You are on page 1of 2

Dua Dunia Seorang profesor perguruan tinggi yang telah bermasa kerja hampir tiga puluh tah un sebagai

pegawai negeri, suatu kali terkejut melihat kenyataan bahwa anaknya, yang juga sarjana, yang baru tiga tahun bekerja di perusahaan swasta, menerima g aji tiga kali lipat dari gajinya sendiri. Itu masih belum seberapa Pa, teman-tema n saya ada yang menerima hamir sepuluh kali lipat gaji Papa sebagai profesor , kat a anaknya ketika bapaknya menyatakan keheranannya. Profesor kita itu teringat pada tahun 1960-an awal ketika salah seorang dosennya , yang juga profesor, pergi ke kampus naik sedan Moris tua, sedangkan dia dan te man-temannya naik sepeda. Dia maklum bahwa dirinya Cuma mahasiswa yang merangkap seorang guru di sekolah swasta. Guru naik sepeda dan seorang profesor naik seda n cukup tua. Rasanya mereka masih hidup di satu dunia yang sama. Perbedaan tingk at pendidikan dan pengalaman kerja mengakibatkan adanya perbedaan kekayaan. Juga , dia menyaksikan nasib pegawai lain, baik negeri maupun swasta, tak jauh perbed aannya dalam hal penghasilan tiap bulannya. Dia memang melihat adanya perbedaan dengan golongan pedagang, yang meskipun bukan sarjana, rata-rata memiliki mobil seperti seorang profesor atau seorang dokter. Kini, profesor kita itu menyaksikan adanya dua dunia di tanah air ini, yakni dun ianya sendiri dan dunia anaknya. Dan alangkah jauh berbeda antara keduanya. Duni anya adalah lanjutan dunia tahun 1950-an dan awal 1960-an, yakni dua pegawai yan g gajinya pas-pasan saja buat hidup sekeluarga satu bulan. Kalau ada pendapatan ekstra, barulah dia bisa sedikit menyimpan buat hari depan. Dunia yang lain itu adalah dunia yang empat sampai sepuluh kali lipat kemakmurannya, berada dalam sa tu atap rumahnya! Dua dunia semacam itu ibarat dunia nyata yang keras dan dunia impian yang serba mudah dan gemerlap. Dunia semacam itu tercermin dalam stasiun televisi kita. Sim aklah televisi swasta yang penuh dengan impian indah, dimana iklan sebuah keluar ga muda yang sehat ceria, dalam seting interior rumah mutakhir, dengan mudah mem esan sebuah sedan yang masih hangat keluar dari dealer. Itu bukan impian bagi du a putra guru besar kita tadi, tetapi impian bagi profesor kita itu. Sementara itu, televisi negeri, TVRI, menghidangkan kehidupan nyata berupa lapor an desa tertinggal, acara pelantikan dengan acting pejabat yang berwajah amat se rius, penguasa pribumi yang sukses dengan usaha tahu gorengnya. Tak ketinggalan acara cerdas cermat yang berakhir dengan pembagian hadiah berupa setumpuk buku d an tabanas 300 ribu rupiah dibagi untuk ketiga pesertanya. Itulah dunia nyata, k elanjutan dari dunia tahun 1960-an kita. Dua dunia ini dengan sendirinya melahirkan dua masyarakat. Masyarakat yang satu adalah masyarakat dunia nyata milik profesor kita tadi, dan yang lain adalah mas yarakat baru yang kehidupannya tercermin dalam iklan televisi swasta kita. Dua m asyarakat ini dengan sendirinya melahirkan dua perangkat nilai-nilai pula. Dunia yang satu berisi etos kerja keras dengan hasil pas-pasan, dan satunya lagi tak punya banyak kerja tetapi penghasilannya cukup wah. Dunia yang satu adalah dunia dangdut, dunia yang lain adalah dunia Madonna dan Michael Jackson. Dunia yang s atu adalah dunia dengan perkampungan real estate, dan dunia lainnya adalah dunia perkampungan rumah sederhana, RS, dan RSS. Sebuah rumah yang terbelah dua bukanlah sebuah rumah. Dunia nyata itu bukan duni a impian, dan dunia impian itu bukan dunia nyata. Adanya dua dunia ini mengakiba tkan timbulnya dunia campuran, yakni dunia impian-nyata atau dunia nyata-impian. Mereka yang terjebak dalam dunia semacam itu dapat menjadi orang setengah mimpi dan setengah bangun. Dan orang-orang semacam ini cukup riil adanya. Mereka ini berpribadi ganda atau berjiwa terbelah. Dan tidak mengherankan apabila setiap ha ri koran memberitakan tindakan kejahatan yang sukar dipahami. Orang ringan saja membunuh lantaran uang lima ratus perak atau pohon singkongnya tercabut. Orang b isa tenang saja memperkosa gadis cilik murid TK. Pejabat dengan nada bicara inno cent menganggap ringan kebocoran anggaran kantornya yang sekian milyar. Pelajar puteri yang habis sekolah menekuni kerja sambilan . Mereka ini orang-orang yan hidu p di dua dunia itu sekaligus. Orang yang hidup di dua dunia ini meliputi masyarakat bawah sampai atas. Dunia n yatanya pembantu rumah tangga, dunia impian-nyatanya berpakaian kaos dan celana jeans yang model dan harganya sama seperti yang dipakai anak majikannya. Dunia n

yatanya pegawai negeri golongan IV, dunia impian-nyatanya mengkredit rumah idama n real-estate dan mobil Toyota keluaran terbaru. Dunia nyatanya pejabat tinggi d engan status pegawai negeri juga, dunia impian-nyatanya mendirikan usaha bak kon glomerat sejati. Dunia impian-nyata ini adalah dunia artifisial. Sebuah dunia yang tampak luarnya belaka. Dunia gengsi dan gaya parvenu. Sebuah dunia yang tampak kokoh dan berge ngsi dari luar, tetapi kropos dan busuk di dalam. Dunia semacam ini akan cepat d an mudah roboh oleh badai kecil perubahan zaman. Dunia demikian itu sesungguhnya dunia palsu, dunia gincu, dunia pulasan. Lihatlah tumbuhnya toko atau kantor me ntereng di pinggir jalan, yang cuma atap bagian depannya didekor megah, tapi dar i samping tampak atap tuanya yang lapuk. Lihatlah bagaimana sebuah skandal besar dihapus dengan sebuah press release, seperti baris sajak Taufiq Ismail yang ter kenal tahun 1970-an Kita takut mengakui kenyataan dunia profesor kita di atas. Kita takut kebenaran. Kita memaksakan diri hidup dalam dunia nyata sarjana yang bergaji belasan juta per bulan. Barang siapa berlari kencang, akan lekas kehabisan napas. (Jakob Sumardjo)

You might also like