You are on page 1of 5

STANDAR 9 Untuk meningkatkan serta mengevaluasi kepatuhan terhadap pengobatan, dilakukan pendekatan yang berfokus pada pasien, didasari

oleh kebutuhan pasien serta adanya hubungan yang saling menghargai di antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Supervisi dan dukungan yang dilakukan seharusnya menaruh perhatian khusus pada gender dan kelompok usia, serta harus pula sesuai dengan intervensi yang dianjurkan, termasuk di dalamnya edukasi dan konseling pasien. Elemen yang utama pada pendekatan ini adalah penggunaan pengukuran untuk menilai, meningkatkan kepatuhan berobat, dan mendeteksi ketidakpatuhan. Adapun pengukuran ini dibuat secara khusus sesuai keadaan masing masing individu dan dapat diterima oleh baik pasien maupun pemberi pelayanan. Salah satu metode yang dipakai adalah pengawasan langsung minum obat oleh seorang PMO yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggung jawab kepada pasien dan sistem kesehatan. Kepatuhan Berobat dan Faktor yang Mempengaruhinya Esensi yang secara jelas diungkapkan pada standar ini adalah pentingnya hubungan seorang pasien dengan penyedia layanan kesehatan untuk berkolaborasi dan berusaha meningkatkan kepatuhan pengobatan. Dengan mengasumsikan tatalaksana telah diresepkan secara tepat, hal ini adalah salah satu faktor kritikal untuk keberhasilan terapi. Akan tetapi, pada kenyataannya, kepatuhan sering menjadi sebuah masalah besar dalam perjalanan terapi mengingat durasi pengobatan yang umumnya panjang (minimal 6 bulan). Tanpa dilakukannya sistem dukungan yang baik, seringkali pasien menghentikan pengobatan, terutama dengan alasan telah merasa sembuh ataupun karena adanya efek samping obat. Sebagai akibatnya, justru terjadi infeksi yang berkepanjangan, perburukan penyakit, atau bahkan resistensi obat. Kepatuhan pasien untuk menjalani pengobatan tuberkulosis berkaitan dengan banyak hal, misalnya penyedia layanan kesehatan, interpretasi dan persepsi pasien mengenai konsep sehat dan sakit, beban ekonomi, pengetahuan, sikap, dan tingkah laku, hukum dan kebijakan yang berlaku, efek samping pengobatan, keluarga dan lingkungan sekitar, serta beragam faktor lainnya. Bila ditelaah lebih lanjut, kepatuhan pada dasarnya adalah sebuah fenomena multi dimensional yang mencakup 5 faktor utama, yaitu: Faktor terkait sosial ekonomi. Beberapa kondisi sosial ekonomi yang diketahui dapat mempengaruhi kepatuhan pada pengobatan tuberkulosis antara lain tidak adanya sistem dukungan yang efektif, lingkungan tidak stabil, faktor budaya sekitar, stigma, mahalnya biata medikasi, mahalnnya biaya transportasi, dan lain lain.

Untuk mengatasinya, diperlukan sistem dukungan sosial yang baik, disediakannya sarana transportasi yang memadai untuk keperluan terapi, dikembangkannya organisasi berbasis komunitas, dukungan rekan sebaya, dukungan pada keluarga dan komunitas, serta edukasi pada komunitas dan penyedia layanan kesehatan untuk mengurangi stigma. Faktor terkait sistem layanan kesehatan. Bila ternyata pelayanan kesehatan sangat buruk, tidak terdapat hubungan yang baik antara pasien dengan penyedia layanan kesehatan, petugas yang kurang terlatih, serta ketidakberadaan ahli, kepatuhan pasien juga dapat berubah. Oleh karena itu, masalah di atas diatasi dengan memperbaiki availabilitas petugas, melakukan pelatihan dan manajemen untuk meningkatkan kualitas penyedia layanan, supervisi intensif pada petugas, dan pelayanan yang multidisipliner. Faktor terkait kondisi. Beberapa kondisi khusus yang dialami oleh pasien dapat memberikan pengaruh buruk pada kepatuhan meminum obat, misalnya kasus asimtomatik, penurunan kesadaran akibat penyalahgunaan obat, stres psikologis, dan depresi. Di lain pihak, bila seorang pasien memiliki pengetahuan yang komprehensif mengenai TB serta pengobatannya, nilai kepatuhan pun akan membaik. Oleh karenanya, pemberian edukasi mengenai penyakit maupun tatalaksana yang akan dilakukan baik jangka pendek maupun jangka panjang pada dasarnya adalah wajib. Faktor terkait terapi. Terapi pada TB dapat dikatakan kompleks, tidak jarang menimbulkan efek samping, dan dapat pula menimbulkan efek toksik sebagai akibat dari seringnya konsumsi. Terkait dengan faktor terapi ini, usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan adalah penjelasan mengenai setiap obat dan efek sampingnya, penggunaan preparat kombinasi fixed dose, pengobatan yang disesuaikan dengan kondisi pasien / tailored, dan monitor serta penilaian secara ketat. Faktor terkait pasien. Pada dasarnya, seluruh aspek kepatuhan dikembalikan kembali pada sifat dari pasiennya. Kepatuhan yang buruk akan ditemui pada pasien pelupa, pasien dengan penyalahgunaan obat, depresi, stres, maupun pasien yang terasingkan sebagai akibat dari stigma yang ada. Kondisi berbeda akan ditemui pada pasien yang telah telah mendapatkan motivasi yang cukup ataupun percaya benar pada efektivitas terapi. Untuk mengatasinya, dibutuhkan adanya tenaga yang siap mengingatkan pasien baik dengan cara kunjungan langsung maupun pengingat melalui telepon.4

Hal yang penting untuk diingat adalah setiap terapi dan dukungan yang akan dilakukan kembali harus disesuaikan karena kombinasi kelima faktor tadi akan berbeda untuk setiap individu, atau dengan kata lain dijalankan terapi yang bersifat tailor made / berfokus pada pasien. Melihat adanya kelima faktor tersebut, maka jelaslah bahwa kepatuhan bukanlah semata mata berurusan hanya dengan pasien, akan tetapi merupakan persoalan kompleks yang juga harus ditinjau dari berbagai faktor lainnya.

Definisi dan faktro yang mempengaruhi MDR TB TB dengan resistensi terjadi dimana basil Mibacterium tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainnya (World Health Organization, 1997). TB resistensi dapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapat OAT sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai khususnya pada pasien-pasien dengan positif HIV. Sedangkan resistensi sekunder yaitu resistensi yang didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya sensitif obat (Mc Donald, et al. 2003). Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran MDR TB akibat mutasi dari gen mikobakterium tuberkulosis. Basil tersebut mengalami mutasi menjadi resisten terhadap salah satu jenis obat akibat mendapatkan terapi OAT tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil tersebut (indirek monoterapi). Pasien TB dengan resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain dimana orang yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih cepat, adanya prosedur kontrol infeksi yang tidak adekuat; dan terlambatnya penegakkan diagnostik (Leitch, 2000). Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu (Aditama, et al. 2006): 1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis. 2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut. 3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya. 4. Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka penambahan (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja. Page | 2

5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat. 6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan.

Pencegahan terjadinya resistensi obat WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB, selain relative tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik adalah dengan standarisasi pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC adalah yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi OAT. Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan kasus baru TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada pertama kali, penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu pedoman terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting, pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secar gratis. Jangan pernah memberikan terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal dukungan kelangsungan program dan ketersediaan dana untunk penanggulangan TB (DOTS). Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi sesuai evidence based dan tes kepekaan kuman. Strategi DOTSPlus Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sama dengan strategi DOTS, dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada penanganan MDR TB. Strategi DOTSPlus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci : 1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR (multi drug resistance) 2. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu menggunakan pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan uji kepekaan yang terjamin mutunya. 3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan pengawasan yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT). 4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu 5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Setiap komponen dalam penanganan TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan dengan pasien TB

bukan MDR Pelaksanaan program DOTS plus akan memperkuat Program Penanggulangan TB Nasional. Daftar Pustaka Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, PERPARI, Jakarta, 2006. Mc Donald RJ, Reichmann LB. Tuberculosis in Baum G.L., et al (eds), Baums Textbook of Pulmonary Disease, 7th ed. Lippincot William and Wilkins Publisher, Boston, 2003. World Health Organization .Guidelines for the programmatic managementdrug resistant tuberculosis emergency edition ,Geneve.2008.

You might also like