You are on page 1of 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI HEPAR 2.1.

1 ANATOMI HEPAR Hepar pada manusia terletak pada bagian atas cavum abdominis, di bawah diafragma, di kedua sisi kuadran atas dan sebagian besar terdapat pada sebelah kanan. Berat hati sekitar 1200 1600 gram. Permukaan atas terletak bersentuhan di bawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di atas organ-organ abdomen. Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan intraabdominal dan dibungkus oleh peritoneum kecuali di daerah posterior-superior yang berdekatan dengan v.cava inferior dan mengadakan kontak langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak diliputi oleh peritoneum disebut bare area. Terdapat refleksi peritoneum dari dinding abdomen anterior, diafragma dan organ-organ abdomen ke hepar berupa ligamen. Macam-macam ligamennya: Ligamentum falciformis menghubungkan hepar ke dinding anterior abdomen dan terletak di antara umbilicus dan diafragma. Ligamentum teres hepatis (round ligament) merupakan bagian bawah lig. falciformis ; merupakan sisa-sisa peninggalan v.umbilicalis yang telah menetap. Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis merupakan bagian dari omentum minus yang terbentang dari curvatura minor lambung dan duodenum sebelah proximal ke hepar. Di dalam ligamentum ini terdapat a.hepatica, v.porta dan ductus choledocus communis. Ligamen hepatoduodenale turut membentuk tepi anterior dari Foramen Wislow. Ligamentum coronaria snterior kiri dan kanan dan ligamentum coronaria posterior kiri dan kanan merupakan refleksi peritoneum terbentang dari diafragma ke hepar. Ligamentum triangularis kiri dan kanan merupakan fusi dari ligamentum coronaria anterior dan posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar. Secara anatomis, organ hepar terletak di hipochondrium kanan dan epigastrium. Hepar dikelilingi oleh cavum toraks dan bahkan pada orang normal tidak dapat dipalpasi (bila teraba berarti ada pembesaran hepar). Permukaan lobus kanan dapat mencapai sela iga 4/ 5 tepat di bawah aerola mammae. Lig falciformis membagi hepar secara topografis bukan secara anatomis yaitu lobus kanan yang besar dan lobus kiri. Secara mikroskopis, hepar dibungkus oleh simpai yg tebal, terdiri dari serabut kolagen dan jaringan elastis yang disebut Kapsul Glisson. Simpai ini akan masuk ke dalam parenkim hepar mengikuti pembuluh

1. 2. 3.

4.

5.

darah getah bening dan duktus biliaris. Massa dari hepar seperti spons yg terdiri dari sel-sel yg disusun di dalam lempengan-lempengan/ plate dimana akan masuk ke dalamnya sistem pembuluh kapiler yang disebut sinusoid. Sinusoid-sinusoid tersebut berbeda dengan kapiler-kapiler di bagian tubuh yang lain, oleh karena lapisan endotel yang meliputinya terediri dari sel-sel fagosit yang disebut sel kupfer. Sel kupfer lebih permeabel yang artinya mudah dilalui oleh sel-sel makro dibandingkan kapiler-kapiler yang lain. Lempengan sel-sel hepar tersebut tebalnya 1 sel dan punya hubungan erat dengan sinusoid. Pada pemantauan selanjutnya nampak parenkim tersusun dalam lobuli-lobuli. Di tengah-tengah lobuli terdapat 1 vena sentralis yang merupakan cabang dari vena-vena hepatika (vena yang menyalurkan darah keluar dari hepar). Di bagian tepi di antara lobuli-lobuli terhadap tumpukan jaringan ikat yang disebut traktus portalis/ TRIAD yaitu traktus portalis yang mengandung cabangcabang v.porta, a.hepatika, ductus biliaris. Cabang dari vena porta dan a.hepatika akan mengeluarkan isinya langsung ke dalam sinusoid setelah banyak percabangan sistem bilier dimulai dari canaliculi biliaris yang halus yang terletak di antara sel-sel hepar dan bahkan turut membentuk dinding sel. Canaliculi akan mengeluarkan isinya ke dalam intralobularis, dibawa ke dalam empedu yg lebih besar , air keluar dari saluran empedu menuju kandung empedu. Hati memiliki dua sumber suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatica, dan dari aorta melalui arteri hepatica. Sekitar sepertiga darah yang masuk adalah darah arteri dan dua pertiganya adalah darah vena dari vena porta. Volume total darah yang melewati hati setiap menitnya adalah 1.500 ml dan dialirkan melaui vena hepatica kanan dan kiri, yang selanjutnya bermuara pada vena kava inferior. Vena porta bersifat unik karena terletak diantara dua daerah kapiler, yang satu terletak dalam hati dan lainnya dalam saluran cerna. Saat mencapai hati, vena porta bercabang-cabang yang menempel melingkari lobules hati.

Gambar 1. Anatomi Hepar

1|Page

2.1.2 FISIOLOGI HEPAR Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh. beberapa fungsi hati yaitu : 1. Ada

beraksi adalah faktor ekstrinsi, bila ada hubungan dengan katup jantung yang beraksi adalah faktor intrinsik. Fibrin harus isomer biar kuat pembekuannya dan ditambah dengan faktor XIII, sedangakan Vit K dibutuhkan untuk pembentukan protrombin dan beberapa faktor koagulasi. 5. 6. Fungsi hati sebagai metabolisme vitamin Semua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, K Fungsi hati sebagai detoksikasi Hati adalah pusat detoksikasi tubuh. Proses detoksikasi terjadi pada proses oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai macam bahan seperti zat racun, obat over dosis. Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi - globulin sebagai imun livers mechanism.

Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidrat Pembentukan, perubahan dan pemecahan karbohidrat, lemak dan protein saling berkaitan satu sama lain. Hati mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari usus halus menjadi glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis. Glikogen lalu ditimbun di dalam hati kemudian hati akan memecahkan glikogen menjadi glukosa. Proses pemecahan glikogen mejadi glukosa disebut glikogenolisis. Karena proses-proses ini, hati merupakan sumber utama glukosa dalam tubuh. Selanjutnya hati mengubah glukosa melalui heksosa monophosphat shunt dan terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa mempunyai beberapa tujuan: menghasilkan energi, biosintesis dari nukleotida, nucleic acid dan ATP, dan membentuk/ biosintesis senyawa 3 karbon (3C) yaitu piruvic acid (asam piruvat diperlukan dalam siklus krebs). Fungsi hati sebagai metabolisme lemak Hati tidak hanya membentuk/ mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan katabolisis asam lemak Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen :

7.

2.

Senyawa 4 karbon Keton Bodies Senyawa 2 karbon Active Actate (dipecah menjadi asam lemak dan gliserol) 3. Pembentukan cholesterol 4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid Hati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi kholesterol. Dimana serum cholesterol menjadi standar pemeriksaan metabolisme lipid. 1. 2. 3. Fungsi hati sebagai metabolisme protein Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. dengan proses deaminasi. Hati juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino. Dengan proses transaminasi, hati memproduksi asam amino dari bahanbahan non nitrogen. Hati merupakan satu-satunya organ yg membentuk plasma albumin dan - globulin dan organ utama bagi produksi urea. Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X. Benda asing menusuk kena pembuluh darah yang

8. Fungsi hemodinamik Hati menerima 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal 1500 cc/ menit atau 1000 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica 25% dan di dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah ke hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran ini berubah cepat pada waktu exercise, terik matahari, syok. Hepar merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran darah. 2.2 HEPATITIS B 2.2.1 DEFINISI HEPATITIS B Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis dan dapat pula menyebabkan radang, gagal ginjal, sirosis hati, dan kematian 2.2.2 EPIDEMIOLOGI HEPATITIS B Hepatitis B merupakan penyakit endemis di seluruh dunia, tetapi distribusi carier virus hepatitis B sangat bervariasi dari satu negara ke negara lainnya.. Di area dengan prevalensi tinggi seperti Asia Tenggara, Cina, dan Afrika, lebih dari setengah populasi pernah terinfeksi oleh virus hepatitis B pada satu saat dalam kehidupan mereka, dan lebih dari 8%

4.

2|Page

populasi merupakan pengidap kronik virus ini. Setiap tahun satu juta orang mati karena infeksi virus hepatiis B yang menjadi sirosis dan karsinoma hepatoseluler. Infeksi VHB yang terjadi pada masa bayi dan anak umumnya tidak memberikan gejala klinis (asimtomatik), sehingga sering kali tidak diketahui. Pada bayi dan anak terdapat masalah hepatitis B yang serius karena risiko untuk terjadinya infeksi hepatitis B kronis berbanding terbalik dengan usia saat terjadinya infeksi.Data-data menunjukkan bahwa bayi yang terinfeksi VHB sebelum usia 1 tahun mempunyai resiko kronisitas sampai 90%, sedangkan bila infeksi VHB terjadi pada usia antara 2- 5 tahun risikonya menurun menjadi 50%, bahkan bila terjadi infeksi pada anak berusia di atas 5 tahun hanya berisiko 5-10% untuk terjadinya kronisitas. Prevalensi HBsAg di berbagai daerah di Indonesia berkisar antara 3-20%, dengan frekuensi terbanyak antara 5-10%. Pada umumnya di luar Jawa angka ini lebih tinggi. Di Jakarta prevalens HBsAg pada suatu populasi umum adalah 4,1%. Pengobatan untuk menghilangkan virus hepatitis B sampai saat ini belum memuaskan dan hanya dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kriteria yang sangat selektif serta menelan biaya yang cukup tinggi. Cara lain yang dapat digunakan adalah dengan imunisasi hepatitis B secara universal. Berdasarkan data di atas, menurut klasifikasi WHO, Indonesia tergolong dalam Negara dengan prevalensi infeksi VHB sedang sampai tinggi, sehingga strategi yang dianjurkan adalah dengan pemberian vaksin pada bayi sedini mungkin. Tingginya angka prevalensi hepatitis B di Indonesia terkait dengan terjadinya infeksi HBV pada masa dini kehidupan. Sebagian besar pengidap VHB ini diduga mendapatkan infeksi HBV melalui transmisi vertical, sedangkan sebagian lainnya mendapatkan melalui transmisi horizontal karena kontak erat pada usia dini. Tingginya angka transmisi vertical dapat diperkirakan dari tingginya angka pengidap VHB pada ibu hamil pada beberapa rumah sakit di Indonesia. Oleh sebab itu perlu dilakukan usaha untuk memutuskan rantai penularan sedini mungkin, dengan cara vaksinasi bahkan bila memungkinkan diberikan juga imunisasi pasif (HBIg).

Gambar 2. Epidemiologi Hepatitis B 2.2.3 ETIOLOGI HEPATITIS B Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). Virus ini pertama kali ditemukan oleh Blumberg pacta tahun 1965 dan di kenal dengan nama antigen Australia. Virus ini termasuk DNA virus. Virus hepatitis B berupa partikel dua lapis berukuran 42 nm yang disebut "Partikel Dane". Lapisan luar terdiri atas antigen HBsAg yang membungkus partikel inti (core). Pada inti terdapat DNA VHB Polimerase. Pada partikel inti terdapat Hepatitis B core antigen (HBcAg) dan Hepatitis B e antigen (HBeAg). Antigen permukaan (HBsAg) terdiri atas lipo protein dan menurut sifat imunologik proteinnya virus Hepatitis B dibagi menjadi 4 subtipe yaitu adw, adr, ayw dan ayr. Subtipe ini secara epidemiologis penting, karena menyebabkan perbedaan geomorfik dan rasial dalam penyebarannya. Virus hepatitis B mempunyai masa inkubasi 45-80 hari, rata-rata 80-90 hari.

Gambar 3. Hepatitis B virus Pada manusia hati merupakan target organ bagi virus hepatitis B. Virus Hepatitis B (VHB) mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Dalam sitoplasma VHB melepaskan mantelnya, sehingga melepaskan nukleokapsid.

3|Page

Selanjutnya nukleokapsid akan menembus dinding sel hati. Di dalam inti asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hospes dan berintegrasi; pada DNA tersebut. Selanjutnya DNA VHB memerintahkan gel hati untuk membentuk protein bagi virus baru dan kemudian terjadi pembentukan virus baru. Virus ini dilepaskan ke peredaran darah, mekanisme terjadinya kerusakan hati yang kronik disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi. Apabila reaksi imunologik tidak ada atau minimal maka terjadi keadaan karier sehat. Ciri-ciri Virus Hepatitis B : o o o o o Masa inkubasi 15-180 hari (rata-rata 60-90 hari) Viremia berlangsung selama beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi akut Sebanyak 1-5% dewasa, 90% neonatus dan 50% bayi akan berkembang menjadi hepatitis kronik dan viremia yang persisten Infeksi persisten dihubungkan dengan hepatitis kronik, sirosis, dan kanker hati. HBV ditemukan di darah, semen, sekret serviko vaginal, saliva, cairan tubuh lain Cara transmisi : Melalui darah : penerima produk darah, IVDU, pasien hemodialisis, pekerja kesehatan, pekerja yang terpapar darah Transmisi seksual Penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa : tertusuk jarum, penggunaan ulang alat medis yang terkontaminasi, penggunaan bersama pisau cukur, tato, akupuntur, penggunaansikat gigi bersama Transmisi maternal neonatal Tak ada bukti penyebaran fecal-oral 2.2.3 PATOFISIOLOGI HEPATITIS B Virus hepatitis B (VHB) masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya sel sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HBsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB merangsang respon imun tubuh, yang pertama kali dirangsang adalah respon imun nonspesifik (innate immune response) karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit

sampai beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel sel NK dan NK T. Untuk proses eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respon imun spesifik, yitu dengan mengaktifasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks peptida VHB MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding Antigen Preenting Cell (APC) dan dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida VHB MHC kelas II pada dinding APC. Peptida VHB yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respon imun adalah peptida kapsid yaitu HbcAg atau HbeAg. Sel CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada di dalam sel hati ang terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik. Disamping itu dapat juga terjadi eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas Interferon gamma dan Tissue Necrotic Factor (TNF) alfa yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik). Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel T CD 4+ akan menyebabkan produksi antibodi antara lain anti HBs, anti HBc dan anti HBe. Fungsi anti HBs adalah netralisasi partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Dengan demikian anti HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik VHB bukan disebabkan gangguan produksi anti HBs. Bukti pada pasien Hepatitis B kronik ternyata dapat ditemukan adanya anti HBs yang tidak bisa dideteksi dengan metode pemeriksaan biasa karena anti HBs bersembunyi dalam kompleks dengan HbsAg. Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi VHB yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respon imun yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor virus ataupun faktor pejamu. Faktor virus antara lain: terjadinya imunotoleransi terhadap produk VHB, hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel sel terinfeksi, terjadinya mutan VHB yang tidak memproduksi HBeAg, integrasi genom VHB dalam genom sel hati. Faktor pejamu antara lain: faktor genetik, kurangnya produksi IFN, adanya antibodi terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respon antiidiotipe, faktor kelamin atau hormonal. Salah satu peran imunotoleransi terhadap produk HBV dalam persistensi HBV adalah mekasnisme persistensi infeksi VHB pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg positif. Diduga persistensi tersebut disebabkan adanya imunotoleransi terhadap HBeAg yang masuk ke dalam tubuh janin

4|Page

melalui invasi VHB, sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga disebabkan oleh kelelahan sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus. Persistensi infeksi VHB dapat disebabkan karena mutasi pada daerah precore dari DNA yang menyebabkan tidak dapat diproduksinya HBeAg. Tidak adanya HBeAg pada mutan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi VHB. Perjalanan alami penyakit HBV sangat kompleks, dengan adanya kemajuan dalam pemeriksaan HBV DNA, siklus HBV, respon imun dan pemahaman mengenai genom HBV yang lebih baik, maka perjalanan alami penyakit HBV dibagi menjadi 4 fase, yaitu : 1. Immune tolerance Ditandai dengan keberadaan HBeAg positif, kadar HBV DNA yang tinggi,kadar ALT yang normal dan gambaran histology hati yang normal atau perubahan yang minimal. Fase ini dapat berlangsung 1-4 dekade. Fase ini biasanya berlangsung lama pada penderita yang terinfeksi perinatal, dan biasanya serokonversi spontan jarang terjadi, dan terapi untuk menginduksi serokonversi HBeAg biasanya tidak efektif. Fase ini biasanya tidak memberikan gejala klinis. 2. Immune clearance Ditandai dengan keberadaan HBeAg positif, kadar HBV DNA yang tinggi atau berfluktuasi, kadar ALT yang meningkat dan gambaran histology hati menunjukkan keradangan yang aktif, hal ini merupakan kelanjutan dari fase immune clearance. Pada beberapa kasus, sirosis hati sering terjadi pada fase ini. Pada fase ini biasanya saat yang tepat untuk diterapi. 3. Inactive HBsAg carrier state Fase ini biasanya bersifat jinak (70-80%), ditandai dengan HBeAg negative, antiHBe positif (serokonversi HBeAg), kadar HBV DNA yang rendah atau tidak terdeteksi, gambaran histologi hati menunjukkan fibrosis hati yang minimal atau hepatitis yang ringan. Lama fase ini tidak dapat dipastikan,dan biasanya menunjukkan prognosis yang baik bila cepat dicapai oleh seorang penderita. 4. Reactivation Fase ini dapat terjadi pada sebagian penderita secara spontan dimana kembalinya replikasi virus HBV DNA, ditandai dengan HBeAg negative, AntiHBe positif, kadar HBV DNA yang positif atau dapat

terdeteksi, ALT yang meningkat serta gambaran histology hati menunjukkan proses nekroinflamasi yang aktif.

Gambar 4. Patofisiologi Hepatitis B Sumber dan Cara Penularan a. Sumber Penularan Virus Hepatitis B Sumber penularan berupa darah, saliva, kontak dengan mukosa penderita virus, feses, dan urine, pisau cukur, selimut, alat makan, alat kedokteran yang terkontaminasi virus hepatitis B. b. Cara penularan Virus Hepatitis B Penularan virus hepatitis B melalui berbagai cara yaitu parenternal dimana terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya melalui tusuk jarum atau benda yang susah tercemar virus Hepatitis B dan pembuatan tattoo, kemudian secara non parenteral yaitu karena persentuhan yang erat dengan benda yang tercemar virus hepatitis B. secara epidemiologi penularan infeksi virus hepatitis B dari Ibu yang HBsAg positif kepada anak dilahirkan yang terjadi selama masa perinatal, dan secara horizontal yaitu penularan infeksi virus Hepatitis B dari seseorang pengidap virus kepada orang lain disekitarnya, misalnya melalui hubungan seksual. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Hepatitis B Faktor faktor yang mempengaruhi penyakit Hepatitis B dapat dibagi menjadi : a. Faktor Host (Pejamu) Faktor host adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat mempengaruhi timbul serta perjalanan penyakit Hepatitis B yang meliputi: Umur, dimana penyakit Hepatitis B dapat menyerang semua golongan umur. Paling sering bayi dan anak (25,45%). Resiko untuk menjadi kronis menurun dengan bertambahnya umur.

5|Page

Jenis Kelamin, wanita tiga kali lebih sering terinfeksi Hepatitis B dibanding pria. Mekanisme pertahanan tubuh, bayi baru lahir atau bayi dua bulan pertama setelah lahir sering terinfeksi Hepatitis B, terutama pada bayi yang belum mendapat imunisasi Hepatitis B. Hal ini karena sistem imun belum berkembang sempurna. Kebiasaan hidup, dimana sebagian besar penularan pada masa remaja disebabkan karena aktivitas seksual dan gaya hidup seperti homoseksual, pecandu obat narkotika suntikan, pemakaian tattoo, dan pemakaian akupuntur. Pekerjaan, kelompok resiko tinggi untuk mendapatkan infeksi Hepatitis B adalah dokter, dokter bedah, dokter gigi, perawat, bidan, petugas kamar operasi, petugas laboratorium dimana pekerjaan mereka sehari hari kontak dengan penderita dan material manusia (darah, tinja, air kemih). b. Faktor Agen Penyebab Hepatitis B adalah Virus Hepatitis B (VHB). Berdasarkan sifat imunologik protein pada HBsAg, virus dibagi menjadi 4 subtipe yaitu adw, adr, ayw dan ayr yang menyebabkan perbedaan geografi dalam penyebaranya. Subtype adw terjadi di Eropa, Amerika dan Australia. Subtipe ayw terjadi di Afrika Utara dan Selatan. Subtipe ayw dan adr terjadi di Malaysia, Thailand, Indonesia. Sedangkan subtipe adr terjadi di jepang dan China. c. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan merupakan keseluruhan kondisi dan pengaruh luar yang mempengaruhi perkembangan hepatitis B, yang termasuk faktor lingkungan adalah lingkungan dengan sanitasi jelek daerah dengan prevelensi virus hepatitis B (VHB) tinggi, daerah unit pembedahan, daerah unit laboratorium, daerah bank darah, daerah tempat pembersihan, daerah dialias dan transplantasi, daerah unit penyakit dalam. 2.2.4 MANIFESTASI KLINIS Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk serologis, manifestasi klinis hepatitis B dibagi 2 yaitu : 1. Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu yang sistem imunologinya matur sehingga berakhir dengan hilangnya virus hepatitis B dari tubuh. Hepatitis B akut terdiri atas : a. Hepatitis B akut yang khas Bentuk hepatitis ini meliputi 95 % penderita dengan gambaran ikterus yang jelas. Gejala klinis terdiri atas 3 fase yaitu : 1) Fase Praikterik (prodromal)

Gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak jelas, demam tinggi, anoreksia, mual, nyeri didaerah hati disertai perubahan warna air kemih menjadi gelap. Pemeriksaan laboratorium mulai tampak kelainan hati (kadar bilirubin serum, SGOT dan SGPT, Fosfatose alkali, meningkat). 2) Fase lkterik Gejala demam dan gastrointestinal tambah hebat disertai hepatomegali dan splenomegali. timbulnya ikterus makin hebat dengan puncak pada minggu kedua. setelah timbul ikterus, gejala menurun dan pemeriksaan laboratorium tes fungsi hati abnormal. 3) Fase Penyembuhan Fase ini ditandai dengan menurunnya kadar enzim aminotransferase, pembesaran hati masih ada tetapi tidak terasa nyeri, pemeriksaan laboratorium menjadi normal. b. Hepatitis Fulminan Bentuk ini sekitar 1 % dengan gambaran sakit berat dan sebagian besar mempunyai prognosa buruk dalam 7-10 hari, lima puluh persen akan berakhir dengan kematian. Adakalanya penderita belum menunjukkan gejala ikterus yang berat, tetapi pemeriksaan SGOT memberikan hasil yang tinggi pada pemeriksaan fisik, hati menjadi lebih kecil, kesadaran cepat menurun hingga koma, mual dan muntah yang hebat disertai gelisah, dapat terjadi gagal ginjal akut dengan anuria dan uremia. 2. Hepatitis B kronis yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu dengan sistem imunologi kurang sempurna sehingga mekanisme, untuk menghilangkan VHB tidak efektif dan terjadi koeksistensi dengan VHB. Kira-kira 5-10% penderita hepatitis B akut akan mengalami Hepatitis B kronik. Hepatitis ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak menunjukkan perbaikan yang mantap. 2.6 DIAGNOSIS HEPATITIS B a. Anamnesis Gejala non spesifik (prodromal) yaitu anoreksia, mual, muntah dan demam. Dalam beberapa hari-minggu timbul ikterus, tinja pucat dan urin yang berwarna gelap. Saat ini, gejala prodromal berkurang. Perlu ditanyakan riwayat kontak dengan penderita hepatitis sebelumnya dan riwayat pemakaian obat-obat hepatotoksik. Pemeriksaan fisik Kulit, sklera ikterik, nyeri tekan di daerah hati, hepatomegali, perhatikan tepi, permukaan, dan konsistensinya. Pemeriksaan penunjang Darah tepi : dapat ditemukan pansitopenia: infeksi virus, eosinofilia : infestasi cacing, leukositosis : infeksi bakteri.

b.

c.

6|Page

Urin : bilirubin urin Biokimia : Serum bilirubin direk dan indirek ALT (SGPT) dan AST (SGOT) Albumin, globulin Koagulasi : faal hemostasis terutama waktu protrombin Petanda serologis : Hepatitis B didiagnosis dari hasil-hasil tes-tes darah spesifik virus hepatitis B (serologi) yang mencerminkan beragam komponenkomponen virus hepatitis B. b. HBsAg dan anti-HBs Diagnosis infeksi hepatitis B dibuat terutama dengan mendeteksi hepatitis B surface antigen (HBsAg) dalam darah. Kehadiran HBsAg berarti bahwa ada infeksi virus hepatitis B aktif dan ketidakhadiran HBsAg berarti tidak ada infekis virus hepatitis B aktif. Menyusul suatu paparan pada virus hepatitis B, HBsAg menjadi terdeteksi dalam darah dalam waktu empat minggu. Pada inidividu-individu yang sembuh dari infeksi virus hepatitis B akut, eliminasi atau pembersihan dari HBsAg terjadi dalam waktu empat bulan setelah timbulnya gejala-gejala. Infeksi virus hepatitis B kronis didefinisikan sebagai HBsAg yang menetap lebih dari enam bulan. Setelah HBsAg dieliminasi dari tubuh, antibodi-antibodi terhadap HBsAg (anti-HBs) biasanya timbul. Anti-HBs ini menyediakan kekebalan pada infeksi virus hepatitis B yang berikutnya. Individu-individu yang telah berhasil divaksinasi terhadap virus hepatitis B mempunyai anti-HBs yang dapat diukur dalam darah. c. Anti-HBc Hepatitis B core antigen hanya dapat ditemukan dalam hati dan tidak dapat terdeteksi dalam darah. Kehadiran dari jumlah-jumlah yang besar dari hepatitis B core antigen dalam hati mengindikasikan suatu reproduksi virus yang sedang berlangsung. Ini berarti bahwa virusnya aktif. Antibodi terhadap hepatitis B core antigen, dikenal sebagai antibodi hepatitis B core (anti-HBc), bagaimanapun, terdeteksi dalam darah. Sebagai suatu kenyataan, dua tipe dari antibodi-antibodi anti-HBc (IgM dan IgG) dihasilkan. IgM anti-HBc adalah suatu penanda/indikator (marker/indicator) untuk infeksi hepatitis B akut. IgM anti-HBc ditemukan dalam darah selama infeksi akut dan berlangsung sampai enam bulan setelah timbulanya gejala-gejala. IgG anti-HBc berkembang selama perjalanan infeksi virus hepatitis B akut dan menetap seumur hidup, tidak perduli apakah individunya sembuh atau mengembangkan infeksi kronis. Sesuai dengan itu, hanya tipe IgM dari anti-HBc dapat digunakan secara spesifik

a. b. c. d.

untuk mendiagnosis suatu infeksi virus hepatitis B akut. Selain itu, menentukan hanya total anti-HBc (tanpa memisahkan kedua komponennya) adalah sangat tidak bermanfaat. d. HBeAg, anti-HBe, dan mutasi-mutasi pre-core Hepatitis B e antigen (HBeAg) dan antibodi-antibodinya, anti HBe, adalah penanda-penanda (markers) yang bermanfaat untuk menentukan kemungkinan penularan virus oleh seseorang yang menderita infeksi virus hepatitis B kronis. Mendeteksi keduanya HBeAg dan antiHBe dalam darah biasanya adalah eksklusif satu sama lain. Sesuai dengan itu, kehadiran HBeAg berarti aktivitas virus yang sedang berlangsung dan kemampuan menularkan pada yang lainnya, sedangkan kehadiran antiHBe menandakan suatu keadaan yang lebih tidak aktif dari virus dan risiko penularan yang lebih kecil. Pada beberapa individu-individu yang terinfeksi dengan virus hepatitis B, material genetik untuk virus telah menjalankan suatu perubahan struktur yang tertentu, disebut suatu mutasi pre-core. Mutasi ini berakibat pada suatu ketidakmampuan virus hepatitis B untuk menghasilkan HBeAg, meskipun virusnya reproduksi/replikasi secara aktif. Ini berarti bahwa meskipun tidak ada HBeAg yang terdeteksi dalam darah dari orang-orang dengan mutasi, virus hepatitis B masih tetap aktif pada orang-orang ini dan mereka dapat menularkan pada yang lain-lainnya. e. Hepatitis B virus DNA Penanda yang paling spesifik dari reproduksi/replikasi virus hepatitis B adalah pengukuran dari hepatitis B virus DNA dalam darah. Anda ingat bahwa DNA adalah material genetik dari virus hepatitis B. Tingkat-tingkat yang tinggi dari hepatitis B virus DNA mengindikasikan suatu reproduksi/replikasi virus dan aktivitas virus yang sedang berlangsung. PCR (polymerase chain reaction) adalah metode (assay) yang paling sensitif untuk menentukan tingkat hepatitis B virus DNA. Ini berarti bahwa PCR adalah metode yang terbaik untuk mendeteksi jumlah-jumlah yang sangat kecil dari penanda virus hepatitis B. Metode ini bekerja dengan memperbesar material yang sedang diukur sampai semilyar kali untuk mendeteksinya. Metode PCR, oleh karenanya, dapat mengukur sekecil 50 sampai 100 kopi (partikel-partikel) dari virus hepatitis B per mililiter darah. Tujuan mengukur hepatitis B virus DNA biasanya adalah untuk menentukan apakah infeksi virus hepatitis B aktif atau tidak aktif (diam). Perbedaan ini dapat dibuat berdasarkan jumlah hepatitis B virus DNA dalam darah. Tingkat-tngkat yang tinggi dari DNA mengindikasikan suatu infeksi yang aktif, dimana tingkat-tingkat yang rendah mengindikasikan suatu infeksi yang tidak aktif (tidur). Jadi, pasien-pasien denga penyakit yang tidur (tidak aktif) mempunyai kira-kira satu juta partikel-partikel virus

7|Page

per mililiter darah, sedangkan pasien-pasien dengan penyakit yang aktif mempunyai beberapa milyar partikel-partikel per mililiter. Oleh karenanya, siapa saja yang HBsAg positif, bahkan jika infeksi virus hepatitis B tidak aktif, akan mempunyai tingkat-tingkat hepatitis B virus DNA yang dapat terdeteksi dengan metode PCR karena ia begitu sensitif. Untuk tujuan-tujuan praktis, hepatitis B virus DNA dapat diukur menggunakan suatu metode yang disebut metode hybridization, yang adalah

USG (ultrasonografi), untuk mengetahui timbulnya kanker hati CT (computed tomography) scan ataupun MRI (magnetic resonanceimaging ), untuk mengetahui timbulnya kanker hati. Biopsi hati dapat dilakukan pada penderita untuk memonitor apakah pasien calon yang baik untuk diterapi antivirus dan untuk menilai keberhasilan terapi.

suatu tes yang lebih kuang sensitif daripada PCR. Tidak seperti metode PCR, metode hybridization mengukur material virus tanpa pembesaran. Sesuai dengan itu, tes ini dapat mendeteksi hepatitis B virus DNA hany ketika banyak partikel-partikel virus hadir dalam darah, berarti bahwa infeksinya aktif. Dengan kata lain, dari sudut pandang yang praktis, jika hepatitis B virus DNA terdeteksi dengan suatu metode hybridization, ini berarti bahwa infeksi virus hepatitis B adalah aktif. Beberapa tes serologi untuk HBV seperti di atas dapat diinterpretasikan seperti pada tabel 1 dan perjalanan penyakit HBV seiring pembentukkan antibodinya.

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Hepatitis B 2.2.6 DIAGNOSIS BANDING HEPATITIS B

Diagnosis banding hepatitis B kronis adalah hepatitis C, defisiensi 1USG hati dan saluran empedu : Apakah terdapat kista duktus koledokus, antitrypsin, tyrosinemia, cystic fibrosis, gangguan metabolism asam amino atau batu saluran empedu, kolesistitis ; parenkim hati, besar limpa. gangguan metabolisme karbohidrat atau gangguan oksidasi asam lemak. Viral load HBV-DNA Penyebab lain dari hepatitis kronis pada anak termasuk penyakit Wilsons, Apabila positif menandakan bahwa penyakitnya aktif dan terjadi replikasi hepatitis autoimun, dan pengobatan yang hepatotoksik. virus. Makin tinggi titer HBV-DNA kemungkinan perburukan penyakit semakin besar. 2.2.7 KOMPLIKASI HEPATITIS B Faal hati SGOT dan SGPT dapat merupakan tanda bahwa penyakit hepatitis B-nya Komplikasi hepatitis virus yang paling sering dijumpai adalah aktif dan memerlukan pengobatan anti virus. perjalanan penyakit yang panjang hingga 4 sampai 8 bulan, keadaan ini dikenal Alfa-fetoprotein (AFP), adalah tes untuk mengukur tingkat AFP,yaitu sebagai hepatitis kronik persisten, dan terjadi pada 5% hingga 10% pasien. Akan sebuah protein yang dibuat oleh sel hati yang kanker. tetapi meskipun kronik persisten dan terjadi pada 5 % hingga 10% pasien.

8|Page

Meskipun terlambat, pasien pasien hepatitis kronik persisten akan sembuh kembali. Pasien hepatitis virus sekitar 5% akan mengalami kekambuhan setelah serangan awal. Kekambuahan biasanya dihubungkan dengan kebiasaan minum alkohol dan aktivitas fisik yang berlebihan. Ikterus biasanya tidak terlalu nyata dan tes fungsi hati tidak memperlihatkan kelainan dalalm derajat yang sama. Tirah baring biasanya akan segera di ikuti penyembuhan yang tidak sempurna. Akhirnya suatu komplikasi lanjut dari hepatitis yang cukup bermakna adalah perkembangan carcinoma hepatoselular, kendatipun tidak sering ditemukan, selain itu juga adanya kanker hati yang primer. Dua faktor penyebab utama yang berkaitan dengan patogenesisnya adalah infeksi virus hepatitis B kronik dan sirosis terakit dengan virus hepatitis C dan infeksi kronik telah dikaitkan pula dengan kanker hati. 2.2.8 a. PENATALAKSANAAN HEPATITIS B Penatalaksanaan Hepatitis B Akut Tidak ada penatalaksanaan khusus untuk hepatitis virus B akut. Penatalaksanaan Hepatitis Akut B adalah sebagai berikut : 1. 2. Rawat jalan, kecuali pasien dengan mual atau anoreksia berat yang akan menyebabkan dehidrasi. Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat Tidak ada rekomendasi diet khusus Makan pagi dengan porsi yang cukup besar merupakan makanan yang paling baik ditoleransi Menghindari konsumsi alkohol selama fase akut 3. Aktifitas fisik yang berlebihan dan berkepanjangan harus dihindari. 4. Pembatasan aktivitas sehari hari tergantung dari derjat kelelahan dan malaise 5. Peran lamivudine atau adenovir pada hepatitis B akut masih belum jelas. Kortikosteroid tidak bermanfaat. Kortikosteroid digunakan pada pasien hepatitis b kronik aktif yang menunjukan gejala klinis, HbsAg negative dan pada biopsi hati menunjukan lesi berat. 6. Obat obat yang tidak perlu harus dihentikan. b. Penatalaksanaan Hepatitis B kronik Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mencegah atau menghentikan progresi jejas hati (liver injury) dengan cara menekan replikasi virus atau menghilngkan injeksi. Dalam pengobatan hepatitis B kronik, titik akhir yang sering dipakai adalah menghilangnya

petanda replikasi virus yang aktif seara menetap (HbeAg dan DNA VHB). Pada umumnya serokonversi HbeAg menjadi anti Hbe disertai hilangnya DNA VHB dalam serum dan meredanya penyakit hati. Sampai sekarang telah terdapat setidaknya 2 jenis obat hepatitis B yang diterima secara luas, yaitu golongan interferon (baik interferon konvensional, pegylated interferon -2a, maupun pegylated interferon -2b) dan golongan analog nukleos(t)ida. Golongan analog nukleos(t)ida ini lebih jauh lagi terdiri atas lamivudin, adefovir, entecavir, telbivudin, dan tenofovir. Semua jenis obat tersebut telah tersedia dan beredar di Indonesia, namun khusus untuk tenofovir, peredarannya di Indonesia hanya dikhususkan untuk pasien HIV. Baik interferon maupun analog nukleos(t)ida memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Tabel 4. Perbedaan Interferon dengan Analog Nukelos(t)ida

9|Page

Interferon (IFN) alfa Interferon (IFN) adalah mediator inflamasi fisiologis dari tubuh berfungsi dalam pertahanan terhadap virus. IFN- konvensional adalah obat pertama yang diakui sebagai terapi hepatitis B kronik sejak lebih dari 20 tahun yang lalu. Senyawa ini memiliki efek antiviral, immunomodulator, dan antiproliferatif. Interferon akan mengaktifkan sel T sitotoksik, sel natural killer, dan makrofag. Selain itu, interferon juga akan merangsang produksi protein kinase spesifik yang berfungsi mencegah sintesis protein sehingga menghambat replikasi virus. Protein kinase ini juga akan merangsang apoptosis sel yang terinfeksi virus. Waktu paruh interferon di darah sangatlah singkat, yaitu sekitar 3-8 jam. Komplikasi dari IFN mencakup gejala flulike yang berat, depresi sumsum tulang, gangguan emosi, reaksi autoimun, dan reaksireaksi lainnya. Kebanyakan efek samping ini bersifat reversibel dan akan hilang bila obat dihentikan.35 Literatur yang ada menyatakan bahwa efek samping yang serius hanya terjadi pada 2-4% pasien dan secara umum obat ini dapat ditoleransi dengan baik.27,36 Interferon secara umum memiliki beberapa keuntungan, yaitu waktu pengobatan yang relatif singkat, respon pengobatan yang baik dan cepat, serta tidak adanya resistensi terhadap obat ini. Namun interferon memiliki kekurangan berupa efek samping yang berat, pemberiannya yang melalui suntikan, dan tidak dapat digunakan pada pasien dengan sirosis dekompensata. Selama terapi interferon, pemeriksaan darah tepi harus dilakukan setiap bulan untuk menilai efek samping terapi. Pemantauan adanya depresi berat juga harus dilakukan pada setiap kunjungan pasien. Secara umum dapat disimpulkan bahwa terapi interferon boleh digunakan pada pasien dengan karakteristik: Pasien muda yang telah memenuhi indikasi terapi, tanpa penyakit penyerta, dan memiliki biaya yang mencukupi. Pada pasien yang diketahui terinfeksi VHB genotip A atau B, mengingat penelitian yang ada telah membuktikan bahwa terapi interferon akan memberikan efektivitas yang lebih baik pada infeksi VHB dari genotip tersebut. Sebaliknya, interferon tidak boleh diberikan pada pasien dengan karakteristik: Pasien sirosis dekompensata. Pasien dengan gangguan psikiatri. Pasien yang sedang hamil. Pasien dengan penyakit autoimun aktif.

Dosis IFN yang dianjurkan untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg positif adalah 5-10 MU 3x seminggu selama 16-24 minggu. Untuk hepatitis B dengan HBeAg negative diberikan selama 12 bulan. Terapi Analog Nukleos(t)ida Terapi dengan analog nukleos(t)ida umumnya cukup efektif dan relatif lebih bebas efek samping. Namun tingginya kemungkinan resistensi adalah masalah yang harus dihadapi. Pada terapi dengan analog nukleos(t)ida, kemungkinan untuk terapi seumur hidup harus selalu dipertimbangkan. Pada prinsipnya, terapi analog nukleos(t)ida harus diteruskan sebelum tercapai indikasi penghentian terapi atau timbul kemungkinan resistensi dan gagal terapi. Penghentian terapi bisa dilakukan pada pasien hepatitis B dengan HBeAg positif yang berhasil mengalami serokonversi HBeAg dengan DNA VHB tidak terdeteksi. Pada pasienpasien ini, bukti yang ada cukup kuat untuk menghentikan terapi 12 bulan setelah serokonversi tercapai. Untuk pasien dengan HBeAg negatif, terapi analog nukleos(t)ida bisa dihentikan bila DNA VHB sudah terbukti negatif pada 3 pemeriksaan dalam jangka 6 bulan. Pemeriksaan DNA VHB, HBeAg dan anti-HBe (hanya pada pasien HBeAg positif), dan ALT sebaiknya diperiksakan setiap 3-6 bulan sekali. Pemeriksaan DNA VHB harus dilaksanakan dengan metode assay yang tervalidasi dan hasilnya dilaporkan dalam satuan IU/mL. Pemeriksaan HBsAg dianjurkan dilakukan pada akhir terapi, dan bila hasilnya negatif maka pemeriksaan anti-HBs bisa direkomendasikan. Perlu diperhatikan bahwa sebagian pasien terbukti tidak bisa mempertahankan respon virologis ataupun serologis setelah penghentian terapi analog nukleos(t)ida, maka pemantauan terhadap indikator-indikator hepatitis B (HBeAg atau bahkan DNA VHB) harus dilakukan secara berkala. Pemeriksaan HBeAg, ALT, dan DNA VHB dilakukan tiap bulan pada 3 bulan pertama terapi dihentikan. Kemudian dilanjutkan tiap 3 bulan selama satu tahun. Bila tidak ada relaps, pemeriksaan dilakukan tiap 3 bulan pada pasien sirosis dan tiap 6 bulan pada non-sirosis. Pada pasien yang tidak mencapai respon virologis atau serologis yang diharapkan, atau pada pasien yang relaps, pemeriksaan resistensi bisa dilakukan. Pada terapi dengan adefovir atau tenofovir, pemantauan fungsi ginjal secara rutin juga harus dilakukan untuk menilai efek samping. Keluhan nyeri otot harus dievaluasi pada setiap pertemuan dengan pasien yang mendapat terapi telbivudin mengingat adanya kemungkinan miopati Lamivudin

1. 2.

1. 2. 3. 4.

10 | P a g e

Analog nukleos(t)ida bekerja dengan menghambat tempat berikatan polimerase virus, berkompetisi dengan nukleosida atau nukleotida, dan menterminasi pemanjangan rantai DNA. Lamivudin (2, 3-dideoxy-3thiacytidine) adalah analog nukleos(t)ida pertama yang pada tahun 1998 diakui sebagai obat hepatitis B. Obat ini berkompetisi dengan dCTP untuk berikatan dengan rantai DNA virus yang akan menterminasi pemanjangan rantai tersebut. Lamivudin (LAM) diminum secara oral dengan dosis optimal 100 mg/hari. Pemberian satu kali sehari dimungkinkan mengingat waktu paruhnya yang mencapai 17-19 jam di dalam sel yang terinfeksi. Secara umum dapat disimpulkan bahwa lamivudin adalah pilihan terapi yang murah, aman, dan cukup efektif baik untuk pasien hepatitis B dengan HBeAg positif maupun negatif. Namun tingginya angka resistensi dan rendahnya efektivitas bila dibandingkan dengan terapi lain membuat obat ini mulai ditinggalkan. Walaupun begitu, terapi lamivudin tetap bisa disarankan menjadi terapi lini pertama di Indonesia dan masih bisa menjadi pilihan utama pada beberapa kondisi seperti pada sirosis dekompensata atau profilaksis pada pasien yang akan menjalani kemoterapi. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, alasan ekonomi adalah salah satu factor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan pilihan terapi. Namun, beberapa strategi harus diambil untuk mencegah resistensi terhadap obat ini. Pemberian terapi sesuai dengan indikasi terapi yang sudah disepakati merupakan salah satu cara untuk mencegah resistensi. Lamivudin masih bisa menjadi terapi lini pertama di Indonesia pada pasien dengan DNA VHB <109 kopi/mL (2 x 108 IU/mL), status HBeAg positif, dan ALT >2x batas atas normal. Selain itu, bila pada minggu ke-4 pasien tidak mencapai DNA VHB <104 kopi/mL (2 x 103 IU/mL) atau pada minggu ke-24 tidak mencapai DNA VHB <103 kopi/mL (2 x 102 IU/mL), maka penggantian terapi harus dipertimbangkan. 1. 2. Lamivudin dapat dipertimbangkan untuk digunakan pada: Pasien naif dengan DNA VHB <2 x 108 IU/mL, status HBeAg positif, ALT >2x batas atas normal. Lamivudin dapat diteruskan bila pada minggu ke-4 pasien mencapai DNA VHB < 2 x 103 IU/mL, serta pada minggu ke-24 mencapai DNA VHB <2 x 102 IU/mL. Sebaliknya, lamivudin tidak boleh diberikan pada pasien dengan karakteristik: Pasien yang sudah resisten terhadap lamivudin, telbivudin, atau entecavir. Adefovir Dipivoxil Adefovir dipivoxil (ADV) adalah analog adenosine monophosphate yang bekerja dengan berkompetisi dengan nukleotida

cAMP untuk berikatan dengan DNA virus dan menghambat polymerase dan reverse transcriptase sehingga memutus rantai DNA VHB. Obat ini mulai diproduksi sejak tahun 2002 dan diberikan secara oral sebanyak 10 mg per hari. Obat ini memiliki efek samping berupa gangguan fungsi ginjal (azotemia, hipofosfatemia, asidosis, glicosuria, dan proteinuria) yang bersifat dose-dependent dan reversibel. Efek samping ini juga jarang sekali muncul pada dosis 10 mg/hari yang biasa digunakan, namun hendaknya dilakukan pemantauan rutin kadar kreatinin selama menjalani terapi. Bila dibandingkan dengan lamivudin, adefovir memang memiliki efektivitas yang sedikit lebih rendah, namun obat ini memiliki profil resistensi yang lebih baik. Resistensi ditemukan pada 0% pasien HBeAg negatif yang diterapi dengan adefovir selama 48 minggu. Mengingat resistensi silang antara adefovir dengan lamivudin jarang terjadi, adefovir dapat digunakan pada pasien hepatitis B kronik yang telah resisten terhadap lamivudin. Sebaliknya, pasien yang resisten adefovir namun belum pernah menerima lamivudin juga dapat diterapi dengan lamivudin. Walaupun begitu, dapat terjadi peningkatan risiko resistensi adefovir pada pasien-pasien yang resisten terhadap lamivudin. Kekurangan lain adefovir adalah adanya kemungkinan efek samping pada pasien dengan gangguan ginjal. Walaupun secara umum penggunaan pada dosis 10 mg/hari dianggap aman, namun sebuah studi menunjukkan adanya peningkatan kreatinin yang reversibel pada 3% pasien yang mengkonsumsi adefovir 10 mg/hari selama 5 tahun. Seperti halnya pada lamivudin, adefovir juga merupakan obat yang kurang efektif bila dibandingkan pilihan terapi lain, namun efektivitasnya bisa ditingkatkan bila diberikan hanya pada kelompok yang sesuai. Sebuah penelitian terbaru menyatakan bahwa kelompok pasien naif yang mendapat manfaat terbesar dari adefovir adalah kelompok pasien dengan HBeAg negatif, DNA VHB basal rendah, dan ALT tinggi. Adefovir pada pasien dengan HBeAg negatif mampu memberikan respon virologis pada akhir 48 minggu terapi pada 88.24% pasien, jauh lebih tinggi daripada hasil kelompok HBeAg positif yang hanya mencapai 43.59% pasien (p< 0.05). Namun, sayangnya tidak disebutkan berapa batas DNA VHB dan ALT pada penelitian yang ada. Walaupun tidak terdapat perbedaan signifikan antara respon biokimia pada kedua kelompok, hasil ini bisa cukup menjustifikasi penggunaan adefovir pada kelompok HBeAg negatif. Selain itu, adanya kegagalan respon primer dan tidak tercapainya DNA VHB tidak terdeteksi pada minggu ke-24 terapi juga merupakan prediktor respon yang buruk pada penggunaan adefovir. Hasil yang serupa juga didapatkan pada penelitian lain yang melibatkan pasien Asia dan Kaukasia. Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa adefovir dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada pasien naif dengan HBeAg negatif, DNA VHB rendah, dan ALT tinggi.

1.

11 | P a g e

1. 2. 1. 2. 3.

Adefovir dapat diberikan pada keadaan sebagai berikut: Pasien hepatitis B kronik HBeAg negatif, dengan DNA VHB rendah, dan ALT tinggi. Pasien dengan riwayat gagal terapi dengan pemberian analog nukleosida. Sebaliknya, adefovir tidak disarankan pada pasien: Hepatitis B kronik dengan gangguan ginjal. Pasien hepatitis B yang resisten terhadap adefovir. Pasien dalam pengobatan adefovir yang tidak menunjukkan respon pada minggu ke-24 (bila hal ini terjadi, ganti strategi terapi dengan menambahkan atau mengganti ke analog nukleos(t)ida lain. Entecavir Entecavir (ETV) adalah analog 2-deoxyguanosine. Obat ini bekerja dengan menghambat priming DNA polimerase virus, reverse transcription dari rantai negatif DNA, dan sintesis rantai positif DNA. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa obat ini lebih poten daripada lamivudin maupun adefovir dan masih efektif pada pasien dengan resistensi lamivudin walaupun potensinya tidak sebaik pada pasien naif. Entecavir diberikan secara oral dengan dosis 0.5 mg/hari untuk pasien naif dan 1 mg/hari untuk pasien yang mengalami resistensi lamivudin. Profil keamanan entecavir cukup baik dengan barrier resistensi yang tinggi. Satu keuntungan entecavir adalah tingginya efektivitas dengan tingkat resistensi yang relatif rendah. Terapi ini bisa menjadi pilihan pada pasien dengan resistensi lamivudin. Sebuah studi melaporkan tercapainya perbaikan histologis (pada 55% pasien) dan penurunan DNA VHB tak terdeteksi dan normalisasi ALT (pada 55% pasien) pada kelompok pasien hepatitis B refrakter lamivudin yang mendapat 1 mg entecavir per hari selama 48 minggu. Walaupun begitu, perlu diingat bahwa pada pasien yang sudah mengalami resistensi terhadap lamivudin, bisa dijumpai resistensi terhadap entecavir. Dapat disimpulkan entecavir dapat diberikan pada keadaan sebagai berikut : Pasien hepatitis B naif. Pasien dengan hepatitis B kronik dan sirosis. Entecavir tidak disarankan untuk diberikan pada keadaan sebagai berikut: Pasien hepatitis B yang resisten terhadap entecavir. Telbivudin

Telbivudin (LdT) adalah analog L-nukleosida thymidine yang efektif melawan replikasi VHB. Obat ini diberikan secara oral dengan dosis optimal 600 mg/hari. Efek samping terapi telbivudin juga cenderung ringan, namun beberapa laporan menyebutkan adanya peningkatan creatine kinase yang reversibel bila terapi dihentikan. Dilaporkan juga adanya kasus myopati yang juga reversibel dengan penghentian terapi.Kekurangan telbivudin adalah profil resistensinya yang kurang baik. Pada pasien dengan HBeAg positif, DNA VHB basal <109 IU/mL, ALT basal >2 x batas atas normal, dan terdapat DNA VHB tak terdeteksi pada minggu ke-24 terapi, maka pada akhir 2 tahun terapi bisa tercapai DNA VHB tak terdeteksi pada 89% pasien, serokonversi HBeAg pada 52% pasien, dan resistensi hanya pada 1.8% pasien. Demikian pula pada pasien dengan HBeAg negatif, DNA VHB basal < 107 IU/mL, dan terdapat DNA VHB tak terdeteksi pada minggu ke-24 terapi, maka pada akhir 2 tahun terapi bisa tercapai DNA VHB tak terdeteksi pada 91% pasien dan resistensi hanya ditemukan pada 2.3% pasien. Kelompok pasien dengan karakteristik tersebut, atau disebut super responders adalah target utama terapi telbivudin. Telbivudin dapat digunakan pada: 1. Pasien naif dengan DNA VHB <2 x 108 IU/mL, status HBeAg positif, ALT >2x batas atas normal. 2. Telbivudin juga dapat diteruskan bila pada minggu ke-24 mencapai DNA VHB tak terdeteksi. Sebaliknya, telbivudin tidak boleh diberikan pada pasien dengan karakteristik: 1. Pasien yang sudah resisten terhadap lamivudin, telbivudin, atau entecavir. Tenofovir Disoproxil Fumarate Tenofovir disoproxil fumarate (TDF) adalah prekursor tenofovir, sebuah analog nukleotida yang efektif untuk hepadanavirus dan retrovirus. Obat ini awalnya digunakan sebagai terapi HIV, namun penelitian-penelitian menunjukkan efektivitasnya sangat baik untuk mengatasi hepatitis B. Tenofovir diberikan secara oral pada dosis 300 mg/hari. Sampai saat ini masih belum ditemukan efek samping tenofovir yang berat. Namun telah dilaporkan adanya gangguan ginjal pada pasien dengan koinfeksi VHB dan HIV. Tenovofir memiliki profil resistensi yang cukup baik sehingga obat ini efektif digunakan pada pasien yang sudah mengalami resistensi dengan terapi lain. Pada sebuah penelitian yang melibatkan pasien-pasien hepatitis B yang gagal dengan terapi lamivudin atau adefovir, pemberian tenofovir mampu menekan DNA VHB sampai di bawah 400 kopi/mL pada 95% pasien, menginduksi serokonversi HBeAg pada 20% pasien, menormalisasi ALT pada 71% pasien, dan menginduksi HBeAg pada 5% pasien. Sebagian dari pasien yang

1. 2. 1.

12 | P a g e

sudah gagal dengan terapi lamivudin terbukti memiliki mutasi di region YMDD, namun mutasi ini tidak mempengaruhi hasil akhir terapi tenofovir. Dari penelitian lain juga terbukti adanya hasil yang baik pada pasien yang diganti obatnya ke tenofovir setelah gagal dengan terapi adefovir 1 tahun. Sampai beberapa tahun yang lalu, karena pengalaman yang masih kurang, sebagian besar panduan belum mencantumkan tenofovir sebagai terapi utama Hepatitis B, namun seiring munculnya bukti keamanan dan efektivitas jangka panjang tenofovir, terapi ini telah direkomendasikan sebagai terapi lini pertama oleh beberapa panduan. Namun, mengingat obat ini belum tersedia di Indonesia untuk kasus hepatitis B, panduan tersebut tidak bisa begitu saja diterapkan di Indonesia. 1. 2. Dapat disimpulkan tenofovir dapat diberikan pada keadaan sebagai berikut : Pasien hepatitis B naif. Pasien dengan hepatitis B kronik dan sirosis. Tenofovir tidak disarankan untuk diberikan pada keadaan sebagai berikut: 1. Pasien hepatitis B yang resisten tenofovir. 2. Pasien hepatitis B dengan gangguan ginjal.

Penggunaan pemeriksaan HBsAg kuantitatif sebagai prediktor respon terapi interferon merupakan hal yang cukup menjanjikan. Beberapa penelitian berhasil membuktikan bahwa penurunan bermakna HBsAg pada minggu ke-12 terapi bisa menjadi prediktor yang bermakna untuk terjadinya SVR. Sebaliknya, kegagalan mencapai penurunan HBsAg yang bermakna pada minggu ke-12 meningkatkan kemungkinan pasien tersebut tidak merespon terapi interferon dengan NPV yang bervariasi dari 82-100%. Walaupun hal ini belum dicantumkan dalam panduan manapun, namun beberapa ahli telah merekomendasikan penggunaan pemeriksaan HBsAg kuantitatif pada minggu ke-12 sebagai indikator untuk melanjutkan atau menghentikan terapi interferon. Prediktor Respon Terapi Analog Nukleos(t)ida Untuk terapi dengan analog nukleos(t)ida, secara umum prediktor respon yang telah terbukti mencakup kadar DNA VHB <2 x 109 IU/mL, ALT >2-5 kali batas atas normal, dan tingkat kerusakan hati yang tinggi pada pemeriksaan histopatologis. Genotip virus tampaknya tidak memiliki pengaruh terhadap hasil akhir terapi dengan analog nukleos(t)ida. Khusus untuk terapi lamivudin dan telbivudin, terapi bisa mencapai hasil maksimal bila pasien memenuhi kriteria yang ketat, yaitu DNA VHB <109 IU/mL (2 x 108 IU/mL), status HBeAg positif, dan ALT >2x batas atas normal. Selain itu, bila pada minggu ke-4 pasien tidak mencapai DNA VHB <104 IU/mL (2 x 103 IU/mL) atau pada minggu ke-24 tidak mencapai DNA VHB <103 IU/mL (2 x 102 IU/mL), maka penggantian terapi harus dipertimbangkan. Dalam kasus pemberian adefovir, adanya kegagalan respon primer dan tidak tercapainya DNA VHB tidak terdeteksi pada minggu ke-24 terapi merupakan prediktor respon yang buruk.

c.

Prediktor/Evaluasi Respon Pengobatan Beberapa bukti terbaru telah terkumpul untuk menilai kemungkinan respon terapi hepatitis B pada masing-masing individu. Bukti-bukti ini umumnya digunakan sebagai dasar penyusunan indikasi dan pemantauan terapi. Prediktor Respon Terapi Interferon Pada terapi dengan interferon, kadar DNA VHB <2 x 108 IU/mL, ALT >2-5 kali batas atas normal, dan tingkat kerusakan hati yang tinggi pada pemeriksaan histopatologis adalah prediktor serokonversi HBeAg yang baik. Serokonversi HBeAg dan hilangnya HBsAg juga lebih sering ditemukan pada pasien yang terinfeksi virus hepatitis B genotip A atau B daripada genotip lain. Pada pasien dengan HBeAg positif, penurunan DNA VHB sampai <2 x 104 IU/mL pada minggu ke-12 terapi merupakan prediktor serokonversi HBeAg,dan apabila pada pasien didapatkan flare yang diikuti penurunan DNA VHB selama terapi, kemungkinan serokonversi HBeAg juga meningkat.Hal yang serupa juga didapatkan pada pasien dengan HBeAg negatif, di mana penurunan DNA VHB sampai <2 x 104 IU/mL pada minggu ke-12 terapi berhubungan dengan 50% kemungkinan respon jangka panjang.

13 | P a g e

Gambar 7. Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B dengan HBeAg negatif

Gambar 6. Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B dengan HBeAg positif

14 | P a g e

3)

a)

b)

c) 4)

Gambar 8. Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B pada Pasien dengan Sirosis

2.2.9 1)

PENCEGAHAN HEPATITIS B

Health promotion Helath promotion yaitu dengan usaha penigkatan mutu kesehatan. Health promotion terhadap host berupa pendidikan kesehatan, peningkatan higiene perorangan, perbaikan gizi, perbaikan sistem tranfusi darah dan mengurangi kontak erat dengan bahan - bahan yang berpotensi menularkan virus hepatitis B (VHB). 2) Specific protection Specific protection yaitu perlindungan khusus terhadap penularan hepatitis B dapat dilakukan melalui sterilisasi bendabenda yang tercemar dengan pemanasan dan tindakan khusus seperti penggunaan yang langsung bersinggungan dengan darah, serum, cairan tubuh dari penderita hepatitis, juga pada petugas kebersihan, penggunaan pakaian khusus sewaktu kontak dengan darah dan cairan tubuh, cuci tangan sebelum dan sesudah kontak

5)

a) b)

dengan penderita pada tempat khusus selain itu perlu dilakukan pemeriksaan HBsAg petugas kesehatan (unit onkologi dan dialisa) untuk menghindarkan kontak antara petugas kesehatan dengan penderita dan juga imunisasi pada bayi baru lahir. Early diagnosis and prompt treatment Diagnosis dan pengobatan dini merupakan upaya pencegahan sekunder. Sasaran pada tahap ini yaitu bagi mereka yang menderita penyakit atau terancam akan menderita suatu penyakit. Tujuan pada pencegahan sekunder adalah : Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui pemeriksaan berkala pada sarana pelayanan kesehatan untuk mematiskan bahwa seseorang tidak menderita penyakit hepatitis B, bahkan gangguan kesehatan lainnya. Melakukan screening hepatitis B (pencarian penderita penyakit Hepatitis) melalui suatu tes atau uji tertentu pada orang yang belum mempunyai atau menunjukan gejala dari suatu penyakit dengan tujuan untuk mendeteksi secara dini adanya suatu penyakit hepatitis B. Melakukan pengobatan dan pearwatan penderita hepatitis B sehingga cepat mengalami pemulihan atau sembuh dari penyakitnya. Disability limitation Disability limitation merupakan upaya pencegahan tersier dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kecacatan dan kematian karena suatu penyakit. Upaya mencegah kecacatan akibat penyakit hepatitis B dapat dilakukan dengan upaya mencegah proses berlanjut yaitu dengan pengobatan dan perawatan secara khusus berkisanambungan dan teratur sehingga proses pemulihan dapat berjalan dengan baik dan cepat. Pada dasarnya penyakit hepatitis B tidak membuat penderita menjadi cacat pada bagian tubuh tertentu. Akan tetapi sekali vitus hepatitis B masuk ke dalam tubuh maka seumur hidup akan menjadi carrier dan menjadi sumber penularan bagi orang lainnya. Rehabilitation Rehabilitasi merupakan serangkaian dari tahap pemberantasan kecacatan (disability limitation) dengan tujuan untuk berusaha mengembalikan fungsi fisik, psikologis dan sosial. Rehabilitation yang dapat dilakukan dalam menanggulangi penyakit hepatitis B yaitu sebagai berikut : Rehabilitasi fisik, jika penderita mengalami gangguan fisik akibat penyakit hepatitis B Rehabilitasi mental dari penderita hepatitis B, sehingga penderita tidak merasa minder dengan orangtua masyarakat sekitarnya karena pernah menderita penyakit hepatits B.

15 | P a g e

c)

Rehabilitasi sosial bagi penderita penyakit hepatitis B sehingga tetap dapat melakukan kegiatan di lingkungan sekitar bersama orang lainnya. Dasar utama imunoprofilaksis adalah pemberian vaksin hepatitis B sebelum paparan. Imunoprofilaksis vaksin hepatitis B sebelum paparan Vaksin rekombinan ragi Mengandung HbsAg sebagai imunogen Sangat imunogenik, menginduksi konsentrasi proteksi anti HbsAg pada > 95% pasien dewasa muda sehat setelah pemberian komplit 3 dosis Efektivitas sebesar 85-95% dalam mencegah infeksi HBV Booster tidak direkomendasikan walaupun setelah 15 tahun imunisasi awal Booster hanya untuk individu dengan imunokompromais jika titer dibawah 10mU/mL Dosis dan jadwal vaksinasi HBV. Pemberian IM (deltoid) dosis dewasa untuk dewasa, untuk bayi, anak sampai umur 19 tahun dengan dosis anak (1/2 dosis dewasa), diulang pada 1 dan 6 bulan kemudian Indikasi Imunisasi universal untuk bayi baru lahir Vaksinasi catch up untuk anak sampai umur 19 tahun, bila belum divaksinasi Grup resiko tinggi : Pasangan dan anggota keluarga yang kontak dengan karier hepatitis B Imunoprofilaksis pasca paparan dengan( vaksin hepatitis B dan imunoglobulin hepatitis B (HBIG).) Dosis 0,04-0,07mL/kg HBIG sesegera mungkin setelah paparan Vaksin HBV pertama diberikan pada saat atau hari yang sama pada deltoid sisi lain Vaksin kedua dan ketiga diberikan 1 dan 6 bulan kemudian. Neonatus dari ibu yang diketahui mengidap HbsAg positif : 0,5 ml HBIG diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir di bagian anterolateral otot paha atas Vaksin HBV dengan dosis 5-10 ug, diberikan dalam waktu 12 jam pada sisi lain, diulang pada 1 dan 6 bulan. Vaksin Kombinasi Digunakan kepada orang yang mempunyai kemungkinan akan terpapar kedua infeksi virus hepatitis A dan B. Twinrix untuk hepatitis A dan B usia 2-15 tahun hanya membutuhkan 2 kali vaksinasi dengan interval bulan ke 0 dan ke 6.

orang dewasa diatas usia 15 tahun membutuhkan 3 dosis penyuntikan vaksin ini dengan interval waktu penyuntikan 0 bulan, 1 bulan dan 6 bulan kemudian

1. a. b.

c. 2.

Imunisasi Pada Bayi Imunisasi bayi universal dengan vaksin hepatitis B sekarang dianjurkan oleh American Academy of Pediatrics (AAP) dan Pelayanan Kesehatan Masyarakat AS karena strategi selektif telah gagal untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat infeksi VHB. Masa neonatus telah dijadikan sasaran karena lebih dari 90% bayi yang mendapat infeksi perinatal akan menjadi pengidap kronis. Bayi yang dilahirkan oleh wanita yang HBsAg positif harus mendapat vaksin pada saat lahir, umur 1 bulan dan 6 bulan. Dosis pertama harus diseertai dengan pemberian 0,5 ml immunoglobulin hepatitis B (IGHB) sesegera mungkin sesudah lahir karena efektivitasnya berkurang dengan cepat dengan bertambahnya waktu sesudah lahir. AAP merekomendasikan bahwa bayi yang dilahirkan dari ibu yang HBsAg negative mendapat dosis vaksin pertama pada saat lahir, kedua pada umur 1-2 bulan, dan ketiga Vaksin HB bila diberikan sebelum infeksi dapat mencegah penyakit dan mencegah munculnya pengidap hampir semua penerima vaksin. Vaksin HB telah dipakai oleh lebih dari 500 juta orang dan terbukti merupakan salah satu vaksin teraman, imunogenik dan efektif. Walaupun vaksin ini dapat dipakai untuk semua umur, namun vaksin ini paling efektif apabila digunakan sebagai bagian dari skema imunisasi bayi. Para ahli menganjurkan imunisasi bayi pada area dengan tingkat endemisitas sedang sampai tinggi, dan imunisasi kelompok risiko tinggi pada daerah endemisitas rendah. Walaupun vaksinasi HB bermanfaat bagi kelompok risiko tinggi, saat ini telah dicapai kesepakatan baik dari sudut pandang epidemiologi maupun praktisi bahwa strategi kelompok risiko tinggi ini tidak akan menurunkan insiden infeksi HBV secara bermakna baik dalam skala nasional maupun internasional. Indonesia adalah Negara dengan angka prevalensi HB berkisar antara 520% termasuk Negara dengan endemisitas sedang sampai dengan tinggi, dengan transmisi verikal 48%. Oleh karena itu, strategi yang paling tepat untuk Indonesia adalah vaksinasi bayi secepat mungkin setelah dilahirkan. Pemberian vaksinasi bertujuan untuk merangsang system imun agar membentuk kekebalan humoral (antigen-spesifik humoral antibody) dan kekebalan seluler. Tidak seperti kekebalan pasif yang berlangsung sementara, maka kekebalan aktif biasanya bertahan untuk beberapa tahun. Vaksin akan berinteraksi dengan system imun dan umumnya menghasilkan respons imun yang sama dengan yang dihasilkan oleh

16 | P a g e

infeksi alami, tetapi penerima vaksin tidak menjadi sakit atau terserang komplikasi. Vaksin juga menimbulkan immunologic memory yang serupa dengan yang didapat dari infeksi alami. Banyak faktor yang mempengaruhi imun respons terhadap vaksinasi, antara lain adanya antibodi maternal, sifat dan dosis antigen, cara pemberian dan adanya adjuvant. Faktor penerima vaksin juga berpengaruh antara lain, umur, status nutrisi, genetik, dan penyakit yang sedang diderita. Vaksin HB ternasuk vaksin inactivated, yaitu vaksin yang terdiri dari bagian dari virus dan tidak mengandung virus hidup. Oleh karena itu, vaksin HB tidak menyebabkan replikasi virus hepatitis dan tidak menyebabkan penyakit. Ia juga tidak dapat bermutasi kea rah lebih pathogen. Vaksin HB merupakan HBsAg murni yang terikat dengan adjuvant alum. HBsAg adalah glikoprotein yang membentuk selubung (envelope) luar dari virus HB. HBsAg bisa berasal dari proses pemurnian plasma pengidap (plasma derived vaccine) atau diproduksi dalam yeast atau sel mamalia menggunakan teknologi rekombinan (recombinant vaccine). Plasma derived vaccine Pada infeksi alamiah dengan virus HB, sel hati akan memproduksi HBsAg secara berlebihan dari yang dibutuhkan untuk membungkus partikel virus. Kelebihan HBsAg ini adalah kemampuan untuk membentuk partikel sferis dan tubular berukuran 22mm. Vaksin HB dibuat dengan memurnikan partikel HBsAg yang berasal dari plasma host. Bahan vaksin diinaktivasi untuk menjamin tidak ada lagi virus maupun mikro-organisme lain yang infeksius. Vaksin HB asal plasma ini memiliki beberapa keterbatasan bila digunakan dalam program universal : Terbatasnya darah pengidap HB yang sehat Perlu ketelitian dalam proses pemurnian dan inaktivasi Kekhawatiran akan kontaminasi pathogen yang berasal dari darah. Keterbatasan ini menyebabkan harga vaksin asal plasma ini terlalu mahal untuk Negara berkembang, sehingga para ahli mengembangkan vaksin dengan teknologi rekombinan. Rekombinan vaksin HB Vaksin HB ini dibuat dari yeast atau sel mamalia, sel-sel ini berisi plasmid yang sudah disisipi gen HBsAg, sehingga dengan replikasi yeast maka plasmid turut ber-replikasi dan menghasilkan HBsAg dalam jumlah banyak. Bentuk HBsAg sferis yang dihasilkan serupa dengan partikel sferis 22 nm alami, baik dalam hal komposisi kimia maupun imunogenisitasnya. Vaksin HB ini dapat diproduksi dalam jumlah tidak

terbatas di dalam fermentor, sehingga tak ada lagi kekhawatiran akan habisnya bahan asal antigen sebagaimana halnya dengan pemakaian vaksin asal plasma. Yeast yang digunakan bukan Saccharomyces cerevisiae tetapi Hansenula polymorpha yang memiliki banyak keunggulan antara lain plasmid yang stabil dan produktivitas yang tinggi. Efikasi vaksin HB rekombinan Setelah 3 x suntikan IM, lebih dari 90 % orang dewasa sehat dan lebih dari 95 % bayi dan anak usia kurang dari 19 tahun akan memberikan repons imun yang cukup. Dosis vaksin yang direkomendasikan dapat berbeda tergantung dari umur penerima vaksin, kondisi tertentu, dan tipe vaksin. Kelompok Recombivax HB Dosis (ml) 5 g (0,5) 5 g (0,5) 10 g (1,0) Vaksin Engerix-B Dosis (ml) 10 g (0,5) 10 g (0,5) 20 g (1,0)

Bayi + anak < 11 tahun Anak 11-19 tahun Dewasa > 20 tahun

Bio Farma/KGCC Dosis (ml) 10 g (0,5) 20 g (1,0) 20 g (1,0)

1. 2. 3.

Penyuntikan yang dianjurkan adalah intramuscular pada musculus deltoideus untuk anak besar dan orang dewasa, sedangkan pada bayi sebaiknya pada bagian anterolateral paha. Penyuntikan orang dewasa di bokong akan mengurangi imunogenisitas vaksin. Antibody yang ditimbulkan karena vaksinasi akan menurun dengan waktu, tetapi immune memory akan menetap sampai kira-kira 13 tahun setelah imunisasi, sehingga baik anak maupun dewasa denagn antibody yang menurun ini masih terlindung terhadap infeksi HBV yang serius (klinis, antigenemia, kelainan fungsi HB). Paparan dengan HBV akan menimbulkan respons anamnestik anti-HBs yang akan mencegah timbulnya gejala klinis infeksi. Vaksin HB dalam kemasan uniject Uniject adalah alat suntik terbuat dari plastic yang disposable, pre-filled dengan obat dosis tunggal. Obatnya tertutup rapat dalam blister, dengan jarum yang terpasang permanent. Uniject ini dirancang untuk mencegah penggunaan ulang alat suntik, sehingga menjamin safe infection, tidak ada risiko tertular penyakit lain melalui suntik bekas yang terkontaminasi. Upaya pencegahan umum terhadap HBV yang seyogianya dilakukan pula adalah : Uji tapis donor darah terhadap HBV

1.

17 | P a g e

2. 3. 4.

Sterilisasi alat operasi, alat suntik, peralatan gigi Penggunaan sarung tangan oleh tenaga medis Mencegah kemungkinan terjadinya mikrolesi yang dapat menjadi tempat masuknya virus, seperti pemakaian sikat gigi, sisir, alat pencukur rambut pribadi Untuk mencegah transmisi vertical, semua ibu hamil terutama yang berisiko terinfeksi HBV sebaiknya dianjurkan untuk diperiksa terhadap HBV. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan pada awal dan trisemester ketiga kehamilan. 2.2.10 PROGNOSIS HEPATITIS B Dengan penanggulangan yang cepat dan tepat, prognosisnya baik dan tidak perlu menyebabkan kematian. Pada sebagian kasus penyakit berjalan ringan dengan perbaikan biokimiawi terjadi secara spontan dalam 1 3 tahun. Pada sebagian kasus lainnya, hepatitis kronik persisten dan kronk aktif berubah menjadi keadaan yang lebih serius, bahkan berlanjut menjadi sirosis. Secara keseluruhan, walaupun terdapat kelainan biokimiawi, pasien tetap asimtomatik dan jarang terjadi kegagalan hati. Infeksi Hepatitis B dikatakan mempunyai mortalitas tinggi. Pada suatu survey dari 1.675 kasus dalam satu kelompok, ternyata satu dari delapan pasien yang menderita hepatitis karena tranfusi (B dan C) meninggal.. Di seluruh dunia ada satu diantara tiga yang menderita penyakit hepatitis B meninggal dunia.

18 | P a g e

You might also like