You are on page 1of 3

Mendamaikan Sains dan Agama Judul buku Judul Asli Penulis Penerbit Edisi Tebal : : : : : : Perjumpaan Sains dan

Agama: Dari Konflik ke Dialog Science and Religion: From Conflict to Conversation John F. Haught Mizan, Bandung Juli 2004 xxvii+382 hlm.

Peradaban modern bermula ketika agama yang sebelumnya memandu kehidupan masyarakat Barat mulai ditinggalkan. Berbagai penemuan sains, baik dalam bentuk konseptualnya berupa teori-teori maupun bentuk praktisnya dalam wujud alat-alat teknologi menjadi jalan keselamatan baru yang lebih meyakinkan ketimbang agama. Munculnya inkuisisi yang menghukum Galileo pada penghujung Abad Pertengahan merupakan bukti paling transparan betapa agama tidak lagi mampu menjadi spirit yang menggerakkan sehingga harus dipaksakan dengan jalan kekerasan. Peristiwa inkuisi itu kemudian menjadi lambang perselisihan abadi antara sains dan agama. Meskipun tidak telak, tampaknya sains keluar sebagai pemenangnya. Sebelum inkuisisi, agama mendikte segala aktivitas manusia, termasuk aktivitas sains. Ratusan tahun kemudian sampai sekarang, sains berbalik menjadikan agama sebagai bulan-bulanan. Peran publik agama dilucuti, dan kepercayaannya direndahkan sebagai mitos kuno dan hasil delusi manusia belaka. Dalam cara pandang semacam ini, mereka yang masih menganut agama diangap tak lebih dari sekedar orang-orang yang terbelakang secara budaya dan secara personal mengalami gangguan kejiwaan. Pada tahun 1920-an di Amerika Serikat muncul gerakan fundamentalisme Kristen yang mencoba mereposisi kembali peran agama yang terdesak sains modern, salah satunya dengan memperjuangkan undang-undang di tingkat negara bagian yang melarang pengajaran teori evolusi Darwin di sekolah-sekolah dasar dan menengah. Pada tahun 1970-an, para intelektual muslim yang pernah mengenyam pendidikan di Barat mengajukan apa yang sering disebut dengan Islamisasi sains, dengan misi utama meletakkan sains Barat yang sekuler dalam landasan spiritual Islam. Kedua fenomena itu menunjukkan adanya gerakan mengaktualisasikan kembali agama dalam kehidupan modern. Fenomena tersebut juga menunjukkan upaya menegoisasikan kembali posisi agama dan sains yang selama ini dipandang berlawanan. Buku ini dapat dipandang sebagai salah satu tawaran untuk menyelesaikan konflik yang berlangsung selama berabad-abad. Penulisnya, John F. Haught, adalah seorang guru besar teologi di Universitas Georgetown Amerika Serikat. Dalam buku ini ia berusaha memetakan sejarah hubungan antara agama dan sains sampai perkembangannya yang paling mutakhir. Terdapat empat pendekatan berbeda menyangkut hubungan antara agama dan sains yang berhasil dipetakan, yaitu pendekatan konflik, kontras, kontak, dan konfirmasi. Pendekatan konflik memandang agama dan sains selamanya tidak pernah dapat didamaikan. Agama dan sains adalah dua jalan kebenaran yang saling bersaing untuk memperebutkan legitimasi sebagai yang paling benar. Dalam konflik ini, berbagai penemuan sains terutama dalam astronomi, fisika, biologi, maupun kimia membawa perspektif baru yang dipandang lebih mencerahkan ketimbang keterangan-keterangan

yang dibawa kitab suci. Akhirnya, keyakinan-keyakinan bersifat mutlak dalam agama seperti keberadaan Tuhan, penciptaan alam semesta, dan adanya kehidupan lain setelah kematian diserang para saintis sebagai mitos-mitos primitif. Di lain pihak, para teolog juga menyerang saintis karena kecencerungan atheisnya. Di antara ilmuwan kontemporer yang tergolong dalam pendekatan konflik ini adalah fisikawan terkemuka Stephen Hawking, pakar biologi dari Inggris Richard Dawkins, serta penemu formasi DNA heliks ganda Francis Crick dan James Watson. Ketidakpuasan terhadap pendekatan konflik memunculkan pendekatan kontras. Pendekatan ini berangkat dari gagasan mendasar bahwa pendekatan konflik lahir dari kesalahpahaman akibat peleburan (conflasion) semena-mena antara sains dan agama. Konflik sains dan agama muncul akibat tidak diindahkannya batas-batas wilayah keduanya. Wewenang sains adalah menguji dunia natural secara empiris, sedangkan agama ingin mengungkap makna terakhir yang melampui dunia empiris. Sains berurusan dengan masalah-masalah yang dapat dipecahkan oleh akal. Sedangkan agama berurusan dengan landasan terakhir kehidupan alam semesta beserta misteri-misterinya yang tak terpecahkan (hlm. 13). Bentuk peleburan itu dipihak sains adalah saintisme, suatu sistem kepercayaan yang meyakini sains sebagai satu-satunya cara yang benar untuk memandang segala sesuatu. Sedangkan di pihak agama adalah kreasionisme ilmiah, suatu keyakinan bahwa pengetahuan ilmiah yang termuat dalam kitab suci terutama berkaitan dengan masalah penciptaan alam semesta lebih benar dibanding sains yang diciptakan manusia. Jenis peleburan lain yang juga menjadi penyebab konflik adalah kecenderungan untuk memaksakan keselarasan antara ajaran kitab suci dan sains yang umum disebut konkordisme. Gerald Schroeder adalah salah seorang fisikawan terkemuka yang tergolong dalam konkordisme ini. Dalam buku Genesis and the Big Bang (1990), ia menyatakan bahwa kisah tentang rangkaian penciptaan alam semesta selama enam hari seperti disebutkan dalam Alkitab yang sebelumnya banyak ditentang para ilmuwan dapat dipahami secara harafiah jika didasarkan pada perspektif Teori Relativitas Einstein yang menantang gagasan rasional umum mengenai keserentakan absolut. Dengan menelanjangi keyakinan tersembunyi di balik sains dan membeberkan kekeliruan tafsiran kaum literalis biblikal tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan, pendekatan kontras telah memperjelas posisi sains dan agama yang berbeda. Namun, seperti dikatakan Ian Barbour dalam bukunya Religion in an Age of Science (1990), pendekatan ini cenderung membiarkan segala sesuatu berada pada jalan buntu yang akan membuat kita putus asa. Agama dan sains memang banyak memiliki perbedaan, tetapi dalam kenyataannya keduanya tidak bisa dikotak-kotakkan secara mutlak. Karena itu, penulis memandang pendekatan kontras amat bertentangan dengan kecenderungan asali manusia yang mendambakan adanya harmoni, koherensi dan kesatuan pengatahuan. Atas dasar pertimbangan tersebut muncul pendekatan kontak. Pendekatan kontak memandang agama dan sains dapat bertemu dan berdialog tanpa harus terjerumus dalam peleburan. Melalui perspektif sains mutakhir dapat diketahui bahwa sains tidaklah demikian netral dan objektif. Teori Relativisme Einstein telah menunjukkan bahwa ukuran-ukuran tentang posisi, momentum, ruang, dan massa sebenarnya tidaklah berbeda-beda, tetapi tergantung pada situasi dari subjek pengamat. Masalah pengukuran dalam mekanika kuantum juga menunjukkan bahwa kalau kita

ingin mengetahui posisi suatu partikel secara eksak, kita akan sulit mengukur kecepatannya, sebaliknya kalau kita mengukur kecepatannya secara eksak, maka kita akan kesulitan mengetahui posisinya (hlm.62). Karena itu, dalam sains maupun teologi agama selalu terdapat aspek konstruksi manusia, sehingga kebenaran yang dihasilkan keduanya selalu terbuka untuk direvisi. Dalam landasan perspektif baru inilah, sains dan agama berpeluang untuk saling berdialog secara terbuka dan kritis. Namun, penulis memandang dialog saja tidak cukup. Penulis meyakini bahwa semua bentuk pengetahuan manusia, sains maupun teologi agama, bersumber dari hasrat radikal yang sama akan kebenaran. Hasrat ini melekat pada inti terdalam eksistensi kita (hlm. 357). Karena itu, ia mengusulkan pendekatan keempat yang disebutnya pendekatan konfirmasi. Pendekatan ini menyatakan jika dipahami secara tepat, agama sebenarnya mengkonfirmasi seluruh keberanian eksplorasi ilmiah. Seluruh bentuk pencarian ilmiah pada dasarnya lahir dari kerinduan terdalam seorang ilmuwan akan keteraturan dari segala sesuatu. Dalam agama, kerinduan akan keteraturan ini dapat disamakan dengan iman kepada Tuhan yang telah menciptakan alam semesta beserta hukum-hukumnya. Di atas landasan pandangan filsafat sains mutakhir ini dan didukung oleh teologi yang bersifat dinamis, penulis meyakini di masa depan nanti agama dan sains akan saling bekerjasama dalam menciptakan kehidupan manusia yang lebih baik.

You might also like