You are on page 1of 14

Jumat, Februari 05, 2010 | by Maya Arnis (maya.blogspot.com) I.

Pendahuluan : Dalam tugas kerja sehari-hari khususnya dalam bidang kesehatan, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara administratip maupun tehnisi operasional pelayanan kesehatan memerlukan aturan / pedoman / petunjuk yang berlaku, sehingga apa yang dilakukan atau hasilnya dapat dipertanggung-jawabkan baik secara pribadi, kelompok/Tim profesi maupun secara instansi. Aturan tersebut secara umum ada 2 macam ialah sebagai hukum kesehatan dan Etika kesehatan, yang dalam praktek sukar dipisahkan dari tugas profesi kesehatan. Hukum kesehatan mempunyai berbagai sumber hukum dan Etika kesehatan juga banyak variasi / macam yang tidak dapat keluar dari Etika umum atau etika pada umumnya. Dalam praktek menerapkan hukum bila melanggar dapat terkena sanksi hukum, sedang pelanggaran etika sanksinya moral, dimana sanksi moral hukum dapat tergabung menjadi sanksi terpadu. Sebagai contoh sanksi terpadu ialah seseorang kena sanksi pidana, dapat terkena sanksi perdata ditambah sanksi administrative terhadap pelanggaran perilaku / perbuatan. Jadi cara pekerja kesehatan pada prinsipnya dalalam tugas berdasarkan hukum dan Etika kesehatan yang berlaku serta dapat orientasi dengan Hukum yang terkait. II. Data inventarisasi hukum kesehatan. etika kesehatan dan hukum lain yang terkait. 1. Hukum kesehatan : a. UU Kesehatan no. 23 th 1992 b. UU No. 9 th 1960 pokok tentang tenaga kesehatan c. UU No 32 th 1996 tentang tenaga kesehatan d. Informed Consent, Permenkes RI No 585/Menkes/PER/IX/1989 e. Rekam Medis Permenkes RI No 749/Menkes/PER/VI/1989 f. PP 10 th 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran g. UU No 8 th 1999 tentang perlindungan konsumen h. UU Narkotika no 22 Th 1997 dan Psykitropika no 5 th 1997 i. UU Praktek kedokteran (proses) j. UU mengenai kefarmasian, keperawatan dan kebidanan k. Dll 2. Etika kesehatan : a. Lafal sumpah dokter, dokter gigi, Apoteker b. Lafal sumpah tenaga keperawatan, kebidanan dan teknisi kesehatan c. Kode Etik Kedokteran, kedokteran gigi dan Apoteker d. Kode etik keperawatan, kebidanan dan teknisi kesehatan e. Kode etik Rumah Sakit 3. Hukum dan Etik yang terkait a. Hukum Pidana, Perdata b. Hukum Administrasi (Tata Usaha Negara) c. Hukum Agama, Militer d. Etika Umum dan bisnis e. Etika tenaga profesi lain (Hukum, Wartawan) f. UU No 39 th 1999 (HAM)

Adanya hukum dan Etika tsb diatas, ada berbagai Badan yang melaksanakan pengawasan, mengontrol dan memberi sanksi. Badan-badan peradilan tersebut antara lain: 1. Peradilan Pidana Perdata 2. Peradilan Agama, Militer 3. Peradilan Administrasi / Tata Usaha Negara 4. Peradilan Hak Asasi Manusia 5. Peradilan Profesi Kesehatan a. Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan b. Badan Perlindungan Kesehatan Nasional c. Majelis Pembinaan Pengawasan Etika Kesehatan Medis d. Majelis Etika Profesi dan Rumah Sakit Dan secara administrasi, pada prinsipnya tenaga dalam bidang kesehatan mendapat perlindungan hukum, antara lain tersebut dalam : 1. Ps 53 UU No 23 th 1992 2. Ps 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP 3. Badan Pembela Tenaga Profesi Kesehatan III. Aturan operasional tenaga kesehatan dalam praktek di Rumah Sakit / Unit Pelayanan Kesehatan Pada prinsipnya, semua jajaran tenaga kesehatan didukung tenaga non kesehatan dalam prakteknya memperhatikan beragam aturan sbb : 1. Status tenaga kesehatan dalam profil standart 2. Menerapkan standart pelayanan medis sesuai dengan disiplin ilmu. 3. Operasional standart pelayanan medis sesuai dengan indikasi, sistematika ditindaklanjuti dengan protap atau SOP 4. Dalam semua tindakan medis sangat memperhatikan saling memahami dan menyetujui serta menghormati akan hak pasien yang tertuang dalam Informed Consent (IC) 5. Rekaman tindakan medis yang dibantu / bersama / oleh dengan tenaga kesehatan dan non kesehatan yang lain, sebaiknya cukup lengkap dan benar. Rekaman kesehatan terpaku (RM, asupan keperawatan, kefarmasian, gizi, Lab dan Administrasi ) 6. Penjaringan/selektif mengenai kerahasiaan pelayanan medis, diagnosa dan prognosa atau efek samping harus diwaspadai, perlu dicermati. 7. Indikasi penggunaan sarana medis khususnya alat canggih betul selektif dan tepat guna. 8. Administrasi standart termasuk tarif normative saja 9. Semua tindakan medis dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah medis ada transparasi. 10. Adanya kemungkinan aspek hukum, rambu-rambu antisipasi atau kenetralan perlu mendapat kewaspadaan. Semua tindakan atau perilaku tewrsebut untuk suatu upaya pengamanan timbal balik antara tenaga kesehatan dan pasien/keluarga dan berhasil. IV. Bagaimana proses tanggung jawab medis, bila ada atau terjadi sengketa dalam pelayanan medis ? Dalam pelayanan medis, khususnya di Rumah Sakit / Unit Pelayanan Kesehatan pelaksanaannya secara terpadu, dan dalam tindakan atau perilaku dapat timbul berbagai hal dimana pihak pasien/keluarganya tak berkenan berakibat sengketa. Sengketa tersebut secara intern atau dapat terlibat pihak ketiga. Diharapkan bila ada rasa

tidak berkenan lebih cepat ditanggapi, jangan sampai ke pihak ketiga atau muncul di mass media. Penyelesaiannya secara bertahap dan berkomunikasi transparan dan sehat ialah : 1. Antara pasien/keluarga dengan pihak petugas Rumah Sakit atau 2. Antara pasien / kel. pasien dengan tim medis yang menangani atau 3. Antara pasien/keluarga dan panitia rumah sakit (Panitia Etik, Panitia Etik Medis, Hukum) atau 4. Antara pasien / keluarga dengan pihak Rumah Sakit yang lebih luas (Direktur, Wakil Direktur Yan Med, Komite Medis, Kepala Bidang Yan Med dan Panitia yang lain serta Tim Medis Pelaksana) 5. Lebih luas lagi dengan Kadinkes dan MP2EPM bersama Tim medis termasuk Pengurus Ikatan Profesi Tenaga Kesehatan. Hal tersebut merupakan penyelesaian intern (Peradilan Profesi Kesehatan) tanpa melibatkan pihak ketiga. Biasanya kalau sudah dengan pihak ketiga amat sulit, lalu dapat terbawa ke Peradilan Umum., Perdata berlanjut ke Peradilan Pidana dan dapat pula ke Peradilan Administrasi, Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

MACAM DAN JENIS PUTUSAN PENGADILAN.(WAHYU KUNCORO,2010)


ADVOKAT.BLOGSPOT.COM

Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 macam yaitu putusan, penetapan, dan akta perdamaian : (1) Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). (2) Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair), Sedangkan (3) Akta perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan. Dari segi fungsinya, putusan Pengadilan dalam mengakhiri perkara adalah sebagai berikut : 1. Putusan Akhir - adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaan - Putusan yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan, tetapi telah mengakhiri pemeriksaan yaitu : a. putusan gugur b. putusan verstek yang tidak diajukan verzet

c. putusan tidak menerima d. putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang memeriksa - Semua putusan akhir dapat dimintakan akhir, kecuali bila undang-undang menentukan lain 2. Putusan Sela - adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan - putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan - putusan sela dibuat seperti putusan biasa, tetapi tidak dibuat secara terpisah, melainkan ditulis dalam berita acara persidangan saja - Putusan sela harus diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum serta ditanda tangani oleh majelis hakim dan panitera yang turt bersidang - Putusan sela selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak berdiri sendiri dan akhirnya dipertimbangkan pula pada putusan akhir - Hakim tidak terikat pada putusan sela, bahkan hakim dapat merubahnya sesuai dengan keyakinannya - Putusan sela tidak dapat dimintakan banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir. - Para pihak dapat meminta supaya kepadanya diberi salinan yang sh dari putusan itu dengan biaya sendiri Dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, maka putusan Pengadilan dibagi beberapa jenis : 1. Putusan gugur - adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil sedangkan tergugat hadir dan mohon putusan - putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahapan pembacaan gugatan/permohonan - putusan gugur dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat : a. penggugat/pemohon telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu b. penggugat/pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah c. Tergugat/termohon hadir dalam sidang d. Tergugat/termohon mohon keputusan - dalam hal penggugat/pemohon lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus gugur - dalam putusan gugur, penggugat/pemohon dihukum membayar biaya perkara - tahapan putusan ini dapat dimintakan banding atau diajukan perkara baru lagi 2. Putusan Verstek - adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang penggugat hadir dan mohon putusan - Verstek artinya tergugat tidak hadir

- Putusan verstek dapat dijatuhkan dalam sidang pertama atau sesudahnya, sesudah tahapan pembacaan gugatan sebelum tahapan jawaban tergugat, sepanjang tergugat/para tergugat semuanya belum hadir dalam sidang padahal telah dipanggil dengan resmi dan patut - Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila memenuhi syarat : a. Tergugat telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu b. Tergugat ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah c. Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan d. Penggugat hadir dalam sidang e. Penggugat mohon keputusan - dalam hal tergugat lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus verstek. - Putusan verstek hanya bernilai secara formil surat gugatan dan belummenilai secara materiil kebenaran dalil-dalil tergugat - Apabila gugatan itu beralasam dan tidak melawan hak maka putusan verstek berupa mengabulkan gugatan penggugat, sedang mengenai dalil-dalil gugat, oleh karena dibantah maka harus dianggap benar dan tidak perlu dibuktikan kecuali dalam perkara perceraian - Apabila gugatan itu tidak beralasan dan atau melawan hak maka putusan verstek dapat berupa tidak menerima gugatan penggugat dengan verstek - Terhadap putusan verstek ini maka tergugat dapat melakukan perlawanan (verzet) - Tergugat tidak boleh mengajukan banding sebelum ia menggunakan hak verzetnya lebih dahulu, kecuali jika penggugat yang banding - Terhadap putusan verstek maka penggugat dapat mengajukan banding - Apabila penggugat mengajukan banding, maka tergugat tidak boleh mengajukan verzet, melainkan ia berhak pula mengajukan banding - Khusus dalam perkara perceraian, maka hakim wajib membuktikan dulu kebenaran dalildalil tergugat dengan alat bukti yang cukup sebelum menjatuhkan putusan verstek - Apabila tergugat mengajukan verzet, maka putusan verstek menjadi mentah dan pemeriksaan dilanjutkan pada tahap selanjutnya - Perlawanan (verzet berkedudukan sebagai jawaban tergugat) - Apabila perlawanan ini diterima dan dibenarkan oleh hakim berdasarkan hasil pemeriksaan/pembuktian dalam sidang, maka hakim akan membatalkan putusan verstek dan menolak gugatan penggugat - Tetapi bila perlawanan itu tidak diterima oleh hakim, maka dalam putusan akhir akan menguatkan verstek - Terhadap putusan akhir ini dapat dimintakan banding - Putusan verstek yang tidak diajukan verzet dan tidak pula dimintakan banding, dengan sendirinya menjadi putusan akhir yang telah mempero;eh kekuatan hukum tetap 3. Putusan kontradiktoir - adalah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu atau para pihak - dalam pemeriksaan/putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam sidang - terhadap putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding Dilihat dari isinya terhadap gugatan/perkara, putusan hakim dibagi sebagai berikut:

1. Putusan tidak menerima : Putusan yang menyatakan bahwa hakim tidak menerima gugatan penggugat/permohonan pemohon atau dengan kata lain gugatan penggugat/pemohonan pemohon tidak diterima karena gugatan/permohonan tidak memenuhi syarat hukum baik secara formail maupun materiil - Dalam hal terjadi eksepsi yang dibenarkan oleh hakim, maka hakim selalu menjatuhkan putusan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima atau tidak menerima gugatan penggugat - Meskipun tidak ada eksepsi, maka hakim karena jabatannya dapat memutuskan gugatan penggugat tidak diterima jika ternyata tidak memenuhi syarat hukum tersebut, atau terdapat hal-hal yang dijadikan alasan eksepsi - Putusan tidak menerima dapat dijatuhkan setelah tahap jawaban, kecuali dalam hal verstekyang gugatannya ternyata tidak beralasan dan atau melawan hak sehingga dapat dijatuhkan sebelum tahap jawaban - Putusan tidak menerima belum menilai pokok perkara (dalil gugat) melainkan baru menilai syarat-syarat gugatan saja. Apabila syarat gugat tidak terpenuhi maka gugatan pokok (dalil gugat) tidak dapat diperiksa. - Putusan ini berlaku sebagai putusan akhir - Terhadap putusan ini, tergugat dapat mengajukan banding atau mengajukan perkara baru. Demikian pula pihak tergugat - Putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang mengadili suatu perkara merupakan suatu putusan akhir 2. Putusan menolak gugatan penggugat - yaitu putusan akhir yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan dimana ternyata dalil-dalil gugat tidak terbukti - Dalam memeriksa pokok gugatan (dalil gugat) maka hakim harus terlebih dahulu memeriksa apakah syarat-syarat gugat telah terpenuhi, agar pokok gugatan dapat diperiksa dan diadili 3. Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya - Putusan ini merupakan putusan akhir - Dalam kasus ini, dalil gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak terbukti atau tidak memenuhi syarat sehingga : Dalil gugat yang terbukti maka tuntutannya dikabulkan Dalil gugat yang tidak terbukti maka tuntutannya ditolak Dalil gugat yang tidak memenuhi syarat maka diputus dengan tidak diterima 4. Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya - putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat telah terpenuhi dan seluruh dalil-dalil tergugat yang mendukung petitum ternyata terbukti - Untuk mengabulkan suatu petitum harus didukung dalil gugat. Satu petitum mungkin didukung oleh beberapa dalil gugat. Apabila diantara dalil-dalil gugat itu ada sudah ada satu dalil gugat yang dapat dibuktikan maka telah cukup untuk dibuktikan, meskipun mungkin

dalil-dalil gugat yang lain tidak terbukti - Prinsipnya, setiap petitum harus didukung oleh dalil gugat Dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan, maka putusan dibagi sebagai berikut : 1. Putusan Diklatoir - yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai keadaan yang resmi menurut hukum - semua perkara voluntair diselesaikan dengan putusan diklatoir dalam bentuk penetapan atau besciking - putusan diklatoir biasanya berbunyi menyatakan - putusan diklatoir tidak memerlukan eksekusi - putusan diklatoir tidak merubah atau menciptakan suatu hukum baru, melainkan hanya memberikan kepastian hukum semata terhadap keadaan yang telah ada 2. Putusan Konstitutif - Yaitu suatu pitusan yang menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. - Putusan konstitutif selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau hubungan keperdataan satu sama lain - Putusan konstitutif tidak memerlukan eksekusi - Putusan konstitutif diterangkan dalam bentuk putusan - Putusan konstitutif biasanya berbunyi menetapkan atau memakai kalimat lain bersifat aktif dan bertalian langsug dengan pokok perkara, misalnya memutuskan perkawinan, dan sebagainya - Keadaan hukum baru tersebut dimulai sejak putusan memperoleh kekuatan huum tetap 3. Putusan Kondemnatoir - Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan, untuk memenuhi prestasi - Putusan kondemnatoir terdapat pada perkara kontentius - Putusab kondemnatoir sekaku berbunyi menghukum dan memerlukan eksekusi - Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan dengan suka rela, maka atas permohonan tergugat, putusan dapat dilakukan dengan paksa oleh pengadilan yang memutusnya - Putusan dapat dieksekusi setelah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal vitvoer baar bijvoorraad, yaitu putusan yang dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum (putusan serta merta) - Putusan kondemnatoir dapat berupa pengukuman untuk 1. menyerahkan suatu barang 2. membayar sejumlah uang 3. melakukan suatu perbuatan tertentu 4. menghentikan suatu perbuatan/keadaan 5. mengosongkan tanah/rumah

Pengertian Peradilan dan Pengadilan (Anonim,2010) kuliahhukum.blogspot.com (Lanjutan : Peradilan Agama dari Masa ke Masa) Istilah Peradilan dan Pengadilan adalah memiliki makna dan pengertian yang berbeda, perbedaannya adalah : 1. Peradilan dalam istilah inggris disebut judiciary dan rechspraak dalam bahasa Belanda yang meksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan. 2. Pengadilan dalam istilah Inggris disebut court dan rechtbank dalam bahasa Belanda yang dimaksud adalah badan yang melakukan peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Kata Pengadilan dan Peradilan memiliki kata dasar yang sama yakni adil yang memiliki pengertian: a. Proses mengadili. b. Upaya untuk mencari keadilan. c. Penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan. d. Berdasar hukum yang berlaku. C. 3. Pembaharuan Lembaga Peradilan Reformasi hukum di bidang lembaga hukum menyeruakdalam penerapan system peradilan satu atap di Indonesia yang melahirkan amandemen UUD 1945 yakni pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kemudian UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 ayat (2) menyebutkan bahwa badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara. Ke-empat lembaga peradilan tersebut berpuncak di Mahkamah Agung, baik dalam hal teknis yudisialnya maupun non teknis yudisialnya. Adapun strata ke-empat lembaga tersebut adalah : a. Lingkungan peradilan umum terdiri dari Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.

b. Lingkungan peradilan agama terdiri dari Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI. Adapun Pengadilan Agama yang ada di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasar Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2003 diubah menjadi Mahkamah Syariyyah, seadangkan Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syariyyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

c. Lingkungan Peradilan militer terdiri dari Mahkamah Militer sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.

d. Lingkungan peradilan tata usaha Negara terdiri dari Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI. Adapun kewenangan absolut Mahkamah Syariyyah dan Mahkamah Syariyyah Provinsi adalah kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, ditambah dengan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syiar Islam yang ditetapkan dalam Qanun. Kewenangan lain tersebut dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia dalam kerangka system peradilan nasional. Mengenai kewenangan relatif Mahkamah Syariyyah adalah daerah hukum eks Pengadilan Agama yang bersangkutan, sedangkan kewenangan relatif Mahkamah Syariyyah Provinsi adalah daerah hukum eks Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh.

A. PERADILAN UMUM Peradilan Umum merupakan salah satu lingkungan peradilan, di luar peradilan agama, tata usaha Negara dan peradilan militer. Pada saat sekarang, selain Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menjadi landasan yang mengatur susunan dan kekuasaan peradilan umum adalah Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam operasionalnya kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan umum ini dilaksanakan oleh pengadilan negeri dan pengadilan umum ini dilaksanakan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dan berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negeri tertinggi. a. Pengadilan Negeri 1. Tempat Kedudukan dan Daerah Hukum Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986, bahwa pengadilan negeri merupakan pengadilan tingkat pertama. Tempat kedudukan pengadilan ini berada di setiap kotamadya atau Ibukota Kabupaten. Dengan berkedudukan pada Kotamadya atau Ibukota Kabupaten, maka otomatis daerah hukum pengadilan negeri adalah meliputi wilayah kotamadya atau Kabupaten yang bersangkutan. 2. Kekuasaan Pengadilan Tugas pokok dari pengadilan negeri adalah menerima, memeriksa dan memutus (mengadili) serta menyelesaikan setiap perkara (perdata dan pidana) yang diajukan atau dilimpahkan. Kekuasaan dan kewenangan Ketua Pengadilan Negeri dapat bersifat intern dan ekstern. b. Pengadilan Tinggi 1. Tempat Kedudukan dan Daerah Hukum Pengadilan tinggi berkedudukan di Ibukota propinsi dengan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi (vide pasal 4 UU Nomor 2 / 1986).

2. Kekuasaan dan Kewenangan Pengadilan Tinggi Menurut pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986, pengadilan tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding. B. PERADILAN AGAMA Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Peradilan ini merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Demikian bunyi pasal 1 butir dan pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. a. Pengadilan Agama 1. Tempat Kedudukan dan daerah Hukum Ditentukan pasal 4 jo pasal 6 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 bahwa pengadilan agama merupakan pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di Kotamadya atau Ibukota Kabupaten. 2. Kekuasaan dan Kewenangan Pengadilan Agama Titik berat kekuasaan pengadilan agama adalah sebagaimana dimaksud pasal 49 ayat (1) UU No. 7 atau 1989, yang menyatakan: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan, b. Kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, c. Wakaf dan sedekah. b. Pengadilan Tinggia Agama 1. Tempat Kedudukan dan Daerah Hukum

Ada kesamaan tempat kedudukan dan daerah hukum Pengadilan Tinggi (lingkungan peradilan umum) dengan Pengadilan Tinggi Agama, yakni di Ibukota propinsi yang daerah hukumnya adalah meliputi wilayah propinsi yang bersangkutan. Bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara di tingkat pertama. C. PERADILAN TATA USAHA NEGARA a. Pengadilan Tata Usaha Negara Kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah sebagai pengadilan pertama bagi masyarakat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Mengenai tempat kedudukan psl 6 Undang-Undang PTUN menyebutkan di kotamadya atau ibukota kabupaten. b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara 1. Kedudukan, Tempat Kedudukan dan daerah Hukum Kedudukan Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PT-TUN) adalah sebagai pengadilan tingkat banding bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengleta tata usaha Negara (TUN). Seperti termaktub dalam pasal 6 ayat (2) UUPTUN ditetapkan PT-TUN berkedudukan di Ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi. 2. Kekuasaan dan Kewenangan PT-TUN sebagai pengadilan tingkat banding, tentu saja mempunyai kewenangan memberikan dan memutus sengketa TUN di tingkat banding. Berpijak kepada redaksi pasal 51 UUPTUN dapat disimpulkan minimal terdapat 3 (tiga) kewenangan dari PT-TUN; a. bertugas dan berwenang memriksa dan memeutus sengketa tata usaha Negara ditingkat banding; b. bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan TUN di dalam daerah hukumnya; c. bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha Negara sebagaimana di maksud dalam pasal 48 UU_PTUN.

D. PERADILAN MILITER Peradilan militer merupakan salah satu pilar kekuasaan kehakiman di samping lingkungan peradilan sebagaimana di maksud pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 tahun 1970. Keberadaan peradilan militer merupakan konsekuensi logis adanya status subyek tindak pidana itu yakni seseorang berstatus militer. a. Kekuasaan Peradilan Militer. Untuk mengetahui kekuasaan pengadilan di lingkungan peradilan militer perlu kita teliti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950. Dinyatakan dalam pasal 2 bahwa kekuasaan kehakiman yaitu; a. Pengadilan Tentara b. Pengadilan Tentara Tinggi c. Mahkamah Tentara Agung. Pada kenyataannya nama pengadilan di lingkungan peradilan militer menggunakan nama Mahkamah bukan pengadilan seperti termaktub pasal-pasal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950. Nama pengadilan di lingkungan peradilan militer tersebut adalah: 1. Mahkamah Militer, lazim di singkat MAMIL; 2. Mahkamah Militer Tinggi, disingkat MAHMILTI; 3. Mahkamah Militer Agung, disingkat MAHMILGUNG. dalam peradilan ketentaraan dilakukan oleh pengadilan ketentaraan,

MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA A. UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, mengatur mengenai kedudukan, susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung serta hukum acara yang berlaku bagi Mahkamah Agung.

B. KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN MA Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 mengatur dan membedakan kedudukan dan tempat kedudukan dari Mahkamah Agung di bidang ketatanegaraan, sedangkan tempat kedudukan dimaksudkan sebagi domisili. Dinyatakan dalam pasal 11 Ketetapan MPR Nomor III / MPR / 1978 bahwa: a. Mahkamah Agung adalah Badan yang melaksnakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksana tugasnya, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya. b. Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak, kepada lembaga-lembaga tinggi Negara. c. Mahkamah Agung dapat memberikan nasihat hukum kepada Presiden / Kepala Negara untuk pemberian/penolakan garasi. d. Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan-peraturan perundangan dibawah undang-undang.

DAFTAR PUSTAKA Waluyo, Bambang,Implementasi Kekuasaan Kehakiman Jakarta. Sinar Grafika, 1992.

You might also like