You are on page 1of 63

LERENG TIMUR SLAMET

SELEMBAR CATATAN EKSPEDISI Edisi Khusus, ekspedisi alumni MPA Mahameru 2012

LERENG TIMUR SLAMET, SELEMBAR CATATAN EKSPEDISI Edisi Khusus, ekspedisi alumni MPA Mahameru 2012 Arif Ashari, N Rohmad Safarudin, T T P Setyo Utomo, Agus Budi S, Riza Charistina, Anggita Dian Hartanto MPA MAHAMERU 2012 FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Kampus Karangmalang Sleman Yogyakarta 55281 Tim Ekspedisi Slamet MPA Mahameru: 7 9 Juli 2012 Josh Rocxmad Tyo 31 PSU Arie Carstensz Agus Topan Mississippi Riza Charisteas Anggita Porter Polio M-I/003 M-I/006 M-I/002 M-II/004 M-III/001 M-V/006 (Ketua)

SAMBUTAN KETUA MPA MAHAMERU 2012

MPA MAHAMERU FIS UNY adalah sebuah kelompok mahasiswa pecinta alam yang memiliki motto Mahasiswa Marsudhi Buwana yang dirintis sejak tahun 2005 di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta. Terdapat tiga aliran yang menjadi ciri khas Mahameru, yaitu Ekspedisi, Konservasi, dan Akademik. Ekspedisi dan Konservasi jika dikaitkan dengan kegiatan mapala mungkin sudah lumrah, tidak begitu halnya jika dikaitkan dengan kegiatan akademik. Sebuah perjalanan di alam liar dapat memberikan kita ilmu, banyak yang menarik untuk di pelajari bahkan diteliti di sana, belajar tidak hanya bisa dilakukan di ruangan dengan duduk di kursi dan mendengarkan dosen, ada kalanya belajar dengan berjalan, merunduk bahkan merangkak dan alam yang menjadi dosen kita. Pelaksanaan kegiatan ekspedisi ke gunung tertinggi ke dua di Pulau Jawa, yaitu Gunung Slamet (3428 mdpl) oleh alumni MPA Mahameru pada tanggal 7,8,9 Juli 2012 yang lalu telah dilaksanakan dengan lancar tanpa suatu halangan yang berarti, dengan seluruh peserta ekspedisi yang berjumlah enam orang yaitu Mas Arie, Mas Tyo, Mas Agus Topan, Mas Rohmad, Mas Anggita, dan Mbak Riza. Saya ucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada sesepuh Mahameru yang telah menyempatkan diri membuat catatan perjalanan sehingga dapat di rangkum dalam sebuah buku dengan judul LERENG TIMUR SLAMET' sebuah oleh-oleh dari gunung yang Insyaallah bermanfaat untuk menambah referensi para pembaca yang akan atau sudah mendaki gunung Slamet. Semoga catatan ini dapat menumbuhkan rasa cinta tanah air dan bangsa Indonesia serta menularkan semangat berkegiatan positif kepada kaum muda Indonesia.

Gunung bukan sekedar onggokan kerucut besar kumpulan tanah berpasir. Laut bukan sekumpulan air dalam wadah raksasa. Hutan bukan sekedar sekumpulan tumbuhan dalam pot besar. Sungai bukan sekedar mengalirnya air untuk riasan bumi. Lebih dari itu karena sesungguhnya pada diri mereka ada diri kita (Harley B. Sastha/ dalam Majalah MountMag Edisi 2)

Yogyakarta, Agustus 2012 Toffan Hussein W (M-VI/003)

ii

DAFTAR ISI

ii Sambutan Ketua MPA Mahameru iv Pengantar

18 yang Begitu Susah

Kisah-kisah dibalik Perjalanan

1 Kering di Lereng Slamet

27 Via Bambangan

Jalur Pendakian Gunung Slamet

7 Lingkungan Fisik Gunungapi Slamet

31

Mendaki Puncak Tertinggi di Jawa Tengah

iii

PENGANTAR
Jika anda orang yang sudah cukup lama bermukim di Jawa Tengah dan daerah sekitarnya dapat dipastikan anda pernah mendengar cerita tentang mistisnya Gunung Slamet. Gunung Slamet yang berdiri tegak setinggi 3428 mdpal merupakan gunung tertinggi di Jawa Tengah sekaligus tertiggi kedua di Pulau Jawa. Gunung ini termasuk dalam kategori gunungapi aktif di Indonesia. Meskipun tidak ganas seperti Merapi namun Slamet adalah gunung yang sangat kaya akan cerita mistik. Di kalangan masyarakat sekitarnya pun Gunung Slamet memiliki kedudukan yang sangat penting, baik dalam konteks lingkungan hidup maupun kepercayaan. Bukan gunung sembarang gunung, demikian label yang terlanjur terpampang bagi setiap calon pendaki Gunung Slamet. Perlu perencanaan matang dan persiapan ekstra baik mental, fisik, maupun peralatan. Tekad dan jam terbang mendaki yang sudah tinggi saja tidak cukup untuk meladeni medan dan suasana di Slamet. Hal inilah yang kami sadari betul sebelum memulai ekspedisi ini. Beberapa pekan sebelum ekspedisi ini Gunung Slamet baru saja membuat tersesat dua pendaki pemula. Awalnya kami sempat ragu, tetapi dengan persiapan yang dikebut dalam waktu yang mepet akhirnya kami berangkat juga. Anggota tim dalam ekspedisi ini adalah golongan tua, yang waktunya untuk medaki sangat terbatas jadi benar-benar merindukan pendakian, terlebih dengan gengsi tinggi seperti di Gunung Slamet ini. Entah kebetulan atau tidak semua anggota tim sudah menyandang predikat alumni dan bergelar sarjana pendidikan. Jadi ekspedisi ini adalah pendakiannya para sarjana. Hehe... Medan di Gunung Slamet juga tidak bisa dipandang remeh. Meskipun lintasannya tidak panjang seperti gunung-gunung di Jawa Timur, tapi cukup membuat badan lelah, kaki gempor, dan mental frustrasi. Puncak Gunung Slamet tingginya 3.428 mdpal, Base Camp Bambangan yang kami lewati berada pada ketinggian 1.500 mdpal jadi kira-kira hanya menempuh jarak vertikal 1.900an meter. Bandingkan dengan ekspedisi MPA Mahameru sebelumnya di Gunung Welirang, Jawa Timur yang jarak vertikal antara base camp (800 mdpal) dengan puncak (3.153 mdpal) kira-kira 2300an meter walaupun puncaknya jauh lebih rendah daripada Slamet. Soe Hok Gie, pionir pecinta alam di Indonesia dalam tulisannya yang dimuat di Harian Kompas tanggal 14, 15, 16, dan 18 September 1967 mengisahkan tentang perjalanannya dalam mendaki Gunung Slamet. Di awal tulisan Soe Hok Gie menulis: ketika saya menyatakan akan memimpin pendakian Gunung Slamet bersama para mahasiswa, seorang kawan menyatakan bahwa saya gila. Gunung itu tingginya 3422 m, gunung nomor dua di Pulau Jawa. Dan menurut Junghun, ia mendaki gunung itu dengan merangkak. Di puncaknya pada musim-musim tertentu suhu dapat turun sekitar nol derajat. Lagipula di Gunung Slamet tak ada air. iv

Pada akhirnya Gunung Slamet benar-benar memberikan pengalaman tak terlupakan bagi kami semua. Ada rasa bangga dan haru telah mengibarkan bendera MPA Mahameru di puncak. Melalui catatan perjalanan ini masing-masing anggota tim memberikan ulasan dan kesan-kesan pasca pendakian. Sesuai dengan semangat MPA Mahameru yang selalu ingin berbagi pengalaman dan pengetahuan hasil dari perjalanan ke lapangan, dan sekaligus sebagai ajang belajar menulis bagi kami maka kami hadirkan tulisan yang berada di tangan anda saat ini. Pimpinan ekspedisi kali ini, N Rohmad Safarudin (Josh Rocxmad, M-I/003) menyoroti tentang kekeringan yang melanda Dusun Bambangan. Mengapa dusun yang berada di kaki gunungapi aktif bisa mengalami kekeringan, padahal gunungapi umumnya merupakan akuifer yang potensial yang mampu menyimpan dan menyalurkan air dalam jumlah cukup. Sementara itu TTP Setyo Utomo (Tyo 31 PSU, M-I/006) meyampaikan kesankesannya selama pendakian serta menyoroti sosiologi perdesaan masyarakat Bambangan. Arif Ashari (Arie Carstensz, M-I/002) mencoba membuat ulasan mengenai lingkungan fisik Gunungapi Slamet. Riza Charistina (M-III/001) membuat ulasan tentang vegetasi di lereng timur Slamet, Anggita Dian H (M-V/006) menapak tilas jalur pendakian menuju puncak Slamet, dan tak ketinggalan kesan-kesan mendalam dari Agus Budi S (Topan Mississippi, M-II/004) mengenai perjalanan di Gunung Slamet. Ucapan syukur tak terhingga kepada Tuhan YME atas keberhasilan ekspedisi ini. Terima kasih kami haturkan kepada Ketua MPA Mahameru, Toffan Hussein (M-VI/003), Priyo Akuntomo, MSc. (M-LB-001-2011) atas batuannya dalam penyusunan buku laporan perjalanan ini, serta seluruh warga MPA Mahameru semua angkatan. Semoga ekspedisi ini memberikan manfaat sebesar-besarnya tidak hanya bagi anggota tim tetapi juga bagi organisasi MPA Mahameru. Terakhir, mengutip kata-kata Sir Edmund Hillary it is not the mountain we conquer, but ourselves, pendakian memang bukan upaya kita untuk menaklukkan gunung. Tidak ada yang menaklukkan atau ditaklukkan, mendaki gunung merupakan upaya untuk belajar dari alam, menikmati keindahan alam, mengenal masyarakat dari dekat, menumbuhkan rasa cinta tanah air, mendapatkan kepuasan dari olahraga dan petualangan, dan tentu saja mendekatkan diri kepadaNya. Junko Tabei, pendaki perempuan pertama yang mencapai puncak everest pernah mengatakan: pergilah ke luar, nikmati alam ini, dan gunung akan jadi guru yang baik. Tulisan kami tentu juga masih jauh dari sempurna, tapi semoga menjadi cambuk bagi adik-adik kami di MPA Mahameru untuk berkarya. Sudah saatnya minat dan bakat dalam berkegiatan di alam bebas juga disalurkan melalui tulisan-tulisan karena selain berbagi pengalaman dan pengetahuan juga bisa menjadi sarana berlatih untuk menulis.

Salam Arie, Rohmad, Tyo, Topan, Riza, Anggita v

Laporan Utama

KERING DI LERENG SLAMET

KERING DI LERENG SLAMET N. Rohmad Safarudin, S.Pd. (Josh Rocxmad, M-I/003)

Sabtu Senin (7 9 Juli 2012) Tim pendaki Mahameru melakukan pendakian menuju Gunung Slamet, sesuai tujuan kami semula yang telah direncanakan jauh hari. Tim terdiri atas Arie Carstensz, N. Rocxmad Co, TTP Tyo, Agus Topan Mississippi, Riza Caresteas, dan si junior Anggita. Tim berangkat menuju tujuan ekspedisi tepat pukul 09.30 wib dari terminal Giwangan dan Agen Bus Gamping. Menempuh waktu 4,5 jam akhirnya kami sampai di pertigaan Sokaraja. Dari soka raja kami melanjutkan perjalanan menuju Simpang Serayu menggunakan bus jurusan Bobotsari. Perjalanan belum berakhir karena masih harus menempuh rute menuju bescamp dengan menggunakan mobil yang lebih kecil tentunya untuk kendaraan di daerah pegunungan. Slamet, adalah Gunung berapi yang masih aktif yang terletak di perbatasan 5

Kabupaten di Jawa Tengah Yaitu Kabupaten Brebes, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Pemalang. Gunung Slamet merupakan salah satu tujuan utama pendakian gunung di daerah Jawa Tengah bagi para pecinta alam seluruh Indonesia. Setelah kami sampai di Bascamp yang terletak didesa Bambangan, Kutabawa, Purbalingga, Jawa Tengah suasana khas pegunungan menyerebak dalam kerinduan kami. Entah mengapa memang sebagian besar anggota tim yang berangkat rata rata sudah lama tidak bersua dengan alam pegununguan, harap maklum karena kesibukan sendiri sendiri ..heeee.. (udah boyok tuwo). Bambangan yang terletak di timur laut Gunung Slamet merupakan desa terdekat dari puncak gunung slamet. Seperti biasa aktifitas masyarakatnya yang sebagian besar petani sedang melakukan cocok tanam, panen dan istirahat kala itu. Pandangan tak henti hentinya kami tujukan pada puncak gunung yang dapat kita lihat secara langsung, memang cuaca sangat cerah di sore itu. Dan hawa pegunungan yang luar biasa yang kami rindukan. Aktifitas warga yang sedang memanen sayuran dengan mudah kami jumpai, sayuran segar seperti tomat, wortel, kubis, daun bawang, seledri, daun selada hijau dan aneka sayuran lainnya, tak jarang dapat kami temui juga buah segar seperti jeruk, dan strowberi. Hem lengkap sudah rasanya yang suasana yang kami rindukan itu. Tapi ada sesuatu yang menggelitik dan menjadi bahan pertanyaan dalam diri saya setelah melihat suasana di sekitar Desa Bambangan. Ada ciri khas daerah pegunungan yang tak dapat kami rasakan seperti di lereng gunung gunung yang sudah kami daki sebelumnya, yaitu tak ada suara gemercik air di setiap rumah waraga dan sepanjang drainase pinggir jalam yang kami lewati. Yaaa air pegunungan, dimanakah keberadaannnya? Informasi kami dapatkan terjadi kekeringan yang telah melanda seluruh daerah lereng Gunung Slamet tak terkecuali disebelah lereng timur. Desa Bambangan yang berada 2

diketinggian 1500-1550 dpal telah mengalami kekeringan setelah hujan tidak turun sejak kurun 3 bulan lamanya. Aktivitas warga yang membutuhkan keberadaan air sangat terganggu, oleh karena itu warga desa Bambangan melakukan pengeboran tanah untuk membuat sumur bor. Keberadaan sumur bor ini menjadi alternatif cara paling mudah dan murah untuk mendapatkan air. Mengapa Kekeringan terjadi? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan bodoh yang pernah kami rasakan jikalau mengacu pada seluruh wilayah Pulau jawa. Sudah jelas jawabanya karena pada saat ini di bulan Juli di Pulau Jawa memasuki musim kemarau. Tetapi jawaban yang lain yang kami cari, mengacu keberadaan kami saat ini ketika kami berdiri di suatu daerah lereng gunung, Gunung Slamet. Gunung yang notabennya daerah penyimpan air seharusnya menyimpan kandungan air yang sangat melimpah meskipun memasuki musim kemarau. Dan jawaban terus kami gali. Dan sebagai alternatif jawaban sebagai informasi kepada saya daerah lereng gunung slamet terjadi kekeringan dikarenakan adanya beberapa faktor yang antara lain faktor iklim dan faktor jenis tanah di daerah Gunung Slamet. Kawasan Gunung Slamet pada waktu kami melakukan pendakian memasuki musim kemarau, tentunya hal yang sama dirasakan di beberapa gunung di Pulau Jawa lainnya yaitu akan terjadi kekeringan. Untuk tahun 2012 curah hujan yang mengguyur kawasan Slamet mengalami masa puncak pada bulan Januari 2012, kemudian memasuki bulan April kawasan Gunung Slamet mengalami penurunan intensitas hujan. Memasuki bulan Mei sampai bulan Juli tahun 2012 ini kawasan Gunung Slamet tidak mengalami hujan. Dengan singkatnya waktu turunnya hujan menjadikan kawasan lereng Gunung Slamet ini mengalami musim kemarau yang lebih awal dari pada daerah pegunungan yang lainnya. Tak seperti halnya gunung yang lain di Jawa Tengah seperti Gunung Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing yang masih di guyur hujan pada bulan April dan Mei. Akibat kekeringan ini sungai sungai di sepanjang jalur pendakian kering. Masyarakat kehilangan sumber air untuk mencukupi kebutuhan sehari hari. Dari hasil wawancara dan pengamatan kami, akibat keringnya sumber air banyak masyarakat yang mengharapkan hujan sebagai satu satunya sumber air, untuk itu masyarakat membuat penampungan penampungan air sebagai persiapan apabila turun hujan. Namun demikian bukankah musim hujan masih cukup lama? Base camp pendakian yang kami tempati juga termasuk salah satu dari sekian rumah yang kehilangan akses sumber air. Untuk keperluan MCK kami bahkan harus mengambil air dari masjid (yang sepertinya memiliki sumur bor) dan mengangkutnya sampai ke base camp. Kekeringan memang merupakan permasalahan yang telah terjadi secara nyata, maka dari itu sudah saatnya kita untuk lebih memperhatikan dan mengelola lingkungan dengan bijak agar kondisi semacam ini dapat diperbaiki.

Suasana di Dusun Bambangan. Masjid yang terletak di sebelah kanan merupakan salah satu (diantara sedikit) yang masih memiliki akses sumberdaya air di dusun ini.

Tiba di Base Camp Bambangan, Purbalingga

Berbincang dengan pihak base camp, selain membahas teknis pendakian juga membicarakan permasalahan kekeringan

Foto bersama di base camp menjelang pendakian

Sesaat sebelum pemberangkatan pendakian

Lingkungan fisik Gunungapi Slamet

SAKSI BISU RIBUAN KISAH SEPANJANG KURUN WAKTU GEOLOGI

LINGKUNGAN FISIK GUNUNGAPI SLAMET Arif Ashari, M.Sc. (Arie Carstensz, M-I/002)

Slamet adalah salah satu vulkan aktif di Pulau Jawa. Keberadaannya telah menyertai sepanjang sejarah kehidupan manusia di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah. Puncak Gunungapi Slamet menjulang setinggi 3.428 mdpal dan merupakan puncak tertinggi di Jawa Tengah atau tertinggi ke dua di Pulau Jawa setelah Puncak Mahameru (3.676 mdpal) di Gunung Semeru, Jawa Timur. Puncak berupa igir sempit yang mengelilingi kaldera lautan pasir hasil beberapa periode letusan dalam kurun waktu yang sangat lama. Bagian tertingginya berada pada koordinat 70 14 30 LS dan 1090 12 30 BT. Sebagai gunungapi aktif, Slamet telah mengalami beberapa kali letusan. Menurut PVMBG letusan pertama yang tercatat dalam sejarah dimulai pada tahun 1772, letusan terbaru terjadi pada tahun 1992 kemudian terjadi kembali letusan pada tahun 2009-2010. Masa istirahat terpendek adalah satu tahun sedangkan yang terpanjang 53 tahun. Sebagai gunungapi aktif yang masuk dalam Tipe A, Gunung Slamet berada pada daerah berpenduduk padat, bahkan wilayahnya cukup luas karena meliputi lima kabupaten yaitu Purbalingga, Pemalang, Tegal, Brebes, dan Banyumas1. Geomorfologi Gunungapi Slamet Geomorfologi pada hakikatnya membicarakan tentang bentuklahan di permukaan bumi, dimana bentuklahan yang ada sekarang tidak terlepas dari genesis (asal usul), proses yang bekerja dari masa lalu hingga menghasilkan bentuk yang sekarang, dan terus berlangsung hingga menghasilkan bentuk pada masa yang akan datang. Jadi dengan melihat kondisi geomorfologi yang ada sekarang kita dapat merekonstruksi masa lalu, menerawang proses yang pernah dan sedang terjadi hingga menghasilkan bentuk yang ada sekarang, serta memprediksi kondisi bentuklahan pada masa yang akan datang dengan melihat proses yang masih terus berlangsung. Manfaat yang didapat dengan mempelajari geomorfologi suatu wilayah sangat banyak, termasuk memberikan informasi mengenai potensi untuk pengembangan wilayah hingga bahaya (bencana) yang dapat terjadi pada wilayah tersebut 2. Menurut pembagian wilayah geomorfologi regional Pulau Jawa oleh A.J. Pannekoek3 Gunung Slamet terletak di Zona Utara Jawa Tengah, lebih spesifik lagi pada bagian paling barat. Pada bagian ini Slamet berdiri sebagai vulkan tunggal yang dikelilingi oleh Pegunungan Serayu Utara yang merupakan zona pelipatan. Pegunungan Serayu Utara
1

Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Slamet, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2 Verstappen, H. Th. 1983. Applied Geomorphology. Amsterdam: Elsevier. 3 Pannekoek, A.J. 1949. Outline of the Geomorphology of Java. Leiden: E.J. Brill

(zona pelipatan) sendiri mendominasi wilayah di sekitar Gunungapi Slamet, wilayahnya membentang dari timur di sebelah selatan Grup Jembangan (kelompok vulkan Rogojembangan) dan meluas ke arah barat. Pelipatan kemudian bercabang dua yaitu ke selatan dan ke utara. Sebelah selatan mengarah ke barat, sedangkan pelipatan yang paling utara menuju barat laut sampai ke dataran pantai utara. Pelipatan-pelipatan dilanjutkan sampai di bawah Laut Jawa ke arah Sumatera. Sebagian dari pelipatan tersebut membelok lagi ke arah selatan membentuk semacam lengkungan di sekitar lereng utara Gunungapi Slamet. Sumbu utama topografi zona pelipatan ini mengarah lurus ke barat ke arah Gunungapi Slamet dan diselingi oleh beberapa lembah transversal yang dalam. Aliran vulkanis yang sangat banyak telah menerobos masuk ke dalam semua lembah baik di daerah pelipatan sebelah utara maupun selatan Gunungapi Slamet. Aliran vulkanis yang ke arah utara mencapai daerah pantai utara membentuk kipas aluvial yang luas, sehingga zona pelipatan terbagi menjadi semacam pulau terpencil yang dikelilingi oleh aliran vulkanis. Di sebelah barat Gunung Slamet, rantai pelipatan muncul lagi.

Gunungapi Ciremai

Kedudukan Gunungapi Slamet dalam geomorfologi Pulau Jawa Gunungapi Slamet

Peg Serayu Utara

Lembah Serayu

Peg Serayu Selatan

Gunungapi Slamet termasuk ke dalam tipe gunungapi strato, yaitu berbentuk menyerupai kerucut. Secara geomorfologi biasanya gunungapi strato terbagi menjadi beberapa bagian yaitu: kepundan (kawah) sebagai pusat aktivitas vulkanisme, kerucut vulkan (bingkai sisi luar kawah) yang curam, lereng gunungapi (bisa dibedakan menjadi lereng atas, tengah, dan bawah), dan dataran kaki gunungapi. Semakin mendekati kepundan lerengnya semakin curam sementara semakin menuju kaki gunungapi semakin landai. Jadi, kerucut gunungapi strato walaupun seringkali nampak sebagai satu tubuh gunungapi saja, sebenarnya terdiri dari beberapa segmen yang dapat dibedakan berdasarkan tingkat kecuraman lerengnya. Masing-masing segmen tersebut dibatasi oleh takik lereng (tekuk lereng) yaitu ketika terjadi perubahan kemiringan secara tegas. Apabila kita melakukan pendakian, seringkali pada awal pendakian kita menjumpai lereng yang landai kemudian semakin lama semakin curam dan ketika mendekati puncak kemiringan lerengnya menjadi sangat curam. Hal ini merupakan ciri dari gunungapi strato. Mengapa dapat terjadi bentuk seperti demikian? Bentuk yang terjadi tidak terlepas dari proses pembentukan gunungapi itu sendiri. Pada gunungapi strato biasanya terjadi letusan secara eksplosif dan efusif secara berselang-seling, materialnya juga berselang-seling antara material piroklastik dan lava. Material yang berat dan kental diendapkan dekat kepundan sehingga menghasilkan lereng yang curam, sedangkan material yang halus diendapkan lebih jauh sehingga membentuk lereng yang landai. Proses selang-seling ini nampak seperti peristiwa penumpukan material secara bertingkat, oleh karena itu hasilnya dinamakan gunungapi strato (bertingkat). Bagaimana dengan kondisi geomorfologi Gunungapi Slamet? Apakah memiliki bentuk yang lebih spesifik atau umum sebagaimana geomorfologi gunungapi strato seperti disebutkan diatas? Menurut Martopo (1984) Gunung Slamet dibedakan menjadi; (a) bagian yang tua yaitu bagian barat yang mengalami gangguan tektonik, (b) kerucut muda yang terletak di sebelah timurnya, dan (c) beberapa tempat erupsi yang kecil pada lereng timurnya. Gunungapi Slamet dengan ketinggian 3.428 mdpal adalah gunung tertinggi di Jawa Tengah. Secara morfologi Gunungapi Slamet dibedakan menjadi lima bagian yaitu lereng atas yang tertutup oleh medan lava, breksi fluvial, breksi piroklastik, dan debu vulkanik; lereng tengah yang tertutup oleh breksi fluvio vulkanik, lava, aglomerat, dan debu dengan material hasil pelapukan; lereng bawah dan lerengkaki yang tertutup oleh breksi fluviovulkanik, lahar, deposit aliran rombakan (debris), dan deposit aliran sungai serta material hasil pelapukan; dan bagian Gunung Slamet tua dengan breksi fluvial pleistosen, lempung, breksi, dan lempung tidak terstruktur.

10

Kerucut Gunung Slamet Muda

Gunung Slamet Tua

Pembagian geomorfologi Gunung Slamet menurut Martopo (1984) dilihat dari DEM SRTM vertikal

Lereng atas Lereng tengah Gunung Samet Tua

Lereng bawah

Pembagian geomorfologi Gunung Slamet dilihat dari arah selatan. DEM SRTM 450

Model 3D geomorfologi lereng timur Gunungapi Slamet pada citra SPOT Google Earth. Perhatikan perubahan kemiringan lereng sebagai penanda batas masing masing bentuklahan Kerucut vulkan

Lereng atas

Lereng tengah

Lereng bawah Kaki vulkan

Geomorfologi Sekitar Gunungapi Slamet Secara geomorfologis, wilayah di sekitar Gunungapi Slamet didominasi oleh Pegunungan Serayu Utara dan Pegunungan Serayu Selatan, diantara dua pegunungan tersebut terdapat Lembah Serayu. Menurut Van Bemmelen (1949) Pegunungan Serayu Utara berada dalam satu hubungan rangkaian pegunungan dengan Perbukitan Bogor di Jawa Barat dan Igir Kendeng di Jawa Timur, sedangkan Pegunungan Serayu Selatan merupakan hasil pengangkatan baru yang terletak searah dengan Depresi Bandung di Jawa Barat. Pegunungan Serayu Utara lebarnya 30-50 km. Pada bagian barat dibatasi oleh Gunungapi Slamet, sedangkan bagian timurnya dibatasi oleh endapan hasil vulkanik dari Pegunungan Rogojembangan, Komplek Gunungapi Dieng, dan Gunungapi Ungaran. Lembah serayu memanjang diantara Pegunungan Serayu Utara dan Pegunungan Serayu Selatan meliputi wilayah Majenang, Ajibarang, Purwokerto, Banjarnegara, dan Wonosobo. Diatara Purwokerto dan Banjarnegara, lebar Lembah Serayu mencapai 15 km. Apabila kita dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Purwokerto, rute yang kita lewati yaitu Purworejo, Kebumen, Banyumas secara geomorfologi merupakan dataran rendah selatan Jawa Tengah. Menurut Pannekoek (1949) sebagaimana di Jawa Barat, zona selatan Jawa Tengah ini juga merupakan plateau yang miring ke arah selatan. Akan tetapi di Jawa Tengah hanya tinggal beberapa sisa plateau yang masih tampak pada zona selatan ini karena sebagian besar telah tertutup oleh dataran aluvial. Sisa yang paling timur terdapat di Pegunungan Kulon Progo. Sisa ini agak berbentuk dome yang memanjang terdiri dari batuan andesit berusia Oligosen 4 dan breksi serta sebagian tertutup oleh batugamping berusia Miosen 5. Kemudian dari Perempatan Buntu (wilayah Kabupaten Banyumas) perjalanan dianjutkan dengan mengambil arau utara menuju Purwokerto melintasi wilayah pegunungan, wilayah ini merupakan bagian dari Pegunungan Serayu Selatan. Secara geologis Pegunungan Serayu Selatan merupakan zona yang mengalami pelipatan hebat dan dorongan selama Miosen. Akibatnya tidak hanya batuan Tersier tua yang tersingkap tetapi juga batuan Mesozoik6 lainnya.

Geologi Gunungapi Slamet Sama halnya dengan pendapat A.J. Pannekoek, seorang ahli geologi Belanda Reinout Willem Van Bemmelen dalam bukunya The Geology of Indonesia (1949) mengungkapkan Slamet merupakan vulkan aktif yang berdiri terpisah dari vulkan lainnya, dan terhubung oleh rantai pegunungan lipatan. Gunungapi Slamet termasuk tipe A, yang
4

Waktu geologi pada zaman Tersier setelah Oligosen dan sebelum Miosen, dengan rentang waktu selama 13 juta tahun, berumur 37 hingga 24 juta tahun yang lalu. 5 Bagian rentang waktu geologi pada era Kenozoikum, periode/zaman Tersier, dengan lama rentang waktu selama 19 juta tahun dan umur 24 hingga 5 juta tahun yang lalu. 6 Era pada skala waktu geologi dengan usia245 hingga 66 juta tahun yang lalu.

13

dalam catatan Van Bemmelen telah meletus pada tahun 1948. Menurut Suryana Prawiradisastra dkk (2009) 7 berdasarkan kegiatan Gunung Slamet dalam catatan sejarah, karakter letusan Gunung Slamet cenderung bersifat eksplosif diselingi letusan bersifat effusive berskala menengah-kecil. Letusannya diklasifikasikan kedalam tipe vulkano dan Stromboli secara bergantian. Dalam kurun waktu 40 tahun terakhir terjadi letusan abu (1969), semburan lava pijar di kawah (1973), letusan abu dan leleran lava (1988), kenaikan kegiatan vulkanis (1989), kenaikan kegiatan vulkanis dengan krisis gempa vulkanis diakhiri dengan letusan kecil (1991, 1992). Sejak 1995 sampai 2007 tidak pernah terjadi letusan yang signifikan kecuali hembusan solfatar dan fumarol di kawah 3 dan kawah 4 dengan intensitas sedang-tinggi, dan bau gas sangat kuat. Suhu gas yang diukur pada tahun 2002 berkisar antara 79-81 derajat celcius, dengan suhu solfatar diperkirakan lebih dari 390 derajat celcius. Letusan terakhir Gunung Slamet terjadi pada pada tanggal 13 Juli 1988. Tipe letusan dari Gunung Slamet ini bertipe eksplosif, yaitu letusan dengan melemparkan material piroklastik dan abu, atau juga disebut stromboli. Material letusan yang lapuk memberikan kesuburan untuk berbagai tanaman, mudah diolah sebagai lahan pertanian, material letusan mempunyai daya serap air tinggi, kemudian dikeluarkan dalam bentuk mata air dingin dan panas. Sementara peningkatan aktivitas vulkanik pada tahun 2009 ditandai dengan adanya letusan kecil dengan mengeluarkan material piroklastik, asap dan debu vulkanik; peningkatan gempa permukaan dan gempa tremor vulkanik; serta peningkatan temperatur air di Taman Wisata Pemandian Guci. Gunung Slamet bukan tipe gunungapi yang rutin mengalami letusan da bahkan sudah agak lama tidak terjadi letusan. Tidak seperti Gunung Merapi yang tiap lima tahun terjadi letusan besar. Menurut data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Kawasan Rawan Bencana (KRB) Letusan Gunung Slamet, dibagi menjadi tiga kawasan: 1. Kawasan Rawan Bencana (KRB) III, mempunyai radius 2 km dari pusat kawah, terdiri dari endapan piroklastik batu dan pasir. Letusan normal penyebaran piroklastiknya hanya sekitar KRB III ini, namun jika terjadi letusan besar yang diikuti aliran awan panas, luncurannya dapat mencapai 6 km dari kawah aktif, mengarah ke barat laut (arah Guci). Jika ada letusan besar, kawasan ini berpotensi terlanda lontaran material pijar, hujan abu lebat, aliran lava, dan sebaran gas beracun. 2. Kawasan Rawan Bencana (KRB) II, mempunyai radius hingga 4 km dari kawah aktif. Jika terjadi letusan besar berpotensi terjadi perluasan luncuran awan panas, lontaran material pijar, dan hujan abu lebat.
7

Suryana Prawiradisastra, Bambang Marwanta, Cornelius Wisyanto, Dian Nuraini Melati Damayanti Sarodja. 2009. Laporan Kajian Cepat Peningkatan Aktivitas Gunungapi Slamet Jawa Tengah. BPPT.

14

3. Kawasan Rawan Bencana (KRB) I, mempunyai radius hingga 8 km, terdapat di alur sungai dan lembah yang berhulu di Gunung Slamet. Kawasan ini berpotensi terjadi aliran lahar/bahan rombakan, juga berpotensi terjadi hujan abu lebat jika terjadi letusan besar. Kawasan ini meliputi radius 8 km dari kawah aktif. Litologi lereng Gunungapi Slamet menurut Martopo (1984) 8 terdiri dari: 1. Lereng atas Gunungapi Slamet tertutup oleh padang lava, breksi fluvial, piroklastik, dan debu vulkanik. 2. Lereng tengah Gunungapi Slamet tertutup oleh breksi fluviovulkan, lava, aglomerat, dan debu. Umumnya wilayah ini mengalami pelapukan sedang hingga tebal. 3. Lereng bawah dan lereng kaki Gunungapi Slamet tertutup oleh breksi fluviovulkan, lahar, dan deposit aliran debris. 4. Kaki gunungapi dan dataran kaki gunungapi tertutup oleh tuff berpasir, gravel, dan lapisan batu hasil aktivitas vulkanik dan fluvial. 5. Bagian Gunungapi Slamet tua yang tertutup oleh berksi fluvial berusia pleistosen, lempung, batupasir, dan breksi aliran. Sumberdaya air Gunungapi Slamet Dalam kajian mengenai hidrogeomorfologi (kaitan antara kondisi geomorfologi dengan potensi sumberdaya air), gunung merupakan sumber air yang cukup potensial. Sumberdaya air yang ada di Bumi ini mengalami sirkulasi, yang disebut siklus hidrologi. Dalam siklus hidrologi lautan, danau, dan tubuh air lainnya akan mengalami penguapan (evaporasi) selain itu penguapan juga terjadi pada vegetasi dan lengas tanah (evapotranspirasi) kedua faktor ini kemudian memberikan kontribusi bagi keberadaan air di atmosfer yang apabila mengalami kondensasi akan berubah menjadi awan, dan seterusnya hujan. Hujan inilah yang menjadi pemasok sumberdaya air yang ada di darat (air tawar) yang kemudian digunakan untuk berbagai keperluan hidup seperti air minum dan MCK (kebutuhan domestik), industri, pertanian, wisata, dan sebagainya. Pertanyaannya adalah mengapa gunung memiliki potensi sumberdaya air yang baik? Dalam teori hidrologi salah satu syarat terbentuknya hujan adalah adanya pendinginan udara karena pengangkatan udara sehingga uap air yang terkandung dapat mengalami kondensasi. Salah satu faktor yang menyebabkan pengangkatan udara adalah adanya penghalang gunung. Jadi udara yang bergerak menuju gunung, karena terhalang oleh gunung tersebut kemudian bergerak naik, pada saat naik inilah uap air mengalami kondensasi kemudian terjadi hujan. Oleh karena itu di daerah pegunungan (gunung) banyak terjadi hujan yang disebut sebagai hujan orografis. Karena banyak hujan, maka pasokan
Sugeng Martopo. 1984. Hydrological Potential of the Southern Flank of Slamet Volcano Central Java. The Indonesian Journal of Geography 14 (48): 55-66
8

15

sumberdaya air juga banyak di daerah gunung. Ini merupakan faktor pertama yang mempengaruhi tingginya potensi sumberdaya air di gunung. Faktor lainnya adalah material penyusun (litologi). Lereng gunungapi yang masih aktif biasanya tersusun oleh material hasil letusan yang belum padu (pasir, kerikil, kerakal) yang dapat berperan dengan baik untuk menyerap, menyimpan, dan mengalirkan sumberdaya air khususnya airtanah. Oleh karena itu daerah gunung juga merupakan daerah dengan kondisi akuifer (lapisan penyimpan airtanah) yang baik. Jika kondisi vegetasi hutannya masih terjaga dengan baik maka potensi sumberdaya airnya akan lebih baik lagi. Namun demikian air permukaan jarang dijumpai terutama di lereng atas karena faktor topografi yang miring menyebabkan aliran permukaan cepat terjadi setelah hujan. Adanya aliran permukaan (sungai-sungai kecil di daerah hulu) terutama karena keluarnya airtanah melalui rembesan (seepage) atau mataair (spring), ini biasanya dijumpai pada tekuk-tekuk lereng sebagai penanda batas perubahan morfologi. Bagaimana dengan Gunungapi Slamet? Berdasarkan karakteristik hujan, kondisi geomorfologi, geologi, dan vegetasi yang ada sebenarnya potensi sumberdaya air di Gunungapi Slamet sangat baik. Menurut Martopo (1984) terdapat unit-unit geohidologi di lereng Gunungapi Slamet yang kedudukannya mengikuti unit geomorfologi. Karakteristik masing-masing unit geohidrologi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Lereng atas Gunungapi Slamet merupakan wilayah ini merupakan zona pengambilan (intake) airtanah. Di wilayah ini hanya terdapat sungai ephemeral (mengalir hanya saat hujan dan sesaat setelah hujan) 2. Lereng tengah Gunungapi Slamet, di wilayah ini airtanah tersimpan kemudian dilepaskan menuju lembah-lembah yang dalam. Airtanah diperoleh dari unit diatasnya yaitu lereng Gunungapi Slamet. Batas terbawah unit ini ditandai oleh muncunya mataair. 3. Lereng bawah dan lereng kaki Gunungapi Slamet merupakan zona luah

(keluaran=discharge) airtanah. 4. Kaki gunungapi dan dataran kaki gunungapi merupakan akuifer yang baik. Masing-masing unit geohidrologi tersebut saling berkaitan. Lereng atas sebagai zona pengambilan memberikan imbuhan airtanah ke lereng tengah. Lereng tengah merupakan wilayah pengisian airtanah yang potensial. Wilayah penyimpanan dan luah airtanah terdapat di bagian bawahnya yang memiliki akuifer baik yaitu lereng bawah dan dataran kaki gunungapi. Berdasarkan hasil penelitian Martopo (1984) di lereng selatan Gunungapi Slamet, debit airtanah diketahui sebesar 0,0138 m3/hari di lereng atas gunungapi; 0,0110 m3/hari di lereng tengah gunungapi; dan 0,0085 m3/hari di dataran fluviovulkan. Di wilayah tersebut terdapat kurang lebih 100 mataair, dua diantaranya adalah mataair panas. Terdapat 19 tipe mataair retakan (fracture spring) dengan debit antara 15 liter/detik hingga 200 liter/detik. 21 mataair kontak (contact spring) dengan debit 2,9 liter/detik hingga 6.8 16

liter/detik. 48 mataair depresi (depression spring) dengan debit 0,9 liter/detik hingga 5 liter/detik. Selain itu juga terdapat rembesan (seepage) dengan debit 1,5 liter/detik hingga 5 liter/detik. Sungai-sungai yang mengalir di kaki Gunungapi Slamet umumnya merupakan sungai permanen, sedangkan sungai ephemeral maupun intermitten mengalir di lereng atas hingga lereng bawah Gunungapi Slamet. Namun demikian karena Gunungapi Slamet termasuk kategori gunungapi aktif serta proses eksogen yang berlangsung padannya juga cukup aktif dan dinamis maka hasil penelitian terdahulu ini perlu diikuti dengan penelitian lagi untuk dapat memberikan informasi yang akurat mengenai kondisi terkini di Gunungapi Slamet.

17

KISAH-KISAH DI BALIK PERJALANAN YANG BEGITU SUSAH

Banyak kisah di balik perjalanan yang sangat susah. Ya, kiranya memang demikian. Lelah mental dan fisik itu pasti terasa oleh masing-masing diantara kami semua selama mengikuti ekspedisi, tapi kesempatan mencoba merasakan medan Gunung Slamet memang tidak ada bandingannya, terlebih ketika kita berhasil menapaki puncak. Rasa lelah selama perjalanan terkadang justru menjadi indah bila diingat dan diceritakan kembali. Dan dibalik segala kesulitan itu memang banyak cerita yang sangat sayang bila dilewatkan. Untuk itulah pada bagian ini Riza, Tyo, dan Topan akan menceritakan kesan-kesan mereka sepanjang perjalanan. Sambil menceritakan tentang pengalamannya selama mengikuti ekspedisi ini, Riza mencoba untuk sedikit mengulas kondisi vegetasi yang ada di lereng timur Slamet serta kondisi medan yang dilalui. Sesuai dengan motto: berbagi pengalaman dan pengetahuan. Harapannya tentu bisa menginspirasi para pembaca sekalian untuk turut mengenal dan menikmati sendiri kondisi medan dan vegetasi hutan hujan tropis di lereng timur Gunung Slamet. Sementara itu Tyo yang bertutur panjang lebar mengenai pengalaman susahsenangnya di Gunung Slamet, tak lupa juga menceritakan kondisi sosial masyarakat di Dusun Bambangan lengkap dengan analisisnya dari sudut pandang sosiologi. Tyo dan Topan yang alumni pendidikan sosiologi memang mendapatkan misi khusus untuk memotret dan menggambarkan kembali situasi sosial masyarakat di Dusun Bambangan dari tinjauan sosiologi. Meskipun hanya tiga hari bergaul bersama masyarakat disana mudah-mudahan bisa sedikit memberikan gambaran mengenai kondisi kehidupan masyarakat, kehidupan, dan karakteristik hubungan sosialnya. Selamat mengikuti...

CATATAN DARI BAMBANGAN Riza Charistina, S.Pd. (M-III/001)

Kisah ini bermula dari saat pemberangkatan di Termial Giwangan, Jogja. Satusatunya hal yang menjengkelkan adalah Tiket Patas Bus Efisiensi habis, ya sudah terpaksa naik bus Ekonomipun jadi. Padahal karena ekspedisi ini kelasnya adalah kelas alumni, maunya sedikit mewah lah, sebagaimana perencanaan awal sebelum berangkat. Setelah menempuh perjalanan panjang dengan bus ekonomi yang penuh dengan kegiatan ekonomi kami turun di Sokaraja depan Klenteng, seteah sarapan dilanjutkan dengan Bus tuyul jurusan Bobotsari menuju pertigaan Serayu lalu naik carry menuju Pos Bambangan. Kirakira pukul 16.00 sampailah di Basecamp Bambangan. Setelah mendaftar di base camp lalu packing ulang dan berdoa kamipun berangkat. Dalam pejalanan dari Basecamp ke Pos I ada kisah yang mungkin takkan terlupakan. Awalnya jalan santai tetap penuh semangat dan percaya diri, walaupun kemudian timbul macam-macam kecurigaan, ragu salah jalur. Dan semakin jauh berjalan, justru semakin memasuki ladang penduduk, medan landai, jalan menurun kemudian memasuki ladang jagung. Ini yang benar-benar ganjil dan ternyata akhirnya benar diketahui bahwa kami kesasar. Setelah mendapatkan pencerahan dari penjaga ladang, akhirnya balik kanan kembali ke jalan yang benar, lewat gerbang, jembatan belok kanan melewati ladang penduduk. Namun demikian ternyata kami masih dihantui bayang-bayang nyasar, ragu, akhirnya kami memutuskan istirahat sambil menunggu tim di belakangnya hingga akhirnya bertemu Liza dan Papahnya. Memasuki hutan pinus, populasi agak jarang, dan umumnya berupa vegetasi peralihan (boswoisen), medan masih santai semi menanjak, anggota tim berjalan terpisahpisah dan kadang saling susul menyusul, ketika lelah rehat bersama tim lain. Kondisi vegetasi berupa hutan, semak belukar, dan masih ada beberapa pohon pinus, dan sesekali bertemu pohon besar. Suasana yang menjelang larut malam menyebabkan sedikit lelah, dan rasa kantuk kemudian datang menepati jadwalnya. Tak lama berselang sampailah kami di Pos I. Istirahat sejenak melepas lelah dan berniat merem sejenak, eh malah kantuk ilang. Akhirnya waktu dihabiskan dengan isi amunisi, togo menjadi menu favorit untuk kemudian jalan lagi. Pos I ke Pos II vegetasi semakin rapat, medan menanjak. Kondisi vegetasi sekilas masih sama dengan vegetasi di gunung-gunung yang lain, belum nampak ada yang istimewa dari hutan Gunung Slamet. Jalur tanah kering yang menyebabkan rawan terpeleset. Sesekali dijumpai akar pohon menyimpang ditengah jalur dan ada beberapa area terbuka cukup untuk camp 1 dome. Dalam perjalanan ini tim terbagi menjadi dua sub tim, 3 orang pertama racing, 3 orang terakhir tim kicot. Tim kicot memanfaatkan beberapa tempat 20

longgar dan datar yang sering ditemui di jalur antara Pos I Pos II guna melepas lelah. Perjalanan malam yang melelahkan dan kantuk yang menyerang menyebabkan beberapa personil tim kicot terlelap disela rehatnnya menuju pos II. Sesekali terdengar keras suara binatang malam khas hutan tropis yang sering pula kami dengar di gunung-gunung lain, entah binatang apa itu. tak terlalu lama beristirahat kamipun berjalan lagi setelah dingin menyerang dengan kesepakatan tidur sejenak sesampainya di pos II. Pos II ke Pos III diwarnai dengan istirahat cukup lama (tiduran). Hawa dingin teramat sangat yang menyebabkan kami harus berjalan lagi menuju pos III sambil menahan kantuk. Disini vegetasi semakin rapat dan semakin banyak dijumpai akar pohon malang melintang membentuk undak-undakan. Medan menanjak, terasa semakin berat dengan kondisi fisik semakin melemah. Kami masih berjalan dengan formasi sub tim yang sama. Ketika bertemu dengan pos bayangan kamipun istirahat (tiduran lagi), awalnya berencana nge-camp di pos ini, tetapi diurungkan (lebih baik di pos III). Dari sinilah perjalanan menuju pos III terasa nge-taste dengan kondisi fisik yang sangat lemah serasa bekicot yang dipaksa berlari. Dan istimewanya (dengan berjalan ngebut) ternyata pos III hanya berada sedikit diatas pos bayangan yang kami gunakan untuk istirahat tadi. Setelah sempat masak-masak kemudian semua tidur sampai pagi. Dome sengaja tidak dipasang, guna memperlancar perjalanan. Tahap berikutnya adalah perjalanan panjang non stop: Pos III Pos IV Pos V Pos VI Pos VII. Perjalanan pagi dimulai pukul 06.00, kondisi vegetasi relatif sama dan mulai menampakkan kekhasan vegetasi gunung slamet yang berupa vegetasi hutan tropis, sangat rapat. Beberapa bohon besar ditemui di kanan dan kiri jalur. Dijumpai pula akar menjulur yang membentuk undak-undakan. Sesekali dijumpai tanaman merambat yang memayungi jalur pendakian (yang semakin menanjak) hingga membentuk kanopi alami dengan akar-akar tanaman merambat yang menjuntai. Di Pos IV terdapat batang pohon besar yang sudah mati, cocok untuk tempat istirahat- duduk-duduk melepas lelah. Pos V terdapat sebuah pondok (saat itusangat penuh) sedangkan Pos VI lebih kecil (saat itu dipakai 1 dome, cukup untuk 2 dome ukuran besar. Pos VII juga terdapat pondok dan dataran yang cukup lapang (ukuran sama seperti pos V) di pojokan pondok tumbuh segerombol pohon edelweis, dari pos ini kita bisa melihat beberapa gerombolan pohon edelweis di jurang bawah pondok dan jalur menuju pos VIII yang berada tepat dikanan atas pondok. Saat berjalan melewati antara pos V keatas membuat saya teringat akan jalur pendakian di gunung yang pernah saya daki sebelumnya, antara lain Sumbing tepatnya pada Jalur Pestan. Satu pertanyaan dalam pikiran saya, mungkinkah pada jaman dahulunya jalur dikanan dan kiri pestan juga ditutupi padatnya vegetasi seperti di gunung slamet?. Dari base camp hingga Pos VII saya tidak menemukan cantigi, tetapi menemui beberapa pohon berdaun hijau berujung merah (dan apakah benar jenis cantigi di Gunung Slamet? 21

mengingat pohonya terlalu besar dan tidak bergerombol, serta membetuk semak khas cantigi, seperti cantigi di puncak sindoro). Atau cantigi dapat ditemukan di atas pos VII, mengingat saya hanya mentog di pos VII dan nggak kepikiran mencari vegetasi tersebut sebelumnya. Sampai setelah berjalan turun menuju base camp, dan muncullah kemauan kembali mendaki Si Slamet ini lagi lain waktu. SYUKUR DAN KEKAGUMAN Agus Budi Setyawan (Topan Mississippi, M-II/004)

Tulisan ini tersesaikan satu bulan pasca ekspedisi Gunung Slamet oleh tim MPA Mahameru. Selama kurun waktu itu pula semua anggota tim tidak bisa bersama-sama karena faktor pekerjaan. Hanya satu dua diantara anggota tim yang masih bisa sering bertemu atau berkumpul, selebihnya mungkin harus menunggu hingga satu tahun lagi untuk menemukan momen bersama-sama seperti saat ekspedisi. Kendala-kendala semacam inilah yang menyebabkan penyusunan tulisan ini harus dilakukan melalui komunikasi jarak jauh, termasuk dengan Agus Topan. Dari beberapa kali komunikasi jarak jauh inilah, Topan menyampaikan kesan-kesannya yang begitu mendalam mengenai ekspedisi Slamet. Hampir sama dengan perasaan teman-teman yang lain tentunya, Topan juga masih dalam situasi antara percaya tidak percaya telah menjejakkan kakinya di Puncak Gunung Slamet. Sempat beberapa menit merasakan menjadi orang tertinggi di Jawa Tengah. Pernah melintasi salah satu jalur pendakian gunung yang cukup bergengsi di Pulau Jawa, dan menyaksikan sendiri keindahan sekaligus kedahsyatan alam Gunung Slamet. Atas itu semua Topan tidak habis-habisnya mengucap syukur. Mendapatkan kesempatan langka disela-sela kesibukan dan berhasil mencapai hasil maksimal tentu merupakan pencapaian yang tidak biasa. Selain itu rasa bangga sebagai bagian tim MPA Mahameru yang mengibarkan bendera di Puncak Slamet, walaupun sudah berstatus golongan tua rasanya memang tiada duanya. Melalui pesan singkat Topan menulis: Slamet adalah gunung yang sangat eksotis. Mendapatkan kesempatan medaki kesana adalah hal yang luar biasa. Bukan saja karena Slamet adalah gunung tertinggi di Jawa Tengah, tetapi lebih dari itu. Slamet adalah gunung yang memiliki keindahan alam, selain itu kehidupan masyarakatnya masih mempertahankan budaya dan kearifan lokal yang jauh dari hingar-bingar dan tidak terkikis modernisasi seperti di kota. Pendakian Slamet mampu mengembalikan kesejukan dalam diri saya. Lebih dari itu kebersamaan dengan sahabat-sahabat terbaik yang telah terpisahkan oleh jarak dan waktu mampu mengobati rasa rindu. Rasanya berat sekali untuk sekian kalinya berpisah. Semoga masih banyak kesempatan lagi untuk medapatkan kebersamaa yang indah itu. 22

MENGGALI MAKNA KEHIDUPAN DI LERENG SLAMET TTP Setyo Utomo, S.Pd. (Tyo 31 PSU, M-I/006)

Alhamdulillah setelah sekian lama pingin merencanakan dan belum kesampaian akhirnya berhasil juga rencana untuk naik gunung lagi. Bermula dari SMS agus kitring atau dikenal dengan nama Topan Misisipi bahwa temen-temen tua Mahameru fix untuk pendakian ke Gunung Slamet, Personilnya antara lain saya sendiri (Tyo31 PSU), agus kitring , kang ari, Rohmad, Anggita, dan Riza (satu-satunya personel cewek yang ikut pendakian ini). Wah gak nyangka yang ikut bisa sebanyak itu padahal awalnya saya juga tidak terlalu berencana banget gara-gara ada isu mengalihkan pendakian ke Merapi, tapi karena tiba- tiba saya kangen dengan suasana alam yang menentramkan ( ciee) dan dengan sedikit egois tetap kekeh pingin ke Slamet, akhirnya merekapun manut, hahaha... Alhasil mulailah kita berpetualang mendaki gunung Slamet yang terletak di sebelah utara kota Purwokerto dan sebelah barat kota Purbalingga ini. Perjalanan ini merupakan hasil dari pemikiran panjang sambil mengurai benang merah di antara kerumitan hidup. Maklum di tengah rutinitas kesibukan kerja, kerja dan kerja, saya yakin saya sangat membutuhkan petualangan ini untuk mencari sebuah filosofi perjuangan dan temu kangen temen-temen perjuangan. Dengan modal bismillah dan tekat yang bulat saya meninggalkan zona kenyamanan saya demi mencari arti sebuah perjuangan. Saya ingat betul waktu awal pertama mendaki gunung sungguh begitu berat rasanya, namun efeknya begitu sangat besar bagi saya sendiri. Saya menjadi menghargai apa itu perjuangan menantang diri sendiri dengan modal paksa. Dan itu yang akan saya ambil manfaatnya sebagai modal semangat kerja hari ke depan nantinya. Di sabtu pagi yang cerah kami memutuskan untuk ngumpul di terminal Giwangan untuk berangkat. Ya , walaupun dari rencana awal jam 7 pagi sudah berangkat namun karna kendala RoyaL yang tidak sesuai rencana kita jadi berangkat sekitar pukul 10.00 WIB . Akhirnya sampai di tempat sekitar pukul lima sore di pos perijinan, dengan masuk tiket per orang 8 ribu rupiah kalau nggak salah. Setelah beristirahat dan persiapan, kami memutuskan untuk berangkat bada isya untuk mulai petualangan perjalanan kita. Asyeeek,,,. Baru menit-menit pertama, rasanya juga sudah lumayan wah di sini. Nafas sudah mulai terengah-engah (maklum balung tuo, sebuah kata-kata untuk alibi hehehe) namun kita masih bersemangat meskipun sempat nyasar salah jalur. Di lanjutkan lagi, kami mulai mengobrol ringan agar lupa dengan perjalanan yang melelahkan itu. Sesekali kita juga berhenti untuk istirahat jika dari kita ada yang butuh istirahat, sambil meneguk air minum bawaan kita dan melihat pemandangan malam sekitar. Setelah kira-kira jam 12 malam angin sudah mulai menunjukkan kedinginannya karena efek ketinggian, sehingga badan ini 23

rasanya makin sulit untuk bergerak dan saya pun kena penyakit itu lagi deh kalo lagi dingin: malas. Weeeh tidak baik nih kalo lagi di tengah-tengah kaya gini. Benar saja, karena lelah yang telah menguras tenaga, berkeringat namun dalam sekejap menjadi dingin karena suhu yang rendah. Sehingga membuat saya terkapar sambil menunggu berharap temen-temen mendirikan tenda yang akhirnya tidak terwujud karena Kang Ari punya pemikiran lain (apes bakal kademen dan masuk angin kelas berat kie nak nggak dapet tempat ngusel pikirku). Benar saja, waktu yang dalam sekejab, cepat sekali membuat saya agak tertidur dan menggigil kedinginan. Singkat kata, kita melanjutkan perjalan pagi harinya. Perjalanan semakin menguras tenaga karena trek menanjak yang tidak ada putusnya dan jarang-jarang pula kami menemukan tempat datar yang bisa dipakai untuk beristirahat sejenak. Tentu saja trek ini merupakan trek penyesuaian langkah kami lagi menuju trek selanjutnya yang kelihatanya juga tidak kalah menantang menuju puncak. Di tengah asyiknya perjalanan, perut saya agak rewel saat itu. Oh tidak, semoga ini cepat mereda saya berkata dalam hati. Ternyata di perjalanan selanjutnya perut saya sudah mulai nggak enak, rasa-rasa mau kenthut tapi susah. Sudah berkali-kali saya bilang, cah, pengen kenthut dan akhirnya kentut itu keluar, tak ada bunyinya tapi jelas berbau maaf ya hahaha, sehingga bikin malu namun sebentar saja deh karena makian dan pujian telah keluar dari mulut temen-temen dengan tulus dan jujur ahihihihihi, tapi terlihat satu orang yang sangat bahagia karena aroma itu, ya,, dia adalah Rohmad, dia begitu menikmatinya sampai berulang kali dan mencapai klimaksnya sampai hampir muntah ahahahahaha. Sampailah kita di pos terakhir yang terdapat bangunannya setelah pos 1 dan 5. Hmm,,, Cocok untuk istirahat dan membuka logistik, namun tidak ada sumber mata air disekitar pos ini. Sarapan ala kadarnya pendaki seperti umumnya, mungkin dari kalian juga pernah merasakannya walaupun sangat sederhana tetapi sangat nikmat. Mungkin akan beda cerita dan rasa tentunya kala kita makan makanan itu di rumah atau di kosan, gak doyan blas. Setelah perut kenyang terisi dan tenagapun kembali fit kita melanjutkan perjalanan kembali. Barang bawaan seperti carier kami tinggal di Pos karena tidak memungkinkan untuk dibawa kepuncak (mumpung ada Si Riza yang mau jaga hehehe), Air minum, makanan ringan dan camera saja yang di bawa sampai puncak. Hal itu akan sangat membatu kami berjalan mudah di bebatuan material letusan setelah batas vegetasi. Hutanhutan yang asri akan hilang ketika sampai di tempat yang dinamakan Sanghyang Rangkah, dan berganti dengan semak-semak dan sesekali ditemui pohon khas pendaki atau pohon eidelweis. Semak - semak yang asri juga akan tiba-tiba menghilang tanpa bekas ketika sampai di Pelawangan (lawang = pintu) atau pintu menuju ke Puncak Slamet. Perjalanan akan semakin menarik sekaligus juga berbahaya ketika kita melalui pelawangan ini. Disamping hanya pasir dan batu dan sudut pendakian yang semakin membesar bahkan 24

sekilas seperti mendaki tebing, di daerah ini sangat rawan kecelakaan karena di kanan kiri hanya ada jurang dan tidak ada satupun pohon untuk pegangan. Maka dibutuhkan ekstra hati-hati dalam mendaki daerah ini, bahkan untuk keadaan tertentu sebaiknya sambil merayap, karena pijakan kita bisa tiba-tiba longsor, karena medan yang dilalui adalah bukan lagi tanah, namun batuan material letusan gunung yang labil. Jalan berpasir serta berbatu dan sangat rentan untuk longsor. Nah dari pelawangan sampai puncak pola berjalan antar rekan perjalanan harus diatur. Sehingga pola perjalanan disarankan jangan sejajar, harus zig zag ataupun berpencar. Dengan dilaluinya daerah pelawangan ini maka akan menemukan dataran yang tidak begitu besar dan disana tidak ada lagi daerah yang lebih tinggi atau dengan kata lain telah sampai ke Puncak Slamet. Akhirnya sebuah perasaan bangga sekaligus haru ketika saya berada di puncak tertinggi di Jawa Tengah karena harus ditempuh dengan susah payah. Sebuah pemandangan yang sulit dibayangkan terbentang disekeliling pandangan mata. Mulai dari bibir kawah yang masih sangat aktif sampai puncak Gunung Suumbing yang letaknya sekitar 100 km arah timur Gunung Slamet terlihat dengan jelas dan betapa indahnya ciptaan Tuhan. Dan satu hikmah yang didapatkan bahwa ternyata manusia sangat kecil dihadapan Yang Maha Kuasa. Alhamdulillah kami mampu menembus puncak 3428 Mdpl hari Minggu, tanggal 08 Juli 2012 dengan selamat. Meskipun saya pendaki terakhir yang sampai puncak di antara rombongan yang ada, saya PUAASSS....!!! Kami menghabiskan waktu di puncak tidak lebih dari 1 jam. Karena hari sudah semakin siang kami putuskan untuk turun. Perjalanan turun memang memerlukan waktu lebih cepat. kami tiba kembali ke basecamp dengan personel lengkap meskipun dengan langkah tertatih-tatih. Terima kasih.. Subhanallah walhamdulillah. Luar biasa..!!

kami bermalam dibasecamp untuk istirahat dan pulang ke Jogja pada pagi harinya. Disini kami bersama masyarakat lereng Gunung Slamet, dan saya belajar banyak. Masyarakat mempercayai bahwa Gunung Slamet adalah pusat dari pulau Jawa (bahkan sebagian masyarakat jawa mempercayai hal itu). Posisinya sangat penting secara kosmologis, geografis, budaya, sosial, ekonomi, hingga historis bagi wilayah di sekitarnya. Bahkan mereka juga percaya bahwa gunung ini adalah gunung yang angker, yang banyak didiami oleh mahluk halus. Masyarakat sekitar percaya gunung itu tempat sakral dan didiami makhluk halus dan roh-roh leluhur. Kepercayaan itu menyebabkan Gunung Slamet sangat penting dalam penciptaan keseimbangan alam. Mereka yakin, gunung itu memiliki daya magis besar. Dalam perkembangannya, sistem kepercayaan masyarakat sekitar Gunung Slamet ini menciptakan kearifan lokal untuk menjaga kelestarian alam Gunung Slamet. Maka pemberian nama Slamet merupakan bagian dari kearifan lokal untuk menyadarkan manusia agar mau menjaga keselamatan hidup dengan menjaga lingkungan secara baik. Tujuannya, agar penunggu gunung tidak marah hingga memuntahkan material vulkaniknya. 25

kuatnya kepercayaan lokal terhadap kekuatan supranatural Gunung Slamet menyebabkan kelestarian hutan di gunung itu hingga kini relatif terjaga. Hutan-hutan di lereng Slamet relatif terpelihara. Secara sosiologis dapat dilihat setiap masyarakat memerlukan solidaritas (dua tipe : solidaritas mekanis dan solidaritas organis), begitupun kehidupan masyarakat lereng Gunung Slamet. Solidaritas mekanis mudah di jumpai pada masyarakat segmental seperti pada masyarakat di sekitar lereng Gunung Slamet, pada masyarakat seperti ini dengan tipe solidaritas mekanis merupakan suatu tipe solidaritas yang didasarkan atas persamaan, dengan demikian tidak terdapat kesalingketergantungan antara kelompok-kelompok berbeda, tipe solidaritas yang didasarkan atas kepercayaan dan setiakawan ini di ikat oleh seperti yang dikatakan Durkheim dinamakan conscience collective (hati nurani kolektif) suatu sistem kepercayaan dan perasaan yang menyebar merata pada semua anggota masyarakat. Yang dapat diuraikan sebagai kearifan lokal yang di praktekan dalam kehidupan masyarakat disekitar lereng Slamet. Dari situ muncul budaya khas masyarakat Jawa di lereng Gunung Slamet yang berbeda dengan Jawa arus utama seperti dialek ngapak, karakter masyarakatnya yang terbuka atau blakasuta (selalu berkata jujur). Dan kita tahu, dalam realitasnya, Gunung Slamet tampak lebih bersahabat dengan manusia. Meskipun dalam tataran geologis tergolong gunung yang masih aktif, toh warga sekitar tidak terlalu merisaukannya. Mungkin ada semacam keyakinan bahwa nama Slamet telah menjadi gembok pengunci pintu bencana. Terlepas dari mitos dan kepercayaan yang ada, gunung ini merupakan gunung yang indah, terutama di Pelawangan yaitu daerah sebelum puncak. terima kasih buat temanteman semua, atas kesan-kesan yang indah selama perjalanan. Walaupun terasa sangat berat perjalanan kita namun senyum kita tidak boleh hilang oleh apa pun. Semoga ini bisa menjadi kenangan indah saat masing-masing dari kita sudah merasakan tidak muda lagi. # hemm,,, jdi pengen nangis Hiks,,hiks,,,

26

JALUR PENDAKIAN GUNUNG SLAMET


Via Bambangan

MENAPAK TILAS JALUR SETAN Anggita Dian H (M-V/006)

Gunung Slamet (3428 mdpal) terletak di wilayah lima kabupaten yaitu Kabupaten Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, dan Kabupaten Brebes. Sebagai gunung tertinggi di Jawa Tengah dan tertinggi ke dua di Pulau Jawa gunung ini banyak menarik minat para pendaki. Sejak era awal Wanadri dan Mapala UI jaman Soe Hok Gie gunung ini sudah mulai banyak dikunjungi. Suasana kejawen yang mistik, hutan hujan tropis, serta keldera lautan pasir seakan menjadi magnet bagi para pendaki. Untuk mencapai Puncak Gunung Slamet setidaknya ada enam jalur utama yaitu Jalur Bambangan (Purbalingga), Jalur Baturraden (Banyumas), Jalur Kaliwadas (Brebes), dan Jalur Dukuh Liwung (Tegal), Jalur Guci (Tegal), dan Jalur Gajah Nguling (Pemalang). Di luar jalur-jalur yang umum di kalangan pendaki tersebut kemungkinan ada pula jalur-jalur tidak resmi dari daerah yang lain. Diantara semua jalur tersebut yang paling banyak dilewati pendaki adalah Jalur Bambangan. Jalur ini dikenal memiliki mendan yang paling mudah. Meskipun demikian jangan dibayangkan bahwa jalur pendakian ini mulus seperti jalan beraspal, atau ada anak tangga seperti Jalur Cemorosewu Gunung Lawu. Jalur ini sama sekali tidak mudah. Selain kemiringan rata-rata yang terjal kondisi lintasan juga cukup menyulitkan. Sekilas situasi di Jalur Bambangan akan diuraikan dalam tulisan ini. Bambangan merupakan sebuah dusun yang berada di ketinggian 1.500an mdpal. Secara administratif termasuk dalam wilayah Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga. Bambangan konon berasal dari kata bamba yang berarti perapian dari kayu bakar. Untuk mencapai Dusun Bambangan dari Yogyakarta kami menumpang bus jurusan Yogya Purwokerto, turun di klenteng pertigaan Sokaraja. Dari sana dilanjutkan dengan menumpang bus jurusan Purwokerto Bobotsari atau Purwokerto Pemalang, turun di Pertigaan Serayu. Dari Pertigaan Serayu terakhir kami naik angkot omprengan plat hitam langsung menuju base camp di Dusun Bambangan. Perjalanan dimulai dari Base Camp yang berada berseberangan jalan dengan masjid berlantai tiga. Selain base camp, di ujung dusun ini juga terdapat pondok pendaki slamet. Dari base camp perjalanan dilakukan dengan menyusuri sisa jalan aspal Dusun Bambangan kemudian menjumpai gapura pendakian. Dari gapura ambil jalur ke kanan, jalur yang lurus adalah jalan buntu menuju ladang petani. Apabila mengikuti jalur ke kanan selanjutnya akan melewati ladang yang di sebelah kirinya ada sungai kering. Secara umum dari basecamp menuju pos 1 merupakan daerah yang masih berupa perladangan yang sebagian besar ditanami oleh sayur-sayuran seperti kol dan sawi. Setelah melewati perladangan akan memasuki kawasan hutan yang banyak ditumbuhi oleh pohon pinus. Kira-kira 1 jam hingga 28

1,5 jam kita akan sampai di Pos 1 (Pondok Gembirung). Pos 1 berupa pondokan yang dijadikan sebagai tempat gardu pandang bagi para wisatawan maupun pendaki yang ingin melihat kota Purbalingga dan sekitarnya. Begitu meninggalkan Pos 1 kita akan langsung memasuki kawasan hutan. Pos 1 sampai pos 5 bahkan sampai pos 7 kondisi vegetasi yang ada di hutan gunung slamet relatif sama yaitu berupa semak belukar dan pohon-pohon besar sehingga cahaya matahari tidak dapat menembusnya. Dari Pos 1 ke Pos 2 (Pondok Walang) membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Setelah lewat pos 2 dengan berjalan 1 jam kita akan melewati 2 pohon besar yang nampak seperti sebuah pintu raksasa. Konon katanya pintu tersebut adalah jalan gaib menuju alam halus Gunung Slamet. Dari pohon besar tersebut kemudian berjalan lagi sekitar 30 menit kita akan sampai di Pos 3 (Pondok Cemara). Pos ini sangat cocok untuk camping site apabila tenaga dan kondisi tidak memungkinkan untuk camp di Pos 5 atau Pos 7. Walaupun diberi nama Pondok Walang dan Pondok Cemara namun di kedua pos tersebut sama sekali tidak ada pondok. Satu-satunya pondok yang dijumpai dalam perjalanan menuju Pos 3 hanya ada di Pos 1. Selain itu perjalanan dari basecamp ke Pos 3 relatif melelahkan dan membosankan karena kondisi vegetasi yang cenderung homogen. Di Pos 3 tajuk pohon-pohonnya reatif rendah, selain itu tempat ini agak lapang dan bisa menampung 3 tenda dome. Dari Pos 3 kita akan mengambil jalur di sudut kiri, melintasi pohon tumbang. Karena jalur yang sebenarnya terhalang oleh pohon tumbang tersebut maka banyak pendaki yag membuat jalur baru dengan agak memutar ke bawah. Dari Pos 3 perjalanan dilanjutkan menuju ke Pos 4 dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Pos 4 bernama Samaranthu yang berasal dari 2 suku kata yaitu samar dan hantu yang berarti hantu yang samar atau tidak terlihat jelas. Pos 4 terletak di sebelah kanan jalur pendakian, tempatnya agak lapang dan biasa digunakan untuk camp. Setelah dari Pos 4 jalur pendakian akan semakin menanjak. Dari titik ini kita sudah bisa melihat Puncak Gunug Slamet dan jalur pendakiannya yang botak dan berbatu. Selanjutnya kita akan melewati jalur sempit dengan jurang yang dalam di sebelah kiri jalur kemudian menanjak lagi hingga tiba di Pos 5. Di Pos 5 (Samyang Rangkah) terdapat pondok yang cukup besar serta sumber air. Pada musim kemarau sumber air ini kering, jadi para pendaki lebih disarankan untuk membawa air dalam jumlah yang cukup banyak dari base camp. Pos 5 juga merupakan pertemuan antara Jalur Bambangan dengan Jalur Baturraden. Selain pondok, di Pos 5 juga ada tanah yang relatif lapang untuk mendirikan tenda oleh karena itu biasanya banyak pendaki yang camp di pos ini. Jarak dari pos 5 ke pos 6 tidak terlalu jauh, kira-kira 30 menit sudah sampai di pos 6 (Samyang Jampang), di pos 6 ini ada sebuah tanah lapang yang juga bisa dipakai untuk mendirikan tenda oleh pendaki, namun cukup terbatas hanya bisa menampung 1 atau 2 tenda dome. Selain itu tajuk pohon lamtoro di pos ini juga cukup 29

rendah. Pos 6 lebih cocok untuk istirahat sementara. Bila merencanakan untuk camp atau bermalam maka lokasi yang menjadi favorit para pendaki adalah Pos 7 (Samyang Katebonan). Untuk sampai pos 7 kita memerlukan waktu sekitar 45 menit perjalanan dari Pos 6. Di pos 7 ada sebuah bangunan yang cukup besar di sebelah kanan jalur pendakian yang dapat digunakan pendaki untuk bermalam. Di sini tempat yang cocok untuk mempersiapakan diri sebelum summit attack ke puncak. Selain tempatnya yang lapang, vegetasi di Pos 7 juga masih cukup rimbun, jadi terhalang dari angin atau badai gunung. Diatas Pos 7 masih ada Pos 8 dan Pos 9 namun lokasi untuk mendirikan tenda hampir tidak ada serta tidak terlindung dari angin, walaupun jarak ke puncak lebih dekat. Lepas dari pos 7 jalur menuju pos 8 dilewati berupa rumput hijau yang disela-sela pohon yang terbakar. Berdasarkan beberapa keterangan kawasan ini memang sering mengalami kebakaran sejak tahun 1995. Pos 8 (Samyang Kendit) merupakan daerah yang sangat sempit dan banyak ditumbuhi oleh semak-semak dan pohon-pohon kecil. Disebelah kanan jalur terdapat jurang yang dalam. Jadi lokasi ini tidak sesuai untuk camp walaupun pemandangan puncak dengan bebatuannya yang cadas nampak sangat indah. Dari Pos 8 sekitar 30-45 menit perjalanan kita akan sampai batas vegetasi antara tumbuhan dan batuan. Daerah ini sering disebut daerah Plawangan yang artinya lawang atau pintu. Jadi semacam pintu gerbang menuju Puncak Gunung Slamet. Plawangan juga merupakan Pos 9. Wilayah ini sangat rawan terjadi badai gunung. Setelah melewati batas vegetasi jalan yang ditempuh menuju puncak berupa batuan dan pasir, di tempat ini tidak akan menemui tumbuh-tumbuhan. Dalam perjalanan melewati lintasan ini sebaiknya kita berhati-hati karena batuan yang labil sangat mudah longsor, jadi bisa menyebabkan kita tergelincir. Selain itu anggota tim sebaiknya tidak menggunakan lintasan yang sama untuk menghindari jatuhan batu akibat longsoran tadi. Lebih baik berpencar tetapi jaraknya diusahakan tetap rapat. Apabila terjadi badai gunung maka jangan sampai berpencar melebihi batas pandangan, usahakan tetap berkumpul dan tidak terlalu mengambil jalur ke kiri atau ke kanan karena merupakan jurang yang dalam. Setelah

berjalan sekitar 90-120 menit dari Pelawangan maka pendaki akan mencapai Puncak Gunung Slamet. Puncak gunung slamet berupa batuan yang sempit, tetapi di bawahnya ada lautan pasir yang cukup luas. Di ujung lautan pasir terdapat kawah yang masih aktif dan menghembuskan solfatara. Jika cuaca sedang cerah dari puncak ini kita bisa melihat pesisir pantai utara, Gunung Ciremai di sebelah barat laut, serta Gunung Sumbing dan Sindoro di sebelah timur.

30

MENDAKI PUNCAK TERTINGGI DI JAWA TENGAH

PERJALANAN MENDAKI PUNCAK SLAMET (3428 MDPAL) Arie Carstensz (M-I/002)

Lima tahun yang lalu aku berada di tempat ini. Suasana begitu mencekam saat itu. Hanya kami berempat merayap di batu merah, tidak ada pemandangan indah, tawa riang, atau sekedar sapaan hangat dari pendaki lain. Tidak, sama sekali tidak ada itu semua, selain badai gunung yang meraung-raung dan jurang menganga di sisi kiri dan kanan bebatuan merah. Kami merasa diawasi, burung jalak sesekali menghampiri. Setelah sejenak berdiri di puncak dan pulang dibawah guyuran hujan, kisah pun diakhiri dengan manis. Bendera MPA Mahameru telah berkibar menantang badai di Puncak Slamet yang cadas. Hari ini aku berada di sini lagi, membawa segenggam harapan untuk kembali mengibarkan bendera yang sama di puncak. Suasana begitu hidup bersama belasan pendaki lain yang bersama-sama merayap menuju puncak. Tinggal beberapa puluh meter lagi, walaupun nafas serasa hampir putus tapi aku merasa begitu bergairah. Rohmad yang beberapa meter dibawahku masih kembang kempis memperjuangkan nafasnya. Topan, Anggita dan Tyo beberapa puluh meter di bawah, tapi masih nampak jelas dengan baju hitamnya. Cuaca sangat cerah, awan yang bergerak dari dasar lembah hanya naik sampai di batas hutan untuk kemudian lenyap tak berbekas, sama sekali tidak menyentuh puncak. Lalu sebentar kemudian semua lelah yang sedari tadi terasa mendadak sirna. Rupanya tak ada lagi tempat yang lebih tinggi. Bendera kami kibarkan di puncak ketika matahari tepat berada di atas kepala. Dibawah ada lautan pasir yang sangat luas. Sedangkan agak jauh di batas pandangan nampak kawah mengepulkan asap pekat. Kini kami telah berada di puncak memandangi keindahan di bawah sana, memandangi jalan yang kami lalui untuk sampai disini dan akan kembali kami lalui untuk pulang. Jalan yang telah memberi banyak kisah, banyak ujian, banyak kesan, dan banyak pelajaran untuk kami menjadi pribadi yang lebih baik. Suatu kesempatan yang luar biasa, bisa memanjat menyusuri lereng timur Slamet yang begitu dingin di waktu malam. ** ** ** ** **

Libur telah tiba, libur telah tiba, hatiku gembira... begitu sebaris lirik dari lagu anakanak. Walaupun kami bukan lagi anak-anak (bahkan bapak-bapak) tapi kami tentu juga merasakan kegembiraan yang sama dalam menyambut hari libur panjang kenaikan kelas. Dan meskipun tidak dengan perasaan sukacita yang menggebu-gebu seperti murid muridnya, namun bapak-bapak guru ini juga mempunyai semangat yang sama besarnya dalam menyambut libur panjang. Waktu yang telah ditunggu satu tahun lamanya akhirnya datang juga, inilah saatnya, kami akan kembali mendaki gunung. 32

Ini adalah acara tahunan, begitu kami menyebutnya. Karena bagi kami anggota MPA Mahameru yang sudah alumni dan tersebar untuk mengajar di berbagai tempat, kesempatan untuk mendaki gunung tidaklah sebanyak ketika masih kuliah. Tentunya terkendala masalah pekerjaan dan kalender akademik sekolah masing masing yang seringkali tidak sama. Kebetulan karena libur panjang semuanya berada dalam kondisi ready, jadi benar-benar momen yang pas bisa mengumpulkan para alumni sekaligus merencanakan perjalanan bersama sama yang sudah sangat sulit dilakukan pada waktu waktu normal selain liburan. Sebuah acara tahunan, moment yang sangat langka dan mahal. Kami akan membayarnya dengan ekspedisi yang besar pula, mendaki ke atas Puncak Gunung Slamet, puncak tertinggi di Jawa Tengah dan tertinggi kedua di Pulau Jawa. Pendakian gunung merupakan ekspedisi yang sama sekali tidak ringan, oleh karenanya butuh perencanaan dan persiapan yang matang mencakup semua aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan ekspedisi ini. Meskipun ini libur panjang bukan berarti waktu kami untuk berkumpul juga panjang, tetap saja terbatas karena kalender akademik masingmasing daerah berbeda. Inilah yang menjadi kendala. Peserta dalam pendakian ini yaitu aku, Riza, Anggita (kami bertiga ready di jogja), Rohmad (mengajar di Kabupaten OKU Timur, Sumatera Selatan), Tyo (mengajar di Kabupaten Batang, Jawa Tengah), dan Agus Topan (mengajar di Kabupaten Pati, Jawa Tengah), terkendala sulitnya koordinasi karena semuanya tidak segera bisa berkumpul bersama untuk membicarakan perencanaan dan persiapan pendakian. Jarak yang saling berjauhan dan tanggal libur yang tidak sama menyebabkan koordinasi bersama sulit dilakukan dan terkesan kurang mantap. Sementara pendakian Slamet termasuk dalam kategori berat, waktu semakin mepet, kondisi sulit yang sempat membuat kami berpikir ulang untuk ke Slamet, alternatifnya jika gagal adalah Merapi. Awalnya kami merencanakan ekspedisi dilaksanakan tanggal 6, 7, 8 Juli 2012. Tanggal 7 Juli merupakan target kami mencapai puncak, bertepatan dengan hari ulang tahun MPA Mahameru yang ke 7. Tapi karena berbagai kendala akhirnya pemberangkatan ditunda satu hari menjadi 7, 8, 9 Juli. Dan karenanya salah seorang anggota tim, Adiarto, terpaksa mengundurkan diri karena tanggal 9 sudah harus kembali mengajar di sekolahnya. Persiapan yang rumit, tapi akhirnya kami berangkat tanggal 7, bulan 7, tahun 2012. Bertepatan dengan hari ulang tahun ke 7 MPA Mahameru. Awal perjalanan Buntut dari koordinasi yang kurang mantap tadi adalah aku harus terpisah bis dengan teman-teman dalam perjalanan Jogja-Purwokerto. Tapi tentu ini bukanlah permasalahan besar yang menyebabkan terhambatnya ekspedisi. Kami kemudian berhenti di Sokaraja 33

untuk menumpang bis jurusan Bobotsari. Perjalanan masih akan sangat panjang, dan untuk itu kami merasa perlu melakukan ritual penting terlebih dahulu di Sokaraja, makan siang. Kebetulan diujung jalan nampak ada warteg yang begitu menarik pandangan kami. Beberapa teman sudah lebih dulu makan siang dengan menu yang lebih mewah, maklum PNS kata mereka. Haha.. Selesai makan siang dan urusan ke belakang, kami segera ke pangkalan untuk menunggu bis jurusan Bobotsari. Kebetulan dapat bis jurusan Pekalongan yang agak lumayan ugal-ugalan, jadi kami bisa menghemat waktu perjalanan menuju base camp. Entah karena apa, rupanya kami menarik perhatian para penumpang dalam bis. Rata-rata mereka bertanya saking pundi mas? (dari mana mas?) bade tidak pundi mas? (mau kemana mas?) lengkap dengan logat ngapaknya. Kami jawab saja kalau kami dari Jogja dan mau ke Slamet. oh, mau mendaki to mas?, ngantos antos nggih (oh, mau mendaki to mas?, hati-hati ya) begitu pesan dari beberapa penumpang yang bersama-sama dengan kami di dalam bis. Kata-kata ini nantinya akan semakin banyak kami degar dari orang-orang lain menjelang pendakian ke Gunung Slamet. Tiba di Pertigaan Serayu kami sudah disambut sebuah omprengan merah. kita mulai perjalanan yang menyenangkan menuju base camp Bambangan, kawan-kawan kataku disambut antusias oleh yang lain. Perjalanan melintasi tanjakan terjal dan kadang-kadang berliku, melintasi kampung-kampung dan sesekali hutan pinus. Hawa dingin pegunungan mulai berhembus memasuki jendela mobil yang sengaja kami buka, sekedar mengusir aroma tidak sedap dari kami dan penumpang lain yang berjubel di dalam angkot omprengan. Sesampainya di Kutabawa, mobil yang kami tumpangi belok ke kiri dan masih tetap nanjak. Cuaca cerah dan di depan mata kami nampak Gunung Slamet berdiri menjulang dengan gagah. itu dia kata hati kami, kok tegak banget ya mas? kata Anggita tiba-tiba disusul dengan ledakan tawa kami semua di dalam omprengan yang terasa semakin pengap. Selesai sudah cerita kami di dalam omprengan yang penuh gelak tawa. sudah sampai di base camp, mas kata bapak sopir? Hah.. aku kaget, diantara anggota tim ini aku satu satunya yang pernah mendaki Gunung Slamet bersama Tim Mahameru. Itupun sudah lima tahun yang lalu. Terus terang aku sudah lupa dimana base camp. ya ini base camp, mas. Masa iya saya bohong kata pak sopir lagi. Kami segera turun mengangkuti barang barang ke dalam base camp lalu berbincang dengan petugas disana. Disini sekarang lagi kesulitan air, hujan sudah tiga bulan tidak turun kata orang base camp memberi informasi. Ada lagi: sekarang pendakian lagi ramai-ramainya, diatas mungkin ada sekitar 80an pendaki, rata-rata camp di Pos 7 atau Pos 8 lanjutnya. Waduh, terus kita mau camp dimana nih? Jalur pendakian Gunung Slamet via Bambangan ada 9 pos. Dari base camp ke Pos 1 kemudian ke Pos 2 dan Pos 3 jaraknya saling berjauhan. 34

Sementara dari Pos 4, 5, 6, 7, 8, 9 jaraknya saling berdekatan. Diantara pos pos tersebut Pos 7 yang paling sesuai untuk camp karena jaraknya yang tidak terlalu jauh untuk summit attack serta medannya yang sangat baik sehingga terlindung dari angin kencang dan badai gunung. Tapi sebagaimana informasi, pos ini sudah penuh ditempati pendaki. kalau camp di Samarantu (pos 4), gimana? tanyaku kepada pihak base camp. wah, terlalu jauh mas, kalau mau summit attack. Selepas sholat maghrib dan isya di masjid, tentu dengan dibekali pesan hati-hati dari warga kampung yang bersama-sama sholat di masjid, kami segera packing ulang dan memulai perjalanan. Rohmad selaku ketua rombongan memimpin doa. semoga perjalanan kita ini dilindungi oleh Tuhan, semoga diberi keselamatan sampai pulang kembali, dan semoga menjadi awal perjalanan yang baik untuk MPA Mahameru selesai berdoa kami berjalan di sisa-sisa aspal Dusun Bambangan sampai ke gerbang pendakian untuk berfoto bersama, kemudian jalan satu-satu setelah aspal habis dan tinggal jalan setapak menuju puncak. Kesasar karena terlalu bersemangat Tyo, Agus Topan, dan Rohmad berjalan di depan, orang-orang yang begitu bersemangat karena rindu pendakian. Baru saja melintasi gerbang kami menjumpai percabangan jalan. Mereka bertanya kepadaku, yang mana? wah, aku sudah lupa, tapi sepertinya sih lurus aja terus kataku. Awal perjalanan yang penuh semangat, kami melintasi jalan setapak membelah ladang, nyaris tanpa berhenti. Baru ketika jalur semakin mengarah ke kiri kami mulai merasakan janggal, aneh jangan-jangan nyasar nih kata Rohmad. Sementara di igir sebelah kanan nampak ada cahaya lampu senter dari beberapa pendaki yang sedang dalam perjalanan turun. Sepertinya kita memang nyasar, tapi coba kita lanjut sebentar lagi begitu kira-kira kesepakatan kami. Karena terlalu bersemangat dan terburu-buru, kami luput mencermati petunjuk di base camp. Disana ada keterangan yang mengatakan, dari gerbang pendakian ambil jalur ke kanan untuk menuju Puncak Slamet. Kami malah ambil jalan lurus yang buntu. Kebodohan kecil akibat kurang teliti untuk memperhatikan petujuk-petunjuk kecil inilah yang membuat kami nyasar di awal pendakian, membuang waktu, energi, dan semangat. Sayang sekali...

Hus.. hus.. heaa.. heaa.. suara teriakan memecah keheningan malam, mengagetkan kami yang sedang bingung antara nyasar atau tidak. Kami berhenti sejenak ditengah ladang jagung, sepertinya memang sudah jelas bahwa kami nyasar. Jejak sepatu yang tadi kami ikuti ternyata bukan sepatu pendaki tapi sepatu boot petani. Ditengah-tengah kami berpikir suara teriakan berlanjut lagi. 35

siapa disitu? pendaki pak mau ke puncak? ya pak wah, nyasar mas... kalau mau ke puncak jalurnya bukan disini, sampeyan harus kembali ke gapura pendakian terus ambil kanan kata bapak itu setengah berteriak. Ternyata kami memang benar-benar kesasar. Untung ketemu bapak ini ya? kata teman-teman coba kalau tidak mau sampai dimana kita. Dan malam yang hening menjadi hangat oleh pembicaraan kami dengan bapak penjaga ladang ini, walau hanya sebentar cukuplah ada informasi yang memberi petunjuk jalur mana yang harus kami lewati. maaf mas, saya kira babi hutan tadi kata bapak itu, kami saling berpandangan satu sama lain, memangnya kita mirip babi hutan ya? disini banyak babi hutan, mas. Suka merusak tanaman jagung, jadi kami harus berjaga disini setiap malam bapak itu melanjutkan bicara sambil berjalan mendekati kami. sendirian pak? kata salah seorang teman. sama istri dan anak saya juga lanjutnya. Setelah berterima kasih kepada bapak dan keluarganya kamipun kembali turun untuk menuju jalur yang benar menuju puncak. Ternyata untuk kesasar ini kami menghabiskan waktu satu jam bolak balik. Kembali ke gapura pendakian, kembali mengawali perjalanan dari nol, dan artinya jadwal keberangkatan tertunda satu jam. Inilah akibat terlalu semangat dan penyakit lupa yang berkombinasi jadi satu. Kami semua tertawa, semangat masih tetap ada. Menggigil di Pondok Cemara Kami segera bergegas setelah mengambil jalur yang benar, dan tentu saja kamipun bertemu dengan pendaki turun yang nyala lampu senternya sempat kami lihat tadi. Perjalanan mulai terasa menjemukan, setelah melewati ladang sayur kami memasuki wilayah sabana dengan hutan yang tumbuh jarang-jarang. Ditengah perjalanan kami disusul oleh dua pendaki bapak dan anak yang kemudian menjadi teman baru kami dalam pendakian ini. Ceritanya, si anak (perempuan yang tentu saja membuat Anggita senang bukan kepalang) baru saja lulus SMP dan diterima di SMA. Sesuai janji dengan bapaknya kalau lulus SMP akan diperbolehkan untuk ikut mendaki, pengalaman pertama, tapi sepertinya dia begitu antusias. Awalnya ada beberapa keluarga tetapi batal jadi tinggal bapak dan anak ini saja yang mendaki. Mungkin karena merasa senasib, atau karena terlalu riskan mendaki berdua dengan anaknya yang baru pemula, mereka akhirnya memutuskan bersama dengan kami sepanjang perjalanan. Kami jalan mereka ikut dalam rombongan, kami istirahat mereka juga istirahat, kami tidur-tidur ayam di pos mereka juga turut serta. 36

Berfoto bersama di awal perjalanan

Pos I tepat berada pada batas antara hutan pinus/sabana dengan hutan hujan tropis yang lebat, kami tiba disini setelah kurang lebih satu jam berjalan dari gapura pendakian. Pos I merupakan sebuah gubuk besar, di dalamnya ada ruang yang luas dan kursi-kursi panjang. Sepertinya nyaman sekali membaringkan punggung di atas kursi itu, tapi jangan coba-coba tergoda sebab perjalanan masih sangat jauh. Kami kemudian melanjutkan langkah merambah hutan hujan, melewati jalan setapak yang tertutup oleh seresah dedaunan yang gugur. Jalanan nanjak dan terus nanjak tanpa bonus. Perlu semangat dan tenaga ekstra untuk sampai di Pos II. Waktu tempuh juga cukup lama. Hampir tengah malam akhirnya kami sampai di Pos II. Kantuk rasanya tak tertahankan, mungkin karena lelah setelah menempuh perjalanan jauh dari Jogja. Sesekali sambil beristirahat kami tertidur, hanya sebentar karena ketika dingin mulai terasa kami harus bergerak lagi. Malam mulai terasa menjemukan, pemandangan jutaan bintang sudah jarang terlihat karena lebatnya hutan, selain itu jalur juga membosankan ditambah dengan kantuk yang benar-benar susah dilawan. Kami bergerak perlaha-lahan menuju Pos III. Suatu ketika tim terbagi menjadi II, Tyo, Topan, dan Rohmad bersama dua teman baru kami beristirahat pada satu pos bayangan, sementara aku, Riza, dan Anggita beberapa meter di bawahnya. Tidak jauh sebenarnya, tetapi karena lebatnya hutan seakan-akan kami terpisah. Sambil beristirahat kuajak Anggita dan Riza mengobrol. Sial, mereka malah tidur, jadi tinggal hanya aku sendirian yag berjaga di tengah hutan. Agak seram juga, dalam situasi seperti ini terbayang kembali reputasi agker Gunung Slamet dan juga pengalaman seram lima tahun yang lalu. Tanpa berlama-lama kubangunkan teman-teman dan kami bergerak menyusul rombongan pertama diatas, ketika berhasil menyusul kami menjumpai mereka tengah menggigil menahan dingin. Setelah berlama-lama berjalan akhirnya kami sampai juga di Pos III, sepertinya waktu sudah mulai dini hari. Dingin benar-benar tak tertahankan serasa menembus sampai ke tulang. Godaan rasa kantuk dan gempuran hawa dingin tak bisa dilawan lagi. Setelah berunding kami akhirnya memutuskan untuk camp di Pos III ini. Rohmad meminta pedapatku apa sebaiknya camp dan membuat tenda disini. Menurutku tidak perlu, selain karena waktu yang sudah menjelang pagi dan perjalanan masih jauh, berada di dalam tenda akan membuat kami semakin malas dan kesiangan untuk menuju puncak. Sementara pencapaian kami sejauh ini baru kurang lebih setengah perjalanan. Melihat rendahya tajuk pohon yang tumbuh dan lebatnya hutan, kami tidur saja dengan matras dan sleeping bag tanpa tenda. Di sisa waktu menjelang pagi ini kami menginap disini. Sebelum tidur Rohmad dan Tyo sempat memasak, sementara aku dan Topan membuat api, Anggita memberesi Pos yang akan dipakai untuk tidur, sedangkan Riza yang tadi nampak masih ikut memasak nampaknya tak kuasa dibius kantuk. Setelah makan dan minum sedikit asupan hangat kami tidur berdesakan seperti dendeng, malam ini benar-benar dingin. 38

Memberesi lokasi camp di POS III sebelum ke puncak. Gambar bawah: foto terakhir sebelum berpisah dengan teman baru kami

Summit Attack Setengah Perjalanan Matahari sudah mulai terbit ketika satu persatu kami mulai menggeliat. Agak disayangkan memang kami beristirahat baru di Pos III, padahal maksud hati di Pos VII. Tentu konsekuensinya kami harus segera berangkat tanpa ada malas malasan. Di Pos III inipun akhirnya kami berpisah dengan dua teman baru kami. Mereka turun ke base camp sementara kami melanjutkan pendakian ke puncak, berjalan perlahan lahan menuju Pos IV. Aku merasa sangat segar, begitu juga nampaknya dengan teman-teman. Satu satunya yag tidak segar adalah ketut Tyo sepanjang jalan, buset baunya... kami semua pasti tidak akan bisa melupakan kentut di Gunung Slamet ini, begitu bau sampai-sampai Rohmad yang sedari tadi berjalan persis di belakang Tyo sempat muntah, menghirup aroma yang oleh Tyo diklaim sebagai belerang yang sudah turun dari kawah begitu katanya. Aku kemudian memilih berjalan di depan (menghindari kentut) tapi tidak jauh jauh dari Topan sebab dia yang selalu punya makanan-makanan menyenangkan dalam careernya. Anggita berjalan bersama Riza di belakang yang nampaknya kurang sehat. Pos IV kami lewati begitu saja dan langsung menuju Pos V. Di Pos V kami sudah mulai bertemu dengan pendaki yang camp, beberapa malah sudah dalam perjalanan turun mungkin baru kembali dari mengejar sunrise di puncak. Pos V, Pos VI berlalu. Berjalan di bawah rimbuh hutan lamtoro sangat membantu, sebab tanpa pepohonan ini pasti akan terasa sangat panas. Tiba di Pos VII Riza nampak pucat, sepertinya kurang sehat dan akhirnya memilih untuk beristirahat disini sambil menunggu kami kembali dari puncak. Lucunya, kami mendaki ke puncak bersama para pendaki yang sejak tadi malam camp di Pos VII. ngapain aja ya mereka? salah seorang teman meyeletuk. Untuk menghemat energi hanya careerku saja yang dibawa ke puncak, cukup untuk membawa bekal bolak balik ke Pos VII, dan yang tidak kalah penting untuk bergaya waktu difoto di puncak. Ada ada saja. Di Pos VIII vegetasi mulai jarang-jarang, hanya ada satu dua pohon lamtoro dan semak belukar, sesekali dari sini nampak jalur cadas menuju puncak. Aku bisa membayangkan betapa panasnya melewati jalur itu nanti. Kami hanya berharap semoga tidak dehidrasi, selain itu kamipun harus berhemat air minum karena di lereng samet sama sekali tidak dijumpai mataair. Dulu ketika aku mendaki kesini lima tahun yang lalu masih ada sumber air dekat Pos V, tapi nampaknya sekarang sudah mati akibat kekeringan berkepanjangan di wilayah Gunung Slamet. Kami mulai tidak sabar, ketika ada pendaki turun aku sempat menanyakan apakah memoriam masih jauh? ga ada memoriam tuh mas? jawab salah seorang pendaki. Loh, bukankah Pos IX perbatasan antara vegetasi dengan bebatuan cadas ada memoriamnya. Disinilah pusat segala rasa seram lima tahun lalu. Ternyata jalur sudah lebih lebar dan ada beberapa lintasan yang bisa dipilih, pantas saja... 40

Pos 9 Pos 8 Pos 7 Pos 5 Pos 6 Pos 4

Pos 3 Pos 2 Pos 1

Lintasan pendakian melalui Jalur Bambangan dari basecamp hingga puncak. Dilihat dari citra SPOT Google Earth

Inilah pertarungan terakhir, benar benar summit attack. Melewati jalur cadas yang licin sulitnya setengah mati. Sekali-sekali kami mendongak keatas, puncak nampak masih jauh, masa bodoh kami jalan lagi, melangkah dua genjotan melorot satu langah begitu seterusnya, dan jika tidak hati-hati kami bisa saja terbanting. Ternyata terik matahari tak sepanas yang aku bayangkan tadi. Dalam hati kami tak henti-hentinya mengucap syukur. Apalagi setiap ada gumpalan awan hitam merayap cepat dari dasar lembah, segera saja terhambur dan menghilang ketika melewati batas hutan. Cuaca benar-benar cerah, padahal kami telah was was kalau-kalau cuaca memburuk dan berawan karena kami baru mendaki ke puncak selepas tengah hari. Dan satu hal lagi, pelawangan tanah merah yang sedang kami lewati ini sangat rawan terjadi badai gunung. Aku sendiri merasa begitu sehat, mugkin karena cuaca bagus jadi tidak ada lagi ketakutan akan adanya badai seperti lima tahun lalu. Rohmad berjalan tepat di belakangku, tetapi kemudian mengambil jalur sebelah kiri. Maklum saja, mengambil lintasan yang sama dengan teman pada jarak yang terlalu dekat berarti menghadang gelinciran batu. Lintasan sangat labil, apabila kami salah mengambil pijakan maka akan menggulirkan batu ke bawah dan bersama dengan itu kamipun merosot beberapa meter ke bawah. Benar-benar melelahkan. Ada tiga jalur menuju puncak yang mempunyai karakter seperti ini, Slamet yang sedang kami daki sekarang, Merapi yang cenderung berbatu tetapi sekarang berpasir setelah letusan tahun 2010, dan Semeru yang berpasir kasar. Semuanya sulit dilalui, jika kita melangkah dua tiga genjotan maka ada satu perosotan ke bawah, begitu seterusnya. Tyo, Topan, dan Anggita tertinggal beberapa puluh meter di bawah. Aku sempat cemas karena akulah yang membawa career berisi bekal untuk ke puncak. Tapi kata Rohmad, Topan juga membawa beberapa botol air, jadi cukuplah untuk ke puncak. Jika saja mereka terlalu jauh dan baru menyusul kami setelah sampai di puncak. Ternyata bukan hanya kami yang kelelahan, belasan pendaki lain juga merasakan hal yang sama. Sebentar sebentar mereka berhenti lalu berjalan lagi. Ada pula yang tadi berjalan bersama kami lalu entah kemana, setelah dicari ternnyata istirahat lama atau malah menyerah dan turun. Perjalanan terakhir yang benar-benar menyulitkan. Hampir satu jam lamanya melewati lintasan cadas, akhirnya aku dan rohmad tiba di puncak. Pukul 12.10 WIB tanggal 8 Juli 2012. Tidak ada pendaki lain selain aku dan Rohmad. Bendera segera kami kibarkan di puncak yang sempit, sementara di bawah puncak terbentang lautan pasir yang sangat luas, di belakangnya terdapat kawah Slamet yang mengepulkan solfatara. Akhirnya semua lelah dalam perjalanan ini terbayarkan. Kami sujud syukur meluapkan kegembiraan. Cukup lama kami hanya berdua di puncak karena hampir 30 menit kemudian Tyo, Topan, dan Anggita datang bergabung bersama pendaki lainnya. Tyo bercerita bahwa dia tadi hampir menyerah dan putus asa melihat puncak yang seakan tak bisa digapai. Tapi syukurlah sekarang kami semua telah sampai di puncak. 42

Melintasi hutan di waktu malam Kami tidak berlama-lama di puncak, karena perjalanan masih panjang untuk kembali ke base camp. Jika tidak ingin kemalaman di dalam hutan kami harus bergegas. Target kami adalah sampai di Pos I pada saat maghrib, jadi bisa sampai di basecamp menjelang isya. Perjalanan turun jauh lebih cepat daripada naik, tentu saja karena kami tinggal memerosotkan badan melalui pasir yang gembur. Tapi jangan salah memilih jalur, karena jika mendapat batuan cadas dengan pasir tipis diatasnya maka kami bisa saja tergelincir. Ternyata menjaga keseimbangan pada saat main perosotan ini juga cukup menguras energi, hanya saja kami cukup diuntungkan karena singkatnya waktu perjalanan. Jika dalam pendakian ke puncak kami menghabiskan waktu 1,5 jam dari Pos VII maka dalam perjalanan turun ini kurang lebih 30 menit saja kami telah sampai di tempat Riza beristirahat di Pos VII. Perjalanan turun kami rasanya begitu cepat. Tentu karena dikejar target tidak mau kemalaman dalam hutan. Kami berjalan dan terus berjalan dengan sedikit istirahat. Pos VI, V, IV kami lewati begitu saja. Baru ketika sampai di Pos III kami beristirahat agak lama, disinilah kami tidur semalam. Ternyata dalam perjalanan turun ini kami menjumpai banyak pendaki yang sedang naik. Aku jadi ingat kata-kata jahil Fajrin, salah seorang kawan di Mahameru, saat bersama-sama mendaki Gunung Welirag di Jawa Timur akhir Bulan April lalu, kebahagiaan terbesar dalam mendaki gunung adalah saat pulang dari puncak dan melihat pendaki lain sedang naik menuju puncak. dasar... Kami berusaha untuk secepat-cepatnya toh maghrib kami baru sampai di Pos II. Seingatku Pos II dan Pos I cukup jauh, mungkin perjalanan turun bisa menghabiskan waktu 1 jam. Sudahlah, aku mencoba berpikir positif karena ini perjalanan turun siapa tahu perjalanan bisa lebih cepat. Yang jelas kemalaman di hutan benar-benar tidak mengenakkan. Lima tahun lalu aku dan teman-teman menghadapi situasi paling kritis ketika kehujanan di tengah gelapnya hutan, salah seorang anggota tim ada yang terserang hypothermia, panik dan nyaris tersesat. Jam 11 malam kami baru tiba di base camp waktu itu dalam kondisi yang sangat lelah. Terus terang kamipun saat ini mulai mengalami kelelahan dan merasa kurang sehat. Aku sendiri agak masuk angin, dan sepertinya merasa diare. Yang lain sedikit menderita cedera sepulangnya dari puncak tadi. Hutan benar-benar lebat dan seperti tidak berujung. Kami mulai frustrasi, ingin segera sampai ke luar hutan tetapi rasanya malah seperti berputar putar saja. Sementara lampu senter satu demi satu padam, kabut tebal datang meskipun tidak sampai turun hujan. Aku, Anggita, dan Rohmad terpisah dari Tyo, Topan, dan Riza. Sebenarnya tidak terlalu jauh jarak diantara kami tetapi karena berada di dalam hutan dan kondisi yang tidak nyaman rasanya kami seperti terpisah jauh menjadi dua rombongan dengan beban dan kesulitan masing-masing. 45

Ketika rasa frustrasi sudah sampai puncaknya akhirnya kami tiba di Pos I. Perjalanan sampai ke base camp mungkin masih 1 jam lagi. Kami semua yang menahan lelah dan ingin segera sampai base camp menjadi mudah korsleting. Tapi tetap berusaha sabar dan menegakkan disiplin mapala. Akhirnya kami berjalan perlahan membelah hutan pinus dan ladang, berputar berbelok sampai bosan. Kabut tebal datang menyiramkan hawa dingin sementara lampu Dusun Bambangan nampak samar-samar di kejauhan. Rasa lelah memang menurunkan kemampuan berpikir secara logis, sampai-sampai kami merasa nyasar padahal berada di jalur yang benar. Setibanya di pintu gerbang pendakian aku segera bergegas menuju pondok pendaki, mencari kamar mandi tetapi tidak ada lalu lanjut ke base camp melewati jalan aspal. Ternyata berjalan di aspak rasanya jauh lebih menyakitkan kaki daripada jalan setapak di gunung. Kaki sudah gempor dan seperti tidak mau digerakkan lagi. Anggita berjalan seperti orang sakit polio sehingga dijuluki porter polio. Setelah melewati turunan curam yang membuat kami harus mengerem kaki mati matian agar tidak jatuh, akhirnya kami sampai di base camp, rasanya kami begitu bahagia saat itu. kira-kira 15 menit kemudian rombongan kedua sampai di base camp juga dengan sumpah serapah karena lelah. Setelah bersihbersih kami semua makan malam, lalu masuk ke kantong tidur masing-masing dan tidur seperti balok. Pulang ke Jogja Pagi ini kami bangun dengan malas. Rasa lelah sedikit demi sedikit sudah hilang tapi pegal pegal di kaki justru baru mulai terasa. Keluar dari base camp kami disuguhi pemandangan keren, Gunung Slamet dari kaki hingga ke puncak, jalur yang kami lalui kemarin nampak dengan jelas. Sayangnya Gunung Sumbing dan Sindoro di sebelah timur tidak nampak karena berawan. Kami segera packing untuk pulang dan supaya bisa mengejar bis kelas mewah, anggap saja hadiah untuk badan yang sudah bekerja keras selama pendakian pergi pulang. Omprengan merah telah setia menunggu dan menawarkan carter langsung ke agen bis di Sokaraja. Ya sudahlah, daripada harus ganti-ganti bis akhirnya kami jadi diantar omprengan dari Bambangan sampai Sokaraja berjalan mengelilingi lereng timur hingga lereng selatan Gunung Slamet. ternyata gunungnya gede banget ya, dan di lereng yang lain hutannya lebat sampai di kaki gunung, gak seperti di Bambangan yang kaki gunungya tertutup hutan pinus jarang-jarang kata teman-teman. Sialnya, sampai ke agen bis tiket sudah habis. Terpaksa aku dan Rohmad harus ke terminal Purwokerto untuk mendapat bis yang lain. Sementara itu teman-teman yang lain menunggu di Sokaraja. Ada cerita lucu, sambil menunggu aku dan Rohmad mencari bis teman-teman yang kelaparan mencari sarapan. Tidak tanggung-tanggung mereka pesan 46

sarapan mewah: tongseng. Belum sampai makanan yang dipesan matang, aku telepon Anggita bahwa 30 menit lagi bis sudah sampai Sokaraja dan lanjut pulang ke Jogja, temanteman kelabakan, tongseng dibungkus dan dimakan dalam bis. Haha.. rasakan, biar sama rasa sama suka kataku dan Rohmad yang memang tidak sempat mencari sarapan sama sekali di terminal Purwokerto. Kami semua tertawa... Perjalanan ke Jogja di dalam bis kelas mewah terasa sangat menyenangkan. Akhirnya ekspedisi selesai, kami telah berhasil mengibarkan bendera MPA Mahameru di Puncak Slamet, kami telah melihat alam Indonesia, kami telah mengenal masyarakat Indonesia dan kehidupannya dari dekat. Kamipun pulang membawa kabar dari Gunung Slamet, tentang Dusun Bambangan yang tenteram, tentang masyarakatnya yang sederhana dan bersahaja, tentang kekeringan yang belum teratasi, dan banyak kisah lainnya yang mengajarkan kami untuk lebih dewasa. Seperti kata Rohmad semangat pendakian yang selalu aku terapkan dalam dunia kerja sehari-hari, semangat pendakian yang

mengajarkanku untuk tidak mudah mengeluh, tidak mudah putus asa, dan senantiasa bersyukur. Kota demi kota kami lewati dan akhirnya kami tiba di Jogja sore hari 9 Juli 2012, membawa setumpuk kisah dari Gunung Slamet.

47

JOSH ROCXMAD M-I/003

Tempat Tanggal Lahir: Gunungkidul, 19 November 1984 Alamat: Belitang BK 10, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan Kesan dari Slamet: bersama sahabat ku dapat kama, bersama bintang ku berjalan menuju puncak, ku dapat samirana

Rohmad adalah pimpinan rombongan dalam ekspedisi ini. Pria asli Jogja yang bekerja sebagai pengajar di Sumatera Selatan ini sekarang sedang aktif memperkenalkan kegiatan kepecintaalaman di kalangan generasi muda di tempatnya bekerja.

TYO 31 PSU M-I/006

Tempat Tanggal Lahir: Alamat:

RIZA CHARISTINA, M-III/001

Tempat Tanggal Lahir: Pekalongan 9 Agustus 1987 Alamat: Pekalongan, Jawa Tengah Kesan dari Slamet: WOW Amazing, Alhamdulillah ea kakak... Riza adalah satu-satunya anggota tim perempuan dalam ekspedisi ini. Dia adalah alumni Jurusan Pendidikan Geografi FIS UNY angkatan 2005.

AGUS TOPAN, M-II/004

Tempat Tanggal Lahir: Bantul 4 Juni 1985 Alamat: Piyungan, Bantul, DIY Kesan dari Slamet: Subhanallah, maha besar Allah yang telah menciptakan bumi ini beserta isinya Agus Topan, alumni Jurusan Pendidikan Sosiologi FIS UNY angkatan 2004 ini sekarang bekerja sebagai pengajar sekaligus pembina pecinta alam di SMAN 1 Kayen, Kabupaten Pati Jawa Tengah

Tempat Tanggal Lahir: Magelang, 2 Maret 1986 Alamat: Magelang, Jawa Tengah Kesan dari Slamet: Perjalanan yang luar biasa Pria yang sehari-hari disapa Kang Arie ini merupakan alumni Jurusan Pendidikan Geografi Angkatan 2003. Pernah jug belajar di UGM dan sekarang bekerja di UNY

ARIE CARSTENSZ, M-I/002

ANGGITA DIAN, M-VI/006


Tempat Tanggal Lahir: Jakarta, 21 Desember 1989 Alamat: Kedaton, Pleret, Bantul Kesan dari Slamet: pengalaman yang istimewa bisa melakukan perjalanan bareng senior menuju puncak tertinggi Dia adalah anggota tim yang termuda diantara yang tua, dan saat ini menjabat sebagai ketua senat MPA Mahameru. Alumni Jurusan Pendidikan Geografi Angkatan 2007, ini akan wisuda pada bulan september 2012

You might also like