You are on page 1of 24

Anatomi Toraks: Surface Anatomy - Dinding Toraks Toraks adalah daerah pada tubuh manusia (atau hewan) yang

berada di antara leher dan perut (abdomen). Toraks dapat didefinisikan sebagai area yang dibatasi di superior oleh thoracic inlet dan inferior oleh thoracic outlet; dengan batas luar adalah dinding toraks yang disusun oleh vertebra torakal, iga-iga, sternum, otot, dan jaringan ikat. Sedangkan rongga toraks dibatasi oleh diafragma dengan rongga abdomen. Rongga Toraks dapat dibagi kedalam dua bagian utama, yaitu : paru-paru (kiri dan kanan) dan mediastinum. Mediastinum dibagi ke dalam 3 bagian: superior, anterior, dan posterior. Mediastinum terletak diantara paru kiri dan kanan dan merupakan daerah tempat organ-organ penting toraks selain paru-paru (yaitu: jantung, aorta, arteri pulmonalis, vena cavae, esofagus, trakhea, dll.). Thoracic inlet merupakan "pintu masuk" rongga toraks yang disusun oleh: permukaan ventral vertebra torakal I (posterior), bagian medial dari iga I kiri dan kanan (lateral), serta manubrium sterni (anterior). Thoracic inlet memiliki sudut deklinasi sehingga bagian anterior terletak lebih inferior dibanding bagian posterior. Manubrium sterni terletak kira-kira setinggi vertebra torakal II. Batas bawah rongga toraks atau thoracic outlet (pintu keluar toraks) adalah area yang dibatasi oleh sisi ventral vertebra torakal XII, lateral oleh batas bawah iga dan anterior oleh processus xiphoideus. Diafragma sebagai pembatas rongga toraks dan rongga abdomen, memiliki bentuk seperti kubah dengan puncak menjorok ke superior, sehingga sebagian rongga abdomen sebenarnya terletak di dalam "area" toraks. SURFACE ANATOMY Pada garis tengah dibagian anterior terletak sternum yang terdiri dari 3 bagian, manubrium, korpus, dan prosesus xiphoideus. Titik paling atas sternum dikenal sebagai sternal notch atau insisura jugularis, yang tampak berupa lekukan antara kedua kaput klavikula. Insisura ini setinggi batas bawah dari vertebra torakal ke-2. Angulus ludovici adalah tonjolan yang terjadi oleh karena pertemuan bagian korpus dan manubrium sterni yang membentuk sudut. Sudut ini tampak nyata pada orang yang kurus. Angulus ludovici adalah penanda anatomi permukaan oleh karena terletak setinggi iga ke-2 dan vertebra torakal 4-5. Setinggi angulus ini terdapat organ-organ penting: arkus aorta dan karina. Bagian terakhir sternum adalah processus xiphoideus yang dapat diraba sebagai ujung bawah yang lunak dari sternum; kira-kira setinggi vertebra torakal 9. Lateral terhadap sternal terdapat iga dan sela iga yang dapat dibedakan dan dihitung melalui palpasi. Hampir seluruh iga tertutup oleh otot, tetapi hanya iga I yang tidak dapat teraba oleh karena tertutup oleh klavikula. Batas bawah rongga iga di sebelah anterior dibentuk oleh processus xiphoideus, rawan kartilago dari iga VII-X, dan ujung kartilago dari iga XI-XII. Papilla mammae pada pria yang kurus berada di sekitar sela iga V kiri sedikit lateras garis mid-klavikula.

Triangulus auskultatorius adalah area segitiga yang dibentuk oleh skapula di lateral, superior oleh batas inferior m.trapezius dan inferior oleh batas superior m. latissimus dorsi yang terjadi saat skapula tertarik ke lateral-anterior pada posis lengan melipat ke depan dada dan ke depan. Area ini merupakan petunjuk klinis penting karena sela-sela iga di tempat ini hanya tertutup oleh jaringan sub-kutan dan merupakan tempat yang baik untuk pemeriksaan auskultasi toraks. Klavikula dapat dengan mudah diraba atau dilihat karena hanya ditutupi oleh subkutis dan kulit. Skapula dapat diraba dari permukaan dengan margo vertebralis, angulus inferior, dan spina. Untuk vertebra, sebagai patokan hanya dapat diraba prosesus spinosus vertebra; pada bagian atas yang terbesar dan paling menonjol adalah vertebra servikalis ke7 dan dibawahnya adalah vertebra torakalis pertama. Garis-garis (imajiner) yang penting adalah linea midsternalis (midline), linea parasternalis, dan midklavikularis. Di toraks lateral ada garis aksilaris anterior (sesuai sisi lateral M.pektoralis mayor), linea aksilaris medius (sesuai dengan puncak aksila) dan linea aksilaris posterior (sesuai dengan M.latissimus dorsi) Biasanya otot yang diinsisi pada waktu melakukan torakotomi posterolateral hanya otot latissimus dorsi. Bila diinginkan lebih lebar: ke posterior dapat dipotong muskulus trapezius dan rhomboideus mayor dan minor; ke anterior dapat dipotong muskulus seratus anterior di origonya (bagian depan otot) untuk menghidari kerusakan nervus torakalis longus. Untuk torakotomi anterior dilakukan pemotongan dari M.pektoralis Area Pre-cordial adalah area proyeksi dari jantung ke dinding dada anterior, yaitu daerah dengan : batas batas batas batas superior: iga II kiri inferior : pinggir bawah toraks (iga) kiri kanan : garis parasternal kanan kiri : garis mid-klavikula kiri

DINDING TORAKS Costae Rangka toraks terluas adalah iga-iga (costae) yang merupakan tulang jenis osseokartilaginosa. Memiliki penampang berbentuk konus, dengan diameter penampang yang lebih kecil pada iga teratas dan makin melebar di iga sebelah bawah. Di bagian posterior lebih petak dan makin ke anterior penampang lebih memipih. Terdapat 12 pasang iga : 7 iga pertama melekat pada vertebra yang bersesuaian, dan di sebelah anterior ke sternum. Iga VIII-X merupakan iga palsu (false rib) yang melekat di anterior ke rawan kartilago iga diatasnya, dan 2 iga terakhir merupakan iga yang melayang karena tidak berartikulasi di sebelah anterior. Setiap iga terdiri dari caput (head), collum (neck), dan corpus (shaft). Dan memiliki 2 ujung : permukaan artikulasi vertebral dan sternal.

Bagian posterior iga kasar dan terdapat foramen-foramen kecil. Sedangkan bagian anterior lebih rata dan halus. Tepi superior iga terdapat krista kasar tempat melekatnya ligamentum costotransversus anterior, sedangkan tepi inferior lebih bulat dan halus. Pada daerah pertemuan collum dan corpus di bagian posterior iga terdapat tuberculum. Tuberculum terbagi menjadi bagian artikulasi dan non artikulasi. Penampang corpus costae adalah tipis dan rata dengan 2 permukaan (eksternal dan internal), serta 2 tepi (superior dan inferior). Permukaan eksternal cembung (convex) dan halus; permukaan internal cekung (concave) dengan sudut mengarah ke superior. Diantara batas inferior dan permukaan internal terdapat costal groove, tempat berjalannya arteri-vena-nervus interkostal. Iga pertama merupakan iga yang penting oleh karena menjadi tempat melintasnya plexus brachialis, arteri dan vena subklavia. M.scalenus anterior melekat di bagian anterior permukaan internal iga I (tuberculum scalenus), dan merupakan pemisah antara plexus brachialis di sebelah lateral dan avn subklavia di sebelah medial dari otot tersebut. Sela iga ada 11 (sela iga ke 12 tidak ada) dan terisi oleh m. intercostalis externus dan internus. Lebih dalam dari m. intercostalis internus terdapat fascia transversalis, dan kemudian pleura parietalis dan rongga pleura. Pembuluh darah dan vena di bagian dorsal berjalan di tengah sela iga (lokasi untuk melakukan anesteri blok), kemudian ke anterior makin tertutup oleh iga. Di cekungan iga ini berjalan berurutan dari atas ke bawah vena, arteri dan syaraf (VAN). Mulai garis aksilaris anterior pembuluh darah dan syaraf bercabang dua dan berjalan di bawah dan di atas iga. Di anterior garis ini kemungkinan cedera pembuluh interkostalis meningkat pada tindakan pemasangan WSD. Vertebra Untuk bedah toraks sebetulnya tidak banyak yang harus diketahui mengenai vertebra kecuali bahwa persendiannya dengan kosta. Vertebra torakalis pertama (T 1)mempunyai satu persendian yang lengkap dengan iga I dan setengah persendian dengan iga II. Selanjutnya T2-T8 mempunyai dua persendian, di atas dan di bawah korpus vertebra (untuk iga II sampai dengan VIII). Sedang dari T9-T12 hanya mempunyai satu persendian dengan iga. Semua ini penting untuk melepaskan iga dari korpus vertebra pada waktu melakukan torakotomi. Yang perlu juga diketahui adalah ligamentum longitudinalis anterior; di depan ligamentum ini terdapat suatu ruangan (space) dengan susunan jaringan ikat yang longgar dan merupakan "jalan" untuk descending infection dari daerah leher menuju mediastinum. Trauma Toraks I : Umum Trauma toraks mencakup area anatomis leher dan toraks serta dapat menyebabkan kelainan pada sistem respirasi, sistem sirkulasi, dan sistem pencernaan. Menurut salah satu buku rujukan disebutkan angka mortalitas pada

trauma toraks mencapai 10%. Akan tetapi kematian akibat trauma toraks merupakan 1/4 jumlah kematian total akibat kasus-kasus trauma. Klasifikasi dan Mekanisme Trauma toraks dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu trauma tembus atau tumpul. 1. Trauma tembus (tajam) Terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat penyebab trauma Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru Sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi 2. Trauma tumpul Tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks. Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau blast injuries. Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru. Sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi Mekanisme Akselerasi Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma. Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi); sesuai dengan hukum Newton II (Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas jaringan tubuh yang menerima gaya perusak dari trauma tersebut. Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak tembak; penggunaan senjata dengan kecepatan tinggi seperti senjata militer high velocity (>3000 ft/sec) pada jarak dekat akan mengakibatkan kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih luas dibandingkan besar lubang masuk peluru. Deselerasi Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan. Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma. Kerusakan terjadi oleh karena pada saat trauma, organ-organ dalam yang mobile (seperti bronkhus, sebagian aorta, organ visera, dsb) masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi akibat tumbukan pada dinding toraks/rongga tubuh lain atau oleh karena tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut. Torsio dan rotasi Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan pengikat/fiksasi, seperti Isthmus aorta, bronkus utama, diafragma atau atrium. Akibat adanya deselerasi yang tiba-tiba, organ-organ tersebut dapat terpilin atau terputar dengan jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau poros-nya. Blast injury

Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung dengan penyebab trauma. Seperti pada ledakan bom. Gaya merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran gelombang energi. Faktor lain yang mempengaruhi Sifat jaringan tubuh Jenis jaringan tubuh bukan merupakan mekanisme dari perlukaan, akan tetapi sangat menentukan pada akibat yang diterima tubuh akibat trauma. Seperti adanya fraktur iga pada bayi menunjukkan trauma yang relatif berat dibanding bila ditemukan fraktur pada orang dewasa. Atau tusukan pisau sedalam 5 cm akan membawa akibat berbeda pada orang gemuk atau orang kurus, berbeda pada wanita yang memiliki payudara dibanding pria, dsb. Lokasi Lokasi tubuh tempat trauma sangat menentukan jenis organ yang menderita kerusakan, terutama pada trauma tembus. Seperti luka tembus pada daerah prekordial. Arah trauma Arah gaya trauma atau lintasan trauma dalam tubuh juga sangat mentukan dalam memperkirakan kerusakan organ atau jaringan yang terjadi. Perlu diingat adanya efek "ricochet" atau pantulan dari penyebab trauma pada tubuh manusia. Seperti misalnya : trauma yang terjadi akibat pantulan peluru dapat memiliki arah (lintasan peluru) yang berbeda dari sumber peluru sehingga kerusakan atau organ apa yang terkena sulit diperkirakan. Kondisi Yang Berbahaya Berikut adalah keadaan atau kelainan akibat trauma toraks yang berbahaya dan mematikan bila tidak dikenali dan di-tatalaksana dengan segera: 1. Obstruksi jalan napas Tanda: dispnoe, wheezing, batuk darah PF:stridor, sianosis, hilangnya bunyi nafas Ro toraks: non-spesifik, hilangnya air-bronchogram, atelektasis 2. Tension pneumotoraks Tanda : dispnoe, hilangnya bunyi napas, sianosis, asimetri toraks, mediastinal shift Ro toraks (hanya bila pasien stabil) : pneumotoraks, mediastinal shift 3. Perdarahan masif intra-toraks (hemotoraks masif) Tanda: dispnoe, penampakan syok, hilang bunyi napas, perkusi pekak, hipotensif Ro toraks: opasifikasi hemitoraks atau efusi pleura 4. Tamponade

Tanda: dispnoe, Trias Beck (hipotensi, distensi vena, suara jantung menjauh), CVP > 15 Ro toraks: pembesaran bayangan jantung, gambaran jantung membulat 5. Ruptur aorta Tanda: tidak spesifik, syok Ro toraks: pelebaran mediastinum, penyempitan trakhea, efusi pleura 6. Ruptur trakheobronhial Tanda: Dispnoe, batuk darah Ro toraks: tidak spesifik, dapat pneumotoraks, hilangnya air-bronchograms 7. Ruptur diafragma disertai herniasi visera Tanda: respiratory distress yang progresif, suara usus terdengar di toraks Ro toraks : gastric air bubble di toraks, fraktur iga-iga terbawah, mediastinal shift 8. Flail chest berat dengan kontusio paru Tanda: dispnoe, syok, asimetris toraks, sianosis Ro toraks: fraktur iga multipel, kontusio paru, pneumotoraks, effusi pleura 9. Perforasi esofagus Tanda: Nyeri, disfagia, demam, pembengkakan daerah servikal Ro toraks: udara dalam mediastinum, pelebaran retrotracheal-space, pelebaran mediastinum, efusi pleura, pneumotoraks Penatalaksanaan Trauma Toraks Prinsip Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan pasien trauma secara umum (primary survey - secondary survey) Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara konsekutif (berturutan) Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa dilakukan bila pasien stabil), adalah : portable x-ray, portable blood examination, portable bronchoscope. Tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari ruang emergency. Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan tetapi terutama untuk menemukan masalah yang mengancam nyawa dan melakukan tindakan penyelamatan nyawa. Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan atau setelah melakukan prosedur penanganan trauma. Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah memiliki sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support). Oleh karena langkah-langkah awal dalam primary survey (airway, breathing,

circulation) merupakan bidang keahlian spesialistik Ilmu Bedah Toraks Kardiovaskular, sebaiknya setiap RS yang memiliki trauma unit/center memiliki konsultan bedah toraks kardiovaskular. Primary Survey Airway Assessment : perhatikan patensi airway dengar suara napas perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada Management : inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-lift dan jaw thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan napas re-posisi kepala, pasang collar-neck lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral / nasal) Breathing Assesment Periksa frekwensi napas Perhatikan gerakan respirasi Palpasi toraks Auskultasi dan dengarkan bunyi napas Management: Lakukan bantuan ventilasi bila perlu Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension pneumotoraks, open pneumotoraks, hemotoraks, flail chest Circulation Assesment Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi Periksa tekanan darah Pemeriksaan pulse oxymetri Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis) Management Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines Torakotomi emergency bila diperlukan Operasi Eksplorasi vaskular emergency Tindakan Bedah Emergency Krikotiroidotomi Trakheostomi Tube Torakostomi

Torakotomi Eksplorasi vaskular Trauma Toraks II: Kelainan Spesifik TRAUMA PADA DINDING DADA FRAKTUR IGA Fraktur pada iga (costae) merupakan kelainan tersering yang diakibatkan trauma tumpul pada dinding dada. Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga. Fraktur iga terutama pada iga IV-X (mayoritas terkena) Perlu diperiksa adanya kerusakan pada organ-organ intra-toraks dan intra abdomen. Kecurigaan adanya kerusakan organ intra abdomen (hepar atau spleen) bila terdapat fraktur pada iga VIII-XII Kecurigaan adanya trauma traktus neurovaskular utama ekstremitas atas dan kepala (pleksus brakhialis, a/v subklavia, dsb.), bila terdapat fraktur pada iga I-III atau fraktur klavikula. Penatalaksanaan Fraktur 1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain : konservatif (analgetika) Fraktur >2 iga : waspadai kelainan lain (edema paru, hematotoraks, pneumotoraks) Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks, hematotoraks, atau kerusakan organ intratoraks lain, adalah: Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block) Bronchial toilet Cek Lab berkala : Hb, Ht, Leko, Tromb, dan analisa gas darah Cek Foto Ro berkala Penatalaksanaan fraktur iga multipel yang disertai penyulit lain (seperti: pneumotoraks, hematotoraks dsb.), ditujukan untuk mengatasi kelainan yang mengancam jiwa secara langsung, diikuti oleh penanganan pasca operasi/tindakan yang adekuat (analgetika, bronchial toilet, cek lab dan ro berkala), sehingga dapat menghindari morbiditas/komplikasi. Komplikasi tersering adalah timbulnya atelektasis dan pneumonia, yang umumnya akibat manajemen analgetik yang tidak adekuat. FRAKTUR KLAVIKULA Cukup sering sering ditemukan (isolated, atau disertai trauma toraks, atau disertai trauma pada sendi bahu ). Lokasi fraktur klavikula umumnya pada bagian tengah (1/3 tengah) Deformitas, nyeri pada lokasi taruma. Foto Rontgen tampak fraktur klavikula

Penatalaksanaan Konservatif : "Verband figure of eight" sekitar sendi bahu. Pemberian analgetika. Operatif : fiksasi internal Komplikasi : timbulnya malunion fracture dapat mengakibatkan penekanan pleksus brakhialis dan pembuluh darah subklavia. FRAKTUR STERNUM Insidens fraktur sternum pada trauma toraks cukup jarang, umumnya terjadi pada pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan. Biasanya diakibatkan trauma langsung dengan gaya trauma yang cukup besar Lokasi fraktur biasanya pada bagian tengah atas sternum Sering disertai fraktur Iga. Adanya fraktur sternum dapat disertai beberapa kelainan yang serius, seperti: kontusio/laserasi jantung, perlukaan bronkhus atau aorta. Tanda dan gejala: nyeri terutama di area sternum, krepitasi Pemeriksaan Seringkali pada pemeriksaan Ro toraks lateral ditemukan garis fraktur, atau gambaran sternum yang tumpang tindih. Pemeriksaan EKG : 61% kasus memperlihatkan adanya perubahan EKG (tanda trauma jantung). Penatalaksanaan Untuk fraktur tanpa dislokasi fragmen fraktur dilakukan pemberian analgetika dan observasi tanda2 adanya laserasi atau kontusio jantung Untuk fraktur dengan dislokasi atau fraktur fragmented dilakukan tindakan operatif untuk stabilisasi dengan menggunakan sternal wire, sekaligus eksplorasi adanya perlukaan pada organ atau struktur di mediastinum. DISLOKASI SENDI STERNOKLAVIKULA Kasus jarang Dislokasi anterior : nyeri, nyeri tekan, terlihat "bongkol klavikula" (sendi sternoklavikula) menonjol kedepan Posterior : sendi tertekan kedalam Pengobatan : reposisi FLAIL CHEST Definisi Adalah area toraks yang "melayang" (flail) oleh sebab adanya fraktur iga multipel berturutan = 3 iga , dan memiliki garis fraktur = 2 (segmented) pada tiap iganya. Akibatnya adalah: terbentuk area "flail" yang akan bergerak paradoksal (kebalikan) dari gerakan mekanik pernapasan dinding dada. Area tersebut akan bergerak masuk saat inspirasi dan bergerak keluar pada ekspirasi. Karakteristik Gerakan "paradoksal" dari (segmen) dinding dada saat inspirasi/ekspirasi; tidak terlihat pada pasien dalam ventilator

Menunjukkan trauma hebat Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen, ekstremitas) Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective air movement, yang seringkali diperberat oleh edema/kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien dengan flail chest tidak dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada daerah flail secara eksterna, seperti melakukan splint/bandage yang melingkari dada, oleh karena akan mengurangi gerakan mekanik pernapasan secara keseluruhan. Penatalaksanaan sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau tanda-tanda kegagalan pernapasan atau karena ancaman gagal napas yang biasanya dibuktikan melalui pemeriksaan AGD berkala dan takipneu pain control stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator, fiksasi internal melalui operasi) bronchial toilet fisioterapi agresif tindakan bronkoskopi untuk bronchial toilet Indikasi Operasi (stabilisasi) pada flail chest: Bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain (cth: hematotoraks masif, dsb) Gagal/sulit weaning ventilator Menghindari prolong ICU stay (indikasi relatif) Menghindari prolong hospital stay (indikasi relatif) Menghindari cacat permanen Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga tidak didapatkan lagi area "flail" TRAUMA PADA PLEURA DAN PARU PNEUMOTORAKS Definisi : Adanya udara yang terperangkap di rongga pleura. Pneumotoraks akan meningkatkan tekanan negatif intrapleura sehingga mengganggu proses pengembangan paru. Terjadi karena trauma tumpul atau tembus toraks. Dapat pula terjadi karena perlukaan pleura viseral (barotrauma), atau perlukaan pleura mediastinal (trauma trakheobronkhial) Diklasifikasikan menjadi 3 : simpel, tension, open Pneumotoraks Simpel Adalah pneumotoraks yang tidak disertai peningkatan tekanan intra toraks yang progresif. Ciri: Paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total) Tidak ada mediastinal shift PF: bunyi napas ? , hyperresonance (perkusi), pengembangan dada ? Penatalaksanaan: WSD

Pneumotoraks Tension Adalah pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks yang semakin lama semakin bertambah (progresif). Pada pneumotoraks tension ditemukan mekanisme ventil (udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar). Ciri: Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi : kolaps total paru, mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke kontralateral), deviasi trakhea ? venous return ? ? hipotensi & respiratory distress berat. Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi, JVP ?, asimetris statis & dinamis Merupakan keadaan life-threatening ? tdk perlu Ro Penatalaksanaan: Dekompresi segera: large-bore needle insertion (sela iga II, linea mid-klavikula) WSD Open Pneumothorax Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada dada sehingga udara dapat keluar dan masuk rongga intra toraks dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound Terjadi kolaps total paru. Penatalaksanaan: Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme ventil) Pasang WSD dahulu baru tutup luka Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ intra toraks lain. Umumnya disertai dengan perdarahan (hematotoraks) HEMATOTORAKS (HEMOTORAKS) Defini: Terakumulasinya darah pada rongga toraks akibat trauma tumpul atau tembus pada dada. Sumber perdarahan umumnya berasal dari A. interkostalis atau A. mamaria interna. Perlu diingat bahwa rongga hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien hematotoraks dapat syok berat (kegagalan sirkulasi) tanpa terlihat adanya perdarahan yang nyata, oleh karena perdarahan masif yang terjadi terkumpul di dalam rongga toraks. Penampakan klinis yang ditemukan sesuai dengan besarnya perdarahan atau jumlah darah yang terakumulasi. Perhatikan adanya tanda dan gejala instabilitas hemodinamik dan depresi pernapasan Pemeriksaan Ro toraks (yang boleh dilakukan bila keadaan pasien stabil) Terlihat bayangan difus radio-opak pada seluruh lapangan paru Bayangan air-fluid level hanya pada hematopneumotoraks Indikasi Operasi Adanya perdarahan masif (setelah pemasangan WSD)

Ditemukan jumlah darah inisial > 750 cc, pada pemasangan WSD < 4 jam setelah kejadian trauma. Perdarahan 3-5 cc/kgBB/jam dalam 3 jam berturut-turut Perdarahan 5-8 cc/kgBB/jam dalam 2 jam berturut-turut Perdarahan > 8cc/kgBB/jam dalam 1 jam Bila berat badan dianggap sebagai 60 kg, maka indikasi operasi, bila produksi WSD: = 200 cc/jam dalam 3 jam berturut-turut = 300 cc/jam dalam 2 jam berturut-turut = 500 cc dalam = 1 jam Penatalaksanaan Tujuan: Evakuasi darah dan pengembangan paru secepatnya. Penanganan hemodinamik segera untuk menghindari kegagalan sirkulasi. Tindakan Bedah : WSD (pada 90% kasus) atau operasi torakotomi cito (eksplorasi) untuk menghentikan perdarahan -------------------------------------------------------------------------------Water Sealed Drainage Fungsi WSD sebagai alat: Diagnostik Terapetik Follow-up Tujuan: Evakuasi darah/udara Pengembangan paru maksimal Monitoring Indikasi pemasangan: Pneumotoraks Hematotoraks Empiema Effusi pleura lainnya Pasca operasi toraks Monitoring perdarahan, kebocoran paru atau bronkhus, dsb. Tindakan : Lokasi di antara garis aksilaris anterior dan posterior pada sela iga V atau VI. Pemasangan dengan teknik digital tanpa penggunaan trokar. Indikasi pencabutan WSD : Tercapai kondisi: produksi < 50 cc/hari selama 3 hari berturut-turut, dan undulasi negatif atau minimal, dan pengembangan paru maksimal. Fungsi WSD tidak efektif lagi (misal: adanya sumbatan, clot pada selang, dsb.)

-------------------------------------------------------------------------------KONTUSIO PARU Terjadi terutama setelah trauma tumpul toraks Dapat pula terjadi pada trauma tajam dg mekanisme perdarahan dan edema parenkim ? konsolidasi Patofisiologi : kontusio/cedera jaringan ? edema dan reaksi inflamasi ? lung compliance ? ? ventilation-perfusion mismatch ? hipoksia & work of breathing ? Diagnosis : ro toraks dan pemeriksaan lab (PaO2 ?) Manifestasi klinis dapat timbul atau memburuk dalam 24-72 jam setelah trauma Penatalaksanaan Tujuan: Mempertahankan oksigenasi Mencegah/mengurangi edema Tindakan : bronchial toilet, batasi pemberian cairan (iso/hipotonik), O2, pain control, diuretika, bila perlu ventilator dengan tekanan positif (PEEP > 5) LASERASI PARU Definisi : Robekan pada parenkim paru akibat trauma tajam atau trauma tumpul keras yang disertai fraktur iga. Manifestasi klinik umumnya adalah : hemato + pneumotoraks Penatalaksanaan umum : WSD Indikasi operasi : Hematotoraks masif (lihat hematotoraks) Adanya contiuous buble pada WSD yang menunjukkan adanya robekan paru Distress pernapasan berat yang dicurigai karena robekan luas RUPTUR DIAFRAGMA Ruptur diafragma pada trauma toraks biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada daerah toraks inferior atau abdomen atas. Trauma tumpul di daerah toraks inferior akan mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal mendadak yang diteruskan ke diafragma. Ruptur terjadi bila diafragma tidak dapat menahan tekanan tersebut. Dapat pula terjadi ruptur diafragma akibat trauma tembus pada daerah toraks inferior. Pada keadaan ini trauma tembus juga akan melukai organ-organ lain (intratoraks ata intraabdominal). Ruptur umumnya terjadi di "puncak" kubah diafragma (sentral) Kejadian ruptur diafragma sebelah kiri lebih sering daripada diafragma kanan Akan terjadi herniasi organ viseral abdomen ke toraks Dapat terjadi ruptur ke intra perikardial Diagnostik Riwayat trauma tumpul toraks inferior atau abdomen Tanda dan gejala klinis (sesak/respiratory distress), mual-muntah, tanda abdomen akut)

Ro toraks dengan NGT terpasang (pendorongan mediastinum kontralateral, terlihat adanya organ viseral di toraks) CT scan toraks Penatalaksanaan Torakotomi eksplorasi (dapat diikuti dengan laparotomi) TRAUMA ESOFAGUS Penyebab trauma/ruptur esofagus umumnya disebabkan oleh trauma tajam/tembus. Pemeriksaan Ro toraks: Terlihat gambaran pneumomediastinum atau efusi pleura Diagnostik: Esofagografi Tindakan: Torakotomi eksplorasi TRAUMA JANTUNG Kecurigaan trauma jantung : Trauma tumpul di daerah anterior Fraktur pada sternum Trauma tembus/tajam pada area prekordial (parasternal kanan, sela iga II kiri, grs mid-klavikula kiri, arkus kosta kiri) Diagnostik Trauma tumpul : EKG, pemeriksaan enzim jantung (CK-CKMB / Troponin T) Foto toraks : pembesaran mediastinum, gambaran double contour pada mediastinum menunjukkan kecurigaan efusi perikardium Echocardiography untuk memastikan adanya effusi atau tamponade Penatalaksanaan Adanya luka tembus pada area prekordial merupakan indikasi dilakukannya torakotomi eksplorasi emergency Adanya tamponade dengan riwayat trauma toraks merupakan indikasi dilakukannya torakotomi eksplorasi. Adanya kecurigaan trauma jantung mengharuskan perawatan dengan observasi ketat untuk mengetahui adanya tamponade Komplikasi Salah satu komplikasi adanya kontusio jantung adalah terbentuknya aneurisma ventrikel beberapa bulan/tahun pasca trauma Sumber: http://sudarmono.com/traumatoraks.html 3. a. Diagnostik : Bullow Drainage / WSD

Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :

Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shoks. b. Terapi : Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya. c. Preventive : Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" tetap baik. Perawatan WSD dan pedoman latihanya :

4.

a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.


Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien. b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter.

Dalam perawatan yang harus diperhatikan :


Penetapan slang. Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi. Pergantian posisi badan. Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera. c. Mendorong berkembangnya paru-paru.

Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang. Latihan napas dalam. Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu slang diklem. Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.

d. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction. Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan. e. Suction harus berjalan efektif : Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi. Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah. Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru.

d. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage. 1) Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar kalau ada dicatat. 2) Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage. 3) Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.

4) Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap steril. 5) Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri, dengan memakai sarung tangan. 6) Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll. Dinyatakan berhasil, bila :

5. a. b. c.

Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi. Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage. Tidak ada pus dari selang WSD. Pemeriksaan Penunjang :

6. a. b.

Photo toraks (pengembangan paru-paru). Laboratorium (Darah Lengkap dan Astrup). Terapi :

7. a. b. c. Antibiotika.. Analgetika.

Expectorant.

C. Pengkajian :

Point yang penting dalam riwayat keperawatan :


1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Umur : Sering terjadi usia 18 - 30 tahun. Alergi terhadap obat, makanan tertentu. Pengobatan terakhir. Pengalaman pembedahan. Riwayat penyakit dahulu. Riwayat penyakit sekarang. Dan Keluhan.

Pemeriksaan Fisik : 1. Sistem Pernapasan : Sesak napas Nyeri, batuk-batuk. Terdapat retraksi klavikula/dada. Pengambangan paru tidak simetris. Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain. Adanya suara sonor/hipersonor/timpani. Bising napas yang berkurang/menghilang. Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas. Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat. Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.

2. Sistem Kardiovaskuler : Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk. Takhikardia, lemah Pucat, Hb turun /normal. Hipotensi.

3. Sistem Persyarafan : 4. Tidak ada kelainan.

Sistem Perkemihan. Tidak ada kelainan. Sistem Pencernaan :

5.

Tidak ada kelainan. Sistem Muskuloskeletal - Integumen.

6.

Kemampuan sendi terbatas. Ada luka bekas tusukan benda tajam. Terdapat kelemahan.

Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan. Sistem Endokrine :

7.

Terjadi peningkatan metabolisme. Kelemahan. Sistem Sosial / Interaksi.

8.

Tidak ada hambatan. Spiritual :

9.

Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.

10. Pemeriksaan Diagnostik : Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural. Pa Co2 kadang-kadang menurun. Pa O2 normal / menurun. Saturasi O2 menurun (biasanya). Hb mungkin menurun (kehilangan darah). Toraksentesis : menyatakan darah/cairan,

Diagnosa Keperawatan : 1. 2. 3. 4. 5. Ketidakefektifan pola pernapasan b/d ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan. Inefektif bersihan jalan napas b/d peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut b/d trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder. Gangguan mobilitas fisik b/d ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal. Potensial Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.

6. 7.

Kerusakan integritas kulit b/d trauma mekanik terpasang bullow drainage. Resiko terhadap infeksi b/d tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.

D. Intevensi Keperawatan : 1. Ketidakefektifan pola pernapasan b/d ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma. Tujuan : Pola pernapasan efektive. Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive. Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru. Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab. Intervensi : a. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin. R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit. b. Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital. R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai akibat stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia. c. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan. R/ d. Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru. R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik. e. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.

R/ f. 1)

Membantu

klien

mengalami

efek

fisiologi

hipoksia,

yang

dapat

dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas. Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 - 2 jam : Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar. R/ Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang diberikan, yang meningkatkan ekspansi paru optimum/drainase cairan. 2) Periksa batas ditentukan. R/ Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung yang mencegah udara atmosfir masuk ke area pleural. 3) Observasi gelembung udara botol penempung. R/ gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari penumotoraks/kerja yang diharapka. Gelembung biasanya menurun seiring dnegan ekspansi paru dimana area pleural menurun. Tak adanya gelembung dapat menunjukkan ekpsnsi paru lengkap/normal atau slang buntu. 4) Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak terlipat, atau menggantung di bawah saluran masuknya ke tempat drainage. Alirkan akumulasi dranase bela perlu. R/ Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada selang mengubah tekanan negative yang diinginkan. 5) Catat karakter/jumlah drainage selang dada. R/ Berguna untuk mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya perdarahan yang memerlukan upaya intervensi. g. 1) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi. Pemberian antibiotika. Pemberian analgetika. Fisioterapi dada. Konsul photo toraks. R/Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya. 2. Inefektif bersihan jalan napas b/d peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan. cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang

Tujuan : Jalan napas lancar/normal Kriteria hasil : Menunjukkan batuk yang efektif. Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan. Klien nyaman. Intervensi : a. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan. R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik. b. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk. R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi. 1) Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin. R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas. 2) Lakukan pernapasan diafragma. R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar. 3) Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut. 4) Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat. R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret. c. d. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk. R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi. R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada atelektasis. e. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.

R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut. f. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi. Pemberian expectoran. Pemberian antibiotika. Fisioterapi dada. Konsul photo toraks. R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya. 3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut b/d trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder. Tujuan : Nyeri berkurang/hilang. Kriteria hasil : Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi. Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan nyeri. Pasien tidak gelisah. Intervensi : a. Jelaskan dan bantu klien dnegan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif. R/ Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri. 1) Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase. R/ Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya. 2) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut. R/ Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan. b. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.

R/ Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan. c. Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung. R/ Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik. d. e. Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik. R/ Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang. Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari. R/ Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. (1997). Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC. Depkes. RI. (1989). Perawatan Pasien Yang Merupakan Kasus-Kasus Bedah.Jakarta : Pusdiknakes. Doegoes, L.M. (1999). Perencanaan Keperawatan dan Dokumentasian keperawatan. Jakarta : EGC. Hudak, C.M. (1999) Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC. Pusponegoro, A.D.(1995). Ilmu Indonesia. Bedah. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas

You might also like