You are on page 1of 7

Polip Hidung

Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan dalam rongga hidung, warna putih keabuan, yang dapat terjadi akibat inflamasi mukosa. Diduga predisposisi polip adalah adanya rhinitis alergi atau penyakit atopi, tetapi makin banyak penelitian yang mengemukakan berbagai teori dan para ahli sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan pasti (Mangunkusumo & Wardani, 2007). Patogenesis Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau turbulensi udara, terutama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip. Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema dan lama kelamaan menjadi polip (Mangunkusumo & Wardani, 2007). Bila proses berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai (Mangunkusumo & Wardani, 2007). Makroskopis Polip merupakan massa bertangkai, permukaan licin, bentuk bulat atau lonjong, warna putih keabuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multiple dan tidak sensitive. Warna polip yang pucat disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuningan karena mengandung banyak

jaringan ikat. Tempat asal tumbuhnya terutama dari kompleks ostio-meatal di meatus medius dan sinus etmoid (Mangunkusumo & Wardani, 2007). Mikroskopis Epitel serupa mukosa hidung normal, epitel bertingkat semua bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil, dan makrofag. Mukosa mengandung sel goblet. Pembuluh darah, saraf, dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik, atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi. Berdasarkan jenis sel radangnya, polip dikelompokkan menjadi 2, yaiut polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik (Mangunkusumo & Wardani, 2007). Diagnosis Polip Nasi Anamnesis Keluhan utama adalah hidung rasa tersumbat ringan sampai berat, rinore mulai jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin, nyeri hidung disertai sakit kepala didaerah frontal. Bila infeksi sekunder mungkin terdapat post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup (Mangunkusumo & Wardani, 2007). Pemeriksaan Fisik Polip masif dapat menyebabkan deformitas. Pada rinoskopi anterior terlihat sebagai massa warna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan. Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997), stadium 1: terbatas di meatus medius, stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung, stadium 3: polip yang masif (Mangunkusumo & Wardani, 2007). Pemeriksaan Radiologi Foto sinus paranasal dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan batas udara-cairan dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi computer sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip, atau sumbatan pada kompleks

ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada polip yang gagal diterapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi (Mangunkusumo & Wardani, 2007). Penatalaksanaan Menghilangkan keluhan, mencegah komplikasi dan rekurensi polip. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip sebagai polipektomi medikamentosa, topikal atau sistemik. Polip tipe eosinofilik berespon lebih baik dibanding neutrofilik. Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah (Mangunkusumo & Wardani, 2007).

Sinusitis
Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maxilla, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sphenoid kanan dan kiri (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007). Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai dan dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007). Sinus maxilla berbentuk pyramid. Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C), dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol kedalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik keatas menyebabkan sinusitis; 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita; 3) ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang

yang relatif tipis dari orbita dan fossa cerebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007). Sinus etmoid adalah sinus yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid, dasarnya di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat dalam massa bagian lateral os.etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007). Sinus sphenoid terletak dalam os sphenoid di belakang sinus etmoid posterior. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dari nervus di bagian lateral os sphenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sphenoid (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007). Di dalam sinus terdapat mukosa bersilia dan palut lendir diatasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya untuk mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring didepan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati secret pasca-nasal (post nasal drip) tetapi belum tentu ada secret di rongga hidung (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007). Etiologi dan Faktor Predisposisi Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil,

polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia, dan diluar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis. Faktor lain yang berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007). Patofisiologi Organ-organ pembentuk KOM letaknya berdekatan, dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negative didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rhinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007). Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Secret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotik (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007). Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid, atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007). Klasifikasi dan Mikrobiologi Konsensus internasional tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan. Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya faktor predisposisi harus dicari dan diobati sampai tuntas (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).

Gejala Sinusitis Keluhan utama rhinosinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Nyeri tekan di daerah sinus yang terkena, kadang nyeri terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri diantara atau dibelakang bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sphenoid, nyeri di vertex, oksipital, belakang bola mata, atau daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga. Gejala lain adalah sakit kepala, hipoosmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007). Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang hanya 1 atau 2 dari gejala seperti sakit kepala kronik, post-nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti bronchitis (sino-bronkhitis), bronkiektasis, dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007). Pemeriksaan Sinus Paranasal Inspeksi Adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahan mungkin menunjukkan sinusitis maksila akut. Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal akut. Sinusitis etmoid jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila telah terbentuk abses (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007). Palpasi Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis maksila. Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal, yaitu pada bagian medial atap orbita.

Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007). Transiluminasi Hanya dapat digunakan untuk memeriksa sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologic tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan transiluminasi tampak gelap di daerah infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007). Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan transiluminasi, sedangkan pada foto rontgen tampak adanya perselubungan berbatas tegas di dalam sinus maksila (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007). Pemeriksaan Radiologik Bila dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal, maka dilakukan pemeriksaan radiologic. Posisi rutin yang dipakai ialah posisi Waters, P-A dan lateral. Posisi Waters terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal, dan etmoid. Posisi postero-anterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid, dan etmoid (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007). Terapi Tujuan terapi sinusitis adalah 1) mempercepat penyembuhan; 2) mencegah komplikasi; dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007). Indikasi bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel; polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).

You might also like