You are on page 1of 4

Penggalan-Penggalan Hikmah Filsafat

Judul : The Consolation of Philosophy (Filsafat Sebagai Pelipur Lara) Penulis : Alain de Botton Penerbit : Teraju, Jakarta Edisi : September, 2003 Tebal : xvi+295 hlm. Filsafat pada mulanya muncul di jalan-jalan, di pasar, dan di tempat-tempat pertemuan lain di kota Athena. Filsafat pada masa itu adalah dialog-dialog kritis yang diajukan oleh Socrates tentang persoalan sehari-hari yang dihadapi masyarakat Yunani. Berbeda jauh dengan anggapan saat ini, filsafat pada masa itu bukanlah pemikiran melangit yang jauh dari dunia keseharian. Tetapi suatu cara menghayati hidup. Persoalanpersoalan yang diangkat tidak melulu berkaitan dengan tema-tema besar seperti hakikat alam semesta, ada, ketiadaan, atau waktu. Tetapi persoalan yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari seperti kebahagiaan, penderitaan, cinta, kekayaan dan kemiskinan. Filsafat akhirnya bukanlah bangunan pemikiran yang sulit dijangkau orang-orang awam. Tetapi cara menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari yang dapat dimiliki siapapun. Pada titik inilah filsafat dapat memainkan perannya sebagai pembimbing manusia dalam menjalani berbagai kondisi eksistensial kehidupannya. Bersama-sama dengan agama dan belakangan psikologi, filsafat dapat pula menawarkan solusi praktis bagi manusia agar dapat menghadapi berbagai kemalangan yang menimpanya. Filsafat Sebagai Pelipur Lara yang ditulis Alain de Botton ini berisi penggalanpenggalan riwayat hidup dan pemikiran enam filsuf besar yang dipandang sangat membumi. Keenam filsuf itu (Socrates, Epicurus, Saneca, Montaigne, Schopenhauer, dan Nietzsche) membangun filsafatnya dari hasil penghayatan terus-menerus terhadap hidup dan dunia mereka. Karena itu, banyak hikmah yang dapat dipetik dari kehidupan dan pemikiran mereka. Kisah Socrates dapat membangkitkan keberanian bagi mereka yang saat ini melakukan tindakan tidak populer dengan menentang arus di lingkungannya.

Menegakkan kebenaran dan memegang teguh kejujuran dalam dunia yang menganggap penyelewengan sebagai suatu yang biasa tentunya akan mengorbankan banyak hal. Karirnya mungkin tidak akan berkembang atau bahkan habis sama sekali karena disingkirkan. Tetapi apa yang lebih berharga dibanding mempertahankan kebenaran. Socrates, karena filsafat hidupnya yang subversif, menggugat kemapanan, dan menyerang keyakinan tak logis yang lebih bersifat common-sense, harus berhadapan dengan otoritas masyarakat Athena dengan tuduhan merusak moral kaum muda. Hanya ada dua pilihan baginya, meninggalkan ajaran-ajarannya atau mati. Socrates dengan ketenangannya yang luar biasa memilih yang kedua, meneguk racun kematian. Dalam masyarakat yang demikian mendewakan materi dan status sosial yang tinggi, mereka yang hidup sederhana dan melakukan pekerjaan-pekerjaan rendahan sedikit sekali mendapatkan penghargaan. Kemiskinan menjadi identik dengan martabat yang rendah. Orang miskin seringkali dipandang sebelah mata, tidak dilayani dengan ramah, bahkan cenderung dianggap tak ada. Mereka ini tak perlu meratapi diri karena Epicurus telah mengajarkan bahwa kenikmatan hidup tidak ditentukan kekayaan dan status yang tinggi. Kenikmatan, seperti disebutkan dalam konsepnya tentang hedonisme, tidak lain kebahagiaan yang bersifat batiniah. Dan bukannya, seperti dipahami banyak orang saat ini, kenikmatan ragawi yang tergantung materi. Kekayaan yang akan membawa pada kebahagiaan sejati itu, menurut Epicurus, adalah persahabatan tanpa pamrih, kemerdekaan bertindak, dan pemikiran yang jernih. Filsafat Saneca akan memberi optimisme bagi mereka yang hidupnya diliputi kekecewaan dan frustasi karena gagal dalam usaha, mendapat fitnah atau diperlakukan tidak adil. Pengalaman pahit sepanjang hidup Saneca tidak membuatnya paraniod, marah, mengasihani diri, atau mencari pembenaran. Ia mampu mengatasi rasa frustasi setelah benar-benar memahami arti dari semua kemalangan yang menimpanya. Bagi Saneca, semua rasa frustasidari kaki tersandung batu sampai kematianmemiliki struktur yang sama: benturan antara harapan dan kenyataan. Rasa frustasi muncul disebabkan harapan yang terlalu optimis tentang bagaimana seharusnya manusia dan dunia ini. Apa yang menurut kita dapat diperoleh di dunia ini dan pengalaman kita mengenai kewajaran. Perasaan marah muncul ketika tidak memperoleh apa yang kita anggap menjadi hak. Dan perasaan dendam dipicu oleh peristiwa yang melukai perasaan kita mengenai kepatutan.

Semua bentuk frustasi itu dapat dihindari jika kita tidak memaksakan keinginan tentang bagaimana seharusnya kehidupan berjalan. Karena esensi kehidupan adalah ketidaksempurnaan. Montaigne dapat menjadi teman bagi mereka yang tidak terpelajar secara akademis. Sementara banyak filsuf besar pendahulunya begitu mendewakan akal pikiran (baca: rasionalitas). Meyakini bahwa akal membuat manusia dapat meraih kebahagiaan dan kemuliaan. Ia membangun filsafatnya dari kehidupan keseharian yang remeh-temeh. Montaigne menunjukkan kebersahajaan manusia disebabkan keterbatasan tubuhnya. Dalam bukunya, Essays, ia bicara tentang bagaimana ia buang hajat, makanannya, penisnya, ranjangnya, pasangan seks, dan kentutnya. Baginya, kecerdasan bukanlah kemampuan untuk memecahkan angka-angka yang rumit atau memahami konsep teoritis yang terkenal sulit. Orang yang cerdas adalah mereka yang meraih kebijaksanaan hasil penghayatannya terhadap kehidupan keseharian yang jauh dari kesempurnan. Sedangkan bagi mereka yang patah hati, filsafat Arthur Schopenhauer dapat menjadi penghibur. Ia kesepian ketika kecil dan mengalami kesulitan bergaul ketika dewasa. Ia pernah mengalami penolakan cinta. Dan sampai akhir hayatnya tidak pernah menikah. Ia tidak percaya pada keromantisan cinta. Satu-satunya alasan kenapa orang demikian mendambakan pasangan adalah dorongan untuk mendapatkan keturunan. Cinta tidak lain manifestasi sadar dari kehendak-untuk-hidup. Karena itu betapapun menyakitkan suatu penolakan cinta, kita tidak perlu menghakimi diri sendiri. Tidak pula menyalahkan orang yang menolak kita. Cinta itu tidak bersambut karena kita belum bertemu dengan orang yang cocok untuk menghasilkan anak. Bukannya karena kita tidak cukup layak untuk dicintai. Mereka yang putus asa karena tertimpa kemalangan bertubi-tubi harus bercermin pada tragika Friederich Nietzsche. Berbagai penyakit yang menderanya sejak kecil membuat tubuhnya amat rapuh. Ia terpaksa meninggalkan jabatannya sebagai profesor filologi klasik karena kesehatannya yang buruk. Ia hidup serba kekurangan, tinggal di kamar paling murah, sering menunggak sewa, dan hanya mampu beli makanan sederhana. Dalam kesepiannya ia mendambakan cinta seorang perempuan namun tidak pernah ia dapatkan sampai akhir hayatnya.

Meskipun tubuhnya sakit-sakitan, hidup dalam kemiskinan, dan terus-menerus didera kesepian, Nietzsche tidak pernah meratapi diri. Ia berpantang pada dua hal: alkohol dan agama. Keduanya, bagi Nietzsche, tak lebih dari upaya penyangkalan hidup. Bagaimana mungkin orang ingin hidup bahagia tanpa mau menderita. Kebahagiaan dan penderitaan adalah saudara kembar. Ia memilih jalan Dyonisian, mengarungi samudera penuh badai. Vitalitasnya berangkat dari kehendak-untuk-berkuasa (will to power). Yakni, penguasaan penuh terhadap kekuatan diri untuk menjalani segala penderitaan tanpa sedikit pun penyangkalan. Membaca kisah hidup dan perenungan filosofis dari keenam filsuf ini akan membuat kita tersadar bahwa filsafat ternyata demikian dekat dengan kehidupan seharihari. Kita mendapat banyak pelajaran berharga tentang bagaimana seharusnya menjalani hidup yang memang tidak selalu menyenangkan. Menerapkan cara berpikir filsafat dalam kehidupan sehari-hari jadinya bukanlah proyek yang terlalu ambisius. Dalam dunia praksis ini, filsafat bahkan dapat melengkapi kelemahan agama dan psikologi dalam membimbing manusia meraih kehidupan yang lebih baik. Agama memang telah terbukti dalam sejarah dapat menjadi obat mujarab bagi manusia untuk menanggungkan segala kesusahan dan bencana. Namun, karena kepasrahan menjadi tututan dominan, tidak sedikit manusia akhirnya jatuh pada fatalisme. Psikologi yang mengisi kebutuhan manusia modern untuk hidup lebih nyaman juga jatuh pada bahaya mengajarkan sikap afirmatif. Gangguan psikologis individu lebih dipandang sebagai ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan norma umum yang berlaku di masyarakat. Sehingga individu didorong untuk bersikap konformis terhadap kemapanan. Filsafat memiliki keunggulan karena dapat memaksa setiap orang untuk berpikir mandiri. Keenam filsuf di atas tidak menawarkan formula yang sekali minum langsung menyembuhkan. Mereka mengajak kita menghayati dan merenungkan hidup dengan pikiran yang lebih jernih agar semua kemalangan yang menimpa dapat membuat kita menjadi lebih bijak.

You might also like