You are on page 1of 23

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Perkembangan peradaban dunia semakin sehari terus berkembanga menuju modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk

mengkerdilkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul

apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk sampai keseluruh lapisan kehidupan masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara serta dari segi kualitas tindak pidana korupsi yang dilakukan semakin sistematis yang telah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Sulitnya penanggulangan tindak pidana korupsi terlihat dari banyak diputus bebasnya terdakwa kasus tindak pidana korupsi atau minimnya pidana yang ditanggung oleh terdakwa yang tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya. Hal ini sangat merugikan negara dan menghambat pembangunan bangsa. Jika ini terjadi secara terus menerus dalam waktu yang lama, dapat meniadakan rasa keadilan dan rasa kepercayaan atas hukum dan peraturan perundang-undangan oleh warga negara. Perasaan tersebut memang telah terlihat semakin lama semakin menipis dan dapat dibuktikan dari banyaknya masyarakat yang ingin melakukan aksi main hakim sendiri kepada pelaku tindak pidana di dalam kehidupan masyarakat dengan mengatasnamakan keadilan yang tidak dapat dicapai dari hukum, peraturan perundang-undangan dan juga para penegak hukum di Indonesia.

Bangsa Indonesia yang sedang giat dalam melaksanakan reformasi pembangunan sangat membutuhkan suatu kondisi yang dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Salah satu kondisi tersebut adalah penegakan supremasi hukum yang merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan dan berhasilnya pelaksanaan pembangunan nasional sesuai dengan jiwa reformasi. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usaha-usaha untuk memelihara ketertiban, keamanan, kedamaian dan kepastian hukum yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia. Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga

penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan. Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat modern dewasa ini, sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik kualitas maupun kuantitasnya. Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit penaggulangan maupun pemberantasannya.1 Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di
1

Aris Purnomu, dkk., Panduan Eksaminasi Publik, Indonesian Coruption Watch, Jakarta, 2004, hal. 5.

akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.

B.

Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, penulis mengambil dua

rumusan masalah yang dianggap penting untuk dibahas, yaitu: 1. Apa saja yang menjadi unsur-unsur tindak pidana korupsi ? 2. Bagaimana jenis-jenis penjatuhan hukuman terhadap korupsi di Indonesia ? tindak pidana

C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui apa yang menjadi landasan hukum dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. 2. Untuk mengetahui bagaimana jenis-jenis penjatuhan hukuman terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia.

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN

A.

Pengertian Tindak Pidana Korupsi Korupsi dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan sebagai (dari bahasa

latin: corruptio berarti penyuapan, corruptore artinya merusak) gejala dimana para pejabat, badan- badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harafiah dari korupsi dapat berupa kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran. Dalam pengertian lain dapat dikatakan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Muhammad Ali dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia memberikan pengertian korupsi sebagai berikut: a. Korup (busuk; suka menerima uang suap/uang sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya). b. Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya). c. Koruptor (orang yang korupsi). Secara harfiah, korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan membusuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan

jabatan. Secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas: a. Korupsi atau penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain. b. Korupsi; busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud curruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Korupsi sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan

perkembangan Bangsa Indonesia, jika dibiarkan begitu saja maka korupsi akan merajalela dan akan menjadi hal biasa dalam perbuatan hidup masyarakat. Ini akan menjadi hambatan utama bagi pemerintah untuk membangun Bangsa Indonesia yang lebih makmur dan jujur2. Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Charmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari definisi yang dikemukan antara lain berbunyi, financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi). Selanjutnya ia menjelaskan the term is often applied also to misjudgements by officials in the public economies (istilah ini sering juga

W. F. Weitheim, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi, Yogyakarta: PT Tiara, 1999, hal 18

digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang perekonomian umum). Dikatakan pula, disguised payment in the form of gifts, legal fees employment, favors to relatives, social influence, or any relationship that sacrifies the public and welfare, with or without the implied paymen of money, is ussually considered corrup (pembayaran terselebung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh kedudukan sosial atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai perbuatan korupsi). Ia menguraikan pula bentuk korupsi yang lain, yang diistilahkan political corruption (korupsi politik) adalah electoral corruption includes purchase of vote with money, promises of office or special favors, coercion, intimidation, and interference with administrative of judicial decisio, or goverenmental appointment (korupsi pada penelitian umum, termasuk

memperoleh suara dengan uang, janji dengan jabatan atau hadiah khusus, paksaan, intimidasi dan campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara dalam legislatif, keputusan administrasi atau keputusan yang menyangkut pemerintahan).

B. Landasan Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni : 1. Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi, 2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, 3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, 4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undangundang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganin asir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 2. Pegawai Negeri adalah meliputi : a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang

-undang tentang Kepegawaian; b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana; c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. 3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

C. Jenis-Jenis Korupsi Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:3 1. Korupsi transaktif (transactive corruption) Jenis korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan secara aktif mereka mengusahakan keuntungan tersebut. 2. Korupsi yang memeras (extortive corruption) Pemerasan adalah korupsi di mana pihak pemberi dipaksa menyerahkan uang suap untuk mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya,

kepentingannya atau sesuatu yang berharga baginya. 3. Korupsi defensif (defensive corruption) Orang yang bertindak menyeleweng karena jika tidak dilakukannya, urusan akan terhambat atau terhenti (perilaku korban korupsi dengan pemerasan, jadi korupsinya dalam rangka mempertahankan diri). 4. Korupsi investif (investive corruption) Pemberian barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan tertentu, selain keuntungan yang masih dalam angan-angan atau yang dibayangkan akan
3

Kumorotomo, Wahyudi. Etika administrasi Negara. Rajawali Pers, Jakarta. 1992. Hal. 192-193

diperoleh di masa mendatang. 5. Korupsi perkerabatan atau nepotisme (nepotistic corruption) Jenis korupsi ini meliputi penunjukan secara tidak sah terhadap SanakSaudara atau teman dekat untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Imbalan yang bertentangan dengan norma dan peraturan itu mungkin dapat berupa uang, fasilitas khusus dan sebagainya. 6. Korupsi otogenik (autogenic corruption) Bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya satu orang saja. 7. Korupsi dukungan (supportive corruption) Korupsi yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada maupun yang akan dilaksanakan. Demikianlah, korupsi sebagai fenomena sosial, ekonomis, dan politis ternyata memiliki penampakan yang beraneka ragam. Namun meski berubah-ubah, dasar pijakannya adalah korupsi jenis transaktif dan pemerasan dengan menyalahgunakan wewenang.

10

BAB III PEMBAHASAN

A. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebenarnya dapat dilihat dari pengertian tindak pidana korupsi atau rumusan delik yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain: a. Unsur Subjektif 1) Kesengajaan atau kelalaian 2) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP. Pasal 53 Ayat (1) KUHP Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena sendiri. 3) Berbagai maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain. 4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam kejahatan menurut Pasal 340 KUHP Pasal 340 KUHP Barangsiapa dengan

sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. 5) Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana

11

menurut Pasal 308 KUHP. Pasal 308 KUHP Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran anaknya, tidak lama sesudah melahirkan, menempatkan anaknya untuk ditemukan atau meninggalkannya dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya, maka maksimum pidana tersebut dalam Psal 305 dan 306 dikurangi separuh. b. Unsur Objektif 1. Sifat melawan hukum. 2. Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 415 KUHP. Pasal 415 KUHP Seorang pejabat atau orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum terus menerus atau untuk sementara waktu, yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 3. Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyatan sebagai akibat. Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebenarnya dapat dilihat dari pengertian tindak pidana korupsi atau rumusan delik yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan beberapa pengertian dan rumusan delik tindak pidana korupsi seperti dikemukakan di atas, adapun unsur-unsur tindak

12

pidana korupsi yang dapat penulis inventarisir dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah 4: 1. Tindakan seseorang atau badan hukum melawan hukum. 2. Tindakan tersebut menyalahgunakan wewenang. 3. Dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang ain. 4. Tindakan tersebut merugikan negara atau perekonomian negara atau patut diduga merugikan keuangan dan perekonomian negara. 5. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. 6. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. 7. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. 8. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Ed. Ketiga Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005

13

9. Adanya perbuatan curang atau sengaja membiarkan terjadinya perbuatan curang tersebut. 10. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. 11. Dengan sengaja Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya dan membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut serta membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. 12. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Dengan adanya unsur-unsur tindak pidana korupsi yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, maka setiap tindakan seseorang atau

14

korporasi yang memenuhi kriteria atau rumusan delik di atas, maka kepadanya dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Harus diingat dan dipahami bahwa unsur-unsur tindak pidana sangat penting untuk diketahui karena dengan tidak terpenuhinya unsur suatu tindak pidana, maka pelakunya kejahatan dapat bebas dari segala tuntutan hukum dan dalam kenyataannya penyebab sehingga seorang terdakwa koruspi bebas dari jeratan hukum karena tidak terpenuhinya unsur- unsur tersebut.

B. Jenis-Jenis Penjatuhan Hukuman Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undangundang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut : a. Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi 1. Pidana Mati, dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undangundang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu. 2. Pidana Penjara a. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4

15

(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1).5 b. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3). c. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21).
5

Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, Penerbit Solusi Publishing, Jakarta 2010, hal. 7

16

d. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36. 3. Pidana Tambahan Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barangbarang tersebut. 1. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. 2. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. 3. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. 4. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. 5. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi

17

untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.6

a. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut7: 1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. 2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. 3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut
6

Evi Hartantai, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta 2008, hal. 14-15 Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung, 2002, hal. 31.

18

dapat diwakilkan kepada orang lain. 4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding pengadilan. 5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor. Tindak pidana korupsi dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu tindak pidana korupsi murni dan tindak pidana tidak murni. Tindak pidana murni dalam perumusanya memuat norma dan sanksi sekaligus. Adapun tindak pidana tidak murni dalam perumusannya hanya memuat sanksi saja, sedangkan normanya terdapat dalam KUHP.8

Jur. Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005, hal 33-24

19

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

Kasus korupsi yang menjadi sorotan adalah korupsi yang terjadi di tubuh birokrasi. Korupsi di tubuh birokrasi mempunyai dampak yang luas dan destruktif terhadap pembangunan ekonomi serta masyarakat secara umum. Korupsi dalam birokrasi pada umumnya berskala luas dengan jumlah (nominal) yang besar dan melibatkan pejabat negara, elit politik maupun pegawai negeri. Sedangkan, kasuskasus korupsi pada sektor bisnis, pada umumnya berskala kecil dan hanya berdampak pada perusahaannya sendiri. Untuk kategori manipulasi uang negara, sektor yang paling korup ialah pengadaan barang dan jasa mencakup konstruksi, pekerjaan umum, perlengkapan militer, dan barang jasa pemerintah. Untuk kasus suap dan pemerasan, korupsi terbesar terjadi di kepolisian, sektor peradilan, pajak dan bea cukai, serta sektor perijinan. Korupsi juga terjadi di kalangan politisi (anggota DPR dan partai politik), serta pada praktek kolusi dalam bisnis. Untuk kasus kolusi bisnis, korupsi terbesar terjadi di tubuh militer, kepolisian, dan pegawai pemerintah lewat koperasi dan yayasan. Dari segi aktornya, pelaku korupsi terbagi menjadi aparat pemerintah, pelaku sektor bisnis, dan warga masyarakat. Secara tradisional, pelaku korupsi biasanya hanya menyangkut pemerintah atau aparat birokrasi dengan warga. Namun demikian, kecenderungan saat ini menunjukkan adanya

peningkatan kontribusi atas tingkatan korupsi dari pelaku di sektor bisnis. Strategi

20

pemberantasan didahului oleh adanya itikad kolektif, yaitu semacam willingness dari semua pihak untuk bersama-sama tidak memberikan toleransi sedikitpun terhadap perilaku korupsi. Selama ini praktek korupsi dianggap sesuatu yang wajar terjadi. Padahal perilaku korupsi harus dicitrakan dan diperlakukan sebagai perilaku kriminal, sama halnya dengan tindak kriminal lainnya yang memerlukan penanganan secara hukum. Dalam mewujudkan sebuah strategi yang efektif, dibutuhkan pemenuhan prasyarat, yaitu: (1) Didorong oleh keinginan politik serta komitmen yg kuat dan muncul dari kesadaran sendiri; (2) Menyeluruh dan seimbang; (3) Sesuai dengan kebutuhan, ada target, dan berkesinambungan; (4) Berdasarkan pada sumber daya dan kapasitas yang tersedia; (5) Terukur; dan (6) Transparan dan bebas dari konflik kepentingan. Berkenaan dengan political will serta komitmen yang harus dibangun, maka perlu menegaskan kembali political will pemerintah, diantaranya melalui: (1) Penyempurnaan UU Anti Korupsi yang lebih komprehensif; (2) Kontrak politik yang dibuat pejabat publik; (3) Pembuatan aturan dan kode etik PNS; (4) Pembuatan pakta integritas; dan (5) Penyederhanaan birokrasi. Penyempurnaan UU Anti Korupsi ini selain untuk menjawab dinamika dan perkembangan kualitas kasus korupsi, juga untuk menyesuaikan dengan instrumen hukum internasional. Saat ini isu korupsi tidak lagi dibatasi sekat-sekat negara, namun telah berkembang menjadi isu regional bahkan internasional. Hal ini tidak lepas dari praktek korupsi yang melibatkan perputaran dan pemindahan uang lintas negara.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Aris Purnomu, dkk., Panduan Eksaminasi Publik, Indonesian Coruption Watch, Jakarta, 2004. 2. Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung, 2002. 3. Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, Penerbit Solusi Publishing, Jakarta 2010 4. Evi Hartantai, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta 2008. 5. Jur. Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005. 6. Kumorotomo, Wahyudi. Etika administrasi Negara. Rajawali Pers, Jakarta, 1992. 7. Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Ed. Ketiga Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005 8. W. F. Weitheim, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi, Yogyakarta: PT Tiara, 1999.

22

23

You might also like