You are on page 1of 23

BENCANA ALAM TANAH LONGSOR PERSPEKTIF ILMU GEOTEKNIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Oleh: Prof.Dr.Ir. Kabul Basah Suryolelono, Dip.HE.,DEA.

BENCANA ALAM TANAH LONGSOR PERSPEKTIF ILMU GEOTEKNIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 25 Februari 2003 di Yogyakarta

Oleh: Prof.Dr.Ir. Kabul Basah Suryolelono, Dip.HE.,DEA.

3 Bencana Alam Tanah Longsor Perspektif Ilmu Geoteknik

Ilmu teknik sipil dewasa ini telah berkembang demikian luas, antara lain dalam bidang teknik konstruksi, hidro, transportasi, lingkungan, hingga yang berkaitan dengan bidang ilmu lain seperti bahan konstruksi teknik, yang menitik beratkan pada masalah bahan-bahan yang digunakan untuk konstruksi bangunan; geomaterial, yang lebih berkonsentrasi pada bangunan yang berasal dari bahan tanah dan batuan; teknik sipil tradisional, yang berkaitan bangunan-bangunan tradisional dan tingkat budaya masyarakat kita. Selain itu, bidang geoteknik, yang merupakan bidang ilmu tersendiri dan menitikberatkan pada aplikasi teknik sipil dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan sifat mekanis tanah dan batuan (Suryolelono, 1996a). Geoteknik sebenarnya merupakan gabungan beberapa disiplin ilmu yaitu mekanika, yang mempelajari karakteristik mekanis atau tingkah laku massa benda, bilamana dikenai gaya; bahan, yang mempelajari karakteristik fisis (ukuran butiran, komposisi, gesekan, lekatan, kepadatan, permeabilitas, dan sifat plastisnya); hidraulika, yang mempelajari karakteristik hidraulisnya terutama berkaitan dengan aliran air melalui media porus; dan lingkungan, yang mempelajari pengaruh/dampaknya terhadap lingkungan. Geoteknik itu sendiri terdiri atas dua bidang pokok, yaitu ilmu dasar dan aplikasinya (Holtz dan Kovacs, 1981). Ilmu dasar dalam bidang geoteknik adalah mekanika tanah (soil mechanics), yang mempelajari sifat-sifat fisis dan mekanis tanah; mekanika batuan (rock mechanics), yang mempelajari sifat-sifat fisis dan mekanis batuan, serta geologi teknik (engineering geology), sedangkan aplikasi ilmu dasarnya adalah teknik fondasi (foundation engineering), yang mempelajari fondasi dari berbagai bangunan baik bangunan gedung dari tingkat sederhana sampai dengan bangunan tinggi, bangunan air, bangunan lepas pantai, bangunan jalan, lapangan terbang, dermaga dan lain-lain; teknik batuan (rock engineering), yang seperti teknik fondasi namun orientasi fondasi tidak pada tanah tetapi pada batuan (konstruksi terowongan, pusat tenaga listrik bawah muka tanah, reservoir bahan energi bawah muka tanah, atau suatu galian dalam, dan lain-lain); stabilitas lereng, yang mempelajari tentang kondisi

4 lereng dalam keadaan labil atau mantab, lereng dalam sekala kecil maupun besar, lereng alam atau buatan, dalam tinjauan dua dimensi atau tiga dimensi, serta mitigasi dan penanggulangannya. Akhir-akhir ini, sering terjadi bencana tanah longsor, yang dikaitkan dengan datangnya musim hujan. Bencana tanah longsor (landslides) pada tahun lalu maupun di saat musim penghujan sekarang ini, banyak terjadi di Indonesia seperti di daerah Cilacap, Purworejo, Kulonprogo, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sumatera dan lokasi lainnya di tanah air, bahkan terjadi di tengah kota seperti di Jakarta, Semarang, Jogjakarta dan di kota lainnya. Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lerenglereng alam atau buatan, dan sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah (Anonim, 2000). Kontribusi pengurangan kuat geser tanah pada lereng alam yang mengalami longsor disebabkan oleh faktor yang dapat berasal dari alam itu sendiri, erat kaitannya dengan kondisi geologi antara lain jenis tanah, tekstur (komposisi) dari pada tanah pembentuk lereng sangat berpengaruh terjadinya longsoran, misalnya sensivitas sifatsifat tanah lempung, adanya lapisan tanah shale, loess, pasir lepas, dan bahan organik. Bentuk butiran tanah (bulat, ataupun tajam) berpengaruh terhadap friksi yang terjadi dalam tanah, pelapisan tanah, pengaruh gempa, geomorfologi (kemiringan daerah), iklim, terutama hujan dengan intensitas tinggi atau sedang, dengan durasi yang lama di awal musim hujan, atau menjelang akhir musim hujan, menimbulkan perubahan parameter tanah yang berkaitan dengan pengurangan kuat gesernya. Pada batuan pengurangan kuat geser dapat diakibatkan oleh adanya diskontinuitas, sifat kekakuan, arah bedding, joint, orientasi lereng, derajat sementasi batuan misalnya konglomerat, batuan pasir, breksi, dan lain-lain. Variasi muka air di reservoir bendungan seperti yang terjadi pada bendungan Vaiont di Italia, merupakan salah satu contoh penyebab lemahnya bidang kontak pelapisan batuan (bedding) pembentuk lereng di sekitar waduk (reservoir) dengan orientasi miring ke arah waduk. Selain tekstur tanah, pengaruh fisik

5 dan kimia dapat mempengaruhi terhadap pengurangan kuat geser. Pengaruh fisik antara lain lemahnya retakan-retakan yang terjadi pada tanah lempung, hancurnya batuan breksi (disintegrasi) akibat perubahan temperatur, proses hidrasi terutama pada jenis tanah lempung berkaitan dengan meningkatnya tegangan air pori, oversaturation lapisan tanah berbutir halus (loess). Pengaruh kimia dapat diakibatkan oleh larutnya bahan semen dalam batuan pasir dan konglomerat. Kontribusi peningkatan tegangan geser disebabkan oleh banyak faktor antara lain phenomena variasi gaya intergranuler yang diakibatkan oleh kadar air dalam tanah/batuan yang menimbulkan terjadinya tegangan air pori, serta tekanan hidrostatis dalam tanah meningkat. Variasi pembentuk batuan dan tekstur tanah, retakan-retakan yang terisi butiran halus, diskontinuitas, pelapukan dan hancurnya batuan yang menyebabkan lereng terpotong-potong, atau tersusunnya kembali butiran-butiran halus. Faktor lain yang berpengaruh adalah bertambah berat beban pada lereng dapat berasal dari alam itu sendiri, antara lain air hujan yang berinfiltrasi ke dalam tanah di bagian lereng yang terbuka (tanpa penutup vegetasi) menyebabkan kandungan air dalam tanah meningkat, tanah menjadi jenuh, sehingga berat volume tanah bertambah dan beban pada lereng semakin berat. Pekerjaan timbunan di bagian lereng tanpa memperhitungkan beban lereng dapat menyebabkan lereng menjadi rawan longsor. Pengaruh hujan dapat terjadi di bagian lerenglereng yang terbuka akibat aktivitas mahluk hidup terutama berkaitan dengan budaya masyarakat saat ini dalam memanfaatkan alam berkaitan dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan), kurang memperhatikan pola-pola yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Penebangan hutan yang seharusnya tidak diperbolehkan tetap saja dilakukan, sehingga lahan-lahan pada kondisi lereng dengan geomorphologi yang sangat miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi rawan longsor. Kebiasaan masyarakat dalam mengembangkan pertanian/perkebunan tidak memperhatikan kemiringan lereng, pembukaan lahan-lahan baru di lereng-lereng bukit menyebabkan permukaan lereng terbuka tanpa pengaturan sistem tata air (drainase) yang seharusnya, dan bentukbentuk teras bangku pada lereng tersebut perlu dilakukan untuk mengerem laju erosi. Bertambahnya penduduk menyebabkan perkembangan perumahan ke arah daerah perbukitan (lereng-lereng bukit)

6 yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan (tata guna lahan), menimbulkan beban pada lereng (surcharge) semakin bertambah berat. Erosi di bagian kaki lereng akibat aliran sungai, atau gelombang air laut mengakibatkan lemahnya bagian kaki lereng, terjadinya kembang susut material pembentuk lereng, dan lain-lain menyebabkan terjadinya peningkatan tegangan geser. Pengaruh gempa juga menyebabkan kondisi lereng yang sebelumnya cukup stabil menjadi labil. Kondisi ini dapat terjadi, akibat goncangan pada lapisan tanah di bumi, menimbulkan struktur tanah menjadi berubah. Pada jenis-jenis tanah berbutir kasar dalam kondisi kering akan menyebabkan butiran-butiran ini merapat, namun untuk jenis tanah yang sama dalam kondisi jenuh dan terjebak dalam lapisan tanah lempung yang membentuk lensa-lensa pasir, apabila terjadi gempa akan mengalami peristiwa lequefaction. Akibat pengaruh gempa tegangan pori (u) dalam lapisan tanah pasir (lensa-lensa pasir) ini meningkat, mengakibatkan tegangan efektif tanah () menurun dan bahkan mencapai nilai terendah ( 0). Hal ini berarti tanah kehilangan kuat dukungnya, berakibat tanah pembentuk lereng di atas lapisan ini runtuh, timbul masalah tanah longsor. Selain itu, apabila lapisan tanah lempung terletak di atas lapisan batuan keras (bed rock), akibat pengaruh gempa pada ke dua massa yang berbeda (tanah dan batuan) mempunyai percepatan yang berbeda, sehingga bidang kontak ke dua lapisan ini menjadi bagian yang lemah. Munculnya sumber-sumber air di bagian kaki lereng akibat terjadi rembesan air menimbulkan terjadinya peristiwa erosi buluh (piping). Pada kondisi ini tanah di bagian kaki lereng kehilangan kuat dukungnya dan bahkan mendekati harga sama dengan nol, sehingga perlawanan terhadap gaya yang melongsorkan menurun, dan lereng menjadi rawan longsor. Demikian pula pada lereng buatan dapat berupa lereng galian, lereng bendungan, lereng timbunan sampah (Chowdhury, 1978). Keruntuhan lereng buatan dapat terjadi disebabkan oleh faktor-faktor yang sama dengan lereng alam yaitu pengurangan kuat geser dan penambahan tegangan geser pada lapisan tanah pembentuk lereng. Lereng galian merupakan lereng yang direncanakan dengan menentukan rerata tinggi galian dan kemiringan galian tersebut, sehingga lereng tetap stabil (aman) sementara itu aspek ekonomi tetap menjadi

7 pertimbangan. Umur lereng galian harus dijaga agar tetap stabil sesuai dengan tipe pekerjaan seperti tambang dan bangunan teknik sipil lainnya. Kesulitannya adalah meramalkan terhadap kontrol stabilitas dan pemeliharaan. Lereng timbunan dan bendungan tergantung pada sifat mekanis dari bahan yang digunakan untuk konstruksi timbunan dan bendungan yang diperoleh dari hasil uji di laboratorium atau in situ untuk menentukan komposisi tanah dan timbunan batu, derajat pemadatan. Konstruksi timbunan dan bendungan pada tanah dasar fondasi merupakan tanah kohesif membutuhkan tahap-tahap konstruksi sesuai dengan tingkat konsolidasi dengan kontrol kecepatan (rate) pembebanan agar diperoleh tingkat kepadatan tanah dasar fondasi mampu mendukung beban di atasnya. Konsolidasi tanah inipun dapat dipercepat dengan menempatkan drain vertikal (Suryolelono, 2000a). Gerakan lereng tidak stabil merupakan gerakan yang dibedakan sebagai gerakan guguran (falls), runtuhan (topples), longsoran (slides), penyebaran (lateral spreads), aliran (flow), dan gerakan kompleks yang merupakan kombinasi dari berbagai gerakan tersebut (Varnes, 1978) dalam Giani, 1992. Semua bentuk gerakan ini sangat ditentukan oleh formasi geologi yaitu lapisan batuan, lapukan batuan dan tanah. Longsoran yang terjadi akan membentuk suatu pola baik di permukaan lereng maupun bentuk bidang gelincirnya. Pola longsoran di bagian permukaan lereng akan membentuk pola tapal kuda, bidang longsor sejajar arah kaki lereng, hummocky (bentuk busur-busur kecil) (Suryolelono, 1995b), sedang bentuk bidang longsor dapat merupakan satu atau lebih permukaan bidang longsor dengan bentuk silindris (tampang lingkaran) atau datar (tampang garis). Longsoran dengan bentuk bidang gelincir datar (translation slides), apabila bentuk bidang gelincir adalah bidang datar ke arah kaki lereng. Hutchinson (1988) dalam Giani (1992) membedakan dalam beberapa tipe yaitu sheet, slab, debris slides, dan sudden spread failure. Longsoran dengan bentuk bidang gelincir dengan tampang lingkaran (rotation slides) sering dengan bentuk seperti bagian lengkung silinder, cekung ke atas, dan terjadi pada lereng dengan material lempung homogen, material granuler, atau batuan masif. Namun bentuk tersebut sering tidak cekung ke atas, karena adanya pengaruh joint, bedding, faults, atau tidak homogennya lapisan tanah, mengakibatkan bidang longsor tidak mengikuti bentuk busur ling-

8 karan, tetapi merupakan bidang lengkung dan datar. Hutchinson (1988) dalam Giani (1992) membedakan tiga tipe utama bentuk tampang bidang gelincir adalah satu lingkaran, lebih dari satu lingkaran, dan terbentuk secara berturut-turut. Bentuk bidang gelincir yang umum terjadi di Indonesia merupakan tipe longsoran dengan bidang gelincir bentuk lingkaran (rotational slides), dan datar dengan tipe slab slides atau rock slides. Kadang-kadang gerakan longsor merupakan gerakan yang sangat kompleks yaitu kombinasi dari rotational slides, translational slides atau bentuk-bentuk lainnya. Dalam bidang geoteknik, untuk menyatakan lereng aman terhadap terjadinya longsoran, dilakukan analisis dengan pendekatan model matematik dua dimensi untuk berbagai bentuk bidang longsor datar, lengkung (lingkaran), atau kombinasi ke duanya. Dalam analisis ini umumnya dicari besarnya angka aman (factor of safety-FOS) yang merupakan fungsi tegangan geser (). Pendekatan yang digunakan dalam metode ini adalah keseimbangan batas, dan bentuk bidang longsor dalam dua dimensi, namun lereng tanah perlu dipertimbangkan sebagai suatu sistem tidak kenyang air sampai dengan kenyang air. Letak muka air tanah (phreatic water surface) di daerah perbukitan umumnya dalam atau dangkal, sehingga kondisi tanah pada waktu-waktu tertentu kering (musim kemarau) dan di waktu musim hujan, tanah menjadi kenyang air. Di awal musim hujan, kondisi tanah sebagian pori tanah terisi air atau dalam kondisi tidak kenyang air. Selain itu, jenis tanah merupakan parameter yang harus dipertimbangkan pula, berhubungan dengan sifat fisis dan mekanis tanah akibat pengaruh air. Analisis mekanisme tanah longsor yang selama ini digunakan, umumnya untuk lereng jenuh dengan memperhitungkan tegangan air pori positif, namun pada kondisi tanah belum cukup kenyang air (unsaturated), tegangan air pori dapat bernilai negatif menimbulkan terjadinya gaya sedot (soil suction atau matrix suction) dan berpengaruh terhadap kuat geser tanah (shear strength). Oleh karena itu, dalam melakukan tinjauan analisis mekanisme tanah longsor, harus dipertimbangkan kondisi lereng yang merupakan suatu sistem menyeluruh dari kondisi tanah tidak kenyang air sampai dengan kenyang air. Abramson, dkk. (1996), Rahardjo, dkk. (2002) menyatakan ada dua parameter bebas yang berpengaruh terhadap tegangan

9 dalam tanah dengan kondisi tidak kenyang air (ruang pori tanah sebagian terisi udara dan sebagian air), tegangan netto ( - ua), dan matrix suction (ua uw) (dengan : tegangan total, ua : tegangan udara (gas) pori, dan uw : tegangan air pori). Pada kondisi tanah kenyang air, maka seluruh ruang pori tanah terisi air, tegangan air pori (uw) akan sama dengan tegangan udara pori (ua), sehingga matrix suction (ua uw) diabaikan ( 0). Oleh karena itu, parameter tegangan dalam tanah menjadi tegangan efektif ( - uw). Tampak pengaruh air terutama air hujan yang berinfiltrasi ke dalam tanah, menimbulkan perubahan pada ke dua parameter ini, dan memberikan pengaruh terhadap tegangan geser serta volume tanah yang merubah sifat-sifat tanah. Tegangan air pori (uw) di atas zona muka air tanah (phreatic surface) umumnya terjadi akibat tegangan air pori berada di bawah tegangan atmosfir (udara). Besarnya tegangan pori negatif atau dikenal sebagai soil suction atau matrix suction tergantung besarnya tegangan permukaan pada batas udara dan air yang menyelimuti butiran tanah. Umumnya untuk tanah berbutir halus mempunyai matrix suction yang tinggi (Wong, 1970 dalam Abramson, dkk. 1996). Matrix suction meningkatkan tegangan efektif dalam seluruh massa tanah dan memperbaiki stabilitas lereng (peningkatan matrix suction berdasarkan hubungan c = c + (ua - uw). tanb (Ho & Fredlund, 1982, dalam Abramson, dkk., 1996) dengan c : kohesi total tanah, c : kohesi efektif, (ua - uw) : matrix suction, b : suatu sudut yang menunjukan variasi pertambahan kuat geser relatif terhadap matrix suction (ua uw)). Matrix suction berkurang apabila kondisi tanah berangsur-angsur menjadi kenyang air (selama dan sesudah hujan lebat dengan durasi lama). Pada kondisi tanah kenyang air, besarnya kuat geser tanah (shear strength of soil) dinyatakan sesuai hubungan Coulomb ( = c + tan dan = - uw ) (Coulomb, 1776, dalam Braja, 1994 dengan : kuat geser tanah, c : kohesi efektif, : tegangan efektif, : tegangan total, uw : tegangan air pori, dan : sudut gesek internal efektif tanah). Untuk kondisi tanah tidak kenyang air (unsaturated), besarnya kuat geser tanah dipengaruhi oleh matrix suction (ff = c + (f - ua)f.tan + (ua - uw)f. tanb, dan c = c + (ua - uw)f. tanb dengan c : total kohesi tanah, c : kohesi efektif, (ua - uw)f : matrix suction pada kondisi runtuh, (f - ua)f : tegangan normal netto pada kondisi

10 runtuh, : sudut gesek internal efektif atau sudut gesek internal berhubungan dengan tegangan normal netto (Abramson, dkk., 1996; Fredlund, dkk., 1978)). Tampak pada kondisi tanah tidak kenyang air, besarnya kuat geser tanah meningkat dengan bertambahnya nilai kohesi, dan ada tambahan akibat matrix suction, sehingga pada kondisi ini lereng menjadi lebih aman. Oleh karena itu, salah satu metode untuk membuat lereng menjadi aman (stabil) adalah kondisi tanah dibuat tidak kenyang air. Salah satu usaha untuk membuat lereng tidak kenyang air adalah menempatkan suatu sistem drainase bawah permukaan lereng (sub surface drainage) dengan memperhitungkan curah hujan yang terjadi di daerah tersebut. Tujuannya adalah agar sistem drainase mampu mengalirkan sebagian air yang meresap ke dalam tanah untuk mengurangi kandungan air dalam tanah. Selain analisis dengan pendekatan model matematik dua dimensi, model matematik tiga dimensi untuk keruntuhan lereng telah dikembangkan dengan memanfaatkan mekanika kontinum. Dasar pemecahan analisis ini menggunakan persamaan Navier-Stokes, pengembangan persamaan kontinuitas untuk cairan tidak pampat, dan criteria Coulomb (Fathani, dkk., 2002). Pengembangan model analisis ini dengan membuat suatu program komputer LSFLOW yang masih terus dilakukan. Keruntuhan lereng dapat terjadi karena berkurangnya/menurunnya kemampuan kuat geser tanah secara perlahan-lahan atau mendadak atau perubahan kondisi geometri lereng akibat galian misalnya, sehingga lereng menjadi curam. Parameter penting yang dibutuhkan dalam analisis stabilitas lereng adalah kuat geser, geometri lereng, tegangan air pori atau gaya rembesan, dan beban serta kondisi lingkungan sekitar lereng. Konsep stabilitas lereng menggunakan metode analisis dalam memprediksi kestabilan lereng tanah untuk dua dimensi telah banyak dikembangkan oleh ahli-ahli geoteknik. Umumnya untuk menyatakan lereng dalam kondisi stabil (mantab) dinyatakan dengan angka aman (FOS) yang merupakan rasio antara gaya atau momen yang melawan terjadinya longsor dan gaya atau momen yang melongsorkan. Besarnya angka aman disesuaikan dengan beban yang bekerja, untuk kondisi beban normal artinya beban yang bekerja terus menerus pada lereng mempunyai nilai 1,5-2,

11 sedang untuk beban sementara (misal : beban gempa) digunakan angka aman lebih rendah yaitu 1,1-1,2, karena beban ini bekerja dalam waktu relatif pendek. Konsep stabilitas lereng adalah menggunakan metode keseimbangan batas (limit equilibrium) dengan lereng yang diperkirakan akan runtuh dibagi-bagi menjadi 8-15 pias. Metode ini antara lain : Ordinary Method of Slice (OMS) dikembangkan oleh Fellenius (1927, 1936). Dalam analisisnya Fellenius mengabaikan keseimbangan gaya di kedua sisi pias dan massa tanah yang diperkirakan akan runtuh sebagai satu kesatuan. Metode ini merupakan metode dengan prosedur paling sederhana serta sebagai dasar semua metode selanjutnya. Bishop simplified (1955) meniadakan semua gaya geser antar pias, namun keseimbangan gaya horisontal diperhitungkan secara keseluruhan. Janbu (1954, 1957, 1973) dengan anggapan seperti metode Bishop simplified namun tidak meninjau keseimbangan momen, Lowe dan Karafiath (1960) menganggap gaya-gaya antar pias membentuk sudut sebesar rerata sudut alas dan atas pias. Corps of Engineers (1982) dengan anggapan kemiringan gaya-gaya antar pias sama dengan kemiringan lereng atau sama dengan rerata sudut kemiringan ujung-ujung permukaan bidang runtuh. Spencer (1967, 1973) dalam Winterkorn dan Fang, 1975, beranggapan besarnya gayagaya antar pias adalah sama, namun tidak diketahui arahnya. Sarma (1973), dan Morgenstern & Price (1965) dalam Winterkorn dan Fang, 1975, menggunakan fungsi distribusi gaya antar pias. Fredlund dan Rahardjo (1993) cenderung meninjau kondisi lereng sebagai suatu lapisan tanah yang tidak kenyang air (unsaturated), sedang metode lainnya dengan anggapan tanah dalam konsidi kenyang air (saturated) atau kondisi kering. Dua metode yaitu Fellenius dan Bishop hanya dapat digunakan, apabila bentuk bidang gelincir berbentuk tampang lingkaran, sedangkan bentuk bidang gelincir tidak berbentuk lingkaran menggunakan metode Janbu, Corps of Engineers, Lowe dan Karafiath, sedang analisis stabilitas lereng untuk lereng tidak kenyang air menggunakan metode Fredlund dan Rahardjo, namun untuk mengetahui metode mana yang paling cocok, digunakan metode GLE (General Limit Equilibrium) yang mendasarkan pada keseimbangan gaya dan keseimbangan momen. Cara analisis ini baru dapat dilakukan, apabila sudah didapatkan parameter-perameter tanah dari

12 hasil uji geoteknik di lapangan maupun di laboratorium. Dalam melakukan uji lapangan perlu dilakukan secara teliti untuk mendapatkan data yang akurat, dan mewakili seluruh daerah yang diuji. Berbagai uji lapangan dapat digunakan untuk mendapatkan letak bidang gelincir antara lain dengan alat uji penetrasi statis (Suryolelono, 1996b), atau dinamis, dan selanjutnya diambil sampelnya untuk uji laboratorium guna mendapatkan parameter tanah. Konsep metode analisis tiga dimensi keruntuhan lereng adalah tegangan geser pada setiap titik selalu berubah berdasarkan waktu dan lokasinya, dengan bidang longsor yang tidak selalu berbentuk busur lingkaran. Perbedaan konsep metode analisis dua dimensi dengan tiga dimensi keruntuhan lereng adalah pada metode dua dimensi tegangan geser sepanjang permukaan bidang longsor adalah konstan, sedang pada metode tiga dimensi, pada setiap titik tinjauan selalu berubah berdasarkan fungsi waktu dan tempatnya (Nakamura, dkk., 1989; Sasa, 1987). Dari hasil analisis tersebut, apabila lereng dinyatakan labil, maka diperlukan usaha untuk mengantisipasinya. Metode stabilitas lereng umumnya, mengurangi gaya yang melongsorkan atau menyebabkan lereng tanah tersebut longsor (bergerak turun) ke arah kaki lereng, memperbesar gaya perlawanan terhadap gaya yang melongsorkan, atau kombinasi ke duanya. Secara umum metode stabilitas lereng ini dapat dilakukan secara fisis, mekanis, khemis, dan bio engineering dengan memperhatikan kondisi lereng yang labil, sehingga dapat ditentukan metode yang paling tepat. Metode stabilitas lereng secara fisis merupakan metode yang paling sederhana, namun hasilnya dapat diandalkan. Usaha stabilisasi dengan membuat lereng lebih landai, sehingga lereng menjadi tidak curam, atau mengurangi beban di bagian atas lereng dengan memindahkan material di bagian puncak lereng ke kaki lereng, menempatkan konstruksi bahu lereng (berm) merupakan usaha untuk melandaikan lereng. Penempatan pratibobot (counterweight-merupakan konstruksi timbunan batu atau tanah di bagian kaki lereng), memberikan hasil yang memuaskan, namun diperlukan ruangan (space) yang cukup luas, karena berkaitan dengan usaha galian dan timbunan. Teknik ini adalah mengurangi gaya yang melongsorkan akibat massa tanah yang bergerak turun atau menambah besarnya perlawanan geser.

13 Usaha lain untuk membuat lereng tetap stabil dengan menempatkan sistem drainase permukaan (surface drainage) atau bawah permukaan (sub surface drainage) yang mampu untuk mengevakuasi sebagian air terutama air hujan yang berinfiltrasi ke dalam tanah, agar tanah/batuan pembentuk lereng tidak menjadi dalam kondisi jenuh air. Air hujan yang berinfiltrasi ke dalam tanah menyebabkan muka air tanah naik, sehingga memperbesar tekanan hidrostatis pada lereng tersebut. Selain itu, akibat tekanan rembesan dapat menimbulkan terjadinya peristiwa erosi buluh (piping) di bagian lereng, dan semakin lama semakin besar sesuai dengan perkembangan debit aliran rembesan. Pada lereng-lereng yang menunjukan gejala munculnya mata air rembesan di bagian kaki lereng setelah terjadi hujan, merupakan suatu indikasi bahwa lereng ini tidak mantab (labil). Berbagai bentuk drainase permukaan dapat berupa selokan atau parit drain, dan drainase bawah permukaan antara lain drain horisontal, lapisan drain, relief drain dan terowongan drain telah banyak digunakan, dan hasilnyapun dapat diandalkan (Suryolelono, 1993, 1999). Cara mekanis dalam usaha stabilisasi lereng dilakukan apabila ruangan yang tersedia sangat sempit, artinya bila cara fisis sangat sulit untuk diterapkan, barulah dilakukan dengan cara mekanis. Cara ini dengan menempatkan konstruksi penahan tanah konvensional, atau metode baru yaitu perkuatan tanah (soil reinfoercement), pengangkeran tanah (soil nailling), namun keberhasilan konstruksi ini akan lebih baik, apabila didukung dengan sistem drainase permukaan maupun bawah permukaan, dan pada konstruksi penahan tanah itu sendiri. Kegagalan konstruksi penahan tanah konvensional yang terjadi di kota Semarang (Forum, Maret 2002; Kedaulatan Rakyat, 17, 18, 20, 23 Februari 2002), runtuhnya candi Selogriyo (Suryolelono, 1995b; 1996), karena buruknya sistem drainase pada konstruksi penahan tanah, dan sistem drainase di sekitar konstruksi itu. Cara lain untuk mengantisipasi gerakan tanah ini dengan memancang tiang atau turap (sheet pile) di bagian lereng yang longsor, namun tiang atau turap harus cukup panjang dan melewati bidang longsor, sehingga efektif untuk menghambat turunnya material tanah yang longsor. Metode stabilisasi dengan cara khemis merupakan usaha mencampur bahan tanah dengan semen (soil cement-shotcrete), atau bahan kapur, abu sekam padi (ASP-abu sekam padi-RHA-rice husk

14 ash) (Suryolelono & Fathani, 2000), abu terbang (fly ash), sementasi (grouting) untuk meningkatkan kuat geser tanah, namun pemanfaatan bahan kimia ini perlu dipertimbangkan pengaruhnya terhadap lingkungan. Bio engineering merupakan suatu usaha stabilisasi lereng dengan menutup lereng-lereng yang terbuka dengan tanaman. Tujuan dari usaha ini, agar air hujan sebagai pemicu gerakan lereng dapat ditahan sementara, atau tidak segera infiltrasi ke dalam tanah, namun metode ini membutuhkan waktu lama. Umumnya metode ini digunakan apabila lereng diindentifikasi rawan terhadap erosi dan berakibat lanjut lereng longsor. Jenis tanaman yang direkomendasi oleh Bank Dunia seperti jati, akasia, johar, pinus mahoni, kemiri, damar dan lainlain, perlu disesuaikan dengan kondisi lereng setempat dan atas saransaran dari para ahli di bidang yang berkaitan. Mengurangi atau menghindari pembangunan teras bangku di lereng-lereng rawan longsor tanpa dilengkapi dengan saluran pembuangan air (SPA) dan saluran drainase bawah permukaan tanah untuk menurunkan muka air tanah, mengurangi intensifikasi pengolahan tanah di daerah rawan longsor (Soedjoko, 2000) merupakan salah satu usaha stabilisasi lereng rawan longsor. Umumnya usaha penanggulangan kelongsoran lereng yang digunakan merupakan kombinasi baik cara fisis, mekanis, khemis atau bio engineering, untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Keruntuhan lereng yang terjadi di Indonesia didominasi akibat sistim drainasi lereng yang buruk atau sistem drainasi yang ada mengalami gangguan. Keruntuhan lereng yang terjadi di dusun Klepu desa Banjararum Kecamatan Kalibawang tahun lalu, sebagai salah satu contoh terganggunya sistem drainase alam (torrencial river, avfoer, gully) yang ada, akibat tertutup/terpotong jalan aspal yang menghubungkan dusun Klepu dengan daerah lainnya Degan, Nogosari (Kedaulatan Rakyat, 30 November, 2001). Jika terjadi hujan, air yang jatuh di permukaan lereng akan tertahan oleh jalan ini, sehingga terjadi akumulasi air di bagian kaki lereng (sebagian menyebar mencari jalannya sendiri, dan sebagian infiltrasi ke dalam tanah), akibatnya tanah di bagian kaki lereng menjadi kenyang air, berakibat karakteristik tanah menurun drastis, terjadi penurunan kuat geser tanah, dan lereng menjadi rawan longsor. Demikian pula halnya runtuhnya Candi Selogroyo di desa Kembangkuning, Kecamatan

15 Windusari, Kabupaten Magelang, akibat terjadinya akumulasi air di bagian kaki lereng. Penyebab utama keruntuhan lereng di lokasi Candi Selogriyo adalah bangunan pelimpah konstruksi pengambilan air (captering) yang terletak di sebelah hulu Candi Selogriyo tidak mampu mengalirkan air yang melimpah ke sungai torrencial, sehingga air menyebar secara horisontal masuk melewati bidang kontak antara lapisan tanah keras (bed rock) dan tanah residual di atasnya (Suryolelono, 2000). Bencana tanah longsor di Desa Penusupan Kecamatan Sruweng Kabupaten Kebumen, juga didahului dengan munculnya mata air di kaki lereng (piping) yang dalam bahasa daerahnya adalah lemahe ngetuk (Kedaulatan Rakyat, 8 Oktober, 2001), demikian pula bencana tanah longsor di daerah Kulonprogo, Purworejo dan tempat-tempat lainnya selalu didahului dengan tandatanda munculnya mata air di bagian kaki lereng. Bencana di lokasi pemandian air panas di kaki Gunung Welirang, Pacet, Mojokerto, baru-baru ini merupakan satu contoh lagi terganggunya sistem drainase yang ada. Sistem drainase (sungai) alam yang ada tidak mampu mengalirkan debit aliran sungai pada saat itu, sehingga air mencari jalannya sendiri dengan menggerus lapisan tanah yang merupakan endapan vulkanik. Tanah yang telah bercampur air bergerak sangat cepat dikenal dengan lahar dingin atau mud (earth) flow, mempunyai kemampuan merusak sangat dahsyat. Keruntuhankeruntuhan lereng yang dipicu oleh hujan umumnya disebabkan oleh buruknya sistem drainase yang ada, bahkan tidak ada, sehingga air mencari jalannya sendiri. Munculnya aliran air demikian besar, sehingga sungai-sungai (drainase) alam tidak mampu melewatkan debit aliran, disebabkan oleh faktor-faktor antara lain rusaknya daerah penyangga hujan di sebelah hulu. Keruntuhan-keruntuhan lereng yang terjadi di bagian tebingtebing sungai, disebabkan oleh beban lereng semakin berat akibat munculnya pemukiman di lereng-lereng tersebut, serta semakin sempitnya luas tampang basah aliran sungai akibat rumah-rumah ini menjorok ke arah sungai, sehingga kecepatan aliran semakin deras dan erosi di bagian kaki lereng semakin kuat, terjadi peningkatan tegangan geser dan pengurangan kuat geser pada lereng tersebut, akibatnya lereng runtuh. Sebenarnya sungai atau jalan air seperti layaknya jalan raya mempunyai batas-batas yang dikenal dengan batas sempadan

16 sungai. Dalam Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993, Pasal 5 sampai dengan Pasal 12, isinya tentang garis sempadan sungai yang mengatur batas-batas wilayah sungai serta peruntukan/pemanfaatan daerah sempadan sungai. Pada Pasal 5 sampai dengan Pasal 10, mengatur kriteria penetapan garis sempadan sungai yang terdiri a) sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan, b) sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan, c) sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan, dan d) sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan. Pasal 11 mengatur pemanfaatan Daerah Sempadan Sungai yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk kegiatan-kegiatan tertentu antara lain untuk a) budidaya pertanian dengan jenis tananam yang diijinkan, b) kegiatan niaga, penggalian, dan timbunan, c) pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan peringatan, serta rambu-rambu pekerjaan, d) pemasangan rentangan kabel listrik, telepon, dan pipa air minum, e) pemancangan tiang atau fondasi prasarana jalan/jembatan baik umum maupun kereta api, f) penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan kemasyarakatan yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi kelestarian dan keamanan fungsi serta fisik sungai, g) pembangunan prasarana lalulintas air dan bangunan pengambilan dan pembuangan air. Pelaksanaan ketentuan tersebut di atas harus memperoleh ijin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang. Pasal 12 yang mengatur tentang larangan untuk a) membuang sampah, limbah padat atau cair, b) mendirikan bangunan perumahan untuk hunian dan tempat usaha. Izin pemanfaatan lahan di daerah manfaat sungai, telah diatur dalam Pasal 14 ayat 2 yang menyatakan bahwa ijin pemanfaatan lahan di daerah manfaat sungai yang berada pada wilayah sungai yang pembinaannya menjadi kewenangan Menteri, diberikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari Kepala Kantor Wilayah yang terkait, sedangkan pada ayat 3 menyatakan ijin pemanfaatan lahan di daerah manfaat sungai yang berada pada wilayah sungai yang wewenang pembinaannya dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah, diberikan ole Gubernur Kepala Daerah dengan rekomendasi teknis dari Dinas setelah berkonsultasi dengan Kepala Kantor Wilayah. Ayat 4 mengatur ijin pemanfaatan lahan di daerah manfaat sungai yang berada pada

17 wilayah sungai yang wewenangnya pembinaannya dilimpahkan kepada Badan Hukum tertentu dilengkapi dengan rekomendasi teknis dari Badan Hukum tertentu dan ijin diberikan oleh Gubernur, Kepala Daerah dalam hal sungai yang bersangkutan mengalir pada suatu propinsi, Direktur Jenderal atas nama Menteri dalam hal sungai yang bersangkutan mengalir pada lebih dari satu propinsi. Selain itu, masyarakat yang memanfaatkan lahan di daerah manfaat sungai dapat dikenakan kontribusi dalam rangka pemeliharaan daerah manfaat sungai, yang dapat berupa uang atau tenaga diatur dalam Pasal 14 ayat 3. Daerah penguasaan sungai telah diatur dalam Pasal 15 yang menyatakan a) penetapan daerah penguasaan sungai dimaksudkan agar pejabat yang berwenang dapat melaksanaan upaya pembinaan sungai seoptimal mungkin bagi keselamatan umum, b) batas daerah penguasaan sungai yang berupa daerah retensi ditetapkan 100 meter dari elevasi banjir rencana di sekeliling daerah genangan, sedangkan yang berupa dataran banjir ditetapkan berdasar debit banjir rencana sekurang-kurangnya periode ulang 50 tahunan, c) pejabat yang berwenang mengatur rencana peruntukan penguasaan sungai, dengan memperhatikan kepentingan instansi lain yang bersangkutan. Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut di atas telah diatur dalam Pasal 20 tentang sanksi berupa a) pidana sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1991 tentang sungai, dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, b) sanksi administratif sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dari pasal-pasal yang ada dalam Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993, sudah jelas, namun perkembangan wilayah di lerenglereng sungai ini sulit untuk dihambat atau dikendalikan, dan ironisnya pemukiman di lereng-lereng ini mempunyai IMB dan bahkan jaringan listrik, telepon, maupun air minum telah masuk, sehingga memperkuat keberadaan rumah-rumah hunian di lereng tersebut. Oleh karena itu, penegakan dan sosialisasi Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993, perlu diwujutkan secara nyata agar bencana baik longsornya lereng-lereng sungai maupun bencana banjir dapat

18 dihindari. Peraturan ini sebenarnya merupakan peraturan sejak jaman belanda yang telah mengalami perbaikan dan penyesuaian, namun peraturan tinggal peraturan, karena berbagai kepentingan dari berbagai pihak, sehingga pelaksanaan peraturan ini semakin sulit. Dari uraian tersebut di atas, untuk menghidari bencana alam baik tanah longsor, maupun bencana lainnya, perlu dibuat suatu Badan/Biro yang mengelola secara khusus kegiatan ini, baik ditingkat pusat maupun di tingkat propinsi. Selama ini pengelolaan bencana alam baik banjir, tanah longsor ataupun bencana lainnya, pada umumnya baru bersifat insidentil, dan dibeberapa daerah sudah tampak persiapan-persiapan, namun baru di tingkat penyelamatan korban dan bantuan korban bencana. Ditinjau dari kejadian bencana alam di Indonesia yang terjadi setiap tahun (banjir dan tanah longsor), maka Badan inilah yang melakukan kegiatan-kegiatan sebelum (pra), selama, dan sesudah (pasca) bencana, dan dibagi dalam dua divisi yaitu divisi teknis dan non teknis. Divisi teknis lebih banyak bekerja pada sebelum dan sesudah terjadi bencana. Berbagai ahli dalam divisi teknis (warning system, geologi, geophisik, geoteknik, geodesi, teknik sipil, hidrologi, lingkungan, kehutanan, pertanian dan lain-lain) untuk melakukan kajian-kajian daerah-daerah rawan longsor dengan menggunakan teknologi canggih maupun sederhana (tradisional), dan evaluasi-evaluasi serta pencegahannya. Penanganan masalah warning system yang merupakan bagian terpenting untuk memberi informasi secara dini kepada masyarakat tentang akan terjadinya bencana, sarana/prasarana (infrastruktur) bangunan-bangunan prasarana umum, komunikasi, dan penelitian. Pembuatan peta-peta daerah rawan bencana berdasarkan pantauan bencana yang terjadi pada waktu lalu, penelitian-penelitian sebelum dan sesudah bencana perlu dilakukan dengan melakukan interpretasi peta topografi, maupun citra satelit, analisis-analisis gerakan massa tanah beserta jangkauannya, sehingga dapat diprediksi daerah mana yang akan terkena bencana, serta bagaimana cara-cara penanggulangannya, memberikan informasi kepada masyarakat atau instansi terkait untuk mulai melakukan persiapan-persiapan yang matang, sehingga pada saat terjadi bencana, semua sudah siap. Penelitian-penelitian daerah-daerah yang diindikasikan sebagai daerah rawan longsor, penanggulangan jangka panjang dan jangka pendek perlu diinformasikan ke masyarakat melalui

19 instansi-instansi terkait. Divisi non teknis banyak berhubungan dengan masalah-masalah kemasyarakatan dalam melakukan kegiatannya pada sebelum, selama, dan sesudah terjadi bencana. Kegiatan tidak saja pada penyelamatan warga dan pengiriman bantuan, namun berkaitan dengan usaha-usaha sosialisasi peraturan-peraturan yang ada seperti Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993 tentang garis sempadan sungai, dan peraturan lainnya, sosialisasi tentang bencana alam dan gejala-gejala/tanda-tanda apa saja yang perlu diwaspadai antara lain pintu-pintu atau jendela sulit dibuka (macet) untuk pertama kali, retakan baru muncul pada dinding, lantai, atau fondasi, dinding atau tangga miring ke arah luar, secara perlahan retakan pada tanah muncul, sembulan tanah muncul di kaki lereng, munculnya rembesan air di permukaan tanah pada lokasi baru, dinding, pohon miring atau bergerak, terdengar suara gemuruh semakin lama semakin keras. Cara-cara memberikan informasi dini baik dengan teknologi tradisional (kentongan) maupun teknologi canggih kepada masyarakat melalui instansi-instansi terkait, melakukan simulasi-simulasi tentang caracara penyelamatan, kesehatan, keselamatan jiwa, pengiriman bantuan selama terjadi bencana, dan mengurangi beban psikologis masyarakat yang terkena bencana pasca bencana. Kegiatan evaluasi baik untuk keperluan teknis maupun non-teknis perlu dilakukan sesudah masa bencana untuk antisipasi di tahun-tahun mendatang.

20 DAFTAR PUSTAKA

Abramson, L. W., Lee, T. S., Sharma, S., dan Boyce, G. M., 1996, Slope stability and stabilization methods, John Wiley & Sons, Inc., New York, USA. Anonim, 2000, Candi Selogriyo, Penyebab Keruntuhan dan Konsep Penanggulangannya, Balai Studi dan Konservasi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Anonim, 1993, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai. Braja M. Das, 1994, Principles of Geotechnical Engineering, PWS Publs., Boston, USA. Bishop, A.W., 1955, The use of the slip circle in the stability analysis os slopes, Geotechnique, Vol. 5. Chowdhury, R. N., 1978, Slope analysis, Elsevier, Amsterdam. Fathani, T. F., Nakamura, H., Suryolelono, K. B., dan Legono, D., 2002, Mathematical model on the prediction of landslide movements, Seminar Peran Model Mathematik dalam Mitigasi Bencana Alam, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik UGM. Fellenius, W., 1936, Calculation of stability of earth dams, Transactions, 2nd Conggress Large Dam, Washingto, D.C., Vol.4. Forum Keadilan, 2002, Alam dituduh, pemilik tersangka, 3 Maret, No. 46, halaman 27. Fredlund, D. G., dan Rahardjo, H., 1993, Soil mechanics for unsaturated soils, John Wiley & Sons, New York, USA. Giani, G. P., 1992, Rock slope stability analysis, A.A. Balkema, P.O. Box 1675, 3000 BR Rotterdam, Netherlands. Holtz,R. D., dan Kovacs, W. D., 1981, An introduction to geotechnical engineering, Englewood Cliffs, Prentice-Hall, New Yersey, USA. Janbu, N., 1954, Application of composite slip surface for stability analysis, European Cnf. On Stability of Earth Slopes, Stockholm, Swedia. Kedaulatan Rakyat, 2001, Apabila tanah longsor terjadi lagi, 8 Oktober, hal. 13.

21 , 2001, Warga tak mampu lakukan pengerukan, jalan ke Nogosari masih tertutup, 30 November, hal. 4. , 2002, Enam rumah terkubur, 10 rusak berat, talud runtuh, 4 tewas, 3 masih tertimbun, 17 Februari, hal. 1. , 2002, Musibah longsor di Semarang, pemilik talud tersangka, 18 Februari, hal. 1. , 2002, Pemilik talud maut diberi 2 pilihan, 20 Februari, hal. 6. , 2002, Longsoran di Lempongsari Semarang, lereng terlalu curam, 23 Februari, hal. 18. , 2002, Walikota Semarang prihatin lagi, talud ambrol, 4 tewas, 13 Maret, hal. 1. Morgenstern, N. R., dan Price, V. E., 1965, The analysis of the stability of general slip surface, Geotechnics, Vol. 15 hal. 79-93. Nakamura, H.,Tsunaki, R., dan Ishihama, S., 1989, Simulation Model for Debris Movement of Landslides, Proc. Of the Japa-China Symp. On Landslide and Debris Flows, Niigata, Tokyo, hal. 8186. Nakamura, H., Fathani, T. F., dan Karna A. K., 2002, Analysis of Debris based on the Geotechnical Properties of Sliding Mass, Int. Symp. Landslides Risk Mitigation and Protection of Cultural and Natural Heritage, Kyoto University, Kyoto, Japan. Nakamura, H., dan Fathani, T. F., 2002a, Hazard Area Prediction for a Landslide in Galunggung Volcano, Proc. Of the 10th Int. Conf. and Fieldtrip on Landslides (ICFL), Krakow, Polandia. Rahardjo, H., Leong, E. C., dan Rezaur, R. B., 2002, Studies of rainfall-induced slope failures, Prosiding Seminar Nasional SLOPE 2002, Bandung. Sasa, K., 1987, Areal prediction of the motion landslides, Proc. Of the China-Japan field workshop on landslide, Xian-Lanzhou, China, hal. 97-102. Spencer, F., 1973, Thrust line criterion in embankment stability analysis, Geotechnique, Vol. 23. Soedjoko, S. A., 2000, Banjir dan longsor lahan perspektif ilmu kehutanan, Seminar Bulanan Pusat Kajian Hutan Rakyat, Bagian Manajemen Fakultas Kehutanan UGM.

22 Suryolelono, K. B., 1993, Letak Bidang gelincir dan penanggulangan keruntuhan lereng bagian utara Stadion Mulawarman PT Pupuk Kaltim, Bontang, Kalimantan Timur, Forum Teknik Sipil No. II/1 Agustus. , 1994, The physical of the erosion control system of artificial sand slope by rain condition in Indonesia, Proc. of the 3rd Seminar on Sabo Eng. (SSE-3), Ministry of Public WorksSabo Technical Centre Republic of Indonesia & Japan International Cooperation Agency (JICA), Jogjakarta, hal. 105121. , 1994a, Perbaikan keruntuhan tanah dengan teknologi geosintetik, Seminar Sehari, Fakultas Teknik Universitas Mataram, Lombok. , 1994-1995, Model fisis sistem penanggulangan erosi tebing buatan akibat hujan, Penelitian PAU-Ilmu-Ilmu Teknik Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. , 1995, Rekalkulasi tebing galian di bawah reservoir kawasan perumahan dinas paket V PT Pupuk Kaltim (Persero) Bontang, Kaltim dan Fakultas Teknik UGM. , 1995a, Studi pengamanan tebing sungai Siak Kodya Pekan Baru, Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Riau dan PAUIlmu-Ilmu Teknik Universitas Gadjah Mada. , 1995b, Studi pengamanan tebing dan perencanaan detail di Kawasan Guest House Pemda TK I Kalimantan Timur Balikpapan, PT Biro Insinyur Exakta Cabang Kalimantan Timur, Balikpapan. , 1996, Penanggulangan Kelongsoran Tahap II, Talud Sisi Barat Gunung Pancur-Balikpapan, PT Biro Exakta Cabang Kalimantan Timur, Balikpapan. , 1996a, Geoteknik, Geosintetik, dan Geomembran, Pidato Pengukuhan Jabatan Lektor Kepala Madya dalam Bidang Ilmu Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Pada Rapat Senat Terbuka Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, tanggal 20 April 1996.

23 , 1999, Penanggulangan Keruntuhan Lereng di Kawasan Perumahan Ramayanan Kotamadya Balikpapan, Proc. Seminar Nasional Geoteknik 99, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, hal. 66-71. , 1999a, Analisis stabilitas lereng timbunan dengan perkuatan geosintetik, Jurnal Media Teknik Fakultas Teknik, UGM, No. 1 th. XXI, Februari. , 1999b, Letak bidang longsor lereng candi Selogriyo Kabupaten Magelang, Jurnal Forum Teknik, FT UGM, Jogjakarta, Vol. 23 No. 3, November. , 2000, Candi Selogriyo, penyebab keruntuhan dan konsep penanggulangannya, Balai Studi dan Konservasi Borobudur, Magelang. , 2000a, Percepatan konsolidasi tanah lunak di lahan pergudangan baru PT. Pupuk Kaltim, Bontang, Kalimantan Timur, Media Teknik No. 4 th. XXII, No. 2000, Fakultas Teknik UGM. , 2002, Kaji ulang sumur resapan di perumahan Ramayana Balikpapan, Kalimantan Timur, Prosiding Seminar Slope 2002, Universitas Parahyangan, Bandung, April. , 2002, Model matematik dua dimensi dalam analisis mekanisme tanah longsor, Prosiding seminar peran model matematik dalam mitigasi bencana alam, Jurusan Teknik Sipil FT UGM, 30 September. Winterkorn, H. F., dan Fang, H. Y., 1975, Foundation engineering handbook, Van Nostrand Reinhold Comp., New York, USA.

You might also like