menjadi satu. Teori dan praktik (dalam pendidikan dan konseling), menjadi satu. Tujuan dan upaya pencapaiannya dalam pendidiakn dan pendidikan), menjadi satu.

konseling), menjadi satu. 2. Garis vertical-garis mendatar, menjadi satu Dalam konseling arah KES/KES-T dan solusinya bersesuaian, menjadi satu. Lingkaran budaya-nilai-moral dan kemandirian klien, bersesuaian dan menjadi satu. 3. Keempat unsur menjadi satu Dalam satu. Dalam konseling unsur-unsur dan arak KES/KES-Tnya serta konselor dan upaya pelayanannya, menjadi satu. 4. Gambaran logo psikologi Sejumlah kaidah psikologi digunakan sebagai alat dalam konseling. Gambaran (visualisasi abstrak) tentang kegiatan konseling (sebagai upaya pendidikan) yang melibatkan pelayanan konselor terhadap klien dengan potensi dan arah KES/KES-T nya dalam kondisi lingkungan untuk tujuan kemanusiaan seutuhnya. Menyandang predikat sebagai pekerja professional tidak mudah. Segala yang melekat pada orang dan pekerjaannya menjadi tanggung jawab penyandang pekerjaan tersebut. Demikian halnya sebagai guru pembimbing professional maka segala yang melekat pada guru pembimbing menjadi tanggungjawab professional di pundak guru pembimbing. Ucapan dan tindakannya menunjukkan komitmen dalam mengembangkan pekerjaanya. Layanannya benar-benar dilakukan secara khusus dan akhli sesuai dengan bidangnya. Selanjutnya, pekerjaannya dilakukan 31 5. Logo konseling (secara menyeluruh) konseling kaidah-kaidah pendidikan dan koseling serta kemanusiaan yang utuh dan individu yang sedang berkembang, menjadi

atas dasar pengabdian terutama kepada pengguna jasa yang dalam hal ini adalah para siswa. Dalam bekerja guru pembimbing dituntut pula menjalin kerjasama dengan sejawat dan pihak-pihak terkait lain yang ada hubungannya dengan pekerjaannya. Kode etik telah mengatur setiap ucapan dan perilaku serta kinerja. Ketidak sesuaian antara ketiga itu, sanksi proifesi akan menjemput.Agar tuntutan professional ini tercapai maka kepada guru pembimbing senantiasa dituntut untuk selalu peduli dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,peduli dengan perkembangan siswa yang menjadi subyek utama layanan, sehingga layanannya menjadi tidak monoton. Di sisi lain, guru pembimbing harus berani untuk tidak berhasil,terus berusaha menyempurnakan layanan, terus melakukan evaluasi diri. Dengan demikian pada akhirnya akan menunjukkan professional. Beberapa Istilah Ada beberapa istilah yang patut dipahami sebelum sampai pada pembahasan tentang profesionalisme guru pembimbing.Pertama, istilah profesi yang dimaksud adalah, bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian ( keterampilan, kejuruan ) tertentu ( Kamus Besar Bahasa Indonesia 1988:702). Selanjutnya, istilah profesional pemikiran kita tidak akan lepas pada pekerjaan dan komitmen orang yang melakukan pekerjaan tersebut. Menurut Danim, (dalam Sudarwan 2002:22) makna professional merujuk pada dua hal. Pertama, orang yang menyandang suatu profesi. Orang yang professional biasanya melakukan pekerjaan sesuai dengan keahliannya dan mengabdikan diri pada pengguna jasa dengan disertai rasa tanggung jawab atas kemampuan profesionalnya itu. Kedua, kinerja atau performance seseorang dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya. Jadi orang professional akan sangat berbeda dengan pekerja delitan atau pekerja amatiran. Pekerja delitan artinya, memiliki suatu keterampilan tertentu berdasarkan pengalaman atau mencontoh kepada orang lain. Sedankan pekerja amatiran adalah orang-orang yang memiliki okupasi tertentu yang sangat terampil namun tidak memiliki latar belakang ilmiah atau pembinaan yang khusus. Para amatir dapat lahir karena turun-menurun, karena kondisi lingkungan, dan atau disebabkan karena hobi. Mereka tidak memilki dasar-dasar ilmiah 32 bahwa orang-orang yang tekunlah yang dapat menjadi

dalam leksikal untuk

mmelakukan berarti sifat

pekerjaannya professional. kemampuan

Tilaar,

2000:137) Anwar dan Yasin

Selanjutnya (1997:35) menerus

profesionalisme berasal dari bahasa Ingris yaitu professionalism yang secara Menurut profesionalisme dapat diartikan sebagai komitmen para anggota suatu profesi meningkatkan profesionalnya terus mengembangkan strategi-strategi yang digunakanna dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya itu. Terakhir, istilah profesionalisasi merupakan proses peningkatan kualifikasi atau kemampuan para angota penyandang suatu profesi untuk mencapai kriteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesinya itu. Dengan demikian profesionalisasi mengandung makna dua dimensi utama, yaitu peningkatan status dan peningkaan kemampuan praktis. Dua hal ini dalam implementainya, dapat dilakukan melalui usah-usaha untuk mencapai standar ideal bagi penyandag profesi sebagaimana harapan profesinya seperti, penelitian, diskusi antar rekan profesi, membaca karya akademik kekinian, dan sebagainya. Kegiatan belajar mandiri, mengikuti pelatihan, studi banding, pengembangan pembelajaran/layanan, observasi praktikal, dan lain-lain menjadi bagian integral dari upaya profesionalisasi itu. Jadi, kemampuan professional adalah sebagai tingkat keahlian (kemahiran) yang dipersyaratkan ( dituntut untuk dapat melakukan suatu pekerjaan (jabatan) yang dilakukan secara efesien dan efektif dengan tingkat kealian yang tinggi dalam mencapai tujuan pekerjaan ( jabatan) tersebut. Untuk sampai kearah itu, diperlukan pendidikan spesialisasi tertentu yang diperoleh melalui suatu proses ( pada jenjang pendidikan tinggi). Seseorang hanya dapat diberikan kewenangan untuk melakukan pekerjaan itu apabila ia berhasil mencapai standar kemampuan minimum keahlian atau kemahiran yang diperyaratkan. Sebaliknya mereka yang tidak mencapai standar itu, tidak akan diberikan kewenangan yang dimaksud. Ciri-Ciri Jabatan Profesional Menurut Anwar Jasin ( dalam Dawam Raharjo, 1997:35), ada empat ciri jabatan atau pekerjaan yang disebut professional. Pertama, tingkat pendidikan spesialisnya mahir menuntut dan seseorang dalam melaksanakan jabatan ( pekerjaan)-nya dengan penuh tanggung jawab, kemandirian mengambil keputusan, 33 terampil

mengerjakan pekerjaannya. Biasnya pendidikan professional itu setingkat spesilaisasi pendidikan tinggi. Kedua, motif dan tujuan seseorang memilih jabatan ( pekerjaan) itu adalah pengabdian kepada kemanusiaan, bukan imbalan kebendaan ( bayaran) yang menjadi tujuan utama. Ketiga, terdapat kode etik jabatan yang secara sukarela diterima menjadi pedoman perilaku dan tindakan kelompok professional yang bersangkuan. Jadi dalam mengerjakan pekerjaannya, kode etik itulah yang menjadi standar moral perilaku anggotanya. Pelanggaran terhadap kode etik dapat menyebabkan seseorang mendapat teguran dari pimpinan organisasi profesinya , bahkan mungkin dipecat ( dikeluarkan) dari organisasi professional tersebut. Kempat, terdapat semangat kesetiakawanan seprofesi ( kelompok) misalnya dalam bentuk tolong-menolong antara anggota-anggotanya, baik dalam suka maupun dalam duka. Selanjutnya Mulyani A. Nurhadi (2005:6) mengatakan bahwa suatu jabatan dapat termasuk kategori profesi apabila memenuhi stidak-tidaknya lima syarat yaitu: 1. Didasarkan atas sosok ilmu pengetahuan teoretik ( body of teoritical knowledge) 2. Komitmen untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannya dalam praktek secara otonom dan berkekuatan monopoli 3. Adanya kode etik profesi sebagai instrument untuk memonitor tingkat ketaatan anggotaya dan system sanksi yang perlu diterapkan 4. Adanya organisasi profesi yang mengembangkan, menjaga, dan melindungi profesi; 5. Sistem sertifikasi bagi individu yang memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk dapat menjalankan profesi tersebut. Melengkapi pengetahuan kita tentang ciri-ciri sebuah profesi, Tilaar (2000:137) menyebutkan beberapa ciri para pekrja profesional adalah, (1) Memiliki suatu keahlian khusus, (2) Merupakan suatu panggilan hidup, (3) Memiliki teori-teori yang baku secara universal, (4) Mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri, (5) Dilengkapi dengan kecakapan 34

diagnostic dan kompetensi yang aplikatif, (6) Memiliki otonomi dalam melaksanaakan pekerjaaanya, (7) Mempunyai Kode etik, (8) Memiliki klien yang jelas, (9) mempunyai organisasi profesi yang kuat, dan (10) Mempunyai hubungan dengan profesi pada bidang-bidang yang lain. Apakah indikator seorang guru pembimbing professional ? Sebagai orang yang menyandang suatu profesi maka (1) guru pembimbing hendaknya melakukan pekerjaan sesuai dengan keahliannya (2) guru pembimbing mengedepankan pengabdian pada pengguna jasa dengan disertai rasa tanggung jawab atas kemampuan profesionalnya. (3) tampilan diri atau performance yang profesional. Melakukan Pekerjaan Sesuai Keahlian Keahlian guru pembimbing dalam melaksanakan tugasnya yang digambarkan dalam table dibawah ini. STANDAR KOMPETENSI KONSELOR KOMPETENSI SUB KOMPETENSI A MEMAHAMI SECARA MENDALAM KONSELI YANG HENDAK DILAYANI 1 Menghargai kemanusiaan, kebebasan konseli mengedepankan dalam kemaslahatan umum dan1.1 Mengaplikasikan pandangan positif dan bermoral, sosial, individual, dan (cirri pertama) tercermin dalam kemampuannya menguasai dan melakukan layanan konseling

menjunjung tinggi nilai nilaidinamis tentang manusia sebagai makhluk individualitas,spiritual, memilih, danberpotensi kontekspositif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya 1.3 Peduli terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya dan konseli pada khususnya 1.4 Menunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya 1.5 Toleran terhadap permasalahan konseli 2 perkembangan 1.6 Bersikap demokratis Mengaplikasikan2.1 Mengaplikasikan kaidah kaidah perilaku fisiologis danmanusia, perkembangan fisik dan psikologis 35

kemaslahatan1.2 Menghargai dan mengembangkan potensi

psikologi serta perilaku konseli

individu terhadap sasaran layanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan 2.2 Mengaplikasikan kaidah dan kaidah kepribadian, individualitas perbedaan

konseli terhadap sasaran layanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan 2.3 Mengaplikasikan kaidah kaidah belajar terhadap 2.4 sasaran layanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan Mengaplikasikan terhadap dan kaidah sasaran dalam kaidah layanan upaya keberbakatan bimbingan pendidikan 2.5 Mengaplikasikan kaidah kaidah kesehatan mental terhadap sasaran layan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan B MENGUASAI LANDASAN TEORITIK BIMBINGAN DAN KONSELING 1. Menguasai teori dan1.1 Menguasai ilmu pendidikan dan landasan praksis pendidikan keilmuannya 1.2 Mengimplementasikan prinsip prinsip pendidikan dan proses pembelajaran 1.3 Menguasai landasan budaya dalam praksis 1. Menguasai konseling pendidikan dalam pendidikan esensi2.1 Menguasai esensi bimbingan dan konseling jalur,dan informal pada satuan jenis pendidikan umum, kejujuran, keagamaan, dan khusus 2.3 Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenjang pendidikan usia dini, dasar 1. Menguasai konsep dan menengah dan3.1 Memahami berbagai jenis dan metode 36

konseling

pelayanan bimbingan danpada satuan jalur pendidikan formal, nonformal, jenjang, dan jenis satuan2.2 Menguasai esensi bimbingan dan konseling

praksis penelitian dalampenelitian bimbingan dan konseling 3.2 Mampu merancang penelitian bimbingan dan konseling 3.3 Melaksanakan penelitian bimbingan dan konseling 3.4 Memanfaatkan hasil penelitian dalam bimbingan dan konseling dengan mengakses 1. Menguasai teoritik dan jurnal pendidikan dan bimbingan dan konseling kerangka4.1 Mengaplikasikan hakikat pelayanan praksisbimbingan dan konseling dan konseling 4.3 Mengaplikasikan dasar dasar pelayanan bimbingan dan konseling 4.4 Mengaplikasikan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja 4.5 Mengaplikasikan pendekatan / model / jenis layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling 4.6 Mengaplikasikan dalam praktik format pelayanan bimbingan dan konseling C MENGEMBANGKAN PRIBADI DAN PROFESIONALITAS SECARA BERKELANJUTAN 1. Beriman dan Esa bertaqwa1.1 Bersikap demokratis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa 1.3 Konsisten dalam menjalankan kehidupan beragama dan toleran terhadap pemeluk agama lain 1. Menunjukkan 1.4 Berakhlak mulia dan berbudi pekerti integritas2.1 Menampilkan kepribadian dan perilaku

bimbingan dan konseling 4.2 Mengaplikasikan arah profesi bimbingan

kepada Tuhan Yang Maha1.2 Menampilkan kepribadian yang beriman

dan stablitas kepribadianyang terpuji (seperti berwibawa, jujur, sabar, 37

yang kuat

ramah, dan konsisten) 2.2 Menampilkan emosi yang stabil 2.3 Peka, bersifat empati, serta menghormati keragaman dan perubahan 2.4 Menampilkan toleransi tinggi terhadap konseli yang menghadapi stress dan frustrasi 2.5 Menampilkan tindakan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan produktif. 2.6 Bersemangat, berdisiplin, dan mandiri

2.7 Berpenampilan menarik dan menyenangkan 1. Memiliki kesadaran dan3.1 Memahami dan mengelola kekuatan dan komitmen terhadap etikaketerbatasan pribadi dan profesional profesionl 3.2 Menyelenggarakan layanan sesuai dengan kewenangan dan kode etik profesional konselor 3.3 Mempertahankan objektivitas dan menjaga agar tidak larut dengan masalah konseli 3.4 Melaksanakan referal sesuai dengan keperluan 3.5 Peduli terhadap identitas profesional dan pengembangan profesi 3.6 1. Mengimplementasikan kerja Mendahulukan kepentingan konseli daripada kepentingan pribadi konselor 4.1 Memahami dasar, tujuan, organisasi, dan pimpinan 4.2 sekolah/madrasah, komite

kolaborasi intern di tempatperan pihak pihak lain (guru, wali kelas, sekolah/madrasah) di tempat bekerja Mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak pihak lain di tempat bekerja 4.3 Bekerja sama dengan pihak pihak terkait di dalam tempat bekerja (seperti guru, orang tua, tenaga administrasi) 1. Berperan dalam organisasi5.1 Memahami dasar, tujuan, dan AD/ART 38

dan

kegiatan

profesiorganisasi profesi bimbingan dan konseling 5.2 Menaati Kode Etik profesi bimbingan dan konseling 5.3 Aktif dalam organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri dan profesi 6.1 Mengkomunikasikan organisasi profesi lain 6.2 Memahami peran organisasi profesi lain dan memanfaatkannya untuk suksesnya pelayanan bimbingan dan konseling 6.3 Bekerja dalam tim bersama tenaga paraprofesional dan profesional profesi lain 6.4 Melaksanakan referal kepada ahli profesi

bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri dan profesi

1. Mengimplementasikan kolaborasi antar profesi

aspek

aspek

profesional bimbingan dan konseling kepada

lain sesuai dengan keperluan D MENYELENGGARAKAN BIMBINGAN DAN KONSELING YANG MEMANDIRIKAN 1. Merancang program1.1 Menganalisis kebutuhan konseli Menyusun yang peserta program didik dengan bimbingan 1.3. dan secara konseling kebutuhan komprehensif perkembangan 1.4. Menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan dan konseling 1.4. Merencanakan sarana dan biaya dan dan penyelenggaraan 1. Mengimplementasikan Konseling konseling 2.1.Melaksanakan program program bimbingan bimbingan berkelanjutan berdasar pendekatan

Bimbingan dan Konseling 1.2.

program Bimbingan dankonseling yang2.2. Melaksanakan pendekatan kolaboratif dalam 39

komprehensif

layanan bimbingan dan konseling 2.3. Memfasilitasi perkembangan akademik, karier, personal, dan sosial konseli 2.4. Mengelola sarana dan biaya program

bimbingan dan konseling 1. Menilai proses dan hasil3.1. Melakukan evaluasi hasil, proses, dan kegiatan Bimbingan danprogram bimbingan dan konseling Konseling 3.2. Melakukan penyesuaian proses layanan bimbingan dan konseling 3.3. Menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi layanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait 3.3. Menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan mengembangkan program 1. Menguasai praksis memahami konseli konsep bimbingan dan konseling dan4.1. Menguasai hakikat asesmen untuk4.2. Memilih teknik asesmen , sesuai dengan kondisi,kebutuhan layanan bimbingan dan konseling asesmen konseling 4.4. Mengadministrasikan asesmen untuk mengungkapkan masalah masalah konseli. 4.5. Memilih dan mengadministrasikan teknik asesmen pengungkapan kemampuan dasar dan kecenderungan pribadi konseli 4.6. Memilih dan mengadministrasikan instrumen untuk mengungkapkan kondisi aktual konseli berkaitan dengan lingkungan 4.7. Mengakses data dokumentasi tentang konseli konseling dalam pelayanan bimbingan dan untuk keperluan bimbingan dan

asesmen

kebutuhan, dan masalah4.3. Menyusun dan mengembangkan instrumen

40

4.5. tepat

Menggunakan

hasil

asesmen

dalam

pelayanan bimbingan dan konseling dengan 4.6. Menampilkan tanggung jawab profesional dalam praktik asesmen Pengabdian Diri pada Pengguna Jasa Ciri penting yang kedua adalah, mengabdikan diri pada pengguna jasa dalam hal ini kepada para siswa dan atau klien. Kebanggaan akan muncul bagi guru pembimbing apabila para siswa yang menjadi bimbingannya berkembang sesuai dengan potensinya dan mampu menunjukkan kemandirian. Perhatikan pernyataan ahli-ahli pendidikan berikut ini yang mencurahkan perhatiannya pada pendidikan. Profesi guru akarnya ialah pengabdian diri. Guru jangan dihayati sebagai lapangan kerja biasa untuk mencari nafkah saja, tetapi merupakan pengabdian. Menjadi guru harus berdasarkan nurani terpanggil. Jadi tidak semua orang wajar menjadi guru atau berwewenang menjadi guru kalau dia tidak merasa terpanggil ( Soepardjo Hadikusumo). Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Abdul Karim A. Achmad (2005:5). Ia menyatakan bahwa motif menjadi tenaga pendidik bukan imbalan gaji ( kebendaan) tetapi adalah panggilan (calling) untuk mengabdi kepada Tuhan, masyarakat dan kemanusiaan. Kinerja atau Performance Jenis layanan guru pembimbing berkisar pada tiga kegiatan pokok yaitu, (1) membantu siswa mengembangkan keragaman potensi yang dimiliki, (2) melayani dalam memecahkan berbagai permasalahan yang menghambat perkembangannya, (3) layanan dengan memberikan berbagai informasi terkait dengan isu-isu yang berkembang yang mungkin dapat menghambat perkembangan siswa. Layanan ini menjadi penting dilakukan untuk membantu individu yang sedang dalam proses berkembang atau proses menjadi ( an becoming). Para siswa belum memiliki pemahaman atau wawasan tentang diri dan lingkungannya. Mereka juga belum memiliki pengalaman dalam menentukan arah hidup. Disamping itu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus atau bebas dari masalah. Dengan kata lain perkembangan itu tidak selalu berjalan linier, mulus atau bebas dari masalah searah dengan potensi, harapan dan nilai41

nilai yang dianut (Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Depdiknas (2007: 10). Secara lahiriah sebagai seorang pelayan memerlukan tampilan yang baik, ucapan yang lembut, dan berpikir positif artinya, tidak berpasangka kepada individu yang dilayani. Kualitas lahiriah seorang guru pembimbing yang baik menurut Rollo May (2003:165) sudah jelas dengan sendirinya yaitu menawan hati, memiliki kemampuan, bersikap tenang ketika bersama orang lain, memiliki kapasitas untuk berempati, ditambah karakteristik karakteristik lain yang memiliki makna yang sama. Menurutnya, kualitas tersebut tidak sepenuhnya merupakan kualitas bawaan tetapi, dapat dicapai dan diusahakan antara lain melalui pencerahan, minat dan ketertarikannya kepada orang lain. Jika konselor menikmati kebersamaannya dengan orang lain dengan tulus dan menikmati niat baik terhadap mereka, maka secara otomatis pula konselor akan menjadi orang yang menarik bagi orang lain. Menerima apa adanya ( acceptance) dalam konseling, bebas prasangka dan seantiasa berpikir positif, akan dapat menumbuhkan perasaan dan sikap nikmat bersama orang lain. Seringkali kita temui orang-orang tidak senang dengan orang lain atau orang lain yang tidak menyenanginya. Orang yang demikian sebetulnya secara tidak sadar bahwa ia ingin disukai baik karena tuntutan-tuntutan yang muncul karena perasaan-perasaan ingin menyukai orang lain atau mungkin karena keinginan untuk menyendiri. Konselor yang baik memang diperlukan beberapa pelatihan namun, tidak semua pelatihan yang diperoleh cocok bagi seseorang untuk dapat melakukan layanan secara efektif dan bahkan bisa jadi tidak cocok. Gambaran para pekerja professional termasuk konselor dilukiskan Rollo May (2003) sebagai berikut. Pertama, mereka bekerja dengan keras dan berhati-hati, kelihatannya tidak pernah bersikap santai sesering orang yang memiliki pekerjaan yang berbeda. Para pekerja ini tidak memiliki minat lain diluar pekerjaannya. Mereka cenderung untuk melibatkan diri sepenuhnya ke dalam pekerjaannya, dan sangat bangga pada kenyataan tersebut. Mereka bekerja dalam ketegangan, dan bahkan ketegangan ini cenderung dilalui dalam keseharian 24 jam, karena pekerjaan mereka tidak dibatasi oleh jam kerja. Kadangkala ketegangan ini demikian besar sehingga sulit bagi mereka untuk berlibur atau cuti guna istirahat

42

tanpa

merasa

bersalah.

Konselor

tipical

ini

mempertanggngjawabkan

pekerjaannya dengan baik. Mereka sangat berhati-hati tentang masalah masalah yang dihadapi secara detail. Memiliki keinginan untuk tidak gagal, meskipun hal ini wajar jika berkaitan dengan masalah-masalah yang penting. Jadi fakta yang diobservasi menunjukkan bahwa mereka bekerja dengan mengikuti hukum apa yang disebut oleh Otto Rank dengan hukum semua atau tidak sama sekali ( all or none). Mereka mencurahkan diri kepada apapun yang mereka lakukan dan kurang memiliki perhatian untuk merespon secara parsial. Hal ini dilakukan karena kurangnya minat dan teman di luar pekerjaannya, mereka seakan-akan tenggelam dalam kenikmatan dengan tujuan-tujuan absolutnya. Mereka memiliki ambisi yang besar dan yakin akan nilai penting akan pekerjaan mereka dan bahwa pekerjaan mereka dibutuhkan. Aktivitas yang dilakukan kesana dan kemari seolah-olah dunia tergantung padanya. Bagi orang-orang normal keyakinan akan nilai penting pekerjaan seseorang merupakan sesuatu yang menyehatkan dan diharapkan ada pada diri seseorang. Tetapi ketika keyakinan itu diekspresikan dalam kegiatan nyata yang terus menerus dalam diri seseorang, kita dapat menyimpulkan bahwa pola ego terlibat jauh dalam pekerjaaan. Pekerjaan merupakan sesuatu yang dimilikinya dan ketika ia memiliki perasaan diri penting yang berlebihan maka otomatis pekerjaan pun menjadi sesuatu yang paling penting didunia. Inilah sebabnya mengapa orang mengomentari individu semacam ini dengan orang itu terlalu serius. Anggapan terhadap pekerjaan yang berlebihan ini mengekspresikan eveluasi berlebihan yang serupa dilakukan pula terhadap diri seseorang. Ambisi pada tingkat tertentu memang menyehatkan sebuah bentuk yang egosentrik yang merupakan ekspresi spontan kemampuan kreatif individu. Tetapi ketika individu bekerja dalam ketegangan yang tidak pernah mengendor, kita dapat menduga bahwa motif individu tersebut ialah pencapaian ego, bukannya keinginan yang tidak mementingkan diri sendiri dalam rangka memberikan sumbangan pada kemanusiaan. Ambisi yang berlebihan disebut dengan kompleks messiah ( messiah complex) yaitu sebuah keyakinan seseorang akan nilai penting diri dan konsekuensi yang ditimbulkannya ialah perasaan bahwa pekerjaannya sangat dibutuhkan oleh kemanusiaan. Keyakinan ini memberikan orang yang

43

bersangkutan topeng harga diri dan menempatkannya sebagai seorang pembaharu, sebuah penilaian moral atas rasa persaudaraan yang dimilikinya. Ciri berikutnya bahwa seorang konselor professional/ tipikal adalah apa yang disebut Adler sebagai keberanian untuk tidak sempurna. Artinya berani gagal. Keberanian untuk tidak sempurna berarti pemindahan usaha seseorang ke dalam medan yang lebih besar yang memperjuangkan dan melakukan hal-hal yang lebih penting maknanya, sehingga kegagalan atau keberhasilan menjadi relatif insidental. Berikutnya adalah, konselor perlu belajar untuk menikmati poses kehidupan maupun tujuan. Kemampuan menikmati proses akan membebaskan kita dari keperluan memiliki motif tersembunyi demi suatu tujuan yang berada di luar gambaran yang ada. Konselor juga perlu yakin bahwa ia tertarik dengan orang lain bukanlah selubung dari pentas kegagalannya menghargai orang lain dan dirinya sendiri tetapi asli tercurah dari dirinya sendiri. Tidak sebagaimana yang disebutkan Adler yang menyebutnya sebagai usaha kompensasi bagi seseorang yang mengalami imperioritas. Dia mengatakan bahwa manusia didorong oleh kebutuhan untuk mengatasi imperioritasnya yang inheren serta untuk mencapai superioritas. Tujuan hidup adalah kesempurnaan, bukan kesenangan. Adler mengatakan, setiap orang memiliki perasaan rendah diri. Anak ( karena ukuran dan ketidakberdayaannya) mereasa rendah diri. Individu berusaha mengatasi ketidakberdayaannya itu dengan berkonpensasi yakni mengembangkan gaya hidup yang memungkinkan tercapainya keberhasilan.

Menuju Profesionalisme Guru Pembimbing Jika ingin menjadi profesional dasarnya adalah komitmen. Adakah guru telah memiliki komitmen untuk mengembangkan pekerjaan yang telah dipilih dan telah ditekuti dalam kurun waktu yang lama. Konselor profesional /typical tidak sepenuhnya bawaan. Ini artinya pencerahan, pelatihan, dan komitmen untuk berkembang masih memungkinkan menjadi profesional. Seorang profesional adalah orang yang terus-menerus berkembang atau trainable. Trainability seorang profesional tentu lebih mudah apabila mereka memiliki dasar-dasar pengetahuan yang kuat. Dengan usaha-usaha menuju profesionalisasi, akan 44

menjadi jelas perbedaanya antara orang yang bekerja profesional dengan yang tidak profesional. Mengembangkan diri menjadi konselor profesional/typical perlu memiliki komitmen dan tanggungjawab. Wujud dari kedua hal ini dapat dilakukan melalui partisipasi dan refleksi atas kegiatan-kegiatan profesional. Raka Joni (1992:2) mengatakan tentang pengembangan profesi guru adalah sebagai berikut. sebagai pekerja profrsional memang seharusnyalah seorang guru sesekali melakukan penelitian tindakan sebagai salah satu bentuk penelitian terapan yang secara praktis mendukung pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Pandangan ini didukung oleh St. Kartono (2002: 101) seorang guru yang juga praktisi pendidikan di Jogyakarta mengatakan bahwa, guru yang menunjukkan tanggungjawab profesional mesti secara aktif terlibat kegiatan pengembangan profesi dan menujukkan sebuah komitmen untuk belajar terus menerus, mengusahakan untuk melibatkan diri kedalam proses, refleksi secara kritis terhadap praktek-praktek kualitas pembelajaran dan pengajaran. Dalam pedoman penyusunan Potopolio Sertifikasi Guru Dalam Jabatan (2008) telah disebutkan beberapa poin yang perlu dilakukan gurtu pembimbing dalam rangka pengembangan profesi. Poin-poin yang terkait dengan itu antara lain, kemampuan merencanakan program pelayanan bimbingan dan konseling, kemampuan melaksanakan program pelayanan bimbingan konseling, lomba dan karya akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah dan sebagai pengurus organisasi di bidang kependidikan dan sosial. Dengan secara aktif dan berkesinambungan melakukan kegiatan-kegiatan yang dimaksud, akan menjadikan guru terhindar dari sebutan pendidik PENTIP yaitu, pendidik tanpa ilmu pendidikan. PENTIP artinya, pendidik yang ditemukan sedapatnya, dengan pengetahuan sekadarnya, kemudian dipekerjakan sebisanya, yang mengajar sekenanya, dengan pengetahuan seadanya. (Winarno Surachmad, 2005:3)

45

46

BAB VIII KESIMPULAN Semua yang dibicarakan di depan mengimplikasikan bahwa perlunya konselor secara terus menerus melakukan pengembangan diri yang tulus, dengan tekun menyempurnakan diri sebagai manusia yang menjadi, dengan teguh menghadapi berbagai tantangan, repleksi masa lampau ( evaluasi diri), dan menghilangkan bagian-bagian diri yang tidak sepatutnya, serta berpikir prediktif terhadap perkembangan masa depan. Jika konselor dan atau calon konselor mampu melakukan ini akan terbukti bahwa usaha yang penuh dedikasi ini dapat memutuskan tali keraguan yang ada dalam bias ego yang dapat muncul dalam bimbingan dan konseling. Usaha yang penuh dedikasi ini pada akhirnya akan menunjukkan professional. bahwa orang-orang yang tekunlah yang dapat menjadi

47

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim H. Ahmad; Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan Dalam Mengembangkan SDM yang Berwawasan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang, Makalah Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi 2007; Standar Kompetensi Konselor, Jakarta . Depdiknas Dirjen Dikdasmen, 2003; Mencegah Penyalahgunaan NAPZA melalui Kepercayaan, Kasih Sayang, Ketulusan, Jakarta. Dirjen Dikti (2008); Sertifikasi Guru Dalam Jabatan, Pedoman Penyusunan Portopolio, Jakarta. Gilian Butler & Tony Hope ; 1995; Manage Your Mind, terjemahan Tri Budi Satrio, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. Kartono, St, 2002; Menebus Pendidikan yang Tergadai, Catatan Reflektif Seorang Guru, Yogyakarta, Kanisius Nurhadi, Mulyani A. (2005) Sertifikasi Kompetensi Pendidik, Makalah, FIP UNP Padang Rollo May; 2003; The Art of Counseling; terjemahan Darmin Achmad dan Afifah Inayani, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Raka JoniT. (1992); Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Pendidikan Guru, Jakarta, Konsorsium Ilmu Pendidikan Dirjen Dikti, Depdikbud Soepardjo Hadikusumo (1989); Pendidikan Sebagai Terapi Budaya; Bandung; IKIP Surachmad, Winarno; (2005) Mendidik Memang Tidak memerlukan Ilmu Pendidikan, Makalah Padang, UNP, Tilaar. H.A.R. 2004; Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakatta, Rineka Cipta Ikatan Konselor Indonesia;2008,Arah pemikiran pengembangan profesionalisme konselor,Devisi ABKIN Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional 2007). http://bkundiksha.wordpress.com/ http://himcyoo.wordpress.com/category/catatan-kuliah/bimbingan-dan-konseling/ www.Konselingindonesia.Com www.Konselor.org 48

You might also like