You are on page 1of 23

PERKEMBANGAN BARU DALAM PENATALAKSANAAN HEPATITIS VIRUS KHRONIK B DAN C

HERNOMO KUSUMOBROTO
DIVISI GASTROENTERO-HEPATOLOGI LABORATORIUM-SMF PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA RSUD DR. SUTOMO SURABAYA

Dibacakan pada : PEKAN ILMIAH DALAM ACARA PERINGATAN 12 TAHUN RS PUPUK KALTIM Bontang, KALTIM, 10 Agustus 2002

PERKEMBANGAN BARU DALAM PENATALAKSANAAN HEPATITIS VIRUS KHRONIK B DAN C


HERNOMO KUSUMOBROTO
Divisi Gastroentero-hepatologi Laboratoium-SMF Penyakit Dalam Fakultas Kedoteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Sutomo Surabaya

PENDAHULUAN
Hepatitis virus kronik (HVK) merupakan penyebab utama penyakit hati menahun (PHM), sirosis hati (SH) dan karsinoma hepatoseluler (KHS). Dari ke 5 penyebab virus hepatitis yang telah dikenal, 3 di antaranya dapat menimbulkan infeksi hati yang menetap dan berlangsung lama (hepatitis kronik), yaitu : hepatitis virus B (HVB), hepatitis virus C (HVC) dan hepatitis virus D (HVD). Ketiga macam virus yang berlainan ini dapat menimbulkan berbagai bentuk hepatitis virus kronik (VHK) yang menunjukkan kesamaan dalam keluhan dan gejala klinik, kelainan biokimia, dan histologi, serta kemampuannya untuk menimbulkan sirosis hati. Namun ketiganya sebenarnya berbeda satu dengan yang lain, terutama dalam respons terhadap pengobatan (1). Lebih dari 350 juta penduduk di seluruh dunia telah terinfeksi virus hepatitis B, dan sekitar 75 % kasus ditemukan di Asia. Diperkirakan sekitar 50 juta kasus baru hepatitis virus B ditemukan setiap tahunnya. Sekitar 25 % hepatitis virus B (HVB) kronik ini meninggal akibat sirosis hati dengan komplikasinya, dan karsinoma hepatoseluler. Dengan demikian sekitar 1 juta penderita HVB menahun akan meninggal setiap tahunnya (2). Pada tahun 1997 WHO melaporkan bahwa infeksi HVB telah mencapai ranking ke-9 sebagai penyebab kematian terbanyak di dunia, dengan perkiraan sebanyak 1 juta orang telah meninggal pada tahun 1996 akibat penyakit ini (2,3). HCV telah tersebar di seluruh dunia, dan WHO memperkirakan sekitar 170 juta penduduk dunia telah terinfeksi dengan virus ini, dan mendekati 90% di antaranya akan berkembang menjadi penyakit hati menahun (4). Secara keseluruhan telah ada 130 negara di dunia yang melaporkan terinfeksi HCV (5,6).

Di Asia, infeksi HCV diperkirakan bervariasi dari 0.3 % di Selandia Baru sampai 4% di Kamboja. Data dari daerah Pasifik sulit didapat, tetapi diperkirakan sekitar 4.9 % telah tercatat di beberapa bagian daerah Pasifik. Di Timur Tengah angka yang pernah dilaporkan adalah 12 % pada beberapa Pusat Penelitian (7).

EPIDEMIOLOGI
Angka prevalensi HBV di beberapa negara Asia Pasifik berkisar antara 2.5 10 %. Indonesia sendiri masuk dalam kelompok prevalensi sedang sampai tinggi, yaitu dalam kelompok antara 10 15 %. Dari data yang terkumpul, prevalensi HBV di Indonesia berkisar antara 2.5 % (di Banjarmasin) sampai 36 % (di Dili). Berarti sekitar 5 70 juta penduduk Indonesia terinfeksi oleh HBV (56, 57). Angka prevalensi HCV pada donor sehat dilaporkan sekitar 0.01-0.02% di Inggris dan Eropa Utara, 1-1.5% di Eropa Selatan, dan 3 - 6.5% di sebagian Negara Katulistiwa Afrika. Angka prevalensi sampai 20% ditemukan di Mesir (5,6). Antara tahun 1992 dan 1996 telah dilaporkan sebanyak total 5,232 kasus yang terbukti terinfeksi HCV diterima di sejumlah laboratorium di Inggris dan Wales (Ramsey 1997). Sebagian besar dalam kelompok usia antara 25-34 tahun (38%) dan 35-44 (27%) dengan jumlah pria 2 x lebih banyak dibanding wanita. Faktor risiko dapat diketahui pada 57% kasus, dan faktor resiko terbanyak adalah pengguna obat parenteral (80%) diikuti penerima transfusi darah dan komponennya (10.8%) (8). Di Australia 65 % penderita yang berkunjung ke RS akibat hepatitis C kronik disebabkan oleh pemakaian obat parenteral (IDU = injecting drug use) (8). Data di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi HCV, berkisar antara 0.5 3.4 %, yang menunjukkan sekitar 1 7 juta penduduk kita mengidap infeksi irus C ini (56). Dari pengalaman kami di praktek, penyebab penularan biasanya sulit ditentukan karena beberapa alasan, namun beberapa penyebab yang dapat dikorek antara lain adalah : transfusi darah, pemakai narkotik dan tato (9,57).

Transmisi parenteral

Transmisi utama dari HCV adalah parenteral, dan sebagian besar penderita pada umumnya menunjukkan riwayat pengguna obat parenteral /intravena atau pernah mendapat transfusi darah atau komponennya (8). Pengguna obat intravena merupakan faktor resiko yang besar untuk mendapat HCV dengan frekuensi antara 50-100% yang mempuyai anti-HCV positif. Transmisi parenteral lain adalah hemodialisis (10, 11), transplantasi organ (12), tato, dan pengobatan tradisional yang menggunakan pisau yang tidak disterilkan pada beberapa negara tertentu. Juga pemakaian jarum yang tidak steril pada program imunisasi masal, dapat 3

menjadi sarana penyebaran HCV di masyarakat. Transmisi juga dapat terjadi akibat tusukan jarum yang tidak disengaja (needle stick injuries) yang diperkirakan risikonya sekitar 1.8% menurut data CDC tahun 1997 (13,14).

Transmisi Non-Parenteral

Transmisi Seksual Penelitian epidemiologi menunjukkan rendahnya angka infeksi HCV pada kelompok resiko penyakit seksual tinggi seperti WTS, homoseksual, dan penderita dengan PMS (15, 16). Ini menunjukkan terbatasnya peranan transmisi lewat seksual. Hsu[diambil dari 8] tidak berhasil mendapatkan infeksi HCV lewat tehnik PCR dalam semen, urine, tinja, maupun sekret vagina. Namun hubungan seks dengan banyak pasangan, petugas klinik yang sering berhubungan dengan penderita penyakit menular seksual, dan WTS, tetap mempunyai resiko yang tinggi untuk mendapatkan infeksi HCV (8). Transmisi Vertikal Resiko transmisi vertikal tampaknya rendah (<6% dari anak yang akan mendapat HCV positif) kecuali ibunya mengidap HIV positif atau secara khusus mempunyai kadar viremia yang tinggi (17, 18, 19). Laktasi tidak dapat menularkan HCV, dan virus juga tak pernah ditemukan dalam air susu ibu (20, 21). Cara Transmisi lain Penularan dalam keluarga lewat cara lain tampaknya mungkin terjadi, kemungkinan lewat alat pencukur atau sikat gigi. HCV pernah ditemukan dalam saliva (8, 21). Dari hasil penelitian kontak non-seksual dalam keluarga penderita dengan HCV seropositif dilaporkan angka sero-prevalens berkisar antara 0.5% - 13% (8). Dari kumpulan penderita yang datang di praktek (tabel 1), dapat dilihat bahwa hepatitis C dapat mengenai seluruh kelompok umur, dari usia 13 sampai 72 tahun, sebagian besar antara kelompok usia 31 60 tahun, dengan perbandingan pria : wanita = 2 : 1 (9).

PERJALANAN PENYAKIT HBV DAN HCV

Virus hepatitis B merupakan virus DNA yang masuk dalam keluarga hepadna-viridae. Sel-sel yang tereinfeksi VHB ini akan membuat beberapa antigen virus, a.l : hepatitis virus B surface antigen (HBsAg) yang disekresikan dalam jumlah yang banyak, baik sebagai komponen virion yang infeksius, maupun sebagai partikel-partikel subvirus yang tidak infeksius. Adanya hepatitis virus B e antigen (HBeAg) dalam serum menunjukkan adanya replikasi virus dalam kadar yang tinggi. Namun tiadanya HBeAg tidak secara otomatis menunjukkan tiadanya replikasi virus, karena misalnya pada "precore mutant", diketahui HBeAg juga negatif. Hepatitis B core antigen (HBcAg) ditemukan terutama dalam sel-sel hati, dan antibodi terhadap HBcAg (anti-HBc) yang meningkat 4

paling awal dalam perjalanan penyakit hepatitis B, dapat ditemukan pada hampir semua penderita yang pernah kena infeksi hepatitis virus B. Adanya HBV-DNA dalam serum juga menunjukkan adanya replikasi virus dalam kadar yang tinggi (3). Infeksi HVB secara imunologis akan menghilang pada > 90 % penderita dewasa yang mendapat infeksi virus ini akibat cemaran darah maupun cairan tubuh yang terinfeksi virus ini (misalnya lewat hubungan seksual, pemberian obat iv, tercemar darah transfusi dsb. dsb) (1, 3).

Penderita infeksi HCV biasanya berjalan secara subklinik, hanya 10 % penderita yang dilaporkan mengalami kondisi akut dengan ikterus. Infeksi HCV jarang menimbulkan hepatitis fulminan (22), namun infeksi HCV akut yang berat pernah dilaporkan pada seorang penderita resipien transplantasi hati, penderita dengan dasar penyakit hati menahun, dan penderita dengan koinfeksi HBV (8). Meskipun kondisi akutnya biasanya ringan, sebagian besar penderita akan berkembang menjadi penyakit hati menahun (4). Pada penelitian 135 penderita dengan hepatitis pasca-transfusi (PTH), 77% berkembang menjadi penyakit kronik dan dari 65 penderita yang kemudian dibiopsi hatinya, 32% berkembang menjadi sirosis hati dalam pengamatan rata-rata selama 7.5 tahun (8). Pada tahun 1995 Tong melaporkan penelitian pada 131 penderita dengan hepatitis pasca transfusi yang dikirim ke salah satu pusat penelitian antara 1980 dan 1994 (23). 101 penderita dilakukan biopsy hati setelah rata-rata 22 tahun pasca transfusi. Dua puluh tujuh (20.6%) ternyata mempunyai hepatitis kronik, 30 (22.9%) mempunyai hepatitis kronik actif, 67 (51.1%) menunjukkan sirosis, dan 7 (5.3%) mempunyai karsinoma hepatoselular setelah interval rata-rata dari saat transfusi masing-masing 14, 18, 20 dan 28 tahun. Faktor-faktor virus yang berhubungan dengan kecepatan perkembangan penyakit adalah : tingginya kadar viremia (24), genotype 1 (terutama 1b) (25) dan derajat viral genetic diversity (quasispecies) (26). Cara transmisi mungkin ikut memegang peranan penting karena penderita yang mendapat infeksi lewat transfusi darah mempunyai tendensi penyakit hatinya lebih aktif pada pemeriksaan histology (8). Faktor-faktor host yang lain adalah : penurunan kekebalan (8), alkohol yang berlebihan (27, 28) koinfeksi dengan HBV dan HIV (8). Terdapat variasi kecepatan menjadi fibrosis dari saat infeksi sampai ke sirosis, dengan median rata-rata sekitar 30 tahun (variasi 13-42 tahun) (29). Faktor-faktor independen yang berhubungan dengan kecepatan menjadi fibrosis, antara lain adalah : usia pada saat infeksi (terutama > 40 tahun), konsumsi alkohol setiap hari yang melebihi 50g, dan jenis kelamin pria. Tidak ada hubungan antara kecepatan fibrosis dan genotype. Pada sirosis kompensata akibat infeksi HCV, angka survival 5 tahun lebih dari 90% dan survival 10 tahun 80 % (30). Pengamatan selama 5 tahun menunjukkan risiko untuk timbulnya HCC adalah 7% (1.4% per tahun) dan 18% dekompensata. Setelah dekompensata, prognosis biasanya jelek dengan survival 50% dalam 5 tahun.

HCV dan karsinoma hepatoseluler Infeksi HCV erat hubungannya dengan karsinoma hepatoselular (HCC). Di Eropa selatan dan Jepang 50-75% dari HCC berhubungan dengan HCV (31, 32, 33). HCV dapat menjadi penyebab HCC diduga lebih banyak sebagai lanjutan sirhosis atau sebagai hasil proses nekroinflamasi kronik, dari pada efek karsinogenik yang langsung. Tidak seperti halnya HBV, HCV tidak berintegrasi ke dalam host's DNA. Sebagian besar penderita HCV yang berkaitan HCC, mungkin malah seluruhnya, ternyata mempunyai sirosis. Baik koinfeksi dengan HBV maupun konsumsi alkohol yang berlebihan, keduanya tampaknya mempunya pengaruh tambahan terhadap timbulnya HCC (34, 35). Perjalanan penyakit hati yang berhubungan dengan HCV adalah perlahan-lahan, dengan perkirakan lamanya infeksi sekitar 20-30 tahun sebelum menjadi HCC (23). Pada penderita dengan sirosis angka perkembangan menjadi HCC bervariasi antara 1-7% per tahun (36). Peranan terapi antivirus untuk mencegah terjadinya HCC pada penderita sirosis yang terinfeksi HCV masih kontroversi (8, 36).

DIAGNOSIS
Penderita dengan anti HCV positif, sebaiknya segera dikirim ke spesialis terdekat untuk evaluasi klinik yang lebih teliti. Spesilalis klinik ini yang kemudian bertanggung jawab terhadap perawatan penderita, penjelasan mengenai penyakit dan strategi penatalaksanaannya, koleksi data, audit, serta penelitiannya (8). Deteksi virus langsung dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR) dibutuhkan pada penderita yang baru saja terinfeksi dengan virus dan pada penderita dengan immunosuppressi yang mungkin antibodinya negatif. Pemeriksaan PCR ini juga berguna untuk monitoring terapi antivirus (8). Semua penderita dengan anti HCV positif, dan mereka yang diduga mempunyai resiko terinfeksi HCV yang test serologinya negatif atau tidak terukur, seyogyanya dikerjakan test PCR dari serumnya. Adanya PCR yang positif menunjukkan adanya viremia, sedang hasil negatif menunjukkan adanya : infeksi yang non-viremik, tiadanya viremia yang transient atau infeksi yang menyembuh, kadar viremia dibawah batas yang dapat dideteksi, atau menunjukkan hasil ELISA yang nonspesifik (8). Penderita dengan ELISA positif tetapi PCR negatif sebaiknya dilakukan test dengan recombinant immunoblot assay (RIBA) untuk memastikan adanya status antibodi. Test PCR kualitatif dianjurkan pada penderita immunodefisiensi dengan dugaan infeksi HCV (8)

Test faal hati Penggunaan test faal hati secara rutin untuk melakukan skrining terhadap infeksi HCV kronik mempunyai keterbatasan, karena sekitar 50% penderita yang terinfeksi HCV (anti-HCV dan PCR positif) mempunyai nilai transaminase normal. Meskipun test faal hatinya normal, penderita dengan viremik ini tidak boleh dianggap sebagai pengidap sehat ("healthy carriers") karena sebagian besar penderita ternyata menunjukkan kelainan histologi penyakit hati berupa nekroinflammasi dengan atau tanpa sirosis. Penelitian lain menunjukkan bahwa kadar transaminase kadang-kadang dapat dipakai sebagai sarana untuk memprediksi beratnya kelainan hati, dengan makin tinggi kadar transaminase makin berat kelainan histology yang terjadi. Tetapi ini tidak berlaku untuk setiap individu.Pemantauan dengan menggunakan kadar transaminase juga sifatnya terbatas, karena kadarnya dapat berfluktuasi dari kadar normal sampai ke abnormal dengan perjalanan waktu (8). Hasil test faal hati secara rutin mempunyai korelasi yang jelek dengan hasil biopsi hati baik dalam skoring reaksi nekro-inflamasi maupun fibrosis (8).

Test ELISA positif pada penderita dengan penyakit hati menahun mungkin sudah cukup untuk membuat diagnosis infeksi HCV dan test konfirmasi antibody mungkin tidak diperlukan lagi. Hanya konfirmasi dengan test PCR dari serum penderita untuk HCV RNA dapat dipertimbangkan pada kelompok penderita ini (8). Penderita dengan dugaan infeksi HCV seyogyanya dilakukan test untuk anti-HCV dengan cara ELISA yang paling baru (third generation test).

Biopsi hati Biopsi hati biasanya dikerjakan sebelum dimulai pengobatan dengan antivirus, dan tetap merupakan pemeriksaan yang paling akurat untuk mengetahui perkembangan penyakit hati. Biopsi hati biasanya dikerjakan pada penderita dengan infeksi kronik HCV, dengan transaminase abnormal yang direncanakan akan mendapat pengobatan antiviral. Sebagai tambahan pemeriksaan histologi juga dibutuhkan bila ada dugaan adanya diagnosis penyakit hati akibat alkohol (8). Beberapa penderita dapat menunjukkan test anti-HCV yang positif, test faal hati yang abnormal tetapi PCR negatif. Untuk penderita semacam ini, harus dilakukan skrining untuk penyakit hati yang lain seperti : autoimmune hepatitis dan haemochromatosis. Penderita dengan anti-HCV positif, PCR negatif, dan test faal hati yang normal sebaiknya diikuti setiap tahun, sampai perjalanan penyakitnya dapat dipastikan. Biopsi

hati mungkin dapat dianjurkan, bila terjadi tanda-tanda viremia atau flare up dari transaminase (8). Biopsi hati merupakan pemeriksaan yang penting untuk menentukan status inflamasi dari hati, perkembangan fibrosis dan ada tidaknya sirosis. Untuk memastikan hal ini, dan untuk menentukan tindakan pengobatan selanjutnya, biopsi hati dianjurkan pada penderita dengan viremia, tanpa melihat ada tidaknya kelainan test faal hati. Sistem skoring histologi yang baku oleh ahli patologi yang berpengalaman, harus dipakai sebagai laporan histologi baku untuk evaluasi hasil pengobatan. Resiko dan manfaat pemeriksaan biopsi hati sebaiknya didiskusikan dengan penderita lebih dulu (8).

PENGOBATAN PENGOBATAN DENGAN INTERFERON


Sampai saat ini interferon alfa (IFN) merupakan satu-satunya pengobatan penderita HVB kronik yang telah diakui. Namun obat ini hanya efektif pada 30 - 40 % penderita yang mendapat infeksinya pada masa dewasa, dengan tanda-tanda nekrosis dan keradangan (inflamasi) hati yang jelas, HBeAg positif, dan/atau HBV-DNA positif dalam serumnya. Padahal seperti kita ketahui, sebagian besar penderita di Asia mendapat infeksi HVB ini sejak bayi, sehingga pengobatan dengan IFN-pun menjadi kurang memuaskan hasilnya (2, 37). Indikasi pengobatan IFN pada HVB adalah (1) : 1. Peningkatan aminotransferase serum yang menetap 2. HBsAg (+), HBeAg (+), HBV-DNA (+) 3. Biopsi hati menunjukkan hepatitis kronik. 4. Penyakit hati yang kompensata. Penderita dengan aminotransaminase yang normal, tidak memerlukan pengobatan. Biopsi hati sebaiknya dikerjakan sebelum terapi untuk menetapkan diagnosis, beratnya kerusakan, dan derajat fibrosis yang ada (1). Dosis yang dianjurkan : alfa IFN 5 juta setiap hari, atau 10 juta 3 x seminggu, subkutan selama 4 bulan. Efek pengobatan yang perlu dipantau adalah : pemeriksaan aminotransaminase serum (setiap 2 - 4 minggu), dan HBsAG, HBeAG serta HBV-DNA (pada awal dan akhir pengobatan, 6 bulan kemudian). Peningkatan aminotransaminase serum yang bersifat sementara dapat terjadi selama pengobatan, terutama pada penderita yang HBeAg-nya kemudian menghilang. Ini diduga akibat pengaruh IFN terhadap sistem kekebalan tubuh. Karena itu peningkatan aminotransaminase hendaknya jangan dipakai sebagai petunjuk untuk pengurangan dosis IFN atau penghentian pengobatan. Kecuali bila peningkatan aminotransaminase ini terjadi sangat hebat, yang disertai timbulnya ikterus dan menurunnya faal hati yang lain (1, 37, 38).

Efek samping obat (ESO) IFN termasuk antara lain : reaksi mirip influenza (demam, menggigil, kelemahan, mialgi, dan nyeri kepala), biasanya timbul mulai 6 - 8 jam setelah suntikan pertama, dan berakhir sampai 12 jam. Pada suntikan berikutnya, gejala-gejala akut ini biasanya mulai menghilang, tetapi efek samping menahun dapat timbul, seperti : rasa capai yang bervariasi, mialgi, nyeri kepala, mudah tersinggung, depresi, dan supresi sumsum tulang. Bila timbul gejala-gejala ini, dosis IFN dapat diturunkan. Pada sekitar 2 % penderita dapat timbul ESO yang berat seperti : infeksi bakteri, penyakit autoimun yang lain, depresi berat, kejang-kejang, gagal jantung dan ginjal, atau pneumonitis (1, 38). Bila terapi dihentikan, penderita tetap dipantau untuk mengetahui apakah HBV-DNA, HBeAG dan HBsAg-nya dapat menghilang. HBeAg mungkin dapat tetap positif selama beberapa bulan, dan HBsAg selama beberapa tahun. Dikatakan hasil terapi baik ("beneficial response") bila HBV-DNA dan HbeAg menghilang, dan aminotransaminase serum menjadi normal atau mendekati normal dalam waktu 6 bulan setelah pengobatan dihentikan. Biopsi hati ulang tidak dibutuhkan (1). Hasil yang baik ini umumnya terjadi pada penderita (1) yang : 1. Aminotransaminsenya tinggi. 2. Kadar HBV-DNA rendah. 3. Biopsi hati : proses aktif (inflamasi dan nekrosis) dan fibrosis. 4. Penyakit baru didapat sebelum pengobatan. 5. Tidak ada komplikasi (gangguan faal ginjal, HIV dll.). Penderita dengan HBsAg (+), HBeAg (+) dan HBV-DNA (+) dengan aminotransaminase yang normal, mempunyai toleransi imunologi ("immune tolerance") terhadap HVB. Penderita-penderita semacam ini biasanya penyakit hatinya ringan atau minimal, dan mempunyai respons yang jelek terhadap IFN. Karena itu, hanya perlu dipantau saja, dan tidak membutuhka pengobatan IFN (1). Sebagian kecil penderita HVB kronik menunjukkan HBV-DNA yang (+) tetapi dengan HBeAg yang negatif. Penderita semacam ini mempunyai strain varian HVB dengan mutasi di daerah precore dari genome, yang menghampat sekresi HBeAg. Biasanya penderita-penderita ini kurang responsif terhadap IFN dari pada yang HBeAg-nya (+), dan sering mengalami kekambuhan bila IFN dihentikan (1, 38, 39). Penderita-penderita dengan sirosis dekompensata mempunyai prognosis yang jelek. Pada penderita ini pemberian IFN biasanya hasilnya jelek dan bisa berbahaya. Penderita dengan SH lanjut yang diberi IFN mempunyai kecenderungan mengalami efek samping obat (ESO) yang berat, seperti eksaserabasi penyakitnya, infeksi bakteri, dan gangguan psikiatri (1). Dari hasil penelitian metaanalisis terhadap 15 penelitian klinik, hasil keseluruhan menunjukkan bahwa keberhasilan pengobatan IFN didapat pada 33 % penderita yang diobati IFN dibanding 12 % pada kelompok kontrol (1).

PENGOBATAN CARA BARU


Karena angka keberhasilan total IFN yang kurang memuaskan ini, maka dibutuhkan pengobatan baru untuk mengatasi HVB. Beberapa bahan telah pernah dicoba antara lain : prednison, IFN gama, thymosin, levamisole, vidarabine, acyclovir, suramin, foscarnet, zidovudine, didanosine, ribavirin, dan fialuridine. Hampir semuanya memberikan hasil yang kurang memuaskan terhadap kadar HBV-DNA maupun aktivitas penyakitnya, dan banyak diantaranya toksik atau mempunyai toleransi yang jelek (1). Beberapa analog nucleoside juga pernah dicoba untuk pengobatan HVB kronik, dengan hasil yang tampaknya cukup menjanjikan, antara lain : famciclovir, lamivudine, lobucavir, dan adefovir dipivoxil. Obat-obat ini sebenarnya dikembangkan untuk pengobatan infeksi virus yang lain, dan kemudian ternyata mempunyai aktivitas terhadap HVB. Dari ke 4 analog nucleoside tersebut, famciclovir dan lamivudine yang paling banyak diteliti. Keduanya dapat diserap per oral, dan mempunyai toleransi yang baik pada pemberian jangka panjang. Keduanya dapat menurunkan dengan cepat kadar HBV-DNA, menyebabkan hilangnya HBeAg dan menurunkan aktivitas aminotransaminese serum pada beberapa penderita (1, 3).

LAMIVUDINE
Munculnya obat baru seperti analog nucleoside (lamivudine) untuk pengobatan infeks HVB, menarik perhatian yang sangat besar pada para hepatologis, karena obat ini dapat dipakai secara oral. Selain itu pada banyak kasus, obat baru ini terbukti dapat menimbulkan supresi replikasi virus yang menetap. Dengan demikian diharapkan dapat menimbulkan penurunan proses nekrosis dan inflamasi pada hati, selanjutnya menghambat perkembangan menjadi sirosis hati, dan menekan resiko terjadinya karsinoma hepatoseluler. Analog nucleoside juga diharapkan dapat bermanfaat untuk penderita yang menunjukkan toleransi yang jelek terhadap pengobatan IFN, atau merupakan kontraindikasi pengobatan IFN (2). Pada saat ini lamivudine menjadi salah satu analog nucleoside yang sangat banyak diteliti. Kekambuhan biasanya terjadi begitu pengobatan dihentikan. Lamivudine telah diteliti pada penderita dengan berbagai bentuk infeksi HVB secara "randomized, placebo-controlled studies", baik pada penderita HVB dengan imunokompeten, maupun dengan penyakit hati kompensata, termasuk HBeAg (-) dan HBV-DNA (+). Hasil akhir pada umumnya berdasar pada perbaikan gambaran biopsi hati, marker replikasi HVB, serologis HVB dan normalisasi kadar aminotransaminase. Dosis yang dianjurkan pada HVB kronik dan penyakit hati kompensata adalah 100 g/hari (3).

10

Beberapa hasil penelitian yang pernah dilaporkan antara lain adalah (3) : Lamivudine 100 mg/hari selama 52 minggu (sekitar 1 tahun) dapat menimbulkan serokonversi HBeAg pada penderita Cina dengan HVB, yang diikuti penurunan ALT pada mereka yang kadarnya tinggi pada awal pengobatan (3). Pada penderita Jepang dengan HVB, lamivudine juga dapat menurunkan kadar HBVDNA, HBeAg dan ALT, disertai perbaikan histologi hati (40). Pada penderita dengan replikasi HBV-DNA dan HBeAg (-) (precore mutant HVB), pada umumnya lamivudine efektif untuk menekan replikasi tersebut (41). Perbaikan histologi juga dilaporkan pada 2 penelitian penderita HVB dengan penyakit hati kompensata, yang mendapat lamivudine 100 mg hari selama 52 minggu (1 tahun) dan yang mendapat kombinasi LAM + IFN 30 juta unit/minggu selama 16 minggu (4 bulan) (42). Pada analisis 3 penelitian klinik dengan mengunakan lamivudine, plasebo dan IFN, ternyata progresivitas ke sirosis selama 1 tahun, dapat ditekan menjadi 1.8 % pada kelompok lamivudine, dibanding 7.1 % pada kelompok plasebo, dan 9.5 % pada kelompok IFN (Goodman, 1999). Lamivudine jangka lama pernah diberikan pada penderita sirosis dekompensata dengan hasil yang baik. Pada sebagian besar kasus HBVDNA menghilang, dan faal hati tampak mengalami perbaikan (43, 44). Lamivudine 100 mg/hari juga dilaporkan lebih efektif dibanding famciclovir 3 x 500 mg/hari, untuk menekan replikasi HVB pada penderita HVB kronik (78 % dibanding 8 %) (45). Hasil baik juga dilaporkan pada penderita transplantasi hati dengan HVB-DNA (+) yang mendapat lamivudine 100 mg/hari sebelum transplantasi, baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan HBIG (1, 41). Lamivudin juga dilaporkan efektif untuk menekan replikasi HBV-DNA pada penderita dengan HIV (+) (1). Pada umumnya efek samping obat (ESO) pada kelompok lamivudine, sama dengan pada kelompok kontrol. Pada beberapa penderita pernah dilaporkan peningkatan ALT, yang kemudian kembali secara spontan tanpa tanda-tanda dekompensasi faal hati. Dibanding dengan pemberian IFN, lamivudin lebih dapat ditoleransi oleh penderita (3).

Konseling Diagnosis HCV dapat menimbulkan rasa takut pada penderita, karena itu penting sekali ditekankan bahwa setiap penderita harus mendapat penjelasan yang adekuat dari mereka yang ahli dan berpengalaman dalam bidangnya. Perjalanan penyakit, pilihan pengobatan,

11

juga kemungkinan hasil pengobatan harus dibicarakan dengan penderita. Penderita juga diberitahu bawa infeksi HCV tidak selalu disertai dengan infeksi HBV atau HIV (8). Penderita harus diberitahu akibat dari HCV yang positif, dan diberi pengertian resiko penularannya (8). 1. Perjalanan penyakit adalah progresif tetapi perlahan-lahan (median time untuk menjadi sirosis = 28-32 tahun). 2. Penderita dengan HCV positif tidak diperbolehkan menjadi donor darah, organ, jaringan, maupun sperma. 3. Resiko transmisi seksual kecil - maksimum 5%, kemungkinan lebih kecil. Belum cukup bukti kontrasepsi mana yang dianjurkan untuk pencegahan penularan lewat hubungan seksual. 4. Transmisi dari ibu ke anak jarang - maksimum 6%, tetapi angka transmisi menjadi lebih tinggi bila ibu mempunyai HIV positif. 5. Laktasi bukan kontraindikasi. 6. Kontak antar keluarga satu rumah, harus dihindarkan lewat kemungkinan kontak dengan darah, misalnya pemakaian sikat gigi atau pencukur bersama-sama, dan dengan menutup luka sebaik mungkin. 7. Standard precautions untuk pencegahan penularan (transmisi) pada petugas kesehatan dan penderita merupakan keharusan untuk ditaati. 8. Needle exchange programs pada pecandu obat bius diharapkan dapat menurunkan transmisi infeksi parenteral. Penderita juga harus dilakukan skrining dulu untuk menetapkan apakah dia cukup memenuhi syarat untuk mendapat pengobatan dengan Interferon dan Ribavirin. Keputusan untuk mendapat pengobatan harus dilakukan bersama-sama antara dokter dan penderita, berdasarkan pertimbangan yang mantap dengan memperhatikan banyak factor (8). Penderita mungkin sebaiknya tidak diberikan Interferon (IFN) bila ada riwayat penyakit depresi, psikosis, penyakit autoimmune thyroid yang tak diobati, neutropenia dan/atau trombositopenia, transplantasi organ selain hati, penyakit jantung dengan keluhan yang nyata, sirosis dekompensata, kejang yang tak dapat terkontrol baik, atau adanya bukti sebagai peminum alkohol dan pemakai obat secara intravena. Penderita harus mempunyai akses untuk penyimpanan IFN dalam lemari es, dan dapat melakukan pemeriksaan yang teratur pada dokter. Penderita harus diberitahu kemungkinan adanya efek samping obat yang biasa timbul terutama pada awal pemberian (demam dan rasa lemah badan), dan kemungkinan harus istirahat dari pekerjaan selama beberapa hari pada saat permulaain terapi. Pemberian parasetamol sebelum tidur dengan dosis awal 500 1000 mg sebelum suntikan pada minggu-minggu pertama pengobatan dapat mengurangi efek keluhan "flulike" yang biasanya terjadi pada pemberian awal IFN. Efek samping yang berat kadangkadang bisa timbul pada pemberian baik IFN maupun Ribavirin, tetapi biasanya reversibel, dan modulasi dosis dapat berhasil mengurangi efek samping selama pemberian terapi. Wanita dianjurkan untuk tidak hamil selama pengobatan dengan IFN (8).

12

Ribavirin merupakan kontraindikasi bila terdapat tanda-tanda gagal ginjal terminal, anemia, hemoglobinopati, penyakit jantung yang berat, hipertensi yang tak terkontrol, kehamilan (test kehamilan dianjurkan sebelum pengobatan), atau tidak ada kecocokan dalam pemakaian kontrasepsi. Baik pria atau wanita dianjurkan untuk menghindari kehamilan selama 6 bulan setelah terapi kombinasi IFN/Ribavirin (8)

Terapi antivirus Pengobatn HCV dapat berupa pemakaian IFN secara tunggal maupun kombinasi dengan Ribavirin (8). Interferon (IFN) dan Ribavirin saat ini merupakan satu-satunya pengobatan terhadap infeksi HCV yang mendapat lisensi di Inggris. Kombinasi IFN/Ribavirin merupakan pilihan pertama pada penderita yang belum pernah mendapatkan pengobatan dengan IFN sebelumnya (IFN naive patients). Kombinasi IFN/Ribavirin juga dianjurkan untuk pengobatan penderita yang mengalami kekambuhan setelah pengobatan dengan monoterapi IFN . Pengobatan monoterapi dengan IFN, sebaiknya hanya dicadangkan pada penderita yang merupakan kontraindiaksi pemakaian Ribavirin.

Monoterapi dengan IFN Tujuan pengobatan yang ingin dicapai adalah response menetap dari transaminase dan virologi (PCR negatif), dalam 24-48 minggu setelah pengobatan dihentikan, disertai dengan perbaikan pemeriksaan histologi. Sebagian besar pengobatan menggunakan dosis yang sama antara 1-3 juta unit interferon tiga kali seminggu selama 3-6 bulan. Dosis 3 juta lebih efektif dar pada 1juta unit (46). Demikian pula dosis yang lebih besar (6 atau 10 juta 3x/minggu), memberikan hasil yang lebih baik dari pada dosis yang lebih rendah (47), meskipun resiko efek samping obat juga semakin besar (48). Monoterapi dengan Ribavirin Ribavirin merupakan analog nucleoside yang dapat diabsorbsi dengan baik per oral dan mempunyai aktivitas antivirus yang cukup luas terhadap bermacam-macam virus RNA maupun DNA. Ribavirin diberikan dalam dosis 1,000 - 1,200 mg/hari tergantung BB penderita (di atas/di bawah 75kg) (8). Penelitian awal dengan Ribavirin menunjukkan hasil yang cukup memuaskan dengan respons biokimia yang baik selama pengobatan, namun ternyata selalu timbul relaps bila obat dihentikan. Juga tidak ditemukan efek terhadap viremia (49, 50).

13

Terapi Kombinasi Pada penelitian awal, terapi kombinasi IFN + Ribavirin juga menunjukkan hasil yang sangat memuaskan (51), terutama pada penderita yang mengalami relaps pada pengobatan pertama dengan IFN (52). Penelitian pada penderita yang baru pertama kali mendapat pengobatan dengan IFN (Interferon naive patients) juga menunjukkan efek yang menguntungkan pada terapi kombinasi disbandingkan monoterapi IFN saja. Dua penelitian di Eropa menunjukkan perbaikan angka sustained response 47% dan 60% pada kelompok terapi kombinasi dibanding kelompok IFN saja (8, 53).

Pengobatan pada non-responder dan relapse setelah monoterapi dengan IFN Angka respons pada pengobatan IFN kedua (second course of IFN) biasanya jelek pada penderita yang mengalami kegagalan pada pengobatan yang pertama (ALT/SGPT abnormal pada akhir pengobatan). Dalam penilaian pada 13 penelitian yang menyangkut 591 penderita non-responders, angka sustained response pada pengobatan kedua hanya sekitar 1-3% (54). Namun hasil pengobatan IFN kedua pada penderita yang mengalami relaps setelah pengobatan pertama, ternyata memberi hasil yang lebih baik. Angka sustained response 15% didapat pada penderita yang mendapat pengobatan kedua dengan 3 juta unit selama 6 bulan, 29% pada penderita dengan >3 juta unit selama 6 bulan, dan dapat mencapai 43% pada penderita yang diobati dalam jangka 12 bulan atau lebih (8). Dalam penelitian terakhir dengan terapi kombinasi IFN/Ribavirin juga menunjukkan perbaikan respons, baik setelah gagal dengan pengobatan monoterapi IFN, maupun yang mengalami relaps. Pada penelitian di Itali dengan 96 penderita non-responders, HCV RNA menjadi negatif pada akhir pengobatan pada 27% penderita kombinasi terapi selama 6 bulan berikutnya dibanding 7% pada penderita yang hanya mendapat monoterapi dengan (p<0.05) (55). Penderita dengan kombinasi respons biokimia dan virologi pada akhir pengobatan IFN monoterapi, yang mengalami relaps pada tahun-tahun berikutnya, masih mempunyai kesempatan untuk mengalami sustained response setelah pengobatan IFN/Ribavirin . Penderita dengan respons biokimia tetapi tidak mengalami respons virologi pada awal pengobatan dengan IFN monoterapi, tampaknya tidak akan mengalami sustained response pada pengobatan lanjutan dengan IFN/Ribavirin (8). Dari pengalaman hasil pengobatan yang telah dikerjakan selama ini (tabel 3), dapat dilihat bahwa hasil pengobatan kombinasi pada penderita yang mengalami relaps masih sangat memuaskan, di mana respons virologi (ETVR = end-of-treatment viral response) maupun biokimia (BR = biochemical response) masih bisa mencapai 100 %, sementara

14

sustained viral response (SVR) menurun sampai 75 %. Sedang pada yang mengalami kegagalan pada pengobatan pertama (failure), ketiga parameter tidak menunjukkan hasil seperti yang diharapkan (9).

DAFTAR KEPUSTAKAAN .
1. Hoofnagle, J.H. and Di Bisceglie, A.M. The treatment of chronic viral hepatitis. The New Engl. Med. J. 336 : 347, 1997 2. Merican, I. AsiaHep concensus on chronic hepatitis B management - Editorial. Hepatitis World 4 : 1, 1999. 3. Jarvis, B and Faulds, D. Lamivudine. A review of its therapeutic potential in chronic hepatitis B. Drugs 58 : 101, 1999. 4. Alter, M.J., Margolis, H.S., Krawczynski, K., Judson, F.N., Mares, A., Alexander, W.J., Hu, P.Y., Miller, J.K., et al. The natural history of communityacquired hepatitis C in the United States.N Engl J Med 327, 1899-905 (1992). 5. Saeed, A., Al-Admawi, A., Al-Rasheed, A., Fairclough, D., Bacchus, R., Ring, C. and Garson, J. Hepatitis C virus infection in Egyptian volunteer blood donors in Riyadh.Lancet 338, 459-60 (1991). 6. Zuckerman, A. The elusive hepatitis C virus.BMJ 299, 871-873 (1989). 7. Desmond, P. Asia-Pacific consensus on diagnosis and treatment of chronic hepatitis B and C. Working Party 3. J. Gastroenterol Hepatol, 3-i (2000). 8. Booth, J.C.L., OGrady, J. and Neuberger, J., Clinical guidelines on the management of hepatitis C. Gut 49 (Suppl. 1) (2001) 9. Hernomo, K., New emerging in the treatment of Hepatitis C. PKB Ilmu Penyakit Dalam FK Unibraw, Malang , 20 Oktober 2001. 10. Gilli, P., Moretti, M., Soffritti, S. and Menini, C. Anti-HCV positive patients in dialysis units.Lancet 336, 243-4 (1990). 11. Mondelli, M.U., Cristina, G., Filice, G., Rondanelli, E.G., Piazza, V. and Barbieri, C. Anti-HCV positive patients in dialysis units.Lancet 336, 244 (1990). 12. Pereira, B., Milford, E., Kirkman, R. and Levey, A. Transmission of hepatitis C virus by organ transplantation.N Engl J Med 325, 454-60 (1991).

15

13. Kiyosawa, K., Sodeyama, T., Tanaka, E., Nakano, Y., Furuta, S. and Nishioka, K. Hepatitis C in hospital employees with needle stick injuries.Ann Intern Med 115, 367-369 (1991). 14. Zuckermen, J., Clewley, G., Griffiths, P. and Cockcroft, A. Prevalence of hepatitis C antibodies in clinical health-care workers.Lancet 343, 1618-1619 (1994). 15. Melbye, M., Biggar, R., Wantzin, P., Krogsgaard, K., Ebbesen, P. and Becker, N. Sexual transmission of hepatitis C virus: cohort study (1981-9) among European homosexual men.Br Med J 301, 210-212 (1990). 16. Tedder, R., Gilson, R., Briggs, M., Loveday, C., Cameron, C., Garson, J., Kelly, G. and Weller, I. Hepatitis C virus: evidence for sexual transmission.BMJ 302, 1299-302 (1991). 17. Giovannini, M., Tagger, A., Ribero, M.L., Zuccotti, G., Pogliani, L., Grossi, A., Ferroni, P. and Fiocchi, A. Maternal-infant transmission of hepatitis C virus and HIV infections: a possible interaction.Lancet 335, 1166 (1990). 18. Ohto, H., Terazawa, S., Sasaki, N., Sasaki, N., Hino, K., Ishiwata, C., Kako, M., Ujiie, N., et al. Transmission of hepatitis C virus from mothers to infants.N Engl J Med 330, 744-50 (1994). 19. Zanetti, A., Tanzi, E., Paccagnini, S., Principi, N., Pizzocolo, G., Caccamo, M., D'Amico, E., Cambie, G., et al. Mother-to-infant transmission of hepatitis C virus.Lancet 345, 289-291 (1995). 20. Manzini, P., Saracco, G., Cerchier, A., Riva, C., Musso, A., Ricotti, E., Palomba, E., Scolfaro, C., et al. Human immunodeficiency virus infection as risk factor for mother to child hepatitis C virus transmission; persistence of antihepatitis C virus in children is associated with the mother's anti-hepatitis C virus immunoblotting pattern.Hepatology 21, 328-332 (1995). 21. Ogasawara, S., Kage, M., Kosai, K.-I., Shimamatsu, K. and Kojiro, M. Hepatitis C virus RNA in saliva and breastmilk of hepatitis C carrier mothers.Lancet 341, 561 (1993). 22. Wright, T., Hsu, H., Donegan, E., Feinstone, S., Greenburg, H., Read, A., Ascher, N., Roberts, J., et al. Hepatitis C virus not found in fulminant non-A, non-B hepatitis.Ann Intern Med 115, 111-112 (1991). 23. Tong, M., El-Farra, N., Reikes, A. and Co, R. Clinical outcomes after transfusion-associated Hepatitis C.NEJM 332, 1463-1466 (1995).

16

24. Yuki, N., Hayashi, N. and Kamada, T. HCV viraemia and liver injury in symptom-free blood donors.Lancet 342, 444 (1993). 25. Pozzato, G., Moretti, M., Franzin, F., Crocy, L., Tiribelli, C., Masayu, T., Kaneko, S., Unoura, M., et al. Severity of liver disease with different HCV clones.Lancet 338, 509 (1991). 26. Honda, M., Kaneko, S., Sakai, A., Unoura, M., Murakami, S. and Kobayashi, K. Degree of diversity of hepatitis C virus quasispecies and progression of liver disease.Hepatology 20, 1144-1151 (1994). 27. Nalpas, B., Thiers, V., Pol, S., Driss, F., Thepot, V., Berthelot, P. and Brechot, C. Hepatitis C viremia and anti-HCV antibodies in alcoholics.J of Hepatology 14, 381-4 (1992). 28. Takase, S., Tsutsumi, M., Kawahara, H., Takada, N. and Takada, A. The alcohol-altered liver membrane antibody and hepatitis C virus infection in the progression of alcoholic liver disease.Hepatology 17, 9-13 (1993). 29. Poynard, T., Bedossa, P., Opolon, P. and for the OBSVIRC, M., CLINIVIR and DOSVIRC groups. Natural History of liver fibrosis progression in patients with chronic hepatitis C.Lancet 349, 825-832 (1997). 30. Fattovich, G., Giustina, G., Degos, F., Tremolada, F., Diodati, G., Almasio, P. and Nevens, F. Morbidity and mortality in compensated cirrhosis C: a retrospective follow-up study of 384 patients.Gastroenterology 112, 463-472 (1997).

31. Bruix, J., Calvet, X., Costa, J., Ventura, M., Bruguera, M., Castillo, R., Barrera, J., Ercilla, G., et al. Prevalence of antibodies to hepatitis C virus in spanish patients with hepatocellular carcinoma and hepatic cirrhosis.Lancet 334, 1004-06 (1989). 32. Kew, M., Houghton, M., Choo, Q.-L. and Kuo, G. Hepatitis C virus antibodies in southern African blacks with hepatocellular carcinoma.Lancet 335, 873-74 (1990). 33. Levrero, M., Tagger, A., Balsano, C., de Marzio, E., Avantaggiati, M.L., Natoli, G., Diop, D., Villa, E., et al. Antibodies to hepatitis C virus in patients with hepatocellular carcinoma.J Hepatol 12, 60-3 (1991). 34. Kew, M., Yu, M., Kedda, M., Coppin, A., Sarkin, A. and Hodkinson, J. The relative roles of hepatitis B and C viruses in the etiology of hepatocellular carcinoma in southern African Blacks.Gastroenterology 112, 184-187 (1997).

17

35. Yamauchi, M., Nakahara, M., Maezawa, Y., Satoh, S., Nishikawa, F. and Ohata, M. Prevalence of hepatocellular carcinoma in patients with alcoholic cirrhosis and prior exposure to hepatitis C.American Journal of Gastroenterology 88, 39-43 (1993). 36. Nishiguchi, S., Kuroki, T., Nakatani, S., Morimoto, H., Takeda, T., Nakajima, S., Shiomi, S., Seki, S., et al. Randomised trial of effects of interferon-a on incidence of hepatocellular carcinoma in chronic active hepatitis C with cirrhosis.Lancet 346, 1051-1055 (1995). 37. Dusheiko, G.M. and Roberts, J.A. Treatment of chronic type B and C hepatitis with interferon alfa : an economic appraisal. Hepatology 22 : 1863 (1995). 38. Fattovich, G. ; Rugge, M. ; Brollo, L. et al. Clinical, virologi, and histologgic outcome following seroconversion from HBeAg to anti-HBe in chronic hepatitis type B. Hepatology 6 : 167 (1986). 39. Brunetto, M.R. ; Oliveri, F. ; Rocca, G. e al. Natural course and response to interferon of chronic hepatitis B accompanied by antibody to hepatitis B e antigen. Hepatology 10 : 198 (1989). 40. Tanikawa, K. ; Hayashi, N. ; Ichida, F. et al. A placebo-controlled phase III study of lamivudine in Japanese patients with chronic hepatitis B infection (abstract no. 521). Hepatology 26 : 259A (1997). 41. Ben-Ari, Z. ; Zemel, R. ; Kazetzku, A. et al. Efficacy of lamivudine in patients with hepatitis B virus precore mutant infection before an after liver transplatation. Am. J. Gastroenterol. 94 : 661 (1999). 42. Schiff, E. ; Karayalcin, S. ; Grimm, I. et al. A placebo-controlled study of lamivudine and interferon alpha-2b in patients with chronic hepatitis B who previously failed interferon therapy (abstract no. 901). Hepatology 28 : 388A (1998). 43. Van-Thiel, D.H. ; Friedlander, L. ; Kania, R.J. et al. Lamivudine in treatment of advanced and decompensated liver diasease due to hepatitis B. Hepatogastroenterology 44 : 808 (1997). 44. Sponseller, C.A. ; Smith-Wilkaitis, N. ; Bacon, B.R. Clinical improvement in patients with decompensated liver disease due to hepatitis B following treatment with lamivudine (abstract no. 1708). Hepatology 28 : 589A (1998). 45. Lai, C-1 ; Ching, C-k, Tung, A.K-m etal. Lamivudine is effective in suppressing hepatitis B virus DNA in Chinese hepatitis B surface antigen carriers : a placebo-controlled trial. Hepatology 25 : 241 (1997).

18

46. Causse, X., Godinot, H., Chevallier, M., Chossegros, P., Zoulim, F., Ouzan, D., Heyraud, J.-P., Fontages, T., et al. Comparison of 1or 3 MU of Interferon Alfa2b and Placebo in Patients with Chronic Non-A, Non-B Hepatitis.Gastroenterol 101, 497-502 (1991). 47. Alberti, A., Chemello, L., Bonetti, P., Casarin, C., Diodati, G., Cavalletto, L., Cavalletto, D., Frezza, M., et al. treatment with interferon(s) of communityaquired chronic hepatitis and cirrhosis type C.J Hepatol 17 (Suppl. 3), S122-S126 (1993). 48. Iino, S., Hino, K., Kuroki, T., Suzuki, H. and Yamamoto, S. Treatment of chronic hepatitis C with high dose interferon alpha-2b. A multicenter study.Dig.Dis.Sci. 38, 612-618 (1993). 49. Reichard, O., Andersson, J., Schvarcz, R. and Weiland, O. Ribavirin treatment for chronic hepatitis C.Lancet 337, 1058-61 (1991). 50. Di Bisceglie, A., Shindo, M., Fong, T.-L., Frier, M., Swain, M., Berlasa, N., Axiotis, C., Waggoner, J., et al. A pilot study of ribavirin therapy for chronic hepatitis C.Hepatology 16, 649-654 (1994). 51. Brillanti, S., Garson, J., Foli, M., Whitby, K., Deaville, R., Masci, C., Miglioli, M. and Barbara, L. A pilot study of combination therapy with ribaviri plus interferon alpha for interferon alpha-resistant chronic hepatitis C.Gastroenterology 107, 812-817 (1994). 52. Schalm, S., Hansen, B., Chemello, L. and al, e. Ribavirin enhances the efficacy but not the adverse effects of interferon in chronic hepatitis C. Meta-analysis of individual patient data from European centres.J Hepatol 26, 961-966 (1997). 53. Chemello, L., Cavaletto, L., Bernardinello, E., Guido, M., Pontisso, P. and Alberti, A. The effect of interferon alpha and ribavirin combination therapy in naive patients with chronic hepatitis C.J Hepatol 23 (Suppl 2), 8-12 (1995). 54. Alberti, A., Chemello, L., Noventa, F., Cavalletto, L. and De Salvo, G. Therapy of Hepatitis C: Re-treatment with alpha interferon.Hepatology 26 (Suppl 1), 137142S (1997). 55. Sostegni, R., Ghisetti, V., Pittaluga, F., Marchiaro, G., Rocca, G., Borghesio, E., Rizzetto, M. and Saracco, G. Sequential versus concomitant administration of Ribavirin and interferon alpha-n3 in patients with chronic hepatitis C not responding to interferon alone: results of a randomised, controlled trial.Hepatology 28, 341-6 (1998). 56. Ali Sulaiman, Current and future treatment of hepatitis C virus infection. Liver Update 2002. Jakarta 6 8 June 2002.

19

. 57. Hernomo K, Perkembangan baru pengobatan hepatitis virus B. Simposium Perkembangan Mutakhir di Bidang Gastro-hepatologi.. Surabaya, 23 Oktober 1999

----oo0oo----

Tabel 1. Data klinik penderita HBV kronik (Hernomo, 2000)


Jumlah penderita : 29 dari total 46 penderita yang dapat diikuti minimal 36 bulan. Variasi umur : 16 73 tahun, rata-rata 36.7 tahun Perbandingan pria : wanita = 21 : 8 Lama menderita HVB : beberapa minggu 13 tahun Pengobatan : Lamivudine (17 penderita), Lam + Interferon (12 penderita)

Tabel 2. Perbandingan jenis kelamin dan kelompok umur penderita HBV kronik (Hernomo, 2000)

Kelompok umur < 30 31 50 > 50 Total

Pria 10 8 3 21

Wanita 3 3 2 8

Total 13 11 5 29

20

Tabel 3. Hasil pengobatan penderita HBV kronik (Hernomo, 2000)


Hasil total : LFT normal HVB DNA (-) HBeAg (-) Lamivudine LFT normal HBV DNA (-) HBeAg (-) Kombinasi LFT normal HBV DNA (-) HBeAg (-) N 29 Hasil positif 24 22 9 Persentase 83 % 76 % 31 %

17 14 12 5 12 10 10 4 83 % 83 % 33 % 82 % 71 % 29 %

21

Tabel 4. Data klinik penderita HCV kronik (Hernomo, 2001)


Jumlah penderita : 28 dari total 46 penderita yang dapat diikuti minimal 1 tahun Variasi umur : 13 72 tahun, rata-rata 45.9 tahun. Perbandingan pria : wanita = 19 : 9 = 2.1 : 1 Penyebab infeksi HCV : 1. Transfusi : 2 2. Pengguna narkotik : 1 3. Tattoo : 1 4. Tidak diketahui : 24 Nave (belum pernah dapat IFN) : 21 Relapse (kambuh setelah berhasil diterapi IFN) : 4 Failure (gagal dengan pengobatan IFN tertentu) : 3 Kelainan hati penderita HCV : 1. Hepatitis kronik : 23 2. Sirosis hati : 3 3. Karsinoma hepatoseluler : 2 Jumlah virus pada pemeriksaan PCR pada 23 penderita : Variasi : 2,100 4,500,000 kopi 1. < 100,000 : 8 2. 100,000 500,000 : 8 3. 500,001 1,000,000 : 3 4. > 1,000,000 : 4 Monoterapi IFN (3-9 juta, 3x/mi, 6 bulan) : 4 Kombinasi : IFN (5 juta, 3x/mi, 6 bulan) + Ribavirin (1000 mg/hari) : 24

Tabel 5. Perbandingan jenis kelamin dan kelompok umur penderita HCV kronik (Hernomo, 2001)
Kelompok umur 11 30 31 50 51 70 > 70 Total Pria 4 7 7 1 19 Wanita 1 3 5 0 9 Total 5 10 12 1 28

22

Tabel 6 Hasil pengobatan penderita HCV kronik (Hernomo, 2001)


Hasil total : ETVR SVR BR Nave ETVR SVR BR Relapse ETVR SVR BR Failure ETVR SVR BR Keterangan : ETVR = end-of-treatment viral response SVR = sustained viral response (6 months) BR = biochemical response N 28 Hasil positif 19 16 22 Persentase 69 % 57 % 79 %

21 14 11 17 4 4 3 4 3 2 2 2 67 % 67 % 67 % 100 % 75 % 100 % 67 % 52 % 81 %

23

You might also like