You are on page 1of 2

Kalangan mahasiswa menjadi target para partai politik untuk dijadikan kader inst an yang didesain berbentuk organisasi

sayap partai. Intelektualitas mahasiswa di anggap mumpuni menjadi torpedo-torpedo yang dapat digerakkan untuk menghancurkan konstalasi suara pada basis massa tertentu. Mahasiswa sebagai kader instan part ai ditugaskan memberikan pengaruh kepada msyarakat, baik dengan sosialisasi lang sung dengan mendatangi rumah warga, maupun hanya dengan memasang atribut-atribut kampanye di sudut-sudut desa/pemukiman. Semua itu dilakukan hanya karena diberi imbalan rupiah yang tidak juga dapat dik atakan menggiurkan di tengah biaya pendidikan yang lebih melangit di kampus atau malah hanya sebuah menunjukkan eksistensi diri dengan kedekatan pada figur-figu r politik tertentu yang telah memiliki nama besar. Sikap tersebut sungguh sangat disayangkan karena intelektualitas seorang mahasis wa yang dianugrahi oleh Tuhan Yang Maha Esa begitu mudahnya dijual menjadi mesin -mesin yang dipekerjakan untuk hal-hal yang berbau politis. Dalam kondisi ini ma hasiswa tidak ubahnya seperti budak-budak para elite partai yang dimanfaatkan un tuk kepentingan partai politik dalam meraih kekuasaan. Padahal jika melirik jeja k sejarah perjuangan mahasiswa sejak era Tan Malaka, Soe Hoek Gie, Elang Surya L esmana dan Sondang Hutagalung tampaknya ada perjuangan yang bergeser bagi mahasi swa yang memilih melacurkan intelektualitasnya dan menyembah-nyembah kendaraan p enguasa untuk melenggang ke tahta penindasan. Apologi pun mereka (mahasiswa) munculkan sebagai tameng menghindari justifikasi sebagai pelacur intelektual, bahwa apa yang dilakukannya adalah terlepas dari po sisinya sebagai mahasiswa yang mengemban mandat dari rakyat (bermaterai 6000) un tuk memperjuangkan hak-hak kehidupannya, tetapi keterlibatannya di partai politi k merupakan haknya sebagai warga negara dalam berdemokrasi. Meski begitu hal ini sangat kontradiktif dengan eksistensi mahasiswa yang selalu dipuja banyak kalangan sebagai Agent of Change, Sosial of Control dan Moral For ce. Mahasiswa yang berkutat dalam spiral politik partai seolah lupa pada eksist ensi dirinya yang secara tidak sadar telah diterima sewaktu menjadi laskar gundu l dan dipelonco ketika masih berstatus mahasiswa baru. Sadar ataupun tidak, beba n moral itu telah dikalungkan kepada mahasiswa untuk bergerak mengamalkan tri dh arma perguruan tinggi demi kemajuan bangsa ini dengan cara-cara profesional, tid ak dengan politik. Menjadi sebuah pertanyaan krusial bagi mereka (mahasiswa) yang berdarah-darah me ngeluarkan segala kemampuan terbaiknya untuk sebuah partai politik, apa yang aka n diperoleh dengan bergabung dan bekerja untuk partai? Jabatan eksekutif? Calon legislatif? Atau dijanjikan menjadi presiden? Sebaiknya jangan bermimpi akan ber mimpi jika tak terlelap, mustahil untuk mendapatkan itu semua dengan mengandalka n status mahasiswa saja. Banyak orang-orang yang telah lama berkarir di partai p olitik namun hingga usianya telah renta tidak pernah sekalipun diberi kesempatan mendapat posisi sebagai calon legislatif dari partai kesayangannya dalam setiap pilcaleg yang digelar. Partai politik tidak melihat bagaimana kesetiaanmu terha dap partai untuk bekerja, namun partai politik lebih mengutamakan kepada figur y ang dianggap mampu memberi nilai kontributif popularitas dan elektabilitas parta i serta memiliki kekuatan materil untuk menyokong pengembangan dan kemajuan part ai. Jika demikian buat apa berlama-lama bekerja menjual intelektualitas kepada parta i politik hanya karena rupiah yang tidak seberapa. Bukankah menuntut ilmu, melak ukan penelitian dan mengabdi kepada masyarakat dengan kegiatan-kegiatan sosial ( tri dharma perguruan tinggi) lebih terhormat dibanding membantu elite partai mer aih kepentingannya? Beruntung jika ideologi partai dan aplikasinya benar-benar memperjuangkan kepent ingan rakyat, namun sungguh celakalah kalian (mahasiswa) jika ternyata partai po

litik itu hanya dijadikan wadah untuk mengejar jabatan kekuasaan dan sarang berm unculnya perampok negara (korupsi). Sekiranya mahasiswa angkatan 66 hingga 98 yang menjadi saksi terjadinya momen he roik pergerakan mahasiswa di tanah air menangis terisak-isak melihat juniornya k ini malah berselingkuh kepada calon-calon keparat negara yang ada dalam partai. Jika boleh menyarankan, sangat mulialah seorang mahasiswa apabila memilih menjad i oposisi terhadap kebijakan negara, mengontrol dari luar sistem tanpa tidak men yampingkan konstitusi negara dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan norm a sosial. Merasakan penderitaan rakyat melalui perjuangan di jalanan dijamin dap at menggugah nurani terhadap penindasan yang dilakukan oleh penguasa negeri ini. Oleh karena itu, perubahan perlu dilakukan dengan cara memulai dari dalam diri kita sendiri terlebih dahulu, lalu memengaruhi orang sekitar agar terbentuk deng an sendirinya sistem yang tertata sesuai dengan norma sosial. Setelah menanggalkan status kemahasiswaan, mahasiswa dapat memilih jalur perubah an tanpa mengingkari perjuangan yang pernah dilakukannya, yakni menjadi pribadi yang baik dan konsisten terhadap idealisme yang pernah diteriakkan semasa bersta tus mahasiswa, atau malah sangat baik jika menjadi figur professional (tanpa par tai) dengan cara menonjolkan diri, baik dari segi pengetahuan, keterampilan dan pengaruh terhadap massa tertentu, niscaya para elite partai akan melirik dan mer ekomendasikan untuk diusung di partainya baik sebagai legislatif ataupun eksekut if dengan catatan tetap konsisten terhadap idealisme mahasiswa yang pernah terko nstruksi dengan gagah di lingkungan kampus.

You might also like