You are on page 1of 25

LAPORAN KASUS

MODERAT HI + CLOSE FRAKTUR AVULSI FRONTAL SINISTRA


Disusun untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik stase Anestesi Rumah Sakit Umum Tasikmalaya

Disusun : Fajrul Munawar.S Rien Novia.M Rina Nurapriyanti 08310110 08310259 08310262

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG 2012

I. IDENTITAS PASIEN Nama Usia Agama Jenis Kelamin Status Pekerjaan Alamat Diagnosis pre operasi Tanggal Masuk RS Jam Masuk : Tn. G : 17 tahun : Islam : Laki-laki : Belum Menikah : Pelajar : Tambakan, Margajaya, Mangunrejo : Moderat HI + close fraktur avulsi frontal orbita sinistra : 21 Desember 2012 : 02.20 WIB

II. PERSIAPAN PRE OPERASI


1. Anamnesis (Allonamnesis 21-12-2012)

A (Alergy) dan asma

: Tidak ada riawayat alergi obat-obatan,makanan

M (Medication) tertentu

: Tidak sedang menjalani pengobatan penyakit

P (Past Medical History) : Riwayat DM (-), Hipertensi (-), sakit yang sama dan riwayat operasi (-)

L (Last Meal) E (Elicit History)

: Pasien terakhir makan 6 jam yang lalu : Tn.G (17 tahun) masuk UGD dengan

kecelakaan lalu lintas, ditemukan pingsan, GCS 10, gelisah, mata lebam dan luka pada frontal kanan. CT-scan polos potongan axial: tampak

perdarahan subdural minimal sinistra, CT-scan bone window potongan axial dan coronal:tampak close fraktur avulsi fronto orbita sinistra 2. Pemeriksaan Fisik
-

Keadaan Umum Kesadaran Tekanan Darah Nadi RR Suhu Tinggi Badan Berat Badan

: Sakit berat (GCS:E2M5V4) : Delirium : 135/76 mmHg : 73x/menit : 22x/menit : 36,70C : 158 cm : 50 kg

Jalan napas, gigi geligi dalam batas normal.

3. Pemeriksaan Penunjang dan Laboratorium Pre operasi

CT- Scan

CT-scan polos potongan axial: tampak perdarahan subdural minimal sinistra CT-scan bone window potongan axial dan coronal:tampak close fraktur avulsi fronto orbita sinistra
o o o o o

Laboratorium Hb Ht Leukosit : 11,2 gr/dl : 32% : 6.700/mm3

Trombosit : 187.000/mm3 Ureum : 23 mg/dl

Kreatinin : 0,79 mg/dl

o Gol darah : B. rhesus (+)


o

GDS

: 99 mg/dl Pemeriksaan fisik dan laboratorium, maka pasien ini

Berdasarkan

dikategorikan kedalam ASA2 dengan penurunan kesadaran.

III. DURANTE OPERATIF (21 Desember 2012)

1. Laporan Anestesi
-

Tindakan Operasi Tindakan Anestesi Lama Anestesi Lama Operasi Posisi Premedikasi Obat Anestesi

: Craniotomi : Anestesi umum : 3 jam 25 menit : 3 jam : Supine : Ondansetron 4 mg IV : 1. Propofol: 1,5-2,5 mg/kgBB IV 100 mg 2. Fentanyl: 2-150 mcg/kgBB IV 100 mcg 3. Atracurium: 0, 5 mg/kgBB IV 25 mg

2. Tindakan Anestesi Umum Dengan Intubasi -

Pasien diposisikan pada posisi supine Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas

normal Obat Ondansetron 4 mg IV dimasukan untuk tujuan

premedikasi

Obat berikut dimasukkan secara intravena: Fentanil 100 g

Propofol 80 mg mask Pemberian oksigen (preoksigenasi) 100% 10 liter dilanjutkan Pasien diberi oksigen 100% 10 liter dengan metode over face

dengan metode face mask selama 2-5 menit -

Dipastikan apakah airway pasien paten Dimasukkan muscle relaxant atracurium 25mg intravena dan

diberi bantuan nafas dengan ventilasi mekanik Dipastikan pasien sudah berada dalam kondisi tidak sadar dan

stabil untuk dilakukan intubasi ETT


-

Dilakukan ventilasi dengan oksigenasi, dilakukan intubasi ETT Cuff dikembangkan, lalu cek suara nafas pada semua lapang

paru dan lambung dengan stetoskop, dipastikan suara nafas dan dada mengembang ETT difiksasi agar tidak lepas dan disambungkan secara simetris dengan ventilator
-

Maintenance dengan inhalasi oksigen 3 lpm, N2O 3 lpm, dan

isofluran MAC 1% Monitor tanda-tanda vital pasien, produksi urin, saturasi

oksigen, tanda-tanda komplikasi (pendarahan, alergi obat, obstruksi jalan nafas, nyeri)
-

Dilakukan ekstubasi apabila pasien mulai sadar, nafas spontan

dan ada reflek-reflek jalan napas atas, dan dapat menuruti perintah sederhana.

3. Pemberian Cairan - Pre operatif 2cc/kgBB/jam lama puasa 2cc x 50 kg x 6 jam = 600 cc - Peri Operatif Maintenance = Jenis operasi x kgBB x lama operasi 8 (Berat) x 50 kg x 3 jam = 1200 cc Perdarahan = Suchtion + Kassa (kecil dan besar) + ceceran 500 cc + [(7x10) + (3x100)] + 5 = 875 cc EBV = BB x EBV Laki-laki Dewasa 50 x 75 = 3750 cc Perdarahan 10 % = 375 cc 20 % = 750 cc 30 % = 1125 cc 40 % = 1500 cc Perdarahan 875 cc (30 % EBV) Jadi pergantian cairan = 1125 cc

Kristaloid Koloid Darah

1250 cc = 2,5 kolf 500 cc = 1 kolf 350 cc = 1kolf

Jam ke I : 750 cc (M+O) = Kristaloid + Kristaloid Jam ke II: 500 cc (M+O) = Koloid Jam ke III: 850 cc (M+O) = Kristaloid + Darah

4. Monitoring Cek vital sign setiap 15 menit sistole 145 105 119 Diastole 97 68 75 rate 83 72 62

Time 12.35 12.50 13.05

13.20 13.35 13.50 14.05 14.35 14.50 15.00

117 109 150 135 112 126 134

73 82 90 79 78 80 84

68 63 79 75 72 67 71

Bila RR 10 x/mnt berikan O2 2-3 L/mnt Bila nadi 50 x/mnt berikan Sulfas Atropin 0,5 mg IV JikaTD Sistole < 90 mmHg berikan RL 500 cc dalam 30 menit Efedrin 5-10 mg IV Pindah ruangan jika alderate score > 8

5. Pemeriksaan Fisik - Airway Paten, nafas spontan, RR 20 x/mnt, Rh (-), Wh (-) - Somnolen (E2M5V3) Akral hangat, kering, merah, nadi 92 x /mnt, TD 130/75, CRT < 2, S1S2 single regular, murmur (-) - Pupil isokor, reflek cahaya +/+ - Terpasang kateter 16 fr, BAK spontan (+), urin warna kuning (+) - Soefl, BU (+) N - Edema (-)

6. Terapi Pasca Bedah Infus : RL 20 tpm Antibiotika : sesuai TS bedah Inj. Tramadol 1100 mg iv Inj. Ketolorac 2 x 30 mg iv bila nyeri

Bila muntah, kepala dimiringkan, head down dan suction aktif Makan/minum dapat dimulai bila pasien sadar penuh sekitar 6 jam (BU +) mual (-), muntah (-) berikan ondasetron 4mg.

PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anastesi. Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan sehingga dapat mengetahui adanya kelainan diluar kelainan yang akan di operasi, menentukan jenis operasi yang akan di gunakan, melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensasi cordis. Selain itu, dengan mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan pre operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Operasi yang elektif dan anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi medis optimal. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent. History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya

bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosa. Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan fisik dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada history taking, sedangkan history taking membantu memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus diperiksa dengan teliti. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.

Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnomalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak direkomendasikan pada pasien yang sehat dan asimtomatik bila history taking dan pemeriksaan fisik gagal mendeteksi adanya abnormalitas. Namun, karena legitimasi hukum banyak dokter yang tetap memeriksa kadar hematokrit atau hemoglobin, urinalisis, serum elekrolit, tes koagulasi, elektrokardiogram, dan foto polos toraks pada semua pasien.

Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring. Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri. Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari.

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal. Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan memerlukan terapi intensif, dengan limitasi serius pada aktivitas sehari-hari.

Kelas V : Pasien sekarat yang akan meninggal dalam 24 jam, dengan atau tanpa pembedahan. Hal penting lainnya pada kunjungan pre operasi adalah inform consent. Inform consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan resikonya. Tujuan kunjungan pre operasi bukan hanya untuk mengumpulkan informasi yang penting dan inform consent, tetapi juga membantu membentuk hubungan dokter-pasien.

Bahkan pada interview yang dilakukan secara empatis dan menjawab pertanyaan penting serta membiarkan pasien tahu tentang harapan operasi menunjukkan hal tersebut setidaknya dapat membantu mengurangi kecemasan yang efektivitasnya sama dengan regimen obat premedikasi. Manajemen Pre-Operatif Sebelum tindakan Craniotomy, ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk mencegah efek-efek insuflasi CO2 yang tidak diinginkan ke organ-organ sekitarnya, seperti penekanan ke gas ke arah cephalad menekan diafragma, ke kaudal menekan vesika urinaria, ke anterior menekan peritoneum, dan ke posterior menekan vena cava inferior dan aorta abdominalis. Efek penekanan yang dapat dicegah adalah kolaps vena cava inferior yang dapat menyebabkan penurunan venous return dan curah jantung. Untuk mencegahnya, maka pembuluh-pembuluh darah tersebut harus diisi terlebih dahulu dengan infus cairan sehingga pembuluh darah memiliki tahanan (tidak obstruksi karena penekanan). Pada pasien ini diberikan infus RL. Manajemen Intra-Operatif Tindakan craniotomy dibutuhkan anestesi umum (anestesi general) karena tindakan ini memerlukan insuflasi CO2 dan relaksasi otot yang tidak memungkinkan pasien untuk bernapas spontan. Oleh karena itu, untuk menjamin adekuatnya difusi CO2 ke luar tubuh, respiratory rate harus diatur menggunakan mechanical ventilator dengan RR yang cepat (hiperventilasi) dan volume tidal yang tidak terlalu besar. Pemberian obat-obat untuk pasien ini selama operasi adalah sebagai berikut :
-

Propofol (1,52,5 mg/kgBB: 150 mg ) sedasi, menurunkan refleks saluran napas, inhibisi transmisi sinaps melalui efek terhadap reseptor

GABA, pemulihan cepat, menurunkan rasa muntah dan mual, memiliki efek bronkodilatasi.
-

Fentanyl (2-10 mcg/kg: 100 mcg) bekerja pada reseptor (paling efektif untuk menghasilkan analgesia), terdapat efek depresi napas, penurunan denyut jantung, dan aliran darah ke otak.

Atracurium ( 0,5 mg/ kgbb) Torasic (ketorolac tromethamine-30mg) NSAID

Terapi Cairan Perioperatif Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah:

Tabel 2.4 Perkiraan Cairan Maintenance Berdasarkan Berat Badan

Berat Badan 10 kg pertama 10 kg berikutnya Tiap kg di atas 20 kg

Kadar 4 mL/kg/jam + 2 mL/kg/jam + 1 mL/kg/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa. Pada pasien ini, telah diberikan cairan maintenance sebanyak 600cc cairan RL sebelum operasi. Berat badan pasien adalah 50kg dimana kebutuhan cairan maintenance adalah 90cc/jam dan pasien ini telah puasa selama 6 jam sebelum operasi. Jadi defisit cairan pasien ini secara total adalah 540cc. Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler (Morgan). Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis replacement. Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq / L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler danmerupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante

operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang (Morgan, 2006). Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit dan estimated blood volume (EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya ditransfusi hanya apabila

kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu yang tepat untuk transfusi ditentukan oleh kondisi pasien dan prosedur operasi yang dilakukan. Jumlah kehilangan darah yang dibutuhkan untuk menurunkan hematokrit ke 30% dihitung seperti berikut: 1. Estimate Blood Volume Pada orang dewasa, EBV dapat dihitung rata-rata 70 cc/kgBB. Tetapi ada sumber yang menyebutkan bahwa EBV pria dihitung dengan 75 cc/kgBB dan wanita 65 cc/kgBB.
2. Estimate the red blood cell volume (RBCV) pada RBCV pre operasi

3.

Perkiraan RBCV pada heatokrit 30% (RBCV30%), menunjukkan volume darah normal telah dicapai.

4.

Menghitung kehilangan sel darah merah jika hematokrit 30% dengan cara RBCVlost = RBCVpreop RBCV30%.

5.

Kehilangan darah yang terjadi = RBCVlost x 3. Kehilangan cairan tambahan diperhitungkan sesuai dengan jenis operasi apakah ringan,

sedang atau berat (Morgan, 2006). Tabel 2.7 Kebutuhan cairan berdasarkan derajat trauma Derajat Trauma Ringan (herniorrhaphy) Sedang (cholecystectomy) Berat (bowel resection) Kebutuhan cairan tambahan 0-2 ml/kg 2-4 ml/kg 4-8 ml/kg

Pada pasien ini, estimated blood volume (EBV) adalah sebanyak 3750 mL (50kg x 75 mL/kg). Allowable blood loss diperkirakan sebanyak 750 mL (20% dari EBV pasien). Selain itu, pasien ini membutuhkan cairan maintenance sebanyak 90cc/jam. Selama peri operasi, terdapat perdarahan sebanyak 875 cc,

Monitoring Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA, yaitu Standard Basic Anesthetic Monitoring. Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standar ini ditujukan hanya tentang monitoring anestesi dasar, yang merupakan salah satu komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim (1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan (2) penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi perkembangan klinis selanjutnya. Standard I Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi. Standard II

Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan temperature pasien harus dievalusi terus menerus. Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah: Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter Heart rate, nadi, dan kualitasnya Warna membran mukosa, dan capillary refill time Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek palpebra) Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

Pemakaian Obat Anestesi Umum Masukan obat anestesi umum meliputi induksi dan rumatan anestesi. Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi anstesi dapat dilakukan dengan intravena, inhalasi, intramuskular atau rektal. Setelah induksi anestesi maka dilanjutkan dengan rumatan atau pemeliharaan anestesisampai tindakan pembedahan selesai. Untuk persiapan induksi dilakukan dengan penyiapan STATICS: S (Scope) : Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung, laringoscope (dipilih

sesuai usia pasien T (Tubes) : Pipa trachea (ETT) yang dipilih sesuai usia (< 5 tahun tanpa balon dan > 5

tahun dengan balon)

A (Airway)

: Pipa orofaring atau pipa nasofaring. Aalat ini berfungsi menahan lidah pasien

agar tidak jatuh dan menyumbat jalan nafas. T (tape) : Plester fiksasi.

I (Introducer) : Stilet sebagai pemandu agar pipa ETT mudah dimasukkan. C (Connector) : Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi. S (Suction)

Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan propofol. Mekanisme induksi general anestesi dengan propofol melibatkan fasilitasi dari inhibisi neurotransmitter yang dimediasi oleh GABA. Propofol bisa mempotensiasi Nondepolarizing neuromuscular blocking agents (NMBA) yang juga digunakan pada kasus ini (atracurium). Penggunaan propofol bersamaan dengan fentanyl dapat meningkatkan konsentrasi fentanyl. Pada kasus ini analgetik yang digunakan adalah fentanyl. Beberapa klinisi memberikan midazolam (pada kasus ini diberikan untuk premedikasi) dengan jumlah kecil (misal 30g/kg) sebelum induksi dengan propofol, karena mereka percaya bahwa kombinasi tersebut mempunyai efek sinergis (onset lebih cepat dan kebutuhan dosis total menjadi turun). Tabel 2.8 Dosis Propofol Propofol Induction Maintenance infusion Sedation infusion IV IV IV 12.5 mg/kg 50200 g/kg/min 25100 g/kg/min

Tabel 2.9 Dosis Fentanyl

Fentanyl

Intraoperative anesthesia Postoperative analgesia

IV IV

2150 g/kg 0.51.5 g/kg

Pada general anestesi dibutuhkan kadar obat anestesi yang adekuat yang bisa dicapai dengan cepat di otak dan perlu di pertahankan kadarnya selama waktu yang dibutuhkan untuk operasi. Hal ini merupakan konsep yang sama baik pada anestesi yang dicapai dengan anestesi inhalasi, obat intravena, atau keduanya. Pada kasus ini maintenance anestesi diberikan dengan anestesi inhalasi. Obat anestesi inhalasi yang dipakai adalah isoflurane. Isoflurane tidak memiliki kontraindikasi khusus. Isofluran juga dapat mempotensiasi NMBA (pada pasien ini dipakai atracurium). Pada kasus ini jenis anestesi yang digunakan adalah general anestesi dengan intubasi. Sebelum dilakukan intubasi diperlukan muscle relaxant sehingga proses intubasi lebih mudah dilakukan. Tidak ada nondepolarizing muscle relaxants yang sekarang tersedia menyamai onset yang cepat dan durasi pendek dari succinylcholine; tetapi meskipun begitu onset dari nondepolarizing relaxants bisa dipercepat dengan menggunakan baik dosis yang lebih besar atau dengan priming dosis. ED95 adalah dosis efektif obat pada 95% individu. Satu kali datau dua kali lipat ED95 biasanya digunakan untuk intubasi. Meskipun dosis untuk intubasi yang lebih besar dapat mempercepat onset, dosis ini dapat mengeksaserbasi efek samping dan memperlama durasi. Prinsip umumnya adalah semakin besar potensi nondepolarizing muscle relaxant semakin lama kecepatan onsetnya. Pengenalan agen short- dan intermediate-acting telah menghasilkan penggunaan priming dosis yang lebih besar. Secara teoritis, pemberian 1015% dosis intubasi 5 menit sebelum induksi akan menempati cukup reseptor sehingga paralisis akan cepat mengikuti

ketika keseimbangan relaxant sudah diberikan. Penggunaan priming dosis bisa menghasilkan kondisi yang sesuai untuk intubasi segera setelah 60 detik bila mneggunakan rocuronium dan 90 detik menggunakan agen intermediate-acting nondepolarizers seperti atracurium. Setelah intubasi, paraslisis otot mungkin perlu diteruskan untuk memfasilitasi operasi misal operasi abdominal atau untuk manajemen anestesi atau untuk kebutuhan mengontrol ventilasi. Dosis maintenance bisa dicapai dengan intermittent bolus atau continuous infusion, diberikan dengan monitor menggunakn nerve stimulator atau tanda klinis (usaha atau gerakan nafas spontan). Pada kasus ini atracurium diulang setelah 45 menit pemberian atracurium yang pertama karena operasi masih dalam proses, sehigga intubasi masih tetap dipertahankan (supaya ventilasi terkontrol). Dru g ED95 Adductor Pollicis During N2/O2 Anesthesia (mg/kg) for Intubat Onset ion Dose (mg/kg ) of Action for Duratio n Maintena Maintena nce

of nce

Intubati Dosing by Dosing by ng Dose Boluses (mg/kg) ) Infusion ( g/kg/min

Intubat (min) ing Dose (min)

Atracur ium

0.2

0.5

2.5 3.0

30 45

0.1

512

Recovery dari General Anestesi Pemeriksaan tekanan darah, nadi, frekuensi nafas, patensi jalan nafas, dan oksigenasi harus diperiksa tiap 5 menit selama 15 menit atau sampai pasien stabil. Pulse oximetry harus dimonitor terus menrus pada pasien yang masih berada dalam proses recovery dari general anestesi, paling tidak sampai pasien mulai sadar. Fungsi neuromuskuler juga harus dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan. Semua pasien yang masih recovery dari general anestesi harus mendapatkan oksigen 30-40% karena bisa terjadi transient hypovemia pada pasien yang sehat sekalipun. Resiko hipoksemia meningkat pada pasien-pasien yang menjalani operasi di daerah upper abdomninal adau toraks, sehingga harus terus dimonitor dengan pulse oxymeter dan mungkin memerlukan oksigenasi dalam waktu yang lebih lama. Keputusan rasional untuk meneruskan suplementasi oksigen ketika mengeluarkan pasien dari Post Anesthesia Care Unit (PACU) bisa dibuat berdasarkan SpO2 dengan udara ruangan. Pasien dimotivasi untuk nafas dalam dan batuk (Morgan). Kriteria Discharge dari PACU Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan criteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge ke Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan biasa.

Tabel 2.10 Aldrete Recovery Score

Postanesthetic Aldrete Recovery Score Original Criteria Modified Criteria Point Value Color Pink Oxygenation SpO2 > 92% on room air 2

Pale or dusky

SpO2 > 90% on oxygen

Cyanotic

SpO2 < 90% on oxygen

Respiration Can breathe deeply and cough Shallow exchange Apnea or obstruction Circulation Blood pressure within 20% of normal Blood pressure within 20 50% of normal Blood pressure 20 mm Hg of normal Blood pressure 2050 mm Hg of normal 1 2 but adequate Breathes deeply and 2

coughs freely Dyspneic, shallow or 1

limited breathing Apnea 0

Blood pressure deviating > 50% from normal Consciousness Awake, alert, and oriented Arousable but readily drifts back to sleep No response Activity Moves all extremities Moves two extremities No movement

Blood pressure more than 50 mm Hg of normal

Fully awake Arousable on calling

2 1

Not responsive

Same Same Same

2 1 0

Based on Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg 1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin Anesth 1995;7:89. Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9.

Kontrol nyeri postoperative, mual dan muntah, dan mempertahankan normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem scoring untuk discharge digunakan secara luas. Kebanyakan criteria yang dinilai adalah SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik. Kebanykan pasien memenuhi criteria discharge dalam waktu 60 menit di PACU. Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan regional anestesi seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan motoris.

You might also like