You are on page 1of 3

Para Perempuan Yang Menjemput Kematian Judul buku Judul Asli Penulis Penerbit Edisi Tebal : Laskar Mawar

: Army of Roses : Barbara Victor : Mizan, Bandung : Cet. Ke-2, Juni 2008 : xiii+799 hlm.

Perempuan Islam dalam kaca mata Barat sering kali digambarkan sebagai korban penindasan. Perempuan dalam masyarakat Islam cenderung dianggap tidak memiliki hak untuk memutuskan nasibnya sendiri. Mereka dipaksa menggunakan pakaian tertutup, dipingit di dalam rumah, dipaksa menikah dengan suami yang bukan pilihannya, dilarang berkarir, dan bahkan diabaikan peran sosial politiknya. Barangkali fenomena yang paling tegas dijadikan pembenar adalah pemberlakuan hukum Islam secara kaku oleh rezim Taliban yang sempat berkuasa dalam waktu singkat di Afghanistan. Namun pandangan masyarakat Barat yang cenderung menggeneralisasi bahwa seluruh masyarakat Islam menindas perempuan tidak didasarkan pada fakta tapi lebih didasarkan pada prasangka. Fenomena rezim Taliban tidak dijumpai di banyak masyarakat Islam. Bahkan fenomena semacam itu mendapat banyak kecaman dari kalangan masyarakat Islam sendiri. Edward Said dalam buku monumentalnya, Orientalism (1978), telah menunjukkan bagaimana cara kerja prasangka Barat atas masyarakat Timur. Seluruh pengetahuan Barat tentang masyarakat Timur lebih didasarkan pada imajinasi tentang Timur sebagai tempat yang mistis, eksotis, penuh kerendahan moral, dan kebejatan seksual. Asumsi-asumsi ilusif tersebut terusmenerus berusaha ditampilkan sebagai kebenaran ilmiah untuk memberi pembenaran terhadap kelanggengan dominasi kolonial. Buku Laskar Mawar karya Barbara Victor, seorang Jurnalis Amerika yang meliput Timur-Tengah untuk CBS Television dan US News and World Report, ini berupaya keluar dari kungkungan orientalisme Barat dengan mencoba menghadirkan fenomena pempuan Islam Palestina dalam gerakan perlawanan terhadap penjajah Israel secara objektif. Victor yang telah dua puluh tahun lebih menjadi jurnalis di Timur Tengah menyusun buku ini melalui serangkaian liputan dan wawancara langsung terhadap masyarakat Palestina. Perlawanan bangsa Palestina terhadap Israel memasuki babak baru setelah gerakan intifadah meletus pada 1987. Perlawanan bangsa palestina tidak lagi dilakukan oleh sekelompok pejuang yang elitis baik dari kelompok-kelompok bawah tanah maupun organisasi resmi seperti Front Pembebasan Palestina (PLO) dan HAMAS. Pasukan intifadah di Tepi Barat dan Jalur Gaza adalah anak-anak dan para remaja yang menghalau pasukan dan tank-tank Israel hanya dengan bersenjatakan batu dan ketapel. Dalam gerakan inilah untuk pertama kalinya para perempuan muda Palestina turun ke jalan bergabung dalam perlawanan. Penghargaan atas peran perempuan dalam perlawanan Palestina mencapai klimaks pada 27 Januari 2002. Pagi itu Yasser Arafat dengan berapi-api mengatakan di hadapan lebih dari seribu perempuan Palestina, Kalian adalah

Pasukan Mawarku, yang akan menghancurkan tank-tank Israel. Siangnya seorang perempuan 26 tahun, Wafa Idris, meledakkan dirinya di sebuah pusat perbelanjaan di Yerusalem. Ia menjadi martir perempuan pertama di Palestina. Setelah aksi yang menggetarkan itu martir-martir perempuan lain bermunculan. Mereka berasal dari beragam latar belakang pendidikan dan status keluarga. Sekalipun hampir semua martir ini melakukan aksinya terutama berdasarkan semangat religius dan nasionalisme, namun penghayatan psikologis mereka beragam. Misalnya Darine Abu Aisha, seorang mahasiswi Sastra Inggris dari Universitas Al-Najah, yang menjadi martir kedua. Teman dekatnya bercerita, ia pernah mengutip sebuah bagian dari The Old Man and the Sea Ernest Hemingway, dan menjadikannya landasan keputusan akhir untuk menjadi martir. Bagian itu adalah ketika sang pelaut tua sampai di pantai dengan tangan kosong dan compang-camping setelah kalah bertarung dengan ikan pedang raksasa, menoleh ke arah laut dan meludahinya sambil menggerutu. Walaupun tak berhasil membawa pulang tangkapannya, dia telah berjuang dengan gagah berani dan tidak kalah (hlm.131). Melalui serangkaian wawancara terhadap keluarga dan teman dekat para perempuan martir tersebut, Barbara menghadirkan sebuah cerita kemanusiaan yang heroik dengan tokoh utama para perempuan Palestina. Jauh dari kecurigaan Barat tentang perempuan Islam yang tertindas, Barbara menghadirkan kisah keberanian dan pengorbanan para perempuan Palestina. Di bawah penindasan penjajah Israel, dominasi kaum laki-laki, dan kekerasan hidup sehari-hari, para perempuan Palestina itu bertransformasi menjadi pejuang yang tangguh dan tabah. Barangkali yang masih mengganjal dari buku ini adalah tiadanya kesimpulan tentang apa motif utama para martir perempuan Palestina. Sebagian tulisan menunjukkan keputusan mereka menjadi martir adalah murni kesadaran pribadi demi membela kehormatan bangsa dan agama. Sebuah kualitas yang membuat para perempuan ini berdiri setara dengan para martir laki-laki. Namun pada bagian lain ditunjukkan betapa keputusan mereka untuk menjadi martir hanyalah bentuk pelarian belaka dari tiadanya masa depan yang diidamkan disebabkan posisi mereka yang dibatasi secara ketat oleh berbagai aturan baik dari keluarga, adat, maupun agama. Namun ganjalan ini merupakan akibat wajar dari posisi netral dan rasional yang sengaja dipilih penulis. Buku ini menampilkan kisah para permpuan martir ini dengan gaya reportase yang menarik. Dengan menggunakan pendekatan sosiologis, psikologis, kultural, dan politik, Barbara Victor tidak hanya menempatkan fenomena kepahlawanan para perempuan itu dalam konteks takdir perempuan tertindas dalam sebuah masyarakat yang terjajah, namun juga mengungkap posisi strategis kaum perempuan dalam konflik Israel dan Palestina.*

Peresensi: Muhammad Syafiq Pengajar Psikologi Universitas Negeri Surabaya No. Rek. 0046009432 BNI Cab. Unair Surabaya HP. 081330114338

You might also like