Professional Documents
Culture Documents
Halaman
I.
Bab 1. Pendahuluan..........................................................
1.1. 1.2. 1.3.
1
1 2 2
II.
Bab 2.Pembahasan............................................................
2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8. 2.9. Pengertian Bullying................................................... Sejarah Bullying........................................................ Kasus Bullying di Indonesia...................................... Jenis-jenis Bullying.................................................... Faktor-Faktor Penyebab Bullying.............................. Dampak Perilaku Bullying......................................... Karakteristik Pelaku Bullying................................... Penanganan Kasus Bullying Di Indonesia................ Hak Asasi Manusia dalam UU No. 39 Tahun 1999..
2
2 3 4 6 7 8 9 12 15
III.
Bab 3. Penutup..................................................................
16
3.1. 3.2.
Kesimpulan................................................................ Referensi....................................................................
16 17
Page | 1
Page | 2
Bullying berasal dari kata Bully, yaitu suatu kata yang mengacu pada pengertian adanya ancaman yang dilakukan seseorang terhadap orang lain (umumnya lebih lemah atau rendah dari pelaku), yang menimbulkan gangguan psikis bagi korbannya, berupa stress yang muncul dalam bentuk gangguan fisik atau psikis, atau keduanya; misalnya susah makan, sakit fisik, ketakutan, rendah diri, depresi, cemas, dan lainnya. Apalagi Bully biasanya berlangsung dalam waktu yang lama (tahunan) sehingga sangat mungkin mempengaruhi korban secara psikis. Sebenarnya selain perasaan-perasaan di atas, seorang korban Bully juga merasa marah dan kesal dengan kejadian yang menimpa mereka. Ada juga perasaan marah, malu dan kecewa pada diri sendiri karena membiarkan kejadian tersebut mereka alami. Namun mereka tak kuasa menyelesaikan hal tersebut, termasuk tidak berani untuk melaporkan pelaku pada orang dewasa karena takut dicap penakut, tukang ngadu, atau bahkan disalahkan. Dengan penekanan tentang bully yang dilakukan oleh anak usia sekolah, perlu dicatat bahwa salah satu karakteristik anak usia sekolah adalah adanya egosentrisme (segala sesuatu terpusat pada dirinya) yang masih dominan. Sehingga ketika suatu kejadian menimpa dirinya, anak masih menganggap bahwa semua itu adalah karena dirinya. Bullying tidaklah sama dengan occasional conflict atau pertengkaran biasa yang umum terjadi pada anak. Konflik pada anak adalah normal dan membuat anak belajar cara bernegosiasi dan bersepakat satu sama lain. Bullying merujuk pada tindakan yang bertujuan menyakiti dan dilakukan secara berulang. Sang korban biasanya anak yang lebih lemah dibandingkan sang pelaku.
Sebagaimana yang diindikasikan oleh Olweus (1978), penelitian berkenaan dengan bullying dimulai di negara-negara Eropa. Perhatian penelitian di Norwegia dan Swedia pada tahun 1980-an mengarah pada kampanye intervensi nasional pertama menentang bullying. Kesuksesan penelitian ini memotivasi negara-negara lain seperti Finlandia, Inggris, dan Irlandia untuk meneliti bullying (Ross, 2002; Smith&Brain, 2000). Sejak akhir tahun 1980an, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah melaksanakan penelitian-penelitian lintas bangsa setiap empat tahun berkenaan dengan perilaku sehat pada anak-anak usia sekolah. Sampel usia 11, 13, dan 15 tahun dari berbagai dunia dinilai, dan bullying dimasukan sebagai suatu aspek penting dari penelitian tersebut. Di Asia, Jepang merupakan negara yang telah melakukan upaya-upaya untuk memahami bullying dan mengembangkan cara-cara untuk mencegah bullying. Kata Bahasa Jepang ijime diterjemahkan sebagai bullying dalam Bahasa Inggris. Menurut Kawabata (2001), ijime merujuk pada bullying yang menyebabkan hasil-hasil dalam trauma dan dalam beberapa kasus fobia sekolah. Selain itu, Tanaka (2001) menggambarkan shunning sebagai suatu tipe bullying yang khas ditemukan di Jepang. Shunning adalah satu tipe bullying dimana sekolompok teman sebaya secara kolektif mengabaikan dan mengeluarkan seorang korban (dari kelompoknya). Di Amerika, bullying jelas-jelas merupakan sebuah isu serius. Menurut Ross (2002), bullying itu dianggap bentuk agresi yang paling dominan ditemukan di sekolah-sekolah Amerika dan berpengaruh kuat pada sebagian besar para siswa bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kekerasan lain.
Di Indonesia sendiri ada beberapa kasus bullying yang sempat menjadi sorotan publik dan melibatkan polisi. Di Jakarta saja misalnya, kasus penindasan terhadap junior seperti tidak ada habisnya dari waktu ke waktu. Berikut 5 kasus yang sempat terkuak di publik dan diantaranya adalah sekolah ternama 1. Kasus Bullying di SMA 90 Jakarta 2. Kasus Bullying SMA 82 Jakarta 3. Kasus Bullying SMA 46 Jakarta 4. Kasus Bullying SMA 70 Jakarta 5. Kasus Bullying SMA Don Bosco Pondok Indah
Lapangan di kawasan Bintaro menjadi saksi bisu aksi kekerasan yang terjadi di SMA 90 Jakarta. Siswa kelas 1 dipaksa buka baju, push up, lari dan ditampar. Kasusnya adalah para korban yang merupakan junior Dibawa kakak kelas dari parkiran ke daerah Bintaro (belakang McD). Di sana disuruh push up, buka baju dan lari. Di sana juga disuruh suit. Yang kalah, ditampar dengan keras. Kira-kira dari zuhur sampai ashar. Hal ini disampaikan Aba di SMA 90 Jakarta, Jl Sabar, Petukangan Selatan, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Senin (1/12/2008). Aba mengalami luka bibir pecah, memar di pelipis. Dia mengatakan, sedikitnya 68 siswa kelas 1 dari 9 kelas dipaksa ikut 'penataran. Dan itu Disuruh kelas 2 dan 3. Setelah kejadian itu, SMA 90 lantas menskorsing 31 siswanya yang terlibat bullying selama 5 hari. Para senior menandatangani surat perjanjian di atas materai agar tidak mengulangi perbuatannya. Pada kasus bullying di SMA 90 Jakarta yang terungkap pada tanggal 1 Desember 2008, sebanyak 33 orang siswa SMAN 90 sempat terjaring razia preman polisi, karena tertangkap basah tengah melakukan ospek ilegal, terhadap adik kelasnya dikawasan Bintaro, Tangerang, Banten. Namun petugas akhirnya melepaskan ke 33 siswa tersebut karena belum cukup bukti untuk menahan mereka. Dan yang terparah pada saat ini adalah kasus bullying yang terjadi di SMA Don Bosco, Pondok Indah. Karena pihak sekolah membantah adanya kasus bullying pada sekolah yang mereka kelola. Maka keluarga dari pihak korban langsung melaporkannya kepada pihak hukum yang berwajib. Kasus ini berawal dari seorang siswa baru yang mengikuti masa orientasi siswa (MOS) di SMA Seruni Don Bosco yang diduga menjadi korban bullying oleh kakak kelasnya. Siswa berinisial A ini mengaku dipukuli dan disundut rokok di sekolahnya oleh kakak kelasnya. Orang tua korban melaporkan kasus kekerasan ini ke Polres Jakarta Selatan, Rabu 25 Juli 2012. Tindakan penganiayaan dan pelecehan diduga dilakukan 18 siswa kelas XII sekolah tersebut. Dari hasil visum, tampak korban dinyatakan mengalami luka pada
Page | 6
beberapa bagian tubuh akibat sundutan rokok dan pukulan. Ditemukan bekas luka memar dan luka bakar di tengkuk leher. Itulah kiranya gambaran kasus bullying yang terjadi di Indonesia. Namun sebenarnya masih banyak lebih dari hanya sekedar itu. Bahkan ada juga yang sampai menelan korban jiwa seperti yang terjadi di STPDN. Dan semua itu motifnya sama, yaitu superioritas senior kepada juniornya.
Page | 7
Pada umumnya, anak laki-laki lebih banyak menggunakan bullying secara fisik dan anak wanita banyak menggunakan bullying relasional/emosional, namun keduanya samasama menggunakan bullying verbal. Perbedaan ini, lebih berkaitan dengan pola sosialisasi yang terjadi antara anak laki-laki dan perempuan (Coloroso,).
Page | 8
Anak akan meniru berbagai nilai dan perilaku anggota keluarga yang ia lihat seharihari sehingga menjadi nilai dan perilaku yang ia anut (hasil dari imitasi). Sehubungan dengan perilaku imitasi anak, jika anak dibesarkan dalam keluarga yang menoleransi kekerasan atau bullying, maka ia mempelajari bahwa bullying adalah suatu perilaku yang bisa diterima dalm membina suatu hubungan atau dalam mencapai apa yang diinginkannya, sehingga kemudian ia meniru (imitasi) perilaku bullying tersebut. Menurut Diena Haryana, karena faktor orangtua di rumah yang tipe suka memaki, membandingkan atau melakukan kekerasan fisik. Anak pun menganggap benar bahasa kekerasan. b. Teman sebaya
Salah satu faktor besar dari perilaku bullying pada remaja disebabkan oleh adanya teman sebaya yang memberikan pengaruh negatif dengan cara menyebarkan ide (baik secara aktif maupun pasif) bahwa bullying bukanlah suatu masalah besar dan merupakan suatu hal yang wajar untuk dilakukan. Menurut Djuwita Ratna (2006) pada masanya, remaja memiliki keinginan untuk tidak lagi tergantung pada keluarga nya dan mulai mencari dukungan dan rasa aman dari kelompok sebayanya. Jadi bullying terjadi karena adanya tuntutan konformitas. Berkenaan dengan faktor teman sebaya dan lingkungan sosial, terdapat beberapa penyebab pelaku bullying melakukan tindakan bullying adalah (1) kecemasan dan perasaan inferior dari seorang pelaku, (2) persaingan yang tidak relistis, (3) perasaan dendam yang muncul karena permusuhan atau juga karena pelaku bullying pernah menjadi korban bullying sebelumnya, dan (4) ketidak mampuan menangani emosi secara positif (Rahma, 2008:47). c. Pengaruh media
Survey yang dilakukan kompas (Ipah Saripah, 2006:3) memperlihatkan bahwa 56,9% anak meniru adegan-adegan film yang ditontonnya, umumnya mereka meniru geraknya (64%) dan kata-katanya (43%). Melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh Yayasan Sejiwa (2007), terangkum beberapa pendapat orangtua tentang mengapa anak-anak menjadi pelaku bullying, diantaranya: karena mereka pernah menjadi korban bullying, ingin menunjukkan eksistensi diri, ingin diakui, pengaruh tayangan TV yang negatif, senioritas, menutupi kekurangan diri, mencari perhatian, balas dendam, iseng, sering mendapat perlakuan kasar dari pihak lain, ingin terkenal dan ikut-ikutan (Sejiwa, 2007).
Page | 9
analisis siswa. Berbagai penelitian juga menunjukkan hubungan antara bullying dengan meningkatnya depresi dan agresi. b. Dampak bagi pelaku National Youth Violence Prevention mengemukakan bahwa pada umumnya, para pelaku ini memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan harga diri yang tinggi pula, cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro terhadap kekerasan, tipikal orang berwatak keras, mudah marah dan impulsif, toleransi yang rendah terhadap frustasi (Sanders, 2003). Para pelaku bullying ini memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi orang lain dan kurang berempati terhadap targetnya. Apa yang diungkapkan tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Coloroso (2006) mengungkapkan bahwa siswa akan terperangkap dalam peran pelaku bullying, tidak dapat mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap untuk memandang dari perspektif lain, tidak memiliki empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan datang. Dengan melakukan bullying, pelaku akan beranggapan bahwa mereka memiliki kekuasaan terhadap keadaan. Jika dibiarkan terus menerus tanpa intervensi, perilaku bullying ini dapat menyebabkan terbentuknya perilaku lain berupa kekerasan terhadap anak dan perilaku kriminal lainnya. c. Dampak bagi siswa lain yang menyaksikan bullying (bystanders) Jika bullying dibiarkan tanpa tindak lanjut, maka para siswa lain yang menjadi penonton dapat berasumsi bahwa bullying adalah perilaku yang diterima secara sosial. Dalam kondisi ini, beberapa siswa mungkin akan bergabung dengan penindas karena takut menjadi sasaran berikutnya dan beberapa lainnya mungkin hanya akan diam saja tanpa melakukan apapun dan yang paling parah mereka merasa tidak perlu menghentikannya.
a. kurang pemahaman akan apa yang dikatakan orang lain b. sering memunculkan dugaan yang salah c. memiliki memori yang selektif d. paranoid e. kurang dalam hal insight f. sangat pencuriga g. terlihat cerdas namun penampilan sebenarnya tidak demikian h. tidak kreatif i. kesal terhadap perbedaan minor j. kebutuhan impulsif untuk mengontrol orang lain k. tidak dapat belajar dari pengalaman Sementara itu pada aspek afektif, Field (1999 dalam Rigby 2002) menguraikan juga beberapa karakteristik pelaku bullying, diantaranya: a. tidak matang secara emosional b. tidak mampu menjalin hubungan akrab c. kurang kepedulian terhadap orang lain d. moody dan tidak konsisten e. mudah marah dan impulsif f. tidak memiliki rasa bersalah atau menyesal Terkait aspek behavioral atau perilaku, karakteristik perilaku bullying terangkum dari apa yang dinyatakan Batsche & Knoff (1994 dalam Banks, 1997) dan Olweus (1993 dalam Rigby 2002) yakni, kurang empati (have a lack of emphaty and compassion), interpersonal skill buruk (poor interpersonal skill), tidak terampil dalam anger manajemen (have a trouble in anger management or anger resolution), kendali diri lemah (have bad self control), kurang bertanggung jawab (refusal to accept responsibility for his/her behavior) dan memiliki pola perilaku impulsif agresif (have a greater than average impulsive aggressive behavior patterns). Duncan (2005) dalam seminarnya yang bertema Bully Abuse: How Children Harm Other Child, mendukung pernyataan tersebut dengan menuliskan sejumlah karakteristik pelaku bullying dalam daftar ciri-ciri bully, yakni sebagai berikut : 1) Melakukan perilaku agresif berulang
Page | 12
Berpikiran positif terhadap penggunaan kekerasan Kurang kasih sayang dalam suatu hubungan Mengalami kebingungan dalam diri Mengembangkan pola perilaku impulsif Menggantikan/menyalurkan kemarahan pada orang lain Beralih dari korban menjadi pelaku Dianggap lebih dominan dari korban Agresif, merasa tidak aman dan cemas Anti-sosial dan terisolir Memiliki/memendam rasa kebencian dan frustasi Memiliki pandangan diri (self views) positif yang tidak realistis
13) Tidak mampu menyesuaikan terhadap pengharapan baru/kurang jelas 14) Menunjukkan ketidaknyamanan sosial dan kebingungan 15) Seringkali tidak sadar dan tidak peduli terhadap rasa dendam korbannya 16) Diasingkan dan terisolasi dari kehidupan sekolah dan teman sebaya 17) Memandang sekolah sebagai sesuatu yang tidak bermakna 18) Memiliki pola perilaku dan sejarah bertindak kejam terhadap binatang 19) Memiliki pola perilaku pembuat onar 20) Kurang toleransi terhadap frustasi 21) Suka membanggakan diri dan kurang memahami kebutuhan orang lain 22) Kurang memiliki empati dan rasa iba 23) Kebutuhan yang berlebihan akan kekuasaan dan superioritas 24) Kebutuhan yang berlebih akan perhatian (haus perhatian) 25) Mengeksternalisasikan kesalahan 26) Bermasalah dalam resolusi amarah (anger resolution) 27) Tidak toleran, berprasangka, dan membeda-bedakan orang lain 28) Humor yang tidak pantas, sarkastik, dan menyakitkan hati.
Page | 13
29) Melontarkan ejekan, olok-olok yang mencela, meremehkan dan menghina/mempermalukan 30) Lebih memilih kelompok social yang tertutup 31) Mengendalikan suatu perkumpulan social teman sebaya 32) Kaku dan berpendirian keras (dogmatis) 33) Agresif secara seksual 34) Kurang memiliki sensitivitas terhadap gender dan budaya 35) Mengalami kekosongan atau kehampaan spiritual 36) Seringkali berpikiran negatif dan irrasional 37) Menggunakan obat-obatan terlarang 38) Melakukan tindakan yang beresiko 39) Sikap menantang dan merusak (destruktif) 40) Kurang memiliki ketabahan
Terkait dengan karakteristik pelaku bullying yang menunjukkan kurangnya keterampilan interpersonal pada pelaku bullying, hasil penelitian yang dilakukan Rigby, Cox dan Black (1997) terhadap siswa sekolah menengah di Australia yang teridentifikasi sebagai pelaku bullying, korban dan bukan keduanya, mengindikasikan bahwa pelaku bullying secara siginifikan merupakan individu yang kurang kooperatif dibanding individu lainnya. Rigby, Cox dan Black (1997) menyatakan bahwa, Bullies were, among other things, more likely than others to dislike being in join projects, to prefer not to share their ideas, to avoid consulting with others and to believe that committees are waste of time. It seems likely that for many of the bullies working constructively with others had not been a happy experience. Ditemukan banyak alasan mengapa seseorang menjadi pelaku bullying. Alasan yang paling jelas adalah bahwa pelaku bullying merasakan kepuasan apabila ia berkuasa di kalangan teman sebayanya. Tidak semua pelaku bullying melakukan aksinya sebagai kompensasi kepercayaan diri yang rendah. Banyak diantara mereka justru memiliki kepercayaan diri yang begitu tinggi sekaligus dorongan untuk selalu menindas dan menggencet anak yang lebih lemah. Hal ini dapat dikarenakan mereka tidak pernah didik untuk memiliki empati terhadap orang lain. Pelaku bullying umumnya temperamental, menjadikan korban sebagai pelampiasan kekesalan dan kekecewaannya terhadap suatu hal. Ada juga pelaku bullying yang sekedar mengulangi apa yang pernah ia lihat dan alami sendiri.
Page | 14
Hal ini didukung oleh pernyataan Olweus (2002) dalam OSDFS National Technical Assistance Meeting yang mengemukakan fakta yang mengejutkan mengenai kontradiksi dalam karakteristik pelaku bullying, In contrast to the popular notion that bullies lack social skills, research has shown that bullies are actually quite adept at reading social cues and perspective-taking. Rather than using these skills prosocially, such as to empathize with others, they instead use them to identify and prey on peer vulnerabilities. Di Indonesia sendiri, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahma Nuraini (2008) ditemukan beberapa karakteristik pelaku bullying yakni: 1) suka mendominasi orang lain; 2) suka memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan; 3) sulit melihat situasi dari sudut pandang orang lain; 4) hanya peduli pada kebutuhan dan kesenangan mereka sendiri; 5) cenderung melukai anak-anak lain ketika tidak ada orang dewasa di sekitar mereka; 6) memandang rekan yang lebih lemah sebagai mangsa; 7) menggunakan kesalahan, kritikan dan tuduhan-tuduhan yang keliru untuk memproyeksikan ketidakcakapan mereka kepada targetnya; 8) tidak mau bertanggung jawab atas tindakannya; 9) tidak memiliki pandangan terhadap masa depan, yaitu tidak mampu memikirkan konsekuensi dari tindakan yang mereka lakukan; 10) haus perhatian.
a. Penanganan Terhadap Pelaku Bullying. Nusantara (2008:31) menyatakan bahwa Pelaku bullying harus ditangani dengan sabar dan tidak menyudutkannya dengan pertanyaan yang interogratif. Karena Itu, jangan pernah menyalahkan pelaku bullying, tapi sebaliknya beri kepercayaan agar dapat memperbaiki dirinya. Tumbuhkan empatinya, agar pelaku dapat merasakan perasaan sang korban saat menerima perlakuan bullying. Angkatlah kelebihan atau bakat sang pelaku bullying di bidang yang positif, usahakan untuk mengalihkan energinya pada bidang yang positif.
Page | 15
Namun selain itu juga diatur dalam undang-undang. Diantaranya adalah undangundang perlindungan anak. Yaitu meskipun tidak ada peraturan mewajibkan sekolah harus memiliki kebijakan program anti bullying, tapi dalam undang-undang perlindungan anak No.23 Tahun 2002 pasal 54 dinyatakan: Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya. Dengan kata lain, siswa mempunyai hak untuk mendapat pendidikan dalam lingkungan yang aman dan bebas dari rasa takut. Pengelola Sekolah dan pihak lain yang bertanggung jawab dalam penyelengaraan pendidikan mempunyai tugas untuk melindungi siswa dari intimidasi, penyerangan, kekerasan atau gangguan. Yang dimaksud dengan anak dalam undang-undang perlindungan anak No.23 Tahun 2002 adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 ayat 1). Namun jika keluarga korban tidak puas dengan penanganan pihak pengelola sekolah, maka orang tua korban dapat melaporkan pelaku bullying kepada pihak hukum yang berwajib. Lembaga bantuan hukum dapat memberikan dukungan terhadap individu yang tidak memiliki kekuasaan dalam menghadapi wewenang pihak sekolah. Pihak pengadilan pun dapat memutuskan bahwa sekolah tidak melakukan hal sebagaimana mestinya dan memberikan ganti rugi/kompensasi terhadap korban yang menderita. Aspek hukum Bullying dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disingkat KUHP diantaranya:
Pasal 368 (1): Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau kepunyaan orang lain, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pasal 351 KUHP: Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Page | 16
b. Penanganan Terhadap Korban Korban bullying juga memerlukan penangan khusus. Nusantara (2008:32) menyatakan bahwa korban bullying mungkin lebih cendrung menutup diri, sehingga perlu ditumbuhkan rasa nyaman dan percaya diri agar dia mau lebih terbuka untuk menceritakan masalahnya. Jika korban sudah mau terbuka maka hal selanjutnya yang harus dilakukan yaitu dengan menghormati pilihan dan membekalinya dengan cara-cara menghadapi pelaku bullying. Patut diingat bahwa bullying tidak dapat dihadapi dengan bullying, karenanya korban bullying harus diajari untuk menghadapi bullying dengan tegas tapi peduli. Korban bullying dapat menanggapi ejekan dengan tegar dan kemungkinan besar tidak memasukkan ke dalam hati, sehingga pelaku bullying akan melihat dirinya sebagai pribadi yang kuat dan tidak akan mengganggunya lagi. Di SMA Don Bosco Terapi diharapkan menjadi jalan keluar untuk para korban bullying yang terjadi di sana. Kedua kubu dalam kasus bullying di SMA ini akhirnya mengambil langkah damai setelah menjalani mediasi yang dibantu Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA). Para korban dan orangtua yang melapor mencabut laporannya ke polisi dan meminta aparat mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas kasus ini. pengawasan guru terhadap siswa, penerapan peraturan dan kode etik sekolah, membangun kesadaran dan pemahaman siswa tentang bullying, dan menciptakan kondisi sekolah yang ramah terhadap siswa mungkin dapat menjadi langkah tepat untuk menanggulangi bullying. Berdasarkan uraian di atas, maka bullying harus ditangani tidak hanya bagi pelaku tapi juga bagi pihak korban. Hal ini merupakan tanggung jawab berbagai pihak dalam mengatasinya. Peranan sekolah sebagai institusi pendidikan sangat dibutuhkan, mengingat bahwa tindakan bullying sebagian besar terjadi di sekolah. Pengawasan, sebagai komponen utama dalam sekolah dapat berperan dalam mengatasi bullying.
Beberapa asas dasar hak asasi manusia yang tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 adalah: a. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hokum dan perlakuan yang sama di depan hukum. b. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi. c. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hokum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. d. Setiap orang diakui sebagai pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum. e. Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dan pengadilan yang objektif dan tidak berpihak. Secara operasional hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia Indonesia dalam UU No. 39 Tahun 1999 meliputi: a. Hak hidup (Pasal 9), b. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan (Pasal 10), c. Hak mengembangkan diri (Pasal 11-16), d. Hak memperoleh keadilan (Pasal 17-19), e. Hak atas kebebasan pribadi (Pasal 20-27), f. Hak atas rasa aman (Pasal 28-35), g. Hak atas kesejahteraan (Pasal 36-42), h. Hak turut serta dalam pemerintah (Pasal 43-44), i. Hak wanita (Pasal 45-51), dan j. Hak anak (Pasal 52-66)
Bagaimanapun undang-undang telah secara gamblang membuat keadilan di bumi Indonesia. Bagi anak-anak yang sudah terlibat bullying maka sebagai proses rehabilitasi perlu dilakukan penyaluran minat dan bakat dengan tepat ke dalam berbagai kegiatan-kegiatan
Page | 18
ekskul di sekolah, maupun di luar sekolah. Penyesuaian diri siswa dengan lingkungan sosial serta pengembangan diri dalam mengembangkan potensi positifnya juga perlu dilakukan dalam langkah pengentasan. Hal terpenting bagi pelaku bullying adalah perbaikan. Perbaikan akhlak dan budi pekertinya.
3.2. Referensi
Antara. 2006. Selamatkan Putra/i Anda dari Bullying. (Online). Tersedia: http://www.antara.co.id/print/index.php?id=33112. (5 Mei 2007). Caroline, Eugeenicia. (tanpa tahun). Teror di Lingkungan Sekolah. (Online). Tersedia: http://www.mail-archive.com/bumi-serpong@yahoogroups.com/ msg00750.html. (15 Juni 2007). Coloroso, Barbara. 2006. Penindas, Tertindas, dan Penonton; Resep Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Prasekolah hingga SMU. Jakarta: Serambi Ilmu Pustaka.
Page | 19
Craig, W. M., & Pepler, D.J. (1997). Observations of bullying and victimization in the school yard. Canadian Journal of School Psychology. 13, 41-59. Star, Linda. 2000. Sticks and Stones and Names Can Hurt You: De-Myth-tifying the Classroom Bully! (Online) Tersedia: http://www.educationworld.com/a_issues/issues102.shtml. (15 Juni 2007). Susanti, Inda. 2006. Bullying Bikin Anak Depresi dan Bunuh Diri. (Online). Tersedia: http://www.kpai.go.id/mn_access.php?to=2-artikel&sub=kpai_2-artikel_bd.html . (15 Juni 2007). Supriyadi, Drs.. 2006. Bullying; Apa itu?. (Online). Tersedia: http://www.pendidikan.com/artikel-cetak/0704/14/Fokus/3456001.htm. (15 Juni 2007). Tanpanama.2006.Jaringan untuk Cegah Kekerasan. (Online).Tersedia: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0704/14/Fokus/3456001.htm. (15 Juni 2007).
Page | 20