You are on page 1of 34

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Semakin canggihnya alat transportasi dan komunikasi serta teknologi dewasa ini menyebabkan dunia seakan tanpa batas. Pada era globalisasi seperti sekarang ini tidaklah mengherankan jika seseorang yang awalnya sedang berada di London dalam hitungan jam sudah berada di Bali untuk berwisata. Walaupun di satu sisi keadaan ini memiliki dampak positif, di sisi lain situasi ini juga memberikan dampak negatif, yakni makin mudahnya suatu sumber penyakit berpindah dari satu negara ke negara lain. Adanya kesadaran akan masalah-masalah kesehatan yang mungkin timbul berkenaan dengan perjalanan atau wisata kemudian memunculkan suatu solusi, yakni terciptanya cabang kedokteran baru yang dikenal sebagai travel medicine atau ilmu kedokteran wisata.

BAB II SUB PEMBAHASAN

1. skenario

Perjalanan yang tidak Nyaman

Bp. Swarna umur 40 th seorang staf di salah satu Dinas Tingkat Provinsi Sumatera Utara, bersama dua orang temannya sedang melakukan perjalanan dinas kebeberapa daerah tingkat II yang direncanakan selama 6 hari. Pada hari ketiga Pak Swarna dan salah satu kawannya mengalami diare (traveller Diare). Karena kesibukan dan padatnya jadwal tugas, mereka tidak sempat ke Dokter untukmengobati diarenya. Mereka hanya minum obat diare yang dijuaol bebas. Tetapi diare yang dialaminya tidak membaik bahkan temanya yang satu lagi juga mengalami hal yang sama, semenatara tugas mereka harus tetap dilaksanakan karena telah terjadwal sebelumnya. Akhirnya pada hati kelima mereka menyempatkan diri untuk berobat ke praktek salah satu dokter. Oleh dokter yang memeriksa, disampaikan bahwa mereka mengalami Traveller Diare.

2. Learnig Objective Mengetahui dan Memahami : Defenisi traveller Disease Penyebab traveller diare Pemeriksaan traveller disease Penatalaksanaan traveller disease

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

A. Travel Medicine

Kedokteran wisata atau travel medicine adalah bidang ilmu kedokteran yang mempelajari persiapan kesehatan dan penatalaksanaan masalah kesehatan orang yang bepergian (travellers). Cabang ilmu ini mencakup berbagai disiplin ilmu termasuk epidemiologi, penyakit menular, kesehatan masyarakat, kedokteran tropis, fisiologi , mikrobiologi psikiatri, kedokteran kerja dan sebagainya. Bidang ilmu ini semakin berkembang dalam tiga dekade terakhir sebagai respons terhadap peningkatan arus perjalanan internasional di seluruh dunia. Pelayanan kedokteran wisata diberikan di travel clinic yang umumnya berada di negara-negara maju untuk memenuhi kebutuhan warga mereka yang akan bepergian ke negara-negara berkembang. Hal itu dikarenakan sampai saat ini negara-negara berkembang dianggap sebagai daerah tujuan wisata yang mempunyai risiko kesehatan tertentu. Bahkan dalam buku panduannya, World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa konsultasi pra-travel diperlukan oleh travellers yang bermaksud mengunjungi negara berkembang. Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah bagaimana dengan masyarakat negara berkembang yang akan bepergian ke luar negeri ataupun ke negara berkembang lainnya? Apakah tidak ada risiko kesehatan yang mungkin menimpa warga negara berkembang tersebut? Inilah salah satu hal yang perlu menjadi sebuah perhatian bagi sebuah negara berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu permasalahan yang terjadi adalah pelayanan kesehatan di negara berkembang belum mempunyai visi ke depan, yaitu melindungi warga negara mereka yang akan bepergian. Oleh sebab itulah dibutuhkan suatu pengetahuan dan keterampilan baru di bidang kedokteran wisata yang perlu dikuasai oleh para tenaga kesehatan di Indonesia, salah satunya adalah mengenai travel clinic dan pelayanan yang ditawarkannya. Sampai saat ini sayangnya kedokteran wisata masih belum dianggap sebagai suatu spesialisasi tersendiri di kalangan medis serta standar pelayanannya pun juga belum tersedia. Namun sudah jelas bahwa praktik kedokteran wisata berbeda dari praktek kedokteran biasa. Jika praktik dokter biasanya ditujukan untuk pengobatan, maka praktik kedokteran wisata lebih difokuskan pada aspek pencegahan. Dalam pelayanan kedokteran wisata, orang yang datang umumnya adalah orang sehat yang membutuhkan informasi dan tidak menganggap dirinya seorang pasien, meskipun mungkin saja statusnya berubah menjadi pasien setelah pulang dari perjalanan. Selain itu, ada perbedaan bentuk komunikasi yang mendasar yang harus dipahami oleh tenaga kesehatan. Dalam bidang kedokteran wisata, dokter tidak hanya mengupayakan pencegahan penyakit serta menangani masalah-masalah kesehatan pada travelers, tetapi juga mengambil bagian dalam memberikan saran untuk perbaikan pelayanan kesehatan dan keamanan untuk wisatawan.

Di Indonesia khususnya, pelayanan travel medicine yang paling ditekankan untuk saat ini adalah pemberian tindakan preventif berupa imunisasi atau vaksinasi sebelum melakukan perjalanan. Vaksinasi yang diberikan terkait dengan penyakit endemis yang ada pada daerah tujuan. Seperti yang diungkapkan oleh dr. Agus Somia Sp.PD saat diwawancarai di sela-sela kesibukannya. Beliau mengungkapkan bahwa dari kalangan klinisi kesehatan, seperti dokter misalnya, sangat mengharapkan adanya buku imunisasi untuk orang dewasa seperti halnya buku imunisasi pada anakanak. Adanya buku imunisasi orang dewasa ini dimaksudkan agar imunisasi yang diberikan dapat dikontrol oleh tenaga kesehatan maupun pasien sendiri. Untuk di Bali sendiri, praktek pemberian vaksinasi pada pasien travel medicine sudah berjalan sejak lama, apalagi mengingat Bali merupakan daerah tujuan wisata dunia yang tentunya harus waspada terhadap datangnya wabah penyakit tertentu yang bisa saja terbawa oleh pengunjung yang berasal dari banyak daerah di Indonesia maupun luar negeri, papar dr.Somnia. Praktik travel medicine di Indonesia biasanya terdapat di pelabuhan-pelabuhan baik udara maupun laut. Sebagai contoh, jamaah haji di Indonesia yang setiap tahun berangkat menuju tanah suci mekkah wajib divaksin terlebih dahulu sebelum berangkat, begitu juga dengan para pekerja Indonesia yang akan bekerja di luar negeri. Pencegahan berupa vaksinasi sangat dianjurkan kepada siapa saja yang berencana bepergian baik itu berlibur maupun bekerja ke tempat yang jauh dengan waktu yang lama. Idealnya seseorang yang hendak bepergian dianjurkan untuk memeriksakan dirinya ke travel clinic, yakni klinik yang memberikan pelayanan kedokteran wisata (travel medicine clinic). Walaupun sifatnya khusus, travel medicine clinic dapat didirikan secara terintegrasi dengan institusi kesehatan yang sudah ada. Pelayanan kedokteran wisata juga dapat diberikan di klinik dokter umum, klinik rumah sakit dan travel klinik swasta. Pada travel klinik swasta, pelayanan kedokteran wisata yang profesional umumnya diselenggarakan sebagai suatu badan usaha perseroan terbatas (company) dengan saham-saham yang dimiliki oleh para pendirinya. Lokasi yang diambil tidak di rumah sakit atau klinik umum, namun lebih banyak di tempat-tempat bisnis publik, seperti mal-mal atau pusat perbelanjaan. Selain lokasi-lokasi di atas, klinik yang menyediakan pelayanan kedokteran wisata dapat berada di hotel, pelabuhan, ataupun di klinik-klinik milik maskapai penerbangan. Sebagian besar klinik-klinik ini baru sebatas memberikan pelayanan pengobatan kepada para wisatawan. Namun sebenarnya klinik- klinik seperti ini juga berpotensi menyelenggarakan pelayanan kedokteran wisata untuk tujuan promotif dan preventif bagi masyarakat atau orang asing yang tinggal di wilayah tersebut. Di travel clinic seseorang dapat berkonsultasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan masalah kesehatan perjalanan yang direncanakan. Pelayanan yang didapatkan di klinik tersebut antara lain konsultasi pra-perjalanan, imunisasi, prophylaxis, standby treatment, medical kit juga konsultasi dan penatalaksanaan penyakit pasca perjalanan. Di samping itu, setiap klinik dapat pula mengembangkan sistem dokumentasi rekam medik dan sarana tambahan seperti konsultasi via telepon, apotek dan pelayanan penjualan alat-alat untuk pencegahan penyakit. Sayangnya,

berbeda dengan negara maju, di Indonesia sendiri belum banyak terdapat travel clinic semacam ini. Adapun beberapa rekomendasi dari WHO yang berkaitan dengan travel medicine yakni berupa anjuran untuk mengkonsultasikan kesehatan sebelum bepergian. Konsultasi ini harus dilakukan setidaknya 4-8 minggu sebelum perjalanan dan lebih dianjurkan sebelumnya jika perjalanan jangka panjang atau bekerja di luar negeri. Penilaian risiko kesehatan yang berhubungan dengan perjalanan juga menjadi salah satu hal penting. Setelah melakukan konsultasi, pemberian vaksin atau obat-obat prophylaxis lainnya harus dilakukan menurut hasil penilaian dari konsultasi. Pemberian informasi tentang metode penularan atau penyebaran penyakit dan pencegahannya seperti mencuci tangan, menjaga kebersihan makanan dan minuman, penggunaan anti nyamuk (repellan) bisa dilakukan untuk penyakit yang tidak bisa dicegah dengan vaksin atau obat. Persediaan medis yang cukup juga harus dilakukan untuk memenuhi semua kebutuhan yang akan datang selama perjalanan. Pemberian perhatian khusus pada kelompok-kelompok tertentu juga turut menjadi hal yang harus dilakukan. Hal ini mencakup persiapan-persiapan khusus, seperti pada usia bayi atau lansia serta pada ibu hamil. Semua wisatawan juga sangat disarankan untuk melakukan perjalanan dengan asuransi perjalanan yang komprehensif. Hal ini memudahkan akan ketersediaannya pelayanan kesehatan didaerah tujuan yang sebagian besar dikelola oleh sektor swasta. Seiring dengan berkembangnya pengetahuan, travel medicine kini telah menjadi suatu kebutuhan yang mendesak dan penting. Apalagi adanya perubahan pola penyakit global serta adanya kemajuan teknologi dan transportasi menuntut para dokter untuk selalu up-to date terutama dalam memahami aspek epidemiologi di dunia yang nantinya akan sangat berguna dalam merekomendasikan perjalanan sehat dan aman bagi para wisatawan. (Triana, Ozy, GA)

B. Demam Berdarah Dengue

Demam

dengue/DF

dan

demam

berdarah

dengue/DBD

(dengue

haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok. 1

Epidemiologi Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta, kasus pertama di laporkan pada tahun 1968. Sejak dilaporkannya kasus demam berdarah dengue (DBD) pada tahun 1968 terjadi kecenderungan peningkatan insiden. Sejak tahun 1994, seluruh propinsi di Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan kasus DBD juga meningkat, namun angka kematian menurun tajam dari 41,3% pada tahun 1968, menjadi 3% pada tahun 1984 dan menjadi <3% pada tahun 1991.2 Demam berdarah dengue terjadi dimana banyak tipe virus dengue secara simultan atau berurutan ditularkan. Demam ini adalah endemik di Asia tropik, dimana suhu panas dan praktek penyimpanan air di rumah menyebabkan populasi aedes aegypti besar dan pemanen. Pada keadaan ini infeksi dengan virus dengue dari semua tipe sering ada, dan infeksi kedua dengan tipe heterolog sering terjadi. Sesudah umur 1 tahun, hampir semua penderita dengan sindrom syok dengue mempunyai kenaikan sekunder antibodi terhadap virus dengue, yang menunjukan infeksi sebelumnya dengan virus yang terkait erat. Wabah tahun 1981 di Kuba, dimana anak dan dewasa terpajan sama, telah menunjukan bahwa sindrom

permeabilitas vaskuler akut, terjadi hampir selalu pada anak usia 14 tahun dan yang lebih muda. Pada orang dewasa penyakit berat lebih sering disertai dengan fenomena perdarahan. Demam berdarah dengue dapat terjadi selama infeksi dengue primer, paling sering pada bayi yang ibunya imun terhadap dengue. 3 Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara, pola distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur <15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari. 2

I Etiologi Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. 1 Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungnan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. 1,2 Vektor Virus Dengue dapat ditularkan oleh: 1. Nyamuk Aedes aegypti 2. Nyamuk Aedes albopictus

Morfologi dan Daur Hidup Nyamuk Vektor DBD 1. Nyamuk dewasa: ukuran kecil, warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan, kaki dan sayap 2. Telur: berwarna hitam seperti sarang tawon, dinding bergaris-garis seperti gambaran kain kassa 3. Jentik: ukuran 0,5-1 cm, dan selalu bergerak aktif dalam air. Gerakannya berulang-ulang dari bawah ke atas permukaan air untuk bernafas. Pada waktu istirahat posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air.

Gambar 2.2 Daur Hidup Nyamuk Vektor DBD 4. Metamorfosis sempurna

Sifat-Sifat Nyamuk Aedes aegypti 1. Antropofilik dan menggigit berulang (multiple biters) yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat dan mempermudah pemindahan virus 2. Aktivitas menggigit pagi sampai dengan petang dengan puncak aktivitas 09.0010.00 dan 16.00-17.00 3. Kemampuan terbang nyamuk betina 40-100 meter. Namun karena angin atau terbawa kendaraan, nyamuk ini bisa berpindah lebih jauh 4. Kebiasaan istirahat serta menggigit dalam rumah (indoor). Tempat hinggap dalam rumah adalah barang-barang bergantungan seperti baju, gorden, kabel, peci dan lain-lain. 5. Nyamuk ini lebih senang warna gelap daripada terang

Patofisiologi

Volume Plasma Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi,

trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada


8

kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular (ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus, dan terdapatnya edema. 2
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat dekstruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja

secara cepat. Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamin atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia. 2

Trombositopenia Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop 9

membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa dan hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD. 2

Sistem koagulasi dan fibrinolisis Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi memajang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan Fibrinogen Degradation Products (FDP). Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktivitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktivitas faktor VII, faktor II, dan antitrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogen da faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan alpha 2 plasmin inhibitor dan penurunan aktivitas plasminogen. Seluruh penelitian di atas menunjukan bahwa 2: 1. Pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis 2. Diseminated intravaskular coagulation secara potensial dapat terjadi juga DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok irreversible disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian. 3. Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan fungsi trombosit dan trombositopeni, sedangkan

perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih 10

komplek seperti trombositopenia, gangguan faktor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik. 4. Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan berkurang. antitrombin III, respon pemberian heparin akan

Sistem Komplemen Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3, C3 proaktivaktor, C4, dan C5 baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif. Hasil penelitian radio isotop mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan stimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan plasma dan syok hipopolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang menimbulkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok, dan perdarahan. Disamping itu komplemen juga merangsang monosit untuk

memproduksi sitokin seperti tumor nekrosis faktor (TNF), interferon gama, interleukin (IL-2 dan IL-1). 2 Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah (1) ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, (2) adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex) baik pada DBD derajat ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit. 2

Respon Leukosit

11

Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan. Pemeriksaan limfosit plasma biru secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari ke enam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD dengan demam dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit B dan limfosit T. 2

Patogenesis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes Aegypti atau Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer. Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel. Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang menimbulkan cross reaction atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi diantara ke empat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotip virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak ada cross protectif terhadap serotip virus yang lain. Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi biologis: netralisasi virus; sitolisis komplemen; Antibody Dependent Cell-mediated Cytotoxity (ADCC) dan Antibody Dependent Enhancement.

12

Manifestasi Klinis Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu 4: 1. Silent dengue atau Undifferentiated fever 2. Demam dengue klasik 3. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever) 4. Dengue Shock Syndrome (DSS)

Demam Dengue Demam dengue ialah demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi 2: 1. Nyeri kepala, nyeri retro-orbital 2. Mialgia 3. Ruam kulit 4. Leukopenia. Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan ruam (rash).

Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39oC sampai 40oC dan demam bersifat bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari.

Ruam kulit : kemerahan atau bercak-bercak merah yang terdapat di dada, tubuh serta abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Ruam bersifat makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari. Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak

nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofobia, berkeringat, batuk. Kelenjar limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai Castelanis sign yang patognomonik. 2

13

Pada pemeriksaan laboratorium selama DD akut ialah sebagai berikut: Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian leukopeni hingga periode demam berakhir Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme pembekuaan darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi trombositopeni Serum biokimia/enzim biasanya normal,kadar enzim hati mungkin

meningkat.

Demam Berdarah Dengue Pada awal perjalanan penyakit, DBD menyerupai kasus DD. Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus tersebar di anggota gerak, muka, aksila sering kali ditemukan pada masa dini demam. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan tidak dapat diatasi. 2 Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 24 cm dibawah lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak berhubungan dengan keparahan penyakit. Untuk menemukan pembesaran hati, harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan adanya perdarahan. 2 Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan adanya trombositopenia sedang hingga berat disertai hemokonsentrasi. Fenomena patofisiologis utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD ialah peningkatan permeabilitas pembuluh darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. 2

Dengue Shock Syndrome

14

Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi lemah dan cepat, tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan lembab dan pasien tampak gelisah.

Gambar 2.16 Gambaran Skematis Kebocoran Plasma pada DBD

15

Diagnosis Berdasarkan kriteria WHO 2009: 5

Kriteria Klinis 1. Panas mendadak terus menerus 2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Tipe demam bifasik (saddleback) yaitu: a. Hari 1-2 : naik b. Hari 3-4 : turun c. Hari 5-6 : naik

Gambar 2.17 Demam Bifasik pada DBD 2. Manifestasi perdarahan, salah satu tergantung: a. uji torniket (+) b. petechie, ekhimosis ataupun purpura c. perdarahan mukosa traktus gastrointestinal, epistaksis, perdarahan gusi d. hematemesis dan melena

16

3. Hepatomegali 4. Kegagalan sirkulasi (tanda-tanda syok): ekstremitas dingin, nadi cepat dan lemah, sistolik kurang 90 mmHg, dan tekanan darah menurun sampai tidak terukur, kulit lembab, penyempitan tekanan nadi (< 20 mmHg), capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah.

Kriteria Laboratoris 1. Trombositopenia (trombosit < 100.000 /ul) 2. Hemokonsentrasi ( Peningkatan Ht 20% atau penurunan Ht 20% setelah mendapat terapi cairan). Diagnosis ditegakkan jika terdapat dua atau lebih kriteria klinis dan satu kriteria laboratoris

Pembagian derajat DBD menurut WHO ialah :

Derajat I : Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar. Derajat II : Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan. Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain. Derajat III: Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab dan penderita gelisah.

Derajat IV : Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diperiksa.

Pemeriksaan Penunjang
17

Pemeriksaan laboratorium Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD.

Pencitraan Pada pemeriksaan radiologi dan USG kasus DBD, terdapat beberapa kelainan yang dapat dideteksi yaitu, dilatasi pembuluh darah paru, efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikard, hepatomegali, cairan dalam rongga peritoneum, penebalan dinding vesica felea.

Pemeriksaan Rumple leed test Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah dengan cara mengenakan pembendungan kepada vena-vena, sehingga darah menekan kepada dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh suatu sebab kurang kuat akan rusak oleh pembendungan itu, darah dari dalam kapiler itu keluar dari kapiler dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga nampak sebagai bercak merah kecil pada permukaan kulit (petechiae).

18

Pemeriksaan dilakukan dengan memasang sfigmomanometer pada lengan atas dan pompalah sampai tekanan berada ditengah-tengah nilai sistolik dan diastolik. Pertahankan tekanan itu selama 10 menit, setelah itu lepaskan ikatan dan tunggulah sampai tanda-tanda stasis darah lenyap lagi. Stasis darah telah berhenti jika warna kulit pada lengan yang dibendung tadi mendapat lagi warna kulit lengan yang tidak dibendung. Lalu carilah petechiae yang timbul dalam lingkaran berdiameter 5 cm kira-kira 4 cm distal dari vena cubiti. Test dikatakan positif jika terdapat lebih dari dikatakan positif 10 petechiae dalam lingkaran tadi.

Pemeriksaan Serologi Ada beberapa uji serologi yang dapat dilakukan yaitu : Uji hambatan hemaglutinasi Uji Netralisasi Uji fiksasi komplemen Uji Hemadsorpsi Immunosorben Uji Elisa Anti Dengue Ig M Tes Dengue Blot.

Komplikasi 1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok, cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3-, dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktar ringer dekstrosa segera ditukar dengan larutan Nacl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1. untuk mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >60 mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan

mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberiaan oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. 19

Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder, makaa untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin

100mg/kgbb/hari + kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati. 2. Kelainan Ginjal Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut. Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian volume intravascular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgbb/jam, sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgbb dapat diberikan.

Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum, dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya. 3. Edema paru Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran edem paru pada foto roentgen dada. Gambaran edem paru harus dibedakan dengan perdarahan paru.

II. 9

Penatalaksanaan Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki

sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID).

20

Penatalaksanaan Demam berdarah Dengue Perbedaan patofisiologik utama antara Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue/Demam Syok sindrom dan penyakit lain, ialah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma, dan gangguan hemostasis. Penatalaksanaan fase demam pada Demam Berdarah Dengue dan Demam Dengue tidak jauh berbeda, bersifat simptomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Masa kritis ialah pada atau setelah hari sakit yang ketiga yang memperlihatkan penurunan tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam hematokrit yang menunjukkan adanya kehilangan cairan, Observasi tanda vital, kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok. Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi kristaloid maka cairan koloid harus diberikan (ada 3 jenis ;dekstan, gelatin dan hydroxy ethyl starch) sebanyak 10-30ml/kgBB/jam.setelah terjadi perbaikan, segera cairan ditukar kembali dengan kristaloid. Apabila setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga telah terjadi perdarahan, maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan cairan kristaloid dikurangi bertahap sesuai dengan keadaan klinis dan kadar hematokrit. Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat traumatis untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan homeostasis sehingga mudah terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur pengerjaannya juga tidak mudah dan manfaatnya juga tidak banyak. Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi trombosit maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP) yang masih mengandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula diberikan packed red cell (PRC). 21

Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk mencegah terjadinya edem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfusi.

22

Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:

Bagan 2.1. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.

23

Bagan 2.2. Tatalaksana tersangka DBD (rawat inap) atau demam Dengue.

24

Bagan 2.3. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II.

25

Bagan 2.4. Tatalaksana Kasus DBD derajat III dan IV atau DSS.

26

Kriteria memulangkan pasien 1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik 2. Nafsu makan membaik 3. Tampak perbaikan secara klinis 4. Hematokrit stabil 5. Tiga hari setelah syok teratasi 6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml dan cenderung meningkat 7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis). 4

Pengendalian vektor DBD Pengendalian vektor bertujuan : 1. mengurangi populasi vektor serendah-rendahnya sehingga tidak berarti lagi sebagai penular penyakit. 2. menghindarkan terjadi kontak antara vektor dan manusia

Cara efektif untuk pengendalian vektor adalah dengan penatalaksanaan lingkungan yang termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pemantauan aktivitas untuk modifikasi faktor-faktor lingkungan dengan suatu pandangan untuk mencegah perkembangan vektor dan kontak manusia-vektorpatogen. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) a. Melakukan metode 4 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan, dan monitor tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga, b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95% Foging Focus dan Foging Masal a. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang waktu 1 minggu b. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam jangka waktu 1 bulan

27

c. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan menggunakan Swing Fog Penyelidikan Epidemiologi a. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam setelah menerima laporan kasus b. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus Penyuluhan masyarakat. Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD. perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran

B. Cikungunya Chikungunya berasal dari bahasa Swahili berdasarkan gejala pada penderita, yang berarti (posisi tubuh) meliuk atau melengkung, mengacu pada postur penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi hebat (arthralgia). Nyeri sendi ini menurut lembar data keselamatan (MSDS) Kantor Keamanan Laboratorium Kanada, terutama terjadi pada lutut, pergelangan kaki serta persendian tangan dan kaki. Selain kasus demam berdarah yang merebak di sejumlah wilayah Indonesia, masyarakat direpotkan pula dengan kasus Chikungunya. Gejala penyakit ini termasuk demam mendadak yang mencapai 39 derajat C, nyeri pada persendian terutama sendi lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan serta tulang belakang yang disertai ruam (kumpulan bintik-bintik kemerahan) pada kulit. Terdapat juga sakit kepala, conjunctival injection dan sedikit fotofobia. Penyakit ini biasanya dapat membatasi diri sendiri dan akan sembuh sendiri. Perawatan berdasarkan gejala disarankan setelah mengetepikan penyakit-penyakit lain yang lebih berbahaya.

Penyebab Chikunguya Chikungunya adalah sejenis demam virus yang disebabkan alphavirus yang disebarkan oleh gigitan nyamuk dari spesies Aedes aegypti. Namanya berasal dari sebuah kata dalam bahasa Makonde yang berarti "yang melengkung ke atas", merujuk kepada tubuh yang membungkuk akibat gejalagejala arthritis penyakit ini.

28

Penyakit ini pertama sekali dicatat di Tanzania, Afrika pada tahun 1952, kemudian di Uganda tahun 1963. Di Indonesia, kejadian luar biasa (KLB) Chikungunya dilaporkan pada tahun 1982, Demam Chikungunya di Indonesia dilaporkan pertama kali di Samarinda pada tahun 1973, kemudian berjangkit di Kuala Tungkal, Martapura, Ternate, Yogyakarta (1983), Muara Enim (1999), Aceh dan Bogor (2001). Sebuah wabah Chikungunya ditemukan di Port Klang di Malaysia pada tahun 1999, selanjutnya berkembang ke wilayah-wilayah lain. Awal 2001, kejadian luar biasa demam Chikungunya terjadi di Muara Enim, Sumatera Selatan dan Aceh. Disusul Bogor bulan Oktober. Setahun kemudian, demam Chikungunya berjangkit lagi di Bekasi (Jawa Barat), Purworejo dan Klaten (Jawa Tengah). Diperkirakan sepanjang tahun 2001-2003 jumlah kasus Chikungunya mencapai 3.918 jiwa dan tanpa kematian yang diakibatkan penyakit ini.

Gejala Chikunguya Gejala utama terkena penyakit Chikungunya adalah demam tinggi, sakit perut, mual, muntah, sakit kepala, nyeri sendi dan otot, serta bintik-bintik merah terutama di badan dan tangan. Gejala ini menyerupai Demam Berdarah Dengue, tetapi pada Chikungunya tidak terjadi perdarahan hebat, renjatan (Schok) ataupun kematian. Seringkali demam ini dikatakan sebagai flu tulang karena satu di antara gejala yang khas adalah timbulnya rasa pegal-pegal, ngilu, juga timbul rasa sakit pada tulang-tulang. Demam chikungunya dapat menyerang semua usia, baik anak-anak maupun dewasa. Di daerah endemis, seringkali penderita secara mendadak akan mengalami demam tinggi selama lima hari, sehingga dikenal pula istilah demam lima hari. Pada anak kecil dimulai dengan demam mendadak, kulit kemerahan. Ruam-ruam merah itu muncul setelah 3-5 hari. Mata biasanya merah disertai tanda-tanda seperti flu. Pada anak yang lebih besar, demam biasanya diikuti rasa sakit pada otot dan sendi, serta terjadi pembesaran kelenjar getah bening. Pada orang dewasa, gejala nyeri sendi dan otot sangat dominan, dan menimbulkan kelumpuhan sementara karena rasa sakit bila berjalan. Namun demikian, Chikungunya tidak menyebabkan kematian dan kelumpuhan.

29

Seseorang yang terserang penyakit ini setelah sehat akan membentuk antibodi yang akan membuat mereka kebal terhadap wabah penyakit ini di kemudian hari. Dengan demikian, kecil kemungkinan bagi mereka untuk kena lagi.

CARA PENULARAN CHIKUNGUNYA Chikungunya adalah sejenis demam virus yang disebabkan alphavirus yang disebarkan oleh gigitan nyamuk dari spesies Aedes aegypti. jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali ditempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi nyamuk untuk hidup dan berkembangbiak. Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai dasar hitam dengan bintik- bintik putih pada bagian badan, kaki, dan sayapnya. Nyamuk Aedes aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya. Sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia dari pada binatang. Penularan penyakit Chikungunya terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina yang sebelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya dari penderita lain. Nyamuk Aedes aegypti sering menggigit manusia pada waktu pagi dan siang. Penyakit ini sering terjadi di daerah tropis, dan muncul pada musim penghujan. Virus ini kemungkinan muncul akibat pengaruh musim/alam serta perilaku manusia. Aedes aegypti mempunyai kebiasan mengisap darah berulang kali untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat infektif sebagai penular penyakit. Setelah mengisap darah , nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam atau diluar rumah. Tempat hinggap yang disenangi adalah benda-benda yang tergantung dan biasanya ditempat yang agak gelap dan lembab. Disini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya. Selanjutnya nyamuk betina akan meletakkan telurnya didinding tempat perkembangbiakan, sedikit diatas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu 2 hari setelah terendam air. Jentik kemudian menjadi kepompong dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa. Jarak terbang nyamuk berkisar 40 hingga 100 meter, korban gigitan nyamuk biasanya berada disekitar jarak tersebut dari sarang nyamuk. Selain itu faktor
30

lingkungan seperti ketersediaan tempat penampung air dan kepadatan hunian suatu tempat tinggal akan mempercepat penyebaran atau penularan penyakit chikunguya. Semakin padat hunian suatu tempat maka semakin mudah pula nyamuk menularkan penyakit ini.

PENCEGAHAN CHIKUNGUYA Vektor Chikungunya yang utama di Indonesia adalah Aedes Aegypti, yang keberadaannya hingga dewasa ini masih tersebar di seluruh pelosok tanah air. Berdasarkan hasil survei jentik yang dilakukan Depkes tahun 1992 di 7 kota di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, menunjukkan bahwa rata-rata persentase rumah dan tempat umum yang ditemukan jentik masih cukup tinggi, yaitu sebesar 28% . Pengontrolan nyamuk merupakan strategi yang tepat untuk mengontrol terjadinya epidemik di masa depan. Pencegahan penyakit chikungunya dimulai dari lingkungan. Caranya, membasmi nyamuk pembawa virusnya. Chikungunya adalah penyakit yang disebabkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Oleh karena itu, basmi tempat-tempat berkembang biaknya. Adapun pencegahan lainnya, sebagai berikut: a) Jagalah kebersihan lingkungan. Memasuki musim hujan, perhatikan kebersihan lingkungan tempat tinggal Anda. Caranya, mengendalikan nyamuk dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk, dan perbaikan desain rumah. Contohnya dengan menguras bak mandi atau penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu. b) Menutup dengan rapat tempat penampungan air. c) Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas, dan ban bekas di sekitar rumah, dan lain sebagainya. d) Melakukan kebiasaan baik, seperti makan makanan bergizi, rutin olahraga, dan istirahat yang cukup. e) Dengan melakukan fogging atau pengasapan yang berguna untuk mematikan nyamuk dewasa, akan mengurangi adanya kemungkinan penularan hingga batas waktu tertentu.

31

f) Memberikan bubuk abate di tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi atau gentong air, dan vas bunga agar bisa mematikan jentik pada air. Keduanya harus dilakukan untuk memutuskan rantai perkembangbiakan nyamuk.

32

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. FKUI. Jakarta: 2006

2. Sumarmo PS. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi kedua. Badan Penerbit IDAI. Jakarta: 2010

3. Nelson waldo E. Ilmu Kesehatan Anak. Volume 2. Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1999

4. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1, Jakarta: 2010

5. WHO. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: 2009

33

Nama Anggota Kelompok

Anggota Ade Panda Putra Suhaili Amri Syifa Nurlatifah Andriani Fansagita Dwi Utami Hot Parsaulian Siregar Liani Rizki Hikmayanti Maria Kristina N. Banjarnahor Natasha Citra Yudita Pipit Indah wati Ridha Widya Ray Siti Raisa Sitompul Sedyna Widowati Tania Dwi Prastiti

34

You might also like