You are on page 1of 30

I. PENDAHULUAN Sifilis adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Treponema pallidum.

Sifilis biasanya menular melalui hubungan seksual atau dari ibu kepada bayi, akan tetapi sifilis juga dapat menular tanpa hubungan seksual pada daerah yang mempunyai kebersihan lingkungan yang buruk. Treponema pallidum juga dapat menular melalui transfusi darah. Selain itu wanita hamil yang menderita sifilis dapat menularkan penyakitnya ke janin sehingga menyebabkan sifilis kongenital yang dapat menyebabkan kelainan bawaan dan kematian. Asal penyakit ini belum diketahui jelas, sebelum tahun 1942 belum dikenal di Eropa. Ada yang menganggap penyakit ini berasal dari penduduk Indian yang dibawa oleh anak buah Colombus waktu mereka kembali ke spanyol pada tahun 1942. Pada abad ke 18 baru diketahui bahwa penularan sifilis disebabkan oleh sanggama dan keduanya dianggap disebabkan oleh infeksi yang sama. Insidensi sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996 berkisar 0,04-0,52%. Insidens yang terendah di Cina, sedangkan yang tertinggi di Amerika Selatan. Di Amerika serikat, dilaporkan sekitar 36.000 kasus sifilis tiap tahunnya. Sekitar tiga per lima kasus terjadi umumnya laki-laki . Insidensi di Indonesia diperkirakan 0,61%. Insidens sifilis di RSUD Kardinah Kota Tegal pada bulan maret 2010 tercatat 1 orang dan november 2010 tercatat 3 orang sifilis lama atau neurosifilis dan pada bulan oktober 2010 terdapat 1 orang sifillis laten dan desember 2010 tercatat 4 orang sifilis laten. Pada tahun 2011-2012 belum tercatat jumlah kasus sifilis di RSUD Kardinah. Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita. Sifilis kongenital dibagi menjadi dini, lanjut dan stigmata. Sifilis akuisita dibagi menurut dua cara yaitu secara klinis (Stadium I, Stadium II, Stadium III) dan secara epidemiologic menurut WHO yaitu stadium dini menular terdiri atas S I, S II, stadium rekuren, stadium laten dini dan stadium lanjut tak menular terdiri dari stadium laten lanjut dan SIII. Terdapat bentuk lain diantaranya sifilis kardiovaskular dan neurosifilis. Gejala klinis yang timbul tergantung stadium sifilis, contohnya pada sifilis primer (Stadium I) yang pertama kali muncul adalah tukak biasanya soliter,lesi awal berupa papul yang mengalami erosi yang disebut ulkus durum. Pada sifilis sekunder muncul ruam pada

kuli, selaput lender serta disertai demam dan malaise sedangkan pada sifilis lanjut merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis. II. ETIOLOGI SIFILIS Penyakit infeksi ini disebabkan oleh Treponema pallidum. yang termasuk ordo Spirochaetales, familia Spirochaetaceae, dan genus Treponema. Treponema pallidum merupakan bakteri gram negatif, bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-20 um, lebar 0,15 um,dengan diameter antara 0,09 s/d 0,18 um. Pada umumnya dijumpai 10 busur dengan panjang gelombang sekitar 1 um, amplitude 0,2-0,7 um. Treponema pallidum mempunyai dua lapisan, sitoplasma merupakan lapisan dalam mengandung mesosome, vakuola ribosom dan lapisan luar dilapisi oleh bahan mukoid yang tidak dijumpai pada Treponema yang tidak patogen. Terdapat 3 macam gerakan diantaranya rotasi cepat sepanjang aksis panjang heliks, fleksi sel dan maju seperti gerakan pembuka tutup botol. Treponema pallidum jarang menunjukan gerakan rotrasi. Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam. Klasifikasi sangat sulit dilakukan, karena spesies Treponema tidak dapat dibiakkan in vitro. Sebagai dasar diferensiasi terdapat 4 spesies yaitu Treponema pallidum sub species pallidum yang menyebabkan sifilis, Treponema pallidum sub species pertenue yang menyebaban frambusia, Treponema pallidum sub species endemicum yang menyebabkan bejel, Treponema carateum menyebabkan pinta. Bakteri ini masuk kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir (misalnya di vagina atau mulut) atau melalui kulit. Dalam beberapa jam, bakteri akan sampai ke kelenjar getah bening terdekat, kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Sifilis juga bisa menginfeksi janin selama dalam kandungan dan menyebabkan cacat bawaan.

III. PATOGENESIS SIFILIS Stadium dini Treponema pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir, biasanya melalui sanggama. Kuman tersebut membiak, jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel- sel plasma, terutama di perivaskular, pembuluhpembuluh darah kecil berproliferasi di kelilingi oleh T. pallidum dan sel-sel radang. Treponema tersebut terletak di antara endotelium kapiler dan jaringan perivaskular di sekitarnya. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan hipertrofik endotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis obliterans). Kehilangan pendarahan akan menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S1. Sebelum S1 terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen dan menyebar ke semua jaringan di badan, tetapi manifestasinya akan tampak kemudian. Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai SII, yang terjadi enam sampai delapan minggu sesudah S1. S1 akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut jumlahnya berkurang, kemudian terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatriks. SII jugs mengalami regresi perlahan-lahan dan lalu menghilang. Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif masih terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan bayi dengan sifilis kongenital.
3

Stadium lanjut Menurut WHO (1995) masa laten dibagi menjadi dua, yaitu laten dini dan laten lanjut. Dari aspek epidemiologisnya ternyata bahwa hanya laten dini dibawah satu tahun yang masih dapat menularkan penyakit. Berdasarkan pengalaman ini tidak dapat dipergunakan lagi pembagian WHO, akan tetapi disimpulkan bahwa sifilis laten yang menular hanya pada kasus di bawah 1 tahun. Setelah melalui masa laten dini perjalanan penyakit menuju ke laten lanjut yaitu sifilis tersier. Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema dalam keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam serum penderita. Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat berubah, namun sebabnya belum jelas, mungkin trauma merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada saat itu muncullah S III berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan T. pallidum, reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung bertahun-tahun. Setelah mengalami masa laten yang bervariasi guma tersebut timbul di tempat-tempat lain. IV. GAMBARAN KLINIS SIFILIS SIFILIS AKUISITA A.Sifilis Dini 1. Sifilis primer (SI) Sifilis primer biasanya ditandai oleh tukak tunggal (disebut chancre), tetapi bisa juga terdapat tukak lebih dari satu. Tukak dapat terjadi dimana saja di daerah genitalia eksterna, 3 minggu setelah kontak. Lesi awal biasanya berupa papul yang mengalami erosi, teraba keras karena terdapat indurasi. Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Ukurannya bervariasi dari beberapa mm sampai dengan 1-2 cm. Bagian yang mengelilingi lesi meninggi dan keras. Bila tidak disertai infeksi bakteri lain, maka akan berbentuk khas dan hampir tidak ada rasa nyeri. Kelainan tersebut dinamakan afek primer. Pada pria tempat yang sering dikenai ialah sulkus koronarius, sedangkan pada wanita di labia minor dan mayor. Selain itu juga dapat di ekstragenital, misalnya di lidah, tonsil, dan anus. Pada pria selalu disertai pembesaran kelenjar limfe inguinal medial unilateral/bilateral.

Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional di inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut kompleks primer. Kelenjar tersebut solitar, indolen, tidak lunak, besamya biasanya lentikular, tidak supuratif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit di atasnya tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut.

Gambar 1. Lesi sifilis primer

Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu. Istilah syphilis d'emblee dipakai, jika tidak terdapat afek primer. Kuman masuk ke jaringan yang lebih dalam, misalnya pada transfuse darah atau suntikan. 2. Sifilis sekunder (SII)
5

Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I dan sejumlah sepertiga kasus masih disertai S I. Lama S II dapat sampai sembilan bulan. Berbeda dengan S I yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada S II dapat disertai gejala tersebut yang terjadi sebelum atau selama S II. Gejalanya umumnya tidak berat, berupa anoreksia, turunnya berat badan, malese, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan artralgia. Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh. Dapat disertai demam, malaise. Juga adanya kelainan kulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata pemeriksaan serologis reaktif. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papul, folikulitis, papulaskuomosa, dan pustul. Jarang dijumpai keluhan gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis kongenital. Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga disebut the .great imitator. Selain memberi kelainan pada kulit, SII dapat juga memberi kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata, hepar, tulang, dan saraf. Gejala lainnya adalah merasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah, demam dan anemia.

Gambar 2. Sifilis sekunder di daerah sekitar mulut dan genital

Pada S II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut, umumnya bersifat difus dan tidak khas, disebut alopecia difusa. Pada S II yang lanjut dapat terjadi kerontokan setempatsetempat, tampak sebagai bercak yang ditumbuhi oleh rambut yang tipis, jadi tidak botak seluruhnya, seolah-olah seperti digigit ngengat dan disebut alopesia areolaris.
6

Pada sifilis sekunder yang mengalami relaps, lesi sering unilateral dan berbentuk arsiner. Pada kulit kepala sering dijumpai alopesia yang disebut moth-eaten alopecia yang dimulai dari daerah oksipital. Papul basal yang dijumpai di daerah lembab disebut kondilomata lata. Lesi pada selaput lendir mulut, kerongkongan dan serviks berupa plakat. Pada umumnya dijumpai pembesaran kelenjar limfe multiple superficial di seluruh tubuh. Dan sering disertai splenomegali. Kelainan kulit yang membasah (eksudatif) pada S II sangat menular namun kelainan yang kerung kurang menular. Kondilomata lata dan plaque muquesuses adalah bentuk yang sangta menular. Gejala yang penting untuk membedakannya dengan berbagai penyakit kulit yang lain adalah kelainan pada SII tidak gatal dan sering disertai lifadenitis generalisata. Antara SII dini dan SII lanjut terdapat perbedaan Pada SII dini kelainan kulit generalisata, simetrik dan lebih cepat hilang. Pada SII lanjut kelainan kulit tidak generalisata melainkan setempat-setempat, tidak simetrik dan lebih lama bertahan. Bentuk lesi diantaranya dapat berupa roseola, papul, pustule atau bentuk lain. Roesola adalah eritema makular, berbintik-bintik atau berbecak-bercak berwarna merah tembaga dan bentuknya bulat/ lonjong. Roseola merupakan kelainan pertama yang terlihat pada SII dan disebut roseola sifilitika. Roesiola akan menghilang dalam beberapa hari/ minggu. Atau dapat bertahan hngga beberapa bulan. Jika menghilang umumnya tanpa bekas, namun kadang-kadang meninggalkan bercak hipopigementasi yang disebut leukoderma sifilitikum. Kelainan lainnya adalah papul, kelainan ini paling sering terlihat pada SII. Bentuknya bulat, dan terkadang bersamaan dengan roseola. Papul tersebut dapat berskuama yang terdapat di pinggir (koleret) yang disebut papulo-skuamosa. Skuama dapat pula menutupi permukaan papul mirip psoriasis (psoriasiform). Selain papul yang lentikular, terdapat bentuk papul yang likenoid (meskipun jarang). Bentuk lain adalah kondilomata lata yang terdiri dari papul-papul lentikular, permukaannya datar, sebagian berkonfluensi, terletak pada daerah lipatan kulit; akibat gesekan antar kulit permukaannya menjadi erosive dan eksudatif dan sangat menular. Tempat predileksinya di lipat paha, skrotum, vulva, perianal, di bawah mammae dan antar jari kaki.

Pustul merupakan bentuk kelainan yang jarang. Bentuk pustule ini lebih sering terdapat pada kulit yang berwarna dan jika daya tahan tubuh menurun. Timbulnya banyak pustule sering disertai demam intermiten dan penderita tampak sakit, lamanya berminggu-minggu. Selain ini SII dapat menyertai keluhan pada mukosa, umumnya berupa makula eritematosa, yang cepat berkonfluens sehingga menjadi eritema yang difus, berbeaas tegas (angina sifilitika eritematosa) umumnya pada tenggorokan. Kelainan lain adalah plaque muqueuses (mucous patch), berupa papul eritematosa, permukaan datar, biasanya miliar atau lentikular. Gejala dan tanda sifilis sekunder dapat hilang tanpa pengobatan, tetapi bila tidak diobati, infeksi akan berkembang menjadi sifilis laten atau sifilis stadium lanjut. 3. Sifilis laten dini Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis, akan tetapi pemeriksaan serologis reaktif. Dalam perjalanan penyakit sifilis selalu melalui tingkat laten, selama bertahuntahun atau seumur hidup. Akan tetapi bukan berarti penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi sifilis lanjut, berbentuk gumma, kelainan susunan syaraf pusat dan kardiovaskuler. Tes serologik darah positif, sedangkan tes likuor serebrospinalis negatif. Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau bahkan sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang infeksius kembali muncul. 4. Stadium rekuren Relaps dapat terjadi baik secara klinis berupa kelainan kulit mirip SII, maupun serologic yang telah negative menjadi positif. Hal ini terjadi terutama pada sifilis yang tidak diobati atau yang mendapat pengobatan tidak cukup. Umumnya bentuk relaps adalah SII, kadang-kadang SI. Kadang-kadang relaps terjadi pada tempat afek primer yang disebut monorecidive. Relaps dapat memberikan kelainan pada mata, alat dalam dan susunan saraf. B. Sifilis Lanjut Perbedaan karakteristik sifilis dini dan sifilis lanjut ialah sebagai berikut:
8

1. Pada sifilis dini bersifat infeksius, pada sifilis lanjut tidak, kecuali kemungkinan pada wanita hamil. 2. Pada sifilis dini hasil pemeriksaan lapangan gelap ditemukan T.pallidum, pada sifilis lanjut tidak ditemukan. 3. Pada sifilis dini infeksi ulang dapat terjadi walau telah diberi pengobatan yang cukup, sedangkan pada sifilis lanjut sangat jarang. 4. Pada sifilis dini tidak bersifat destruktif, sedangkan pda sifilis lanjut destruktif 5. Pada sifilis dini hasil tes serologis selalu reaktif dengan titer tinggi, setelah diberi pengobatan yang adekuat akan berubah menjadi non reaktif atau titer rendah, sedangkan pada sifilis lanjut umumnya reaktif, selalu dengan titer rendah dan sedikit atau hampir tidak ada perubahan setelah diberi pengobatan. Titer yang tinggi pada sifilis lanjut dijumpai pada gumma dan paresis. 1. Sifilis laten lanjut Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tes serologik. Lama masa laten beberapa tahun hingga bertahun-tahun, bahkan dapat seumur hidup. Likuor serebrospinalis hendaknya diperiksa untuk menyingkirkan neurosifilis asimtomatik. Demikian pula sinar-X aorta untuk melihat apakah ada aorititis. 2. Sifilis tersier (S III) Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun setelah S I. Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya melunak, dan destruktif. Besar guma bervariasi dari lentikular sampai sebesar telur ayam. Kulit di atasnya mula-mula tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut dan dapat digerakkan. setelah beberapa bulan mulai melunak, biasanya mulai dari tengah, tanda-tanda radang mulai tampak, kulit menjadi eritematosa dan livid serta melekat terhadap guma tersebut. Kemudian terjadi perforasi dan keluarlah cairan seropurulen, kadang-kadang sanguinolen; pada beberapa kasus disertai jaringan nekrotik.
9

Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya lonjong/bulat, dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong ke luar. Beberapa ulkus berkonfluensi sehingga membentuk pinggiryang polisiklik. Jikatelah menjadi ulkus, maka infiltrat yang terdapat di bawahnya yang semula sebagai benjolan menjadi datar. Tanpa pengobatan guma tersebut akan bertahan beberapa bulan hingga beberapa tahun. Biasanya guma solitar, tetapi dapat pula multipel, umumnya asimetrik. Gejala umum biasanya tidak terdapat, tetapi jika guma multipel dan perlunakannya cepat, dapat disertai demam. Selain guma, kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mula- mula di kutan kemudian ke epidermis, pertumbuhannya lambat yakni beberapa minggu/bulan dan umumnya meninggalkan sikatriks yang hipotrofi. Nodus tersebut dalam perkembangannya mirip guma, mengalami nekrosis di tengah dan membentuk ulkus. Dapat pula tanpa nekrosis dan menjadi sklerotik. Perbedaannya dengan guma, nodus lebih superfisial dan lebih kecil (miliar hingga lentikular), lebih banyak, mempunyai kecenderungan untuk bergerombol atau berkonfluensi; selain itu tersebar (diseminata). Warnanya merah kecoklatan. Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat tumbuh terns secara serpiginosa. Bagian yang belum sembuh dapat tertutup skuama seperti lilin dan disebut psoriasiformis. Kelenjar getah bening regional tidak membesar. Kelainan yang jarang ialah yang disebut nodositas juxta articularis berupa nodus-nodus subkutan yang fibrotik, tidak melunak, indolen, biasanya pada sendi besar. S III pada mukosa Guma juga ditemukan di selaput lendir, dapat setempat atau menyebar. Yang setempat biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi. Seperti biasanya akan melunak dan membentuk ulkus, bersifat destruktif jadi dapat merusak tulang rawan septum nasi atau palatum mole hingga terjadi perforasi. Pada lidah yang tersering ialah guma yang nyeri dengan fisur-fisur tidak teratur serta leukoplakia. S III pada tulang
10

Paling sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula, dan humerus. Gejala nyeri, biasanya pada malam had. Terdapat dua bentuk, yakni periostitis gumatosa dan osteitis gumatosa, kedua-duanya dapat didiagnosis dengan sinar-X. S III pada alat dalam Hepar merupakan organ intra abdominal yang paling sering diserang. Guma bersifat multipel, jika sembuh terjadi fibrosis, hingga hepar mengalami retraksi, membentuk lobus-lobus tidak teratur yang disebut hepar lobatum. Esofagus dan lambung dapat pula dikenai, meskipun jarang. Guma dapat menyebabkan fibrosis. Pada paru juga jarang, guma solitar dapat terjadi di dalam atau di luar bronkus; jika sembuh terjadi fibrosis dan menyebabkan bronkiektasi. Guma dapat menyerang ginjal, vesika urinaria, dan prostat, meskipun jarang. S III pada ovarium jarang, pada testis kadang-kadang berupa guma atau fibrosis interstisial, tidak nyeri, permukaannya rata dan unilateral. Kadangkadang memecah ke bagian anterior skrotum. Sifilis kardiovaskuler Sifilis kardiovaskular bermanifestasi pada S III, dengan masa laten 15-30 tahun. Umumnya mengenai usia 40-50 tahun. Insidens pada pria lebih banyak tiga kali daripada wanita. Biasanya disebabkan karena nekrosis aorta yang berlanjut ke arch katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi aorta atau aneurisms, berbentuk kantong pada aorta torakal. Bila komplikasi ini telah lanjut, akan sangat mudah dikenal. Secara teliti harus diperiksa kemungkinan adanya hipertensi, arteriosklerosis, penyakit jantung rematik sebelumnya. Aneurisms aorta torakales merupakan tanda sifilis kardiovaskuler. Bila ada insufisiensi aorta tanpa kelainan katup pada seseorang yang setengah umur disertai pemeriksaan serologis darah reaktif, pada tahap pertama hares diduga sifilis kardiovaskuler, sampai dapat dibuktikan lebih lanjut. Pemeriksaan serologis umumnya menunjukkan reaktif. Neurosifilis Pada perjalanan penyakit neurosifilis dapat asimtomatik dan sangat jarang terjadi dalam bentuk murni. Pada semua jenis neurosifilis terjadi perubahan berupa endarteritis obliterans pada
11

ujung pembuluh darah disertai degenerasi parenkimatosa yang mungkin sudah atau belum menunjukkan gejala pada saat pemeriksaan. Neurosifilis dibagi menjadi empat macam: Neurosifilis asimtomatik. Sifilis meningovaskular (sifilis serebrospinalis), misalnya meningitis,

meningomielitis, endarteritis sifilitika. Sifilis parenkim: tabes dorsalis dan demensia paralitika. Guma. 1. Neurosifilis asimtomatik Diagnosis berdasarkan kelainan pada likuor serebrospinalis. Kelainan tersebut belum cukup memberi gejala klinis. 2. Sifilis meningovaskular Terjadi inflamasi vaskular dan perivaskular. Pembuluh darah di otak dan medula spinalis mengalami endarteritis proliferatif dan infiltrasi perivaskular berupa limfosit, sel plasma, dan fibroblas.Pembentukan jaringan fibrotik menyebabkan terjadinya fibrosis sehingga perdarahannya berkurang akibat mengecilnya lumen. Selain itu jugs dapat terjadi trombosis akibat nekrosis jaringan karena terbentuknya gums kecil multipel. Bentuk ini terjadi beberapa bulan hingga lima tahun sejak S I. Gejalanya bermacammacam bergantung pada letak lesi. Gejala yang sering terdapat ialah: nyeri kepala, konvulsi fokal atau umum, papil nervus optikus sembab, gangguan mental, gejala-gejala meningitis basalis dengan kelumpuhan saraf-saraf otak, atrofi nervus optikus, gangguan hipotalamus, gangguan piramidal, gangguan miksi dan defekasi, stupor, atau koma. Bentuk yang sering dijumpai ialah endarteritis sifilitika dengan hemiparesis karena penyumbatan arteri otak. 3. Sifilis parenkim Termasuk golongan ini ialah tabes dorsalis dan demensia paralitika.
12

Tabes dorsalis Timbulnya antara delapan sampai dua betas tahun setelah infeksi pertama. Kira-kira seperempat kasus neurosifilis berupa tabes dorsalis. Kerusakan terutama pada radiks posterior dan funikulus dorsalis daerah torako-lumbalis. Selain itu beberapa saraf otak dapat terkena, misalnya nervus optikus, nervus trigeminus, dan nervus oktavus. Gejala klinis di antaranya ialah gangguan sensibilitas berupa ataksia, arefleksia, gangguan virus, gangguan rasa nyeri pada kulit, dan jaringan dalam. Gejala lain ialah retensi dan inkontinensia urin. Gejala tersebut terjadi berangsur-angsur terutama akibat demielinisasi dan degenerasi funikulus dorsalis. Demensia paralitika Penyakit ini biasanya timbul delapan sampai sepuluh tahun sejak infeksi primer, umumnya pada umur antara tiga puluh sampai lima puluh tahun. Sejumlah 10-15% dari seluruh kasus neurosifilis berupa demensia paralitika. Prosesnya ialah meningoensefalitis yang terutama mengenai otak, ganglia basal, dan daerah sekitarventrikel ketiga. Lambat laun terjadi atrofi pada korteks dan substansi albs sehingga korteks menipis dan terjadi hidrosefalus. Gejala klinis yang utama ialah demensia yang terjadi berangsur-angsur dan progresif. Mula-mula terjadi kemunduran intelektual, kemudian kehilangan dekorum, bersikap apatis, euforia, waham megaloman, dan dapat terjadi depresif atau maniakal..Gejala lain di antaranya ialah disartria, kejang-kejang umum atau fokal, muka topeng, dan tremor terutama otot-otot muka. Lambat laun terjadi kelemahan, ataksia, gejala-gejala piramidal, inkontinensia urin, dan akhirnya meninggal. 4. Guma Umumnya terdapat pada meninges, rupanya terjadi akibat perluasan pada tulang tengkorak. Jika membesar akan menyerang dan menekan parenkim otak. Guma dapat solitar atau multipel pada verteks atau dasar otak. Keluhannya nyeri kepala, mual, muntah, dan dapat terjadi konvulsi dan gangguan visus. Gejalanya berupa udema papil akibat peninggian tekanan intrakranial, paralisis nervus kranial, atau hemiplegia. Sifilis kongenital
13

Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama sifilis dini sebab banyak T. pallidum beredar dalam darah. treponema masuk secara hematogen ke janin melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada saat mass kehamilan 10 minggu. Sifilis yang mengenai wanita hamil gejalanya ringan. Pada tahun I setelah infeksi yang tidak diobati terdapat kemungkinan penularan sampai 90%. Jika ibu menderita sifilis laten dini, kemungkinan bayi sakit 80%, bila sifilis lanjut 30 %. Pada kehamilan yang berulang, infeksi janin pada kehamilan yang kemudian menjadi berkurang. Misalnya pada hamil pertama akan terjadi abortus pada bulan kelima, berikutnya lahir mati pada bulan kedelapan, berikutnya janin dengan sifilis kongenital yang akan meninggal dalam beberapa minggu, diikuti oleh dua sampai tiga bayi yang hidup dengan sifilis kongenital. Akhirnya akan lahir seorang atau lebih bayi yang sehat. Keadaan ini disebut hukum Kossowitz. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron tidak terlihat adanya atrofi lengkap. Hal yang demikian saat ini tidak dianut lagi sebab ternyata infeksi bayi dalam kandungan dapat terjadi pada saat 10 minggu masa kehamilan. Setiap infeksi sebelum 20 minggu kehamilan tidak akan merangsang mekanisme imunitas, sebab sistem imun bayi yang dikandung belum berkembang dan tidak tampak kelainan histologi reaksi bayi terhadap infeksi. Gambaran klinis dapat dibagi menjadi sifilis kongenital dini (prekoks), sifilis kongenital lanjut (tarda), dan stigmata. Batas antara dini dan lanjut ialah dua tahun. Yang dini bersifat menular, jadi menyerupai S 11, sedangkan yang lanjut berbentuk gums dan tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut atau deformitas akibat penyembuhan kedua stadium tersebut.2 Sifilis kongenital dini Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah bula bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada tempat lain di badan. Cairan bula mengandung banyak T. pallidum. Bayi tampak sakit. Bentuk ini adakalanya disebut pemfigus sifilitika. Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi berumur beberapa minggu dan mirip erupsi pada S II, pada umumnya berbentuk papul atau papulo-skuamosa yang simetris dan generalisata. Dapat tersusun teratur, misalnya anular. Pada tempat yang lembab papul dapat mengalami erosi seperti kondilomata lata. Ragades merupakan
14

kelainan umum yang terdapat pada sudut mulut, lubang hidung, dan anus; bentuknya memancar (radiating). Wajah bayi berubah seperti orang tua akibat turunnya berat badan sehingga kulit berkeriput. Alopesia dapat terjadi pula, terutama pada sisi dan belakang kepala. Kuku dapat terlepas akibat papul di bawahnya; disebut onikia sifilitika. Jika tumbuh kuku yang bare akan kabur dan bentuknya berubah. Pada selaput lendir mulut dan tenggorok dapat terlihat plaques muqueuses seperti pada S II. Kelainan semacam itu sering terdapat pada daerah mukoperiosteum dalam kavum nasi yang menyebabkan timbulnya rinitis dan disebut syphilitic snuffles. Kelainan tersebut disertai sekret yang mukopurulen atau seropurulen yang sangat menular dan menyebabkan sumbatan. Pernapasan dengan hidung sukar. Jika plaques muqueuses terdapat pada laring suara menjadi parau. Kelenjar getah bening dapat membesar, generalisata, tetapi tidak sejelas pada S 11. Hepar dan lien membesar akibat invavasi T. pallidum sehingga terjadi fibrosis yang difus. Dapat terjadi udema dan sedikit ikterik (fungsi hepar terganggu). Ginjal dapat diserang, pada urin dapat terbentuk albumin, hialin, dan granular cast. Pada umumnya kelainan ginjal ringan. Pada paru kadang-kadang terdapat infiltrasi yang disebut "pneumonia putih". Tulang sering diserang pada waktu bayi berumur beberapa minggu. Osteokondritis pada tulang panjang umumnyaterjadi sebelum berumur enam bulan dan memberi gambaran khas pada waktu pemeriksaan dengan sinar-X. Ujung tulang terasa nyeri dan bengkak sehingga tidak dapat digerakkan; seolah-olah terjadi paralisis dan disebut pseudo paralisis Parrot. Kadang-kadang terjadi komplikasi berupa terlepasnya epifisis, fraktur patologik, dan artritis supurativa. Pada pemeriksaan dengan sinar-X terjadi gambaran yang khas. Tanda osteokondritis menghilang setelah dua belas bulan, tetapi periostitis menetap. Koroiditis dan uveitis jarang. Umumnya terdapat anemia berat sehingga rentan terhadap infeksi.

15

Gambar 3. Sifilis kongenital pada telapak kaki bayi

Neurosifilis aktif terdapat kira-kira 10%. Akibat invasi T. pallidum pada otak waktu intrauterin menyebabkan perkembangan otak terhenti. Bentuk neurosifilis meningovaskular yang lebih umum pada bayi muds menyebabkan konvulsi dan defisiensi mental. Gangguan nervus II terjadi sekunder akibat korioditis atau akibat meningitis karena guma. Destruksi serabut traktus piramidalis akan menyebabkan hemiplegia/ diplegia. Demikian pula dapat terjadi meningitis sifilitika akuta. Sifilis kongenital lanjut Umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima belas tahun. Guma dapat menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan organ dalam. Yang khas ialah guma pada hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum nasi akan terjadi perforasi, bila meluas terjadi destruksi seluruhnya hingga hidung mengalami kolaps dengan deformitas. Guma pada palatum mole dan durum jugs sering terjadi sehingga menyebabkan perforasi pada palatum. Periostitis sifilitika pada tibia umumnya mengenai sepertiga tengah tulang dan menyebabkan penebalan yang disebut sabre tibia. Osteoperiostitis setempat pada tengkorak berupa tumor bulat yang disebut Parrot nodus, umumnya terjadi pada daerah frontal dan parietal. Keratitis interstisial merupakan gejala yang paling umum, biasanya terjadi antara umur
16

tiga sampai tiga puluh tahun, insidensnya 25% dari penderita dengan sifilis kongenital dan dapat menyebabkan kebutaan. Akibat diserangnya nervus VIII terjadi ketulian yang biasanya bilateral. Pada kedua sendi lutut dapat terjadi pembengkakan yang nyeri disertai efusi dan disebut Glutton's joints. Kelainan tersebut terjadi biasanya antara umur sepuluh sampai dua puluh tahun, bersifat kronik. Efusi akan menghilang tanpa meninggalkan kerusakan. Neurosifilis berbentuk paralisis generalisata atau tabes dorsalis. Neurosifilis meningovaskular jarang, dapat menyebabkan palsi nervus kranial, hemianopia, hemiplegia, atau monoplegia. Paralisis generalisata juvenilia biasanya terjadi antara umur sepuluh sampai tujuh betas tahun. Taber juvenilia umumnya terjadi kemudian dan belum bermanifestasi hingga dewasa muds. Aortitis sangat jarang terjadi.

Stigmata Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh Berta meninggalkan parut dan kelainan yang khas. Parut dan kelainan demikian merupakan stigmata sifilis kongenita, akan tetapi hanya sebagian penderita yang menunjukkan gambaran tersebut. 1. Stigmata lesi dini. a. Gambaran muka yang menunjukkan saddlenose, akibat rhinitis yang parah dan terus menerus yang menyebabkan gangguan pertumbuhan septum nasi dan tulang lain pada kavum nasi sehingga terjadi sepresi pada jembatan hidung. b. Gigi menunjukkan gambaran yang khas yaitu gigi insisor Hutchinson (gigi insisi permanen yang lebih kecil dari normal, sisi gigi konveks, sedangkan daerah menggigit konkaf) dan gigi Mulberry (gigi molar bawah pertama dengan permukaan yang berbintil-bintil seperti murbai). Gigi mulberry lebih sering ditemukan daripada gigi Hutchinson. c. Ragades terdapat terutama pada sudut mulut, terbentuknya papul-papul yang berkonfluensi akibat pergerakan mulut terjadi fisur yang kemudian mengalami infeksi sekunder dan jika sembuh meninggalkan jaringan parut linear yang memancar dari sudut mulut. d. Atrofi dan kelainan akibat peradangan
17

e. Koroidoretinitis, membentuk daerah parut putih dikelilingi pigmentasi pada retina. f. Kuku onikia akan merusak dasar kuku dan meninggalkan kelainan yang permanen 2. Stigmata dan lesi lanjut. a. Lesi pada kornea yaitu keratitis interstisial yang dapat menyebabkan kekeruhan pada lapisan dalam kornea b. Sikatriks gumatosa, guma pada kulitt yang meninggalkan sikatriks yang hipotrofi. c. Lesi tulang: sabre tibia, akibat osteoeriostitis d. Atrofi optikus primer jika susunan saraf pusat diserang e. Trias Hutchinson adalah syndrome yang terdiri atas keratitis interstisial, kelainan gigi Hutchinson dan ketulian nervus VIII. V. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang Sebagai pembatu diagnosa diantaranya dengan pemeriksaan T.pallidum, Tes serologic sifilis (T.S.S) dan pemeriksaan yang lain. Cara pemeriksaan T.pallidum adalah dengan mengambil serum dari lesi kulit dan dilihat bentuk dan pergerakannya, yaitu dengan : a. Pemeriksaan lapangan gelap (dark field) Ruam sifilis primer, dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis. Serum diperoleh dari bagian dasar/dalam lesi dengan cara menekan lesi sehingga serum akan keluar. Diperiksa dengan mikroskop lapangan gelap menggunakan minyak imersi. T. pallidum berbentuk ramping, gerakan lambat, dan angulasi. Hares hati-hati membedakannya dengan Treponema lain yang ada di daerah genitalia. Karena di dalam mulut banyak dijumpai Treponema komensal, maka bahan pemeriksaan dari rongga mulut tidak dapat digunakan. b. Mikroskop fluoresensi

18

Bahan apusan dari lesi dioleskan pada gelas objek, difiksasi dengan aseton, sediaan diberi antibodi spesifik yang dilabel fluorescein, kemudian diperiksa dengan mikroskop fluoresensi. Penelitian lain melaporkan bahwa pemeriksaan ini dapat memberi hasil nonspesifik dan kurang dapat dipercaya dibandingkan pemeriksaan lapangan gelap. 2. Tes Serologik Sifilis (T.S.S) T.S.S merupakan pembantu diagnosisi yang penting bagi sifilis. Sebagai ukuran untuk mengevaluasi tes serologi adalah sensitivitas dan spesifisitas. Sensitivitas adalah kemampuan untuk bereaksi pada pada penyakit sifilis. Sedangkan spesifisitas berarti kemampuan non reaktif pada penyakit bukan sifilis. Makin tinggi sensitivitas suatu tes, makin baik tes tersebut dipakai untuk tes skrinning, sedangkan makin tinggi spesifisitas tes tersebut sangat baik untuk diagnosis. S I pada mulanya memberikan hasil T.S.S negative (seronegatif), kemudian menjadi positif (seropositif) dengan titer rendah, jadi positif lemah. Pada SII dini reaksi menjadi positif agak kuat yang akan menjadi sangat kuat pada SII lanjut. Pada SIII reaksi menurunlagi menjadi positif lemah atau negative. T.S.S dibagi menjaidi dua berdasarkan antigen yang dipakai yaitu non treponemal dan treponemal. 1. Tes nontreponema, contohnya diantaranya : a. Tes Fiksasi Komplemen :Tes Wasserman dan Kolmer b. Tes Flokulasi: Tes Kahn, Tes VDRL (Venereal Diseases Research Laboratory), Tes RPR (Rapid Plasma Reagin), Tes Automated regain (ART) dan RST (Reagin screen test). Diantara tes diatas, yang dianjurkan ialahVDRL dan RPR secara kuantitatif, karena teknis lebih mudah dan lebih cepat daripada tes fiksasi komplemen, lebih sensitive daripada tes wasserman dan lebih baik menilai terapi. Tes RPR dilakukan dengan antigen VDRL, kelebihan RPR ialah flokulasi dapat dilihat secara makroskopik, lebih sederhana dan dapat dibaca setelah 10 menit sehingga dapat dipakai untuk screening. 2.Tes Treponemal.
19

Tes ini bersifat spesifik karena antigennya adalah treponema atau ekstraknya dan dapat digolongkan menjadi empat kelompok: Tes Imobilisasi Tes imunofloresen Tes Hemoglutisasi Assay) Tes fiksasi komplemen: Tes RPCF (Reiter Protein Complement Fixation) TPI merupakan tes yang paling spesifik, tetapi mempunyai kekurangan yaitu biayanya mahal, teknis sulit, membutuhkan waktu banyak. Selain itu juga reaksinya lambat, baru positif pada akhir stadium primer, tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan, hasil dapat negative pada sifilis dini dan sangat lanjut FTA-ABS paling sensitive (90%), terdapat dua macam yaitu IgM dan IgGudah positif pada waktu timbul kelainan sifilis primer. IgM sangat reaktif pada sifilis dini, pada terapi yang berhasil titer IgM cepat turun, sedangkan IgG lambat. IgM penting untuk mendiagnosa sifilis congenital TPHA merupakan tes treponemal yang dianjurkan karena teknis dan pembacaan hasilnya mudah, cukup spesifik, menjadi reaktifnya cukup dini. Kekurangannya tidak dapat dipakai untuk menilai hasil terapi, karena tetap reaktif dalam waktu lama. TPHA dikerjakan melalui dua prosedur yakni secara kualitatif dan kuantitatif. Pembacaan hasil secara kualitatif menunjukan tingkatan hemaglutinasi dan dilaporkan dengan nilai +4. +3,+2,+1 atau negative. Hasil yang menunjukan positif menandakan tes TPHA yang reaktif sedangkan yang negative menunjukan tes TPHA yang non reaktif. Sedangkan secara kuantitatif menggunakan titer pengenceran dari 1/80- 1/1021. Sebaiknya yang dilakukan pemeriksaan tes TPHA secara kuantitatif. 3.Sinar Rontgen dipakai untuk melihat kelainan khas pada tulang, yang dapat terjadi pada S II, S Ill, dan sifilis kongenital. Juga pada sifilis kardiovaskular,
20

:Tes TPI (Treponema Pallidum Immobilization) :Tes FTA-ABS (Fluorescent Treponema Absorbed). :Tes TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination

misalnya untuk melihat aneurisma aorta.

VI. DIAGNOSIS &DIAGNOSIS BANDING Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan hasil pemerikasan laboratorium dan pemeriksaan fisik. Pada fase primer atau sekunder, diagnosis sifilis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis terhadap cairan dari luka di kulit atau mulut. Bisa juga digunakan pemeriksaan antibodi pada contoh darah. Untuk neurosifilis, dilakukan pungsi lumbal guna mendapatkan contoh cairan serebrospinal. Pada fase tersier, diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksan antibodi. Diagnosis banding SI Dasar diagnosis S I sebagai berikut. Pada anamnesis dapat diketahui mass inkubasi; gejala konstitusi tidak terdapat, demikian pula gejala setempat yaitu tidak ada rasa nyeri. Pada afek primer yang penting ialah terdapat erosi/ulkus yang bersih, solitar, bulat/lonjong, teratur, indolen dengan indurasi: T. pallidum positif. Kelainan dapat nyeri jika disertai infeksi sekunder. Kelenjar regional dapat membesar, indolen, tidak berkelompok, tidak ada periadenitis, tanpa supurasi. Tes serologik setelah beberapa minggu bereaksi positif lemah. Sebagai diagnosis banding dapat dikemukakan berbagai penyakit. 1. Herpes simpleks Penyakit ini residif dapat disertai rasa gataV nyeri, lesi berupa vesikel di alas kulit yang eritematosa, berkelompok. Jika telah pecah tampak kelompok erosi, sering berkonfluensi dan polisiklik, tidak terdapat indurasi. 2. Ulkus piogenik Akibat trauma misalnya garukan dapat terjadi infeksi piogenik. Ulkus tampak kotor karena mengandung pus, nyeri, tanpa indurasi. Jika terdapat limfadenitis regional disertai
21

tanda-tanda radang akut dapat terjadi supurasi yang serentak, dan terdapat leukositosis pada pemeriksaan darah tepi. 3. Skabies Pada skabies lesi berbentuk beberapa papul atau vesikel di genitalia eksterna, terasa gatal pada malam hari. Kelainan yang sama terdapat pula pada tempat predileksi, misalnya lipat jari Langan, perianal. Orang-orang yang serumah juga akan menderita penyakit yang sama. 4. Balanitis Pada balanitis, kelainan berupa erosi superficial pada glans penis disertai eritema, tanpa indurasi. Faktor predisposisi: diabetes melitus dan yang tidak disirkumsisi. 5. Limfogranuloma venereum (L.G.V.) Afek primer pada L.G.V. tidak khas, dapat berupa papul, vesikel, pustul, ulkus, dan biasanya cepat hilang. Yang khas ialah limfadenitis regional, disertai tanda-tanda radang akut, supurasi tidak serentak, terdapat periadenitis. L.G.V. disertai gejala konstitusi: demam, malese, dan artralgia. 6. Karsinoma sel skuamosa Umumnya terjadi pada orang usia lanjut yang tidak disirkumsisi. Kelainan kulit berupa benjolan-benjolan, terdapat indurasi, mudah berdarah. Untuk diagnosis, perlu biopsi. 7. Penyakit Behcet Ulkus superficial, multipel, biasanya pada skrotum/labia. Terdapat pula ulserasi pada mulct dan lesi pada mata. 8. Ulkus mole Penyakit ini kini langka. Ulkus lebih dari sate, disertai tanda-tanda radang akut, terdapat pus, dindingnya bergaung. Haemophilus Ducreyi positif. Jika terjadi limfadenitis regional juga disertai tanda-tanda radang akut, terjadi supurasi serentak.
22

Diagnosis banding S II Dasar diagnosis S II sebagai berikut. S II timbul enam sampai delapan minggu sesudah S I. Seperti telah dijelaskan, S II ini dapat menyerupai berbagai penyakit kulit. Untuk membedakannya dengan penyakit lain ads beberapa pegangan. Pada anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah pernah menderita luka di alai genital (S I) yang tidak nyeri. Klinis yang penting umumnya berupa kelainan tidak gatal. Pada S II dini kelainan generalisata, hampir simetrik, telapak tangan/kaki jugs dikenai. Pada S II lambat terdapat kelainan setempatsetempat, berkelompok, dapat tersusun menurut susunan tertentu, misalnya: arsinar, polisiklik, korimbiformis. Biasanya terdapat limfadenitis generalisata. Tes serologik positif kuat pada S II dini, lebih kuat lagi pada S II lanjut. Seperti telah diterangkan, sifilis dapat menyerupai berbagai penyakit karena itu diagnosis bandingnya sangat banyak, tetapi hanya sebagian yang akan diuraikan. 1. Erupsi obat alergik Pada anamnesis dapat diketahui timbulnya alergi karena obat yang dapat disertai demam. Kelainan kulit bermacam-macam, di antaranya berbentuk eritema sehingga mirip roseala pada S II. Keluhannya gatal, sedangkan pada sifilis biasanya tidak gatal. 2. Morbili Kelainan kulit berupa eritema seperti pada S II. Perbedannya: pada morbili disertai gejala konstitusi (tampak sakit, demam), kelenjar getah bening tidak membesar. 3. Pitiriasis roses Terdiri atas banyak bercak eritematosa terutama di pinggir dengan skuama halus, berbentuk lonjong, lentikular, susunannya sejajar dengan lipatan kulit. Penyakit ini tidak disertai limfadenitis generalisata seperti pada S II. 4. Psoriasis
23

Persamaannya dengan S II : terdapat eritema dan skuama. Pada psoriasis tidak didapati limfadenitis generalisata; skuama berlapis-lapis serta terdapat tanda tetesan lilin dan Auspitz. 5. Dermatitis seboroika Persamaannya dengan S II ialah terdapatnya eritema dan skuama. Perbedaannya pada dermatitis seboroik; tempat predileksinya pada tempat seboroik, skuama berminyak dan kekuning-kuningan, tidak disertai limfadenitis generalisata. 6. Kondiloma akuminatum

Penyakit ini mirip kondiloma lata, kedua-duanya berbentuk papul. Perbedaannya: pada kondiloma akuminata biasanya permukaannya runcing-runcing, sedangkan papul pada kondiloma lata permukaannya datar serta eksudatif. 7. Alopesia areata Kebotakan setempat; penyakit ini mirip alopesia areolaris pada S II. Perbedaannya: pada alopesia areata lebih besar (numular) dan hanya beberapa, sedangkan alopesia areolaris lebih kecil (lentikular) dan banyak serta seperti digigit ngengat. Diagnosis banding S III Kelainan kulit yang utama pada S III ialah guma. Guma juga terdapat pada penyakit lain: tuberkulosis, frambusia, dan mikosis profunda. Tes serologik pada S III dapat negatif atau positif lemah, karena itu yang penting ialah anamnesis, apakah penderita tersangka menderita S I atau S II dan pemeriksaan histopatologik. Mikosis dalam yang dapat menyerupai S III ialah sporotrikosis dan aktinomikosis. Perbedaannya: pada sporotrikosis berbentuk nodus yang terletak sesuai dengan perjalanan pembuluh getah bening, dan pada pembiakan akan ditemukan jamur penyebabnya. Aktinomikosis sangat jarang di Indonesia. Penyakit ini juga terdiri atas infiltrat yang melunak seperti guma S III. Lokalisasinya khas yakni di leher, dada, dan abdomen. Kelainan kulitnya berbeda, yakni terdapat fistel multipel; pada pusnya tampak
24

butir-butir kekuningan yang disebut sulfur granules. Pada biakan akan tumbuh Actinomyces. Tuberkulosis kutis gumosa mirip guma S III. Cara membedakannya dengan pemeriksaan histopatologik. Demikian pula frambusia stadium lanjut. Guma S III bersifat kronis dan destruktif, karena itu kelainan tersebut mirip keganasan. Cara membedakannya dengan pemeriksaan histopatologik. VII. PENATALAKSANAAN Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan selama belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai sedini mungkin, makin dini hasilnya makin balk. Pada sifilis laten terapi bermaksud mencegah proses lebih lanjut. Hingga saat ini obat pilihan utama untuk sifilis adalah penisilin, bila ternyata alergi dengan penisilin dapat diberikan antibiotika lain. Diperlukan konsentrasi yang cukup dalam serum untuk membunuh Treponema. 1. Jenis penisilin yang digunakan Tujuan utama pemberiann npenisilin secara suntikan ialah agar dicapai konsentrasi 0,03 u/ml di dalam serum selama 10-15 hari pada sifilis dini. Masa pemberian suntikan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 15-20 hari pada sifilis lanjut. Pilihan penisilin harus memiliki syarat yaitu sedikit efek sampingnya, tersedia, relative murah dan dapat disimpan pada berbagai suhu. Diperlukan jenis yang mempunyai absorbsi rendah. Kadar yang tinggi dalam serum tidak diperlukan, asalkan jangan kurang dari 0,03 unit/ml. Yang penting ialah kadar tersebut hares bertahan dalam serum selama sepuluh sampai empat betas hari untuk sifilis dini dan lanjut, dua puluh sate hari untuk neurosifilis dan sifilis kardiovaskular. Jika kadarnya kurang dari angka tersebut, setelah lebih dari dua puluh empat sampai tiga puluh jam, maka kuman dapat berkembang biak. Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin:
a.

Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat jam, jadi bersifat kerja singkat.
25

b.

Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat (PAM), lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.

a.

Penisilin G benzatin dengan dosis 2,4 juta unit akan bertahan dalam serum dua sampai tiga minggu, jadi bersifat kerja lama.

Ketiga obat tersebut diberikan intramuskular. Derivat penisilin per oral tidak dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerma kurang dibandingkan dengan suntikan. Cara pemberian penisilin tersebut sesuai dengan lama kerja masing-masing; yang pertama diberikan setiap hari, yang kedua setiap tiga hari, dan yang ketiga biasanya setiap minggu. Penisilin G benzatin karena bersifat kerja lama, maka kadar obat dalam serum dapat bertahan lama dan lebih praktis, sebab penderita tidak perlu disuntik setiap hari seperti pada pemberian penisilin G prokain dalam akua. Obat ini mempunyai kekurangan, yakni tidak dianjurkan untuk neurosifilis karens sukar masuk ke dalam darah di otak, sehingga yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua. Karena penisilin G benzatin memberi rasa nyeri pada tempat suntikan, ada penyelidik yang tidak menganjurkan pemberiannya kepada bayi. Demikian pule PAM memberi rasa nyeri pada tempat suntikan dan dapat mengakibatkan abses jika suntikan kurang dalam; obat ini kini jarang digunakan. Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin G benzatin 9,6 juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan interval seminggu. Untuk neurosifilis terapi yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua 18-24 juta unit sehari, diberikan 3-4 juta unit, i.v. setiap 4 jam selama 10-14 hari. Pada sifilis kongenital, terapi anjurannya ialah penisilin G prokain dalam akua 100.000150.000 satuan/kg B.B. per hari, yang diberikan 50.000 unit/kg B.B., i.m., setiap hari selama 10 hari. Rekomendasi WHO/CDC: 1. Pengobatan sifilis dini (primer, sekunder dan laten dini tidak lebih dari 2 tahun) a. Penisilin G benzathin 2,4 juta unit satu kali suntikan intra muscular (IM)
26

b. Penisilin G prokain dalam aqua 600.000 U IM selama 10 hari. Pemberian 1o hari pada sifilis primer seronegatif, sedangkan pada keadaan seropositif dan sifilis sekunnder diberikan selama 14 hari. c. Pengobatan terhadap sifilis dini dan yang alergi penisilin : i. Tetrasiklin HCL 4x500 mg oral selama 30 hari. ii. Eritromisisn 4x500 mg oral selama 30 hari. 2. Pengobatan sifilis lanjut Sifilis dengan waktu lebih dari 2 tahun, sifilis laten yang tidak diketahui lama infeksi atau lebih dari 2 tahun, sifilis sekunderm sifilis benigna kecuali neurosifilis: a. Penisilin G benzathine 2,4 juta unit IM setiap minggu 3 x berturut-turut. b. Dengan Penisilin G prokain 600.000 IM setiap hari selama 21 hari Reaksi Jarish-Herxheimer Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish- Herxheimer. Sebab yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin disebabkan oleh hipersensitivitas akibat toksin yang dikeluarkan oleh banyak T. paffidum yang coati. Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis dini. Pada sifilis dini dapat terjadi setelah enam sampai due betas jam pada suntikan penisilin yang pertama. Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal. Gejala umum biasanya hanya ringan berupa sedikit demam. Selain itu dapat pula berat: demam yang tinggi, nyeri kepala, artralgia, malese, berkeringat, dan kemerahan pada muka. Gejala lokal yakni afek primer menjadi bengkak karena edema dan infiltrasi sel, dapat agak nyeri. Reaksi biasanya akan menghilang setelah sepuluh sampai dua betas jam tanpa merugikan penderita pada S I. Pada sifilis lanjut dapat membahayakan jiwa penderita, misalnya: edema glotis pada penderita dengan gums di laring, penyempitan arteria koronaria pada muaranya karena edema dan infiltrasi, dan trombosis serebral. Selain itu juga dapat terjadi ruptur aneurisms atau ruptur
27

dinding aorta yang telah menipis yang disebabkan oleh terbentuknya jaringan fibrotik yang berlebihan akibat penyembuhan yang cepat. Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah dengan kortikosteroid, contohnya dengan prednison 20-40 mg sehari. Obat tersebut juga dapat digunakan sebagai pencegahan, misalnya pada sifilis lanjut, terutama pada gangguan aorta dan diberikan dua sampai tiga hari sebelum pemberian penisilin serta dilanjutkan dua sampai tiga hari kemudian. 2. ANTIBIOTIK LAIN Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan sebagai pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin. Bagi yang alergi terhadap penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, atau aeritromisin 4 x 500 mg/hri, atau doksisiklin 2 x 100 mg/hari. Lama pengobatan 15 hari bagi S I dan S II dan 30 hari bagi stadium laten. Eritromisin bagi yang hamil, efektivitasnya meragukan. Doksisiklin absorbsinya lebih baik daripada tetrasiklin, yakni 90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%. Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa doksisiklin atau eritromisin yang diberikan sebagai terapi sifilis primer selama 14 hari, menunjukkan perbaikan.9 Obat yang lain ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4 x 500 mg sehari selama 15 hari. Juga seftriakson setiap hari 2 gr, dosis tunggal i.m. atau i.v. selama 15 hari.2 Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan S II, terutama dinegara yang sedang berkembang untuk menggantikan penisilin. Dosisnya 500 mg sehari sebagai dosis tunggal. Lama pengobatan 10 hari. Menurut laporan Verdun dkk. Penyembuhannya mencapai 84,4% tunggal. Lama pengobatan 10 hari. Menurut laporan Verdun dkk., penyembuhannya mencapai 84,4%. VIII. RINGKASAN Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum, merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik. Selama perjalanan penyakitnya dapat menyerang seluruh organ tubuh. Asal penyakit ini tidak jelas. Baru di abad 18 diketahui bahwa penularan sifilis disebabkan oleh sanggama.
28

Etiologi dari sifilis yaitu Treponema pallidum adalah bakteri gram negative dan berbentuk spiral. Sifilis biasanya menular melalui hubungan seksual atau dari ibu kepada bayi, akan tetapi sifilis juga dapat menular tanpa hubungan seksual pada daerah yang mempunyai kebersihan lingkungan yang buruk. Treponema pallidum juga dapat menular melalui transfusi darah. Selain itu wanita hamil yang menderita sifilis dapat menularkan penyakitnya ke janin sehingga menyebabkan sifilis congenital Tanda klinis pada sifilis primer yang pertama muncul ialah tukak, dapat terjadi dimana saja di daerah genital eksterna, terjadi setelah 3 minggu terkena kontak. Manifestasi klinis sekunder dapat berupa ruam pada kulit, selaput lendir dan organ tubuh. Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis, akan tetapi pemeriksaan serologis aktif. Sifilis lanjut dapat berupa suatu latensi, simptomatik neurosifilis , sifilis benigna lanjut atau sifilis kardiovaskuler. Sifilis juga dapat terjadi selama masa kehamilan dan dapat diturunkan ke janin. Untuk menegakkan diagnosis sifilis, diagnosa klinis harus dikonfirmasikan dengan pemeriksaan laboratorium. Tatalaksana sifilis menurut rekomendasi CDC/WHO adalah penicillin G benzathine 2,4 juta unit satu kali suntikan i.m atau Penisillin G prokain dalam aqua 600.000 unit i.m selama 10 hari . Bagi penderita yang alergi penisilin dapat digunakan tetrasiklin HCL 4x500 mg oral selama 30 hari atau Eritromisin 4x500 mg oral selama 30 hari.

29

DAFTAR PUSTAKA 1. Daili, Sjaiful, Makes W, Zubier F. Inferksi Menular Seksual. Edisi keempat, Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009: p84-102. 2. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keempat, Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2005: p391-411. 3. Sirergar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi kedua, Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 2004: p301-3 4. Wong T etal. Serological Tretament Respone to Doxycycline/ Tetracycline versus Benzathine Penicillin. Am J Med 2008 October;121:903 5. Reidner G, Rusizoka M, Todd J,Maboko L et al. Single-Dose azithromycin versus Penicilin G benzathine for the Treatment of Early Syphilis. NEJM 2005 Vol 353:123644.

30

You might also like