You are on page 1of 13

Subgaleal Hematoma Merupakan suatu pendarahan yang terjadi pada celah diantara lapisan galea dan tulang tengkorak

sehingga menyebabkan penonjolan keluar pada kepala. Pendarahan ini tidak merobek lapisan kulit, namum menyebabkan pembuluh darah pada lapisan jaringan ikat longgar bawah kulit kepala pecah sehingga darah menjadi terkumpul. Keadaan hematoma ini sering terjadi pada kehidupan sehari-hari. Penanganan yang dilakukan pada subgaleal hematoma adalah dengan mengompres lokasi benjolan dengan air dingin. Hal ini dilakukan karena air dingin dapat menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah yang pecah, sehingga pendarahan yang terjadi dapat dihentikan. Subgaleal hematoma yang berukuran kecil akan segera hilang dalam beberapa hari. Ada beberapa pendapat yang mengatakan pendarahan subgaleal yang berukuran besar sebaiknya dilakukan insisi dan aspirasi untuk mengeluarkan darah dan dipasang suatu pembalut untuk menekan pendarahan. Tapi ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa tindakan ini tidak diperlukan karena dapat meningkatkan resiko munculnya infeksi.

Fraktur Basis Kranii Merupakan fraktur karena benturan langsung pada daerah dasar tulang tengkorak. Fraktur ini lokasinya terletak pada dasar kranium, yang terjadi pada fossa anterior, fossa media, dan fossa posterior. Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala: Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding Epistaksis Rhinorrhoe

Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala: Hematom retroaurikuler, Ottorhoe Perdarahan dari telinga

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii.

Komplikasi : Gangguan pendengaran Parese N.VII perifer

Komosio Serebri Komosio serebri (gegar otak) merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi pingsan kurang dari 10 menit. Pada keadaan ini terjadi guncangan terhadap otak sehingga mengakibatkan pingsan sementara. Komosio serebri tidak meninggalkan gejala sisa atau tidak menyebabkan kerusakan struktur otak. Pada pemeriksaan fisik tidak dijumpai adanya defisit neurologis. Pasien mungkin mengeluh sakit kepala, vertigo, mual-muntah, tampak pucat, linglung, hilang ingatan, pandangan kaburTrauma ini termasuk dalam kategori cedera kepala ringan karena presentasi klinisnya adalah dengan skor GCS 13-15. Fokus lokasi lesi yang menyebabkan hilangnya kesadaran sampai saat ini diperkirakan berada di Reticular Activating System/RAS. Goncangan pada area ini menyebabkan penderita mengalami hilang kesadaran sementara. Walaupun tidak ada defisit neurologis, tetapi penderita kadang mengalami amnesia. Amnesia yang dialami dapat berupa post-traumatic amnesia (anterograde) atau pretraumatic amnesia (retrograde). Tetapi hal ini hanya terjadi sementara saja dan kemudian akan pulih secara spontan. Berdasarkan lamanya gangguan memori dan hilangnya kesadaran, komosio terbagi dalam 5 tingkatan : Grade I : Mengalami konfusi temporer, namun tidak ada gangguan memori Grade II : Mengalami disorientasi sejenak dan anterograde amnesia < 5 menit Grade III : Mengalami disorientasi sejenak, anterograde amnesia < 5 menit dan hilang kesadaran < 5 menit Grade IV : Mengalami disorientasi sejenak, anterograde amnesia < 5 menit

dan hilang kesadaran 5 10 menit Grade V : Mengalami disorientasi sejenak, anterograde amnesia < 5 menit dan hilang kesadaran > 10 menit Dalam presentasi klinisnya, pasien tiba di rumah sakit dalam keadaan telah sadar kembali, walaupun pasien tampak masih linglung, amnesia dan sakit kepala. Pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis, seperti menghilangkan gejala nyeri, muntah, dll. Bila keluhan penderita tidak membaik dalam beberapa hari atau bertambah berat maka harus diwaspadai kemungkinan terjadinya pendarahan yang lebih berat, sehingga pemeriksaan CT-Scan diperlukan untuk kepastian diagnosis.

Kontusio Serebri Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan. Pada kontusio, piamater masih dalam keaadaan utuh. Karakteristik dari kontusio adalah adanya kerusakan sel saraf dan aksonal, pendarahan kapiler dan edema jaringan otak. Kontusio dapat terjadi pada lokasi dimana benturan terjadi (kontusio koup) atau di tempat lain yang disebut kontusio kontra koup. Gejala yang muncul berupa pingsan lebih dari 10 menit dan disertai suatu defisit neurologis. Hal ini karena adanya suatu kerusakan jaringan otak tersebut. Ringan beratnya defisit neurologis bergantung pada besar kecilnya kerusakan jaringan yang terjadi. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah foto ronsen kepala untuk melihat adakah fraktur dan lebih bagus lagi bila dilakukan CT Scan untuk mengetahui apakah terjadi pendarahan lebih lanjut atau hanya edema otak saja. Laserasi serebri

Dikatakan laserasi serebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan piamater. Laserasi serebri merupakan suatu cedera kepala terbuka dan merupakan kontusio serebri yang berat. Laserasi biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subaraknoid, subdural akut dan intercerebral. Laserasi dapat dibedakan atas laserasi langsung dan tidak langsung. Laserasi langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan laserasi tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis. Pemeriksaan CT Scan diperlukan untuk untuk menegakkan diagnosis laserasi serebri.

Pendarahan Epidural Merupakan salah satu jenis dari pendarahan intrakranial. Pendarahan epidural terjadi diantara duramater dan tulang tengkorak. Duramater merupakan lapisan terluar pada selaput meninges. Pembuluh darah yang menyebabkan pendarahan pada epidural adalah middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang temporal. Ketika pembuluh darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural hematom. Pada pendarahan epidural umumnya terjadi fraktur tulang tengkorak (80 %). Namun pada anak-anak hal ini jarang terjadi. Benturan yang terjadi tidak cukup kuat untuk menyebakan fraktur, tetapi cukup kuat untuk menyebabkan robeknya pembuluh darah. Pendarahan epidural yang tidak disertai fraktur memiliki prognosis yang lebih berat, karena peningkatan intrakranial akan terjadi lebih cepat. Pada pendarahan epidural, salah satu gejala yang khas adalah lucid interval. Yaitu ada fase sadar yang muncul diantara fase tidak sadar. Sesaat setelah trauma terjadi,

penderita akan mengalami fase tidak sadar karena adanya goncangan dan teregangnya serat-serat saraf pada RAS yang terdapat di batang otak. Mekanisme ini sama dengan mekanisme munculnya hilang kesadaran ada komosio sererbri. Goncangan ini bersifat sementara, sehingga pada saat RAS sudah stabil, penderita akan sadar kembali. Kemudian beberapa lama kemudian pasien akan tidak sadar kembali atau mengalami defisit neurologis karena adanya desakan dari pendarahan arteri yang mengalami robekan telah menyebabkan suatu hematoma sebanyak 50 cc. Semakin singkat interval yang terjadi, berarti semakin besar dan cepat hematoma yang terjadi. Walaupun lucid interval ini khas pada epidural hematoma, tetapi pada kenyataannya, apabila pendarahan yang muncul sangat berat dan luas maka penderita dapat langsung mengalami hilang kesadaran tanpa disertai fase sadar kembali (lucid interval) Hematoma yang terjadi pada lobus frontal akan menimbulkan gejala nyeri dan disertai perubahan perilaku. Pada hematoma yang terjadi pada lobus temporal, akan menimbulkan gejala neurologis yang progresif . Penurunan kesadaran yang muncul bersifat berat. Hematoma yang semakin berat akan makin mendesak otak ke bawah ke arah insisura tentori, sehingga terjadi herniasi jaringan otak yang menekan nervus okulomotor. Hal ini menimbulkan anisokor, dan reflek cahaya negatif. Defisit neurologis yang lain dapat berupa hemiparesis, muntah, kejang, dan pada pemeriksaan fisik akan menimbulkan tanda-tanda terjadinya lesi Upper Motor Neuron. Pendarahan epidural sifatnya darurat, dimana penanganan utama nya adalah mencegah terjadinya desakan yang luas dari hematoma yang terbentuk. Pada epidural, pembuluh darah yang mengalami robekan adalah arteri, sehingga manifestasi munculnya hematoma sangatlah cepat. Perdarahan ini jarang pada pasien usia diatas 60 tahun, kemungkinan karena duramater melekat lebih kuat ke tabula interna. Hal ini pula menerangkanmengapa kebanyakan hematoma epidural terjadi di bagian temporal karena padalokasi tersebut perlekatan duramater pada tulang tengkorak lebih lemah disbanding pada lokasi lainnya. Pemeriksaan penunjang yang paling baik untuk pendarahan epidural adalah CT Scan. Pada pemeriksaan dengan CT Scan kepala, hematoma epidural akan

tampak gambaran lesi hiperdens dengan bentuk bikonveks (double convex sign) atau football shaped yang terletak dibagian temporal tengkorak. Hematoma epidural yang progresif perlu penanganan operatif untuk

mengeluarkan hematoma dan menghentikan perdarahan secepatnya agar tidak terjadi pendesakan yang lebih luas. Bila tindakan operatif dapat dilakukan segera, sebelum berbagai defisit neurologis terjadi, maka kesembuhan total dapat diharapkan untuk diperoleh. Apabila volume hematoma < 30cc dan tidak bertambah besar, operasi tidak mutlak dilakukan. Tetapi harus tetap dilakukan pemantauan intensif.

Pendarahan Subdural Merupakan pendarahan yang terjadi diantara lapisan duramater dan arachnoid. Pendarahan yang terjadi berasal dari bridging vein yang melintas dari ruang subarachnoid ke ruang subdural, yang kemudian bermuara dalam sinus venosus duramater. Pendarahan ini lebih sering terjadi dibanding pendarahan subdural. Pendarahan ini tidak hanya karena trauma, tetapi dapat disebabkan karena pecahnya aneurisma, malformasi pembuluh darah subdural, kelainan pembekuan darah. Pendarahan dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Mekanisme yang paling sering adalah benturan langsung pada kepala, baik menyebabkan fraktur atau tidak. Cedera kepala pada pendarahan subdural juga dapat menyebabkan lesi lain seperti hematoma serebri, laserasi jaringan otak, dan kontusio serebri. Pendarahan subdural lebih sering terjadi di daerah temporal dan parietal, sedangkan daerah frontal dan oksipital lebih jarang. Pendarahan subdural berdasarkan perjalanan munculnya gejala dibagi menjadi 3 fase, yaitu akut, subakut dan kronik 1. Pendarahan subdural akut

Gejala muncul segera/beberapa jam/3 hari setelah trauma terjadi. Umumnya karena robeknya pembuluh darah arteri yang menyertai fraktur tulang tengkorak. Ketebalan hematoma bisa hanya mencapai 5 mm, tetapi mengenai area yang luas. Memiliki prognosis yang buruk. Pada gambaran CT scan terdapat lesi hiperdens berbentuk konkaf atau crescentic sign yang menyerupai bulan sabit. Tetapi lesi bisa berbentuk hipodens atau isodens apabila penderita memiliki riwayat anemia berat atau darah bercampur dengan CSF, sehingga mengencerkan pendarahan. 2. Pendarahan subdural subakut Gejala muncul 4-10 hari pasca trauma. Pada CT Scan gambaran pendarahan lebih tebal daripada yang akut dan memberikan campuran gambaran antara hiperdens, isodens dan hipodens.

3. Pendarahan subdural kronik Gejala baru muncul 10 hari atau bahkan berbulan-bulan pasca trauma. Biasanya terjadi pada orang lansia, peminum alcohol, dimana terdapat atrofi jaringan otak. Sehingga jaringan permukaan korteks dan sinus vena menjadi lebih besar, sehingga lebih rentan terhadap guncangan. Sehingga trauma yang ringan saja dapat menyebabkan suatu hematoma. Pada gambaran CT Scan menunjukan lesi hipodens karena kandungan zat besi nya telah difagosit oleh makrofag. Gejala yang muncul bersifat lambat sehingga kerap dikatakan seperti tumor serebri dimana gejala awalnya ringan dan terasa meningkat dari waktu ke waktu. Penangan pada subdural akut yang dapat segera dioperasi dalam 4 jam pertama, memberikan prognosis yang lebih baik. Pada kasus dengan pendarahan kecil (30 cc) kadangkala masih dapat diberikan terapi konservatif dengan observasi yang ketat. Pendarahan yang terjadi karena vena yang mengalami ruptur kadang dapat berhenti sendiri karena efek tekanan yang meningkat, sehingga pembuluh darah pun juga ikut tertekan. Pendarahan pun menjadi terhenti.

Pendarahan Subaraknoid Pendarahan yang terjadi diantara lapisan araknoid dan piamater. Pendarahan ini terjadi di rongga subaraknoid. Lesi biasanya disertai dengan kontusio atau laserasi serebri. Pendarahan ini sangat jarang terjadi murni tanpa ada lesi lain yang menyertai. Penyebab paling sering adalah kelainan kongenital AVM (arteriovenous malformation). Bisa juga karena ruptur aneurisma (aneurisma sakular yang paling sering). Bila terjadi ruptur, maka pendarahan akan mengalir ke rongga subaraknoid dan dapat menyebabkan gangguan penyerapan CSF, sehingga dapat menimbulkan secondary hidrosephalus, baik tipe komunikans atau non-komunikans. Komunikasns apabla bekuan darah berada di vili araknoid, dan non-komunikans apabila bekuan darah mengobstruksi ventrikel ke 4 dan ke 3. Selain itu darah yang berakumulasi di rongga subaraknoid dapat menyebabkan iritasi pada selaput meninges, sehingga dapat menimbulkan tanda rangsang meningeal positif pada pemeriksaan fisik tanpa disertai demam. Darah yang berakumulasi pada rongga araknoid menyebabkan arteri mengalami spasme. Sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun. Vasospasme biasanya akan muncul pada hari ketiga dan mencapai puncaknya pada hari ke 6 dan ke 8, yang kemudian menghilang pada hari ke 12. Spasme yang terjadi dapat menyebabkan gangguan mikrosirkulasi pada otak yang kemudian bermanifestasi menjadi edema otak. Pendarahan ini sering menyebabkan sakit kepala hebat yang tidak pernah dirasakan sebelumnya, kejang, fotofobia karena iritasi meningeal. Kepastian diagnosa didapat apabila cairan serebrospinal yang bercampur darah bila dilakukan pungsi lumbal. Apabila darah yang ada hanya sedikit, maka CSF akan berwarna xantokrom. Pada CT-Scan akan didapat lesi hiperdens yang mengikuti pola sulkus, sehingga bentuknya berliku-liku. Perdarahan ini memerlukan perawatan yang intensif. Vasospasm harus dicegah dengan cepat dengan pemberian terapi calcium chanel blocker selama minimal 2 minggu. Pendarahan Intraserebri Pendarahan ini terjadi di dalam jaringan atau parenkim otak. Mekanisme paling sering terjadi karena ada riwayat hipertensi kronik terutama hipertensi arterial, dimana tekanan darah yang tinggi dapat merusak dinding pembuluh darah arteri-arteri kecil sehingga dapat menimbulkan aneurisma charchot (aneurisma dengan diameter 0,8 1 mm) ruptur spontan. Pendarahan intraserebral juga dapat terjadi akibat laserasi atau

kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi paling sering terjadi di area lobus frontalis dan temporalis. Lesi dapat berupa fokus pendarahan yang kecil-kecil sebagai akibat lesi akselerasi-deselerasi, sedangkan lesi yang besar umumnya akibat suatu laserasi atau kontusio serebri berat. Manifestasi paling sering muncul adanya sakit kepala dan gangguan kesadaran. Pada pendarahan intraserebri, tekanan intrakranial akan lebih cepat meningkat karena pendesakan massa hematoma pada jaringan serebri yang disertai edema sitotoksik. Defisit neurologis yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas pendarahan. Pada CT-Scan tampak pendarahan sebagai bayangan hiperdens yang homogen dengan batas tegas dan terdapat edema perifokal di sekitarnya. Tekanan darah perlu dijaga sebab kenaikan tekanan darah dapat mengakibatkan pendarahan ulang. Pasien dengan pendarahan besar, yang memberikan efek massa yang besar dan muncul defisit neurologis signifikan diindikasikan untuk tindakan operatif..

TATALAKSANA CEDERA KEPALA Tindakan pra-rumah sakit Tindakan yang harus dilakukan dalam penanganan cedera kepala bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi yang meluas. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam penangan cedera kepala sebelum penderita masuk ke kerumah sakit adalah menjaga jalan napas penderita, mengontrol pendarahan dan mencegah syok, imobilisasi penderita, mencegah terjadinya komplikasi dan cedera sekunder serta pengiriman segera ke rumah sakit. Tim penyelamat harus meningkatkan kewaspadaan pada penderita cedera kepala yang mengalami komplikasi cedera tulang leher atau cervical.

Tindakan di Unit Gawat Darurat

Primary Survey Primaru survey merupakan suatu pemeriksaan yang dilakukan saat pasien masuk ke UGD dan dilakukan dengan cepat dan efisien. Pemeriksaan ini terdiri dari Airway, Breathing, Circulation, Disability, Environment Gangguan jalan napas dapat diperkiran terjadi pada penderita dengan nafas mengorok, gerak napas yang cepat, suara paru yang tidak clear. Lidah yang jatuh ke belakang pada pasien cedera kepala dengan kesadaran menurun dapat menyebabkan gangguan nafas, sehingga apabila penderita tidak ada cedera cervical akan lebih baik bila posisi kepala diekstensikan. Bila tidak ada perbaikan, maka pemasangan pipa orofaring atau endotrakeal dapat dilakukan. Bila pasien muntah, maka miringkan posisi pasien, sehingga muntah akan lebih mudah keluar dan sisa muntahan tidak menyumbat jalan napas. Isi lambung dikosongkan dengan pipa nasogastrik agar tidak terjadi aspirasi. Pada pemeriksaan breathing, dilakukan pemeriksaan Respiratory rate untuk memperkirakan kemampuan gerak nafas pasien. Oksigen dosis tinggi 10-15 liter/menit secara intermitten dapat dilakukan. Pada pemeriksaan circulation, dilakukan pengukuran tekanan darah dan hitung nadi pasien untuk mengetahui kemampuan jantung dalam memompa darah. Dalam kasus cedera kepala tekanan darah harus selalu dijaga supaya stabil supaya perfusi jaringan terjaga. Disability dilakukan berupa pemeriksaan status neurologis, yaitu dengan melakukan penghitungan GCS. Sementara Environment adalah dengan menilai keadaan lingkungan tempat terjadinya trauma Secondary survey Dilakukan untuk melihat faktor predisposisi life support penderita yang mengalami trauma. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cepat dan efisien. Pemeriksaan ini terdiri dari Alergi, Medikasi (obat yang digunakan pasien secara teratur), Past history (riwayat penyakit pasien), Last meal, Environment.

Anamnesa dan Pemeriksaan fisik

Anamnesa penting dilakukan untuk mengetahui mekanisme terjadinya cedera kepala, kondisi klinis yang terjadi setelah cedera kepala hingga sebelum masuk rumah sakit dan kelainan yang sudah ada sebelum cedera terjadi. Kondisi klinis penderita sesaat setelah terjadinya cedera perlu diketahui, misalnya apakah ada gangguan kesadaran, berapa lama pingsan terjadi, ada tidaknya muntah, pendarahan yang terjadi, dll. Pemeriksaan fisik seperti status neurologis harus dilakukan untuk melihat apakah terdapat defisit neurologis yang muncul pasca trauma. Pemeriksaan fisik bagian thorax dan abdomen pun juga harus dilakukan untuk mengidentifikasi apakah cedera kepala yang terjadi mengalami suatu komplikasi terhadap organ-organ di thorax dan abdomen. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan foto ronsen kepala dilakukan untuk melihat apakah ditemukan fraktur tulang kepala. Foto ronsen kepala sebaiknya dilakukan dalam 2 posisi, yaitu anteroposterior dan lateral. Adanya fraktur diketathui bila ada garis kehitaman berbatas tegas. Gambaran air fluid level di daerah sinus paranasal merupakan pertanda pendarahan intrasinus, adanya udara pada intrakranial menunjukan adanya fraktur terbuka, air fluid level di sinus sphenoid menandakan suatu fraktur basis kranii Pemeriksaan CT-Scan merupakan suatu pemeriksaan penting dalam cedera kepala, terutama apabila dicurigai terjadinya suatu pendarahan. Indikasi pemeriksaan CT-Scan pada kasus cedera kepala adalah : Trauma kepala dengan cedera kepala sedang dan berat Munculnya gejala-gejala fraktur basis kranii Ada defisit neurologis disertai sakit kepala yang hebat dan penurunan kesadaran Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial

2. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan Hb dilakukan apabila curiga terjadinya pendarahan yang signifikan, Leukosit untuk mengetahui berat ringannya cedera kepala yang terjadi. Penanganan Cedera Kepala Ringan Cedera kepala ringan dikategorikan pada penderita cedera kepala dengan GCS 13-15 pasca trauma. Biasanya tindakan yang dilakukan adalah dengan melakukan perawatan luka-luka seperti tindakan debridement dan penjahitan luka. Pasien dapat diberikan obat simptomatik untuk mengatasi gejala yang dirasakan sepeti nyeri kepala, vertigo, dll. Walaupun tidak diperlukan tindakan perawatan, dan diijinkan untuk pulang, tetapi pihak keluarga harus memperhatikan tanda-tanda bahaya yang dapat muncul seperti penurunan kesadaran, muntah, perubahan perilaku, kelemahan tubuh, dll. Sehingga edukasi dan observasi di rumah minimal 24 jam perlu diterapkan dalam penanganan cedera kepala ringan. Walaupun tidak diharuskan untuk dirawat, tetapi ada indikasi dimana penderita cedera kepala ringan harus dirawat, salah satunya adalah ada gambaran abnormal pada CT scan, defisit neurologis muncul, ada fraktur, tidak memiliki keluarga, ada cedera tembus, dll. Penanganan cedera kepala sedang dan berat Cedera kepala sedang dikategorikan pada penderita cedera kepala dengan GCS 9-12 pasca trauma dan cedera kepala berat dengan GCS 3-8. Pada penanganan cedera kepala sedang dan berat, pemeriksaan CT-Scan mutlak harus dilakukan. Penderita juga harus dilakukan perawatan di rumah sakit dan observasi ketat pada tanda-tanda vital, dan pemeriksaan neurologis secara periodik, terutama GCS, bentuk dan ukuran pupil, gejala-gejala peningkatan intrakranial. Observasi dilakukan sampai GCS mencapai 15 dal dilakukan 24-48 jam. Observasi ideal dilakukan tiap 30 menit pada jam pertama, lalu tiap jam pada 6 jam kedua, tiap 2 jam pada 12 jam berikutnya. Lalu observasi tiap 4 jam hingga pasien sadar. Indikasi dilakukan tindakan operatif pada cedera kepala ditegakan berdasarkan kondisi klinis pasien, temuan CT-scan atau pemeriksaan radiologi, dan temuan gejalagejala pasca trauma. Tujuan utama pembedahan adalah untuk dekompresi dan evakuasi pendarahan. Operasi dilakukan berupa kraniektomi untuk mengurangi TIK

dan mencegah terjadinya herniasi otak. Indikasi yang penting untuk dilakukan teknik pembedahan pada kasus cedera kepala adalah : Volume massa hematoma > 40 mL di daerah supratentorial / > 20 cc di daerah infratentorial Kondisi pasien yang makin memburuk dari sejak masuk rumah sakit seperti nyeri kepala yang makin berat, mual drastis Pendorongan midline shift pada gambaran CT-Scan yang melebihi 3 mm Peningkatan TIK > 25 mmHg Ukuran hematoma yang makin membesar dan meluas pada pemeriksaan CT-scan ulang Muncul gejala terjadinya herniasi otak Kompresi basal cistern muntah yang makin menghebat, defisit neurologis yang makin meluas, penurunan kesadaran

You might also like