You are on page 1of 8

ANAMNESIS IDENTITAS Nama : Bp.

W Umur : 36 Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Losari, Sukoharjo, Ngaglik Pekerjaan : Pensiunan TNI KELUHAN UTAMA dengan keluhan bintik-bintik merah di perut dan punggung RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Bapak W berusia 36 tahun datang pada tanggal 2 Januari 2013 dengan keluhan bintik-bintik merah di perut dan punggung disertai gatal dan nyeri sejak 1HSMRS. Terdapat juga gelembung-gelembung yang kemudian sebagian pecah. Gatal dan nyeri dirasakan sepanjang hari. Os pernah mengolesi dengan lidah buaya. Sehari sebelumnya os mengalami demam ringan. Os belum pernah memeriksakan ke dokter. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU DM (+), Riwayat varicella (+), Penyakit serupa (-), Riwayat asthma dan alergi (-) RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA Penyakit serupa (-), Riwayat asthma dan alergi (-) PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Baik Vital sign: TD : 110/60 Nadi : 80 x/menit

Kesadaran : Compos mentis

Respirasi : 16 x/menit Suhu : 37.0 derajat celcius

Status Dermatologis: Pada daerah perut dan punggung terdapat bula dan vesikel ukuran bervariasi, multiple tersebar mengelompok, beberapa pecah menjadi erosi dan krusta kekuningan

PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Kadar Glukosa darah 2-1-2013 a. Glukosa Puasa: 327mg/dl b. Glukosa 2 jam PP: 663 md/dl 2. Pemeriksaan Darah 4-1-2013 Hb:14.6 g/dl AL: 7.0 ribu/mm3 AT: 368 ribu/mm3 (150-450) Hct: 40.7 % AE: 4.86 juta/L (3.7-6.5) 3. Pemeriksaan Kimia klinik 4-1-2013: GOT/ASAT GPT/ALAT Ureum Kreatinin Kolesterol total Trigliserida Glukosa Sewaktu : 21.0 u/l : 38.2u/l : 17.6 mg/dl : 0.63 mg/dl : 121 mg/dl : 110 mg/dl : 443 mg/dl

4. Pemeriksaan Seromarker Hepatitis 4-1-2013: HBsAG : (-) 5. Pemeriksaan foto thorax: a. Tampak corakan bronchovascular normal b. Kedua diafragma licin c. Kedua sinus costofrenicus lancip d. CTR<0.5 e. Sistema tulang tervisualisasi baik Kesan: Pulmo tidak tampak kelainan, besar cor normal

DIAGNOSIS Diagnosis: Herpes Zoster pada Diabetes Mellitus TERAPI Terapi: Rawat inap Asam Mefenamat 500mg/3x per hari Acyclovir 2x400mg/5x perhari Kompres betadine Fusycom + Acyclovir 2dd ue Bulektomi Terapi dari TS UPD

PEMBAHASAN PRESENTASI KLINIS HZ dapat terjadi pada dermatom manapun, namun paling sering pada dermatom N. thorakalis-lumbar (T3-L2) dan pada distribusi area nervus trigeminal (V1-V3). Tempat-tempat ini tergantung pada usia dan jens kelamin. Pada mayoritas kasus terdapat gejala prodromal untuk 1-5 hari, kualitas dan intensitas sangat bervariasi. Nyeri pada area distribusi dari nervus spinal dan cerebral yang terkena, gatal, paraesthesia (termasuk rasa panas) atau anaesthesia/hyperesthesia dapat terhadi selain gejala systemic. Papul yang banyak pada dermatom yang terkena, berubah menjadi blister pada waktu 12-24 jam dan kemudian berubah menjadi pustule. Sering juga disertai dengan nyeri hebat. Perdarahan pada lesi dan necrosis dapat terjadi. Pada pasien immunocompetent, blister dapat mongering setelah 7-10 hari setelah pembentukan krusta, kemudian rontok setelah 2-4 minggu. Bentuk yang lebih cepat atau ringan tanpa progresi sampai blister dapat terjadi. Exanthema dapat tidak terjadi (zoster sine herpete). Seringkali terjadi penyebaran ke dermatom dekat, sedangkan multisegmental HZ yang berjauhan sangat jarang. HZ dengan rash vesicular pada dinding luar telinga, canalis auditiva, atau pada setengah lateral palatum durum dan lidah dapat disertai paresis fascial dan hypoacusia (Ramsay-Hunt Syndrome) HERPES ZOSTER DAN PENYAKIT LAIN Pada study case control yang dilaksanakan di Israel, ternyata DM meningkatkan risiko HZ. Hal ini mungkin dikarenakan terdapat penurunan immunitas cell-mediated, yang meningkatkan risiko penyakit menular, termasuk HZ (Heymann AD, et al, 2008). Pasien dengan SLE, RA, DM, hypertension, renal failure, and disk hernia,diabetes mellitus, gagal ginjal, dan keganasan memiliki risiko 1.8-8.4 kali lebih tinggi untuk herpes zoster dibandingan pasien dengan penyakit lain (Hata A, et al, 2011) Infeksi primer disebabkan oleh virus varicella zoster birus (VZV) yang bermanifestasi sebagai varicella/chickenpox, kemudian infeksi laten virus menyebabkan herpes zoster/shingles. Pada anak immunocompetent, varicella biasanya tidak serius, namun dapat menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi pada dewasa dan pasien immunocompromized. Herpes zoster dapat menyebabkan nyeri (postherpetic neuralgia) yang sulit ditangani, terutama pada pasien tua. Outcome dari varicella dan herpes zoster, terutama pada pasien immunocompromised, secara dramatis meningkat dengan pengembangan antiviral yang potent melawan VZV. DIAGNOSIS Klinisi mendiagnosis HZ melalui tampakan khas dari lesi kulit. Pada anak terdapat rash vesicular dengan tidak ada riwayat chickenpox mendukung diagnosis, terutama ketika ada ekspos VZV dalam 2 minggu. Pada pasien immunocompromised mungkin dibutuhkan konfirmasi melalui pemeriksaan lab. UKK pada herpes zoster sangat jelas, namun diagnosis dapat sulit bila terdapat nyeri neuralgia sebelum terdapat lesi kulit. Kultur untuk VZV dilakukan dengan inokulasi cairan vesikel dengan sel paru/ginjal fetus bayi. Tidak seperti HZV, VZV labil dan segala usaha harus dilakukan untuk mengurangi waktu yang dibutuhkan

dalam transport dan penyimpanan. Idealnya cairan diaspirasi dari vesicle melalui tuberculin syringe mengandung 0.2 ml viral transport medium, langsung diinokulasi ke jaringan saat bedside/langsung ke lab, kemudian diinkubasi pada suhu 36 pada 5% CO2. Bila tidak terdapat vesikel atau pustule untuk aspirasi, klinisi sebaiknya mengambil debris/krusta dari lesi paling baru, apus dasar ulkus, dan langsung tempatkan ke medium transport. Terdapat cytopathy biasanya pada kultur hari ke 3-7, namun kultur perlu dilakukan sampai hari ke 14 sebelum dikatakan negatif. Proses kultur dapat dipercepat dengan sentrifugasi kultur di tabung reaksi. Identifikasi virus dikonfirmasi dengan pengecatan monolayer dengan antibody monoclonal spesifik VZV. Kultur VZV sangat spesifik, namun lambat, tidak sensitive, dan mahal. Karena VZV tidak menghilang dari tubuh, terdapatnya VZV virion, antigen, asam nukleat pada cairan tubuh atau jaringan selain ganglia sensoris adalah diagnosis dari infeksi aktif. Multinucleated giant cell atau birion herpes virus pada pengecatan hystopathologis dengan mikroskop electron tidak dapat membedakan antara VZV dan HSV. Pengecatan immunohistokimiawi dapat menberikan diagnosis yang lebih spesifik. Pengecatan direct fluorescent antigen (DFA) menggunakan antibody monoclonal untuk mendeteksi VZV pada epitel glycoprotein dapat memberikan diagnosis cepat bila presentasi klinis atypic. Untuk melakukan DFA assay, sel epitel dikeruk dari dasar vesikel atau ulkus dengan scalpel, kemudian diapus pada kaca slide, difiksasi dengan aseton dingin, kemudian dicat dengan antibody monoclonal terkonjugasi fluorescent dan kemudian diperiksa dengan mikroskop fluorescent. Dengan antibody monoclonal spesifik virus, HZV dapat dibedakan dengan VZV, sehingga pengecatan DFA lebih baik dibandingkan Tzanck test. DFA juga lebih sensitive dari kultur virus, terutama pada fase akhir VZV ketika isolasi virus menjadi semakin sulit. Pada populasi dari 92 pasien dewasa terinfeksi HIV dengan suspek herpes zoster, DFA dan kultur virus positif pada 85 dari 92 (92%) dan 60 dari 92 (65%) (Dahl et al, 1997) Dengan polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi VZV pada asam nukleat adalah salah satu metode diagnostic penting. (Stranska et al., 2004). PCR menyelesaikan kesulitan dalam kultur VZV labil dan dapat mendeteksi DNA virus pada CSD pada pasien dengan VZV encephalitis dan cairan ocular pada pasien VZV retinitis. Mendiagnosis infeksi VZV pada CNS sangat sulit, terutama ketika tidak ada lesi kutan. Pemeriksaan CSF dapat mendeteksi lymphocytosis, protein yang normal atau meningkat, dan glukosa yang normal. PCR untuk VZV DNA pada CSF seharusnya positif pada 75% kasus (De La Blanchardiere et al., 2000). Pemeriksaan serologis dapat digunakan untuk mendeteksi kerentanan virus VZV dan melihat peningkatan titer antibody setelah varicella. IgG serum dapat mendeteksi beberapa hari setelah onset varicella, dan puncaknya 2-3 minggu, sehingga pemeriksaan serologis rutin digunakan untuk diagnosis retrospective. Infeksi akut dapat dikonfirmasi dengan titer IgM serum spesifik VZV, namun mendeteksi antigen biasanya lebih cepat dan lebih dapat dipercaya. Pasien dengan herpes zoster adalah VZV seropositive pada saat onset penyakit, namun sebagian besar pasien justru meningkat titer antibodinya pada fase convalescent. Berbagai metode dapat digunakan untuk mendeteksi antibody VZV, namun banyak laboratorium mengadopsi enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) atau latex agglutination (LA) assay untuk serodiagnosis VZV. ELISA dapat mendeteksi respon IgG dan IgM, namun tidak cukup sensitive untuk mendeteksi kekebalan oleh vaksin. LA assay cepat, mudah, murah, dan sensitive, namun tidak bisa dilakukan secara automatis atau mendeteksi IgM.

TERAPI Efikasi dari terapi antiviral pada HZ telah didemonstrasikan melalui banyak clinical trial. Acyclovir (800 mg ,5 kali per hari untuk 710 hari), famciclovir (500 mg 3 kali perhari untuk 7 hari, dosis yang dipakai di US; 250 mg 3 kali perhari dipakai di negara lain), and valacyclovir (1000 mg 3 kali per hari untuk 7 hari) telah disetujui oleh US Food and Drug Administration sebagai terapi HZ. Acyclovir, analog dari guanosine, adalah inhibitor selektif replikasi VZV dan HZV. Acyclovir triphosphate menghambat sintesis DNA virus dengan berkompetisi dengan deoxyguanosine triphophate sebagi substrat DNA Polymerase virus. Setelah administrasi, acyclovir diserap secara lambat dan incomplete, 15-30%. Setelah administrasi multiple dari 200mg atau 800mg acyclovir, konsentrasi puncak plasma naik menjadi 0.6 dan 1.6 g/ml. 85% dosis acyclovir dieksresi utuh melalui urin via filtrasi glomerular dan sekresi tubular. Half life plasma acyclovir adalah 2-3 jam pada dewasa dan 3-4 jam pada anak dengan fungsi ginjal normal, namun diperpanjang menjadi 20 jam pada pasien anuria. Valacyclovir adalah prodrug acyclovir yang mengatasi masalah bioavailability yang rendah dari acyclovir. Dengan prodrug ini, bioavailabilitas acyclovir naik menjadi 54% sehingga kadar puncak plasma yang dicapai 3-5 kali lebih tinggi dibandingkan acyclovir. Acyclovir dan valacyclovir dieksresi melalui ginjal sehingga modifikasi dibutuhkan untuk pasien gagal ginjal. Acyclovir aman dan dapat ditoleransi dengan baik. Inflamasi lokal dan phlebitis dapat terjadi karena ekstravasasi acyclovir intravenous. Disfungsi renal karena akumulasi kristal acyclovir sangat jarang dan biasanya reversible. 4 clinical trials menunjukkan bahwa dosis yang disarankan untuk acyclovir oral adalah 800mg 5 kali per hari untuk 7-10 hari, dimulai dari 72 jam onset rash. Replikasi VZV juga dihambat dengan brivudin, agen antiviral yang telah dibandingkan dengan acyclovir dan famcyclovir. Brivudin 125mg satu kali sehari selama 7 hari telah disetujui sebagai terapi HZ pada beberapa negara. Banyak meta-analysis dan RCT menunjukkan bahwa terapi antiviral HZ mengurangi durasi dari nyeri prolonged. Antiviral terapi bukan hanya mengurangi waktu resolusi fase akut, tetapi juga mengurangi kejadian nyeri kronis pada HZ. Acyclovir, famcyclovir dan valacyclovir aman dan dapat ditoleransi dengan baik, sedangkan brivudin tidak dapat diberikan pada pasien yang menerima 5-fluorouracil atau 5 fluoropyrimidine Acyclovir, famciclovir, and valacyclovir are well tolerated and safe [1]. However, brivudin karena metabolitnya menghambat katabolisme derivate pirimidin. Interaksi obat ini parah dan potensial fatal, menyebabkan supresi sum-sum tulang. Efek samping utama dari antiviral adalah mual, nyeri kepala, yang terjadi pada hanya 10-20% pasien. Pada perbandingan dengan outcome nyeri dan lesi kulit, tidak ada perbedaan yang ditemukan pada famciclovir dan valacyclovir, juga brivudin dan famciclovir. Beberapa studi menunjukkan 3 agen ini sedikit lebih baik dari acyclovir untuk mengurangi likelihood dari prolonged pain. Dalam memilih agen antiviral, faktor lain juga dapat dinilai. Acyclovir lebih murah dibandingkan antiviral lain yang masih dilindungi paten. Namun dosis brivudin hanya sekali sehari, sedangkan famciclovir dan valacyclovir 3 kali sehari, sehingga lebih nyaman bagi pasien.

Terapi antiviral topical tidak efektif pada pasien HZ, dan tidak disarankan. Antiviral systemic direkomendasikan sebagai first line treatment untuk semua pasien immunocompetent yang memenuhi kriteria ini 1. 2. 3. 4. Usia 50tahun Terdapat gejala nyeri sedang sampai berat Rash sedang sampai berat Keterlibatan non truncal

Pada pasien dengan kemungkinan komplikasi kecil pada HZ, misal pada usia lebih muda dengan nyeri ringan dan keterlibatan truncal, keuntungan dari terapi ini belum diketahui, namun penting karena masih ada kemungkinan terjadi post herpetic neuralgia (PHN). Acyclovir, Famaciclovir, dan valacyclovir aman, sehingga pemberian antiviral ini direkomendasikan baik pada pasien dengan risiko terbentuknya PHN maupun dengan kemungkinan risiko komplikasi rendah. Pada praktek klinis, brivudin, famciclovir, dan valacyclovir diharapkan memiliki efektifitas lebih tinggi dari acyclovir karena efikasinya lebih tinggi, compliance pasien yang lebih tinggi karena kenyamanan pasien lebih, dan kadar di darah yang lebih tinggi.

Pada pasien dengan vesikel yang terbentuk, atau memiliki komplikasi cutaneous, motor, neurologic, atau ocular setelah 7 hari antiviral, diperlukan monitoring yang baik. Keuntungan antiviral setelah 7 hari pemberian belum diketahui, namun mengingat efek samping dari antiviral sedikit.

Bila rash tidak sembuh pada pasien immunocompetent, perlu dilakukan evaluasi oleh spesialis infectioud diseases. Resistensi VZV terhadap acyclovir telah dilaporkan, namun pada pasien immunocompromised. REFERENSI Dworkin RH et al., Recommendations for the management of herpes zoster. Clin Infect Dis. 2007 Jan 1;44 Suppl 1:S1-26. Hata A et al., Risk of Herpes zoster in patients with underlying diseases: a retrospective hospital-based cohort study Infection. 2011 December; 39(6): 537544. Heymann AD et al., Diabetes as a risk factor for herpes zoster infection: results of a population-based study in Israel. Infection. 2008 Jun;36(3):226-30. doi: 10.1007/s15010-007-6347-x. Epub 2008 May 3. Kempf W, et al. Swiss recommendations for the management of varicella zoster virus infections. Swiss Med Wkly. 2007 May 5;137(17-18):239-51.

You might also like