You are on page 1of 70

KAJIANSTAFAHLIMENTERIBIDANG HUBUNGANANTARLEMBAGA KEMENTERIANSOSIALRI 2011 Pelembagaan Pendayagunaan Sumber Daya Manusia Kesejahteraan Sosial yang Terintegratif dalam Penanggulangan

Bencana Alam

KEMENTERIANSOSIALRI BIROPERENCANAANSEKRETARIATJENDERAL 2011

SAMBUTAN SEKRETARIAT JENDERAL KEMENTERIAN SOSIAL RI


Salah satu tugas pokok staf ahli menteri (SAM) dengan Foto sekjen memperhatikan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2009 Tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Lembaga Paragraf 9 Staf Ahli Menteri Pasal 46 ayat (4) Staf Ahli mempunyai tugas memberikan telaahan kepada Menteri mengenai masalah tertentu sesuai bidang keahliannya. Kementerian Sosial RI, melalui SAM dengan bidangnya masing-masing mempunyai kesempatan untuk mengembangkan telaahan kebijakan. Salah satunya adalah telaahan kebijakan melalui kegiatan kebijakan yang difasilitasi Sekretariat Jenderal melalui Satker Biro Perencanaan. Kegiatan ini secara spesifik merupakan media bagi SAM untuk mengeksplor berbagai ide dan gagasan yang terkait dengan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Tahun 2011, melalui bidang keahliannya SAM telah melakukan kajian kebijakan untuk lima bidang SAM. SAM Bidang Otonomi Daerah melakukan kajian dengan judul Penerapan Target Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial. SAM Bidang Integrasi Sosial melakukan kajian dengan judul Kebijakan Peningkatan Kapasitas Pekerja Sosial Dalam Meningkatkan Kesetiakawanan Sosial. SAM Bidang Hubungan Antar Lembaga melakukan kajian dengan judul Pelembagaan Pendayagunaan SDM Kesejahteraan Sosial Dalam Penanggulangan Bencana Alam. SAM Bidang Dampak Sosial melakukan kajian dengan judul Tanggung Jawab Sosial Masyarakat di Lokasi Program Kesejahteraan Sosial, dan. SAM Bidang Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial melakukan kajian dengan judul Kebijakan Peran Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial. SAM Bidang Otonomi daerah melalui kajian kebijakan yang diambil lebih melihat bagaimana daerah memahami dan mengimplementasikan SPM Bidang Sosial sebagai kerangka regulasi untuk menetapkan capaian kinerja penyelenggaraan

kesejahteraan sosial di daerah.

Melalui pemahaman UU No. 32 Tahu 2004 tentang

Pemerintahan Daerah

dan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan, SPM Bidang Sosial diharapkan dapat diintegrasikan dalam penyelenggaraan urusan sosial yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota. SAM Bidang Integrasi Sosial melalui kajian kebijakan yang diambil lebih melihat bagaimana Pekerja Sosial (Peksos) sebagai salah satu SDM Kesejahteraan Sosial dapat memanfaatkan kapasitas yang dimiliki menjadi daya lekat dengan manfaatkan nilai-nilai luhur kesetiakawanan sosial. Kajian ini menyadari arti penting Pekerja Sosial dan nilainilai kesetiakwanan sosial dalam tatanan penyelenggaraan kesejahteraan sosial mandiri dan berkelanjutan. SAM Bidang Hubungan Antar Lembaga melalui kajian kebijakan yang diambil lebih melihat bagaimana SDM Kesejahteraan Sosial yang dimiliki Kementerian Sosial dan tersebar di daerah dapat menjadi show window dalam penanganan bencana alam. Kajian ini diangkat karena fakta lapangan sulit menemukan SDM Kesejahteraan Sosial terekspose pada saat penanganan berbagai kasus bencana alam di daerah, karena terhambatnya berbagai akses dan komunikasi antara SDM Kesejahteraan Sosial serta lemahnya sistem koordinasi antara SDM tersebut. SAM Bidang Dampak Sosial melalui kajian kebijakan yang diambil lebih melihat bagaimana masyarakat memiliki tanggung jawab sosial (social responsibility) dalam pelaksanaan penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Melalui tanggung jawab sosial tersebut diharapkan tidak hanya mereka yang menerima manfaat langsung dari penyelenggaraan kesejahteraan sosial, tetapi juga masyarakat yang menerima manfaat secara tidak langsung. Dengan demikian upaya-upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial menjadi lebih terawasi dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai. SAM Bidang Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) melalui kajian kebijakan yang diambil lebih melihat bagaimana lembaga kesejahteraan sosial (LKS) dapat berperan optimal dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Sebagaimana telah kita pahami bersama bahwa kelembagaan lokal (baik yang bersifat edogenous maupun hasil interaksi dengan exogenous institutions) merupakan infrastruktur sosial lokal yang dapat membantu keberhasilan penyelenggaraan kesejahteraan sosial. ii | P a g e

Terkait dengan kajian kebijakan dalam konteks penyelenggaraan kesejahteraan sosial tersebut, maka ada isu penting yang seharusnya dapat kita manfaatkan. Isu tersebut terkait dengan karakteristik daerah dimana satu sisi memiliki kelebihan dan sisi lain memiliki kekurangan. Isu kekurangan inilah yang seharusnya mampu kita tangkap dan kita bangun bridging agar penyelenggaraan kesejahteraan sosial menjadi pintu masuk dalam mewujudkan pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Melakukan hal tersebut di atas tidaklah mudah, dan memerlukan berbagai pemikiran dan masukan para pihak. Melalui tahapan sub-sub komponen kegiatan dari mulai penyusunan instrumen, field review dan FGD, penyusunan draf dan finalisasi kajian serta media diskusi yang dikembangkan, dapat memenuhi kebutuhan data dan informasi yang diperlukan oleh SAM dalam merumuskan rekomendasi kerangka kebijakan. Saya yakin dengan pengalaman, aspirasi dan dedikasi SAM Kementerian Sosial serta Tim Teknis yang terlibat hasil-hasil rekomendasi yang dituangkan menjadi warna bagi penetapan kerangka kebijakan penyelenggaraan kesejahteeraan sosial. Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih atas pikiran SAM dan Tim Teknis yang telah dituangkan dalam hasil kajian kebijakan ini. Semoga dapat bermafaat bagi para pihak. Kepada Biro Perencanaan Kementerian Sosial RI, saya mengucapkan terima kasih atas terfasilitasinya kegiatan kajian kebijakan SAM Kementerian Sosial RI. Jakarta, November 2011 Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial RI

Toto Utomo Budi Santosa NIP. 19610510 198902 1 001

iii | P a g e

SAMBUTAN KEPALA BIRO PERENCANAAN


Sebagaimana visi Kementerian Sosial RI 2010-2014, yaitu Terwujudnya Kesejahteraan Sosial Masyarakat. Kementerian Sosial senantiasa berupaya mewujudkan visi tersebut melalui tugas pokok dan fungsi berdasarkan Perpres No. 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kementerian/Lembaga Pasal 25 dan 26. Diantara tugas pokok dan fungsi Kementerian Sosial adalah; perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan dibidangnya serta pelaksanaan kegiatan teknis pusat dan daerah. Dari berbagai program/kegiatan yang ada, Kementerian Sosial memiliki sejumlah program/kegiatan prioritas nasional seperti antara lain; (i) program rehabilitasi sosial anak, lanjut usia, dan orang dengan kecacatan, (ii) program perlindungan dan jaminan sosial bagi korban bencana alam, bencana sosial, dan program bantuan tunai bersyarat/PKH, (iii) program pemberdayaan sosial dan penanggulangan kemiskinan bagi keluarga miskin/FM dan komunitas adat terpencil/KAT. Mewujudkan visi dan melaksanakan berbagai program prioritas nasional tersebut merupakan tatangan. Terlebih dengan dana yang sangat terbatas dan permasalahan yang sangat kompleks yang harus mampu mendukung penurunan jumlah penduduk miskin. Pada sisi lain program dan kegiatan yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus senantiasa di up date dalam kerangka pencapaian tujuan yang diharapkan. Salah satu upaya up date tersebut adalah melalui kegiatan kajian kebijakan yang dilakukan oleh SAM Kementerian Sosial RI. Sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2009 Tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Lembaga bahwa Staf Ahli berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri dan secara administratif dikoordinasikan oleh Sekretariat Jenderal dan mempunyai tugas memberikan telaahan kepada Menteri mengenai masalah tertentu sesuai bidang keahliannya. Kementerian Sosial RI, saat ini memiliki lima bidang Staf Ahli, yaitu: 1. Staf Ahli Menteri Bidang Otonomi Daerah 2. Staf Ahli Menteri Bidang Intgerasi Sosial iv | P a g e

3. Staf Ahli menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga 4. Staf Ahli Menteri Bidang Dampak Sosial 5. Staf Ahli Menteri Bidang Potensi Sosial dan Sumber Kesejahteraan Sosial Kegiatan kajian kebijakan SAM Kementerian Sosial RI merupakan kegiatan yang di disain bagi SAM untuk dapat memberikan pemikirannya dalam bentuk rekomendasi kebijakan yang tertuang dalam hasil kajian kebijakan sesuai dengan keahlian bidangnya. Kami yakin dengan apa yang telah dituangkan oleh SAM dan Tim Teknis dalam buku hasil kajian kebijakan, dapat memberikan penguatan bagi Biro Perencanaan dalam merumuskan berbagai kebijakan publik dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Jakarta, November 2011 Kepala Biro Perencanaan

Muman Nuryana, MSc., Ph.D NIP. 19570224 198611 1 002

v|Page

KATA PENGANTAR

Telah kita ketahui bersama bahwa wilayah provinsi-provinsi Indonesia rawan akan terjadinya bencana alam. Hal ini dikarenakan Negara Indonesia ditinjau dari letak geografi, kondisi topografi, keadaan iklim, dinamika bumi, faktor demografi, dan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya, rawan terhadap bencana alam. Dengan demikian kemungkinan terjadinya bencana yang diakibatkan oleh alam maupun karena ulah manusia cukup besar dan setiap saat bisa terjadi tanpa dapat diperkirakan secara tepat waktu, tempat, maupun intensitasnya. Kejadian bencana alam biasanya diikuti dengan timbulnya korban manusia maupun kerugian harta benda. Rusaknya infrastruktur dasar, kerugian ekonomi dan terdapatnya korban manusia akan menyebabkan kerawanan status kesejahteraan sosial pada masyarakat yang terkena bencana dan masyarakat yang berada disekitar daerah bencana. Oleh karena itu, percepatan penanganan bencana alam tidak saja perlu dilakukan pada masa tanggap darurat, dan rehabilitasi, tetapi upaya kesiapsiagaan yang sedini mungkin perlu di lakukan sehingga jumlah korban dan kerugian ekonomi dapat diminimalkan. Salah satu kendala yang sering dijumpai dalam upaya penanggulangan masalah kesejahteraan sosial di daerah bencana adalah keterbatasan Sumber Daya Manusia Kesejahteraan Sosial (SDM Kesejahteraan Sosial) yang dapat difungsikan dalam penanggulangan bencana. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan pemberdayaan dan penyediaan SDM yang memiliki pemahaman terhadap upaya-upaya penanganan kesejahteraan sosial dari masyarakat dan pemerintah sehingga

penyelenggaraan kesejahteraan sosial pada daerah bencana dapat dilakukan secara optimal, khususnya dalam penanganan bencana alam. Pengalaman dalam menangani berbagai kejadian bencana alama, seperti di NADNias, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, Kabupaten Alor (NTT), Kabupaten Nabire (Papua), Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat, Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Bengkulu, serta beberapa wilayah bencana lainnya, termasuk penanganan vi | P a g e

semburan lumpur panas di Sidoarjo, masih mengalami kendala dan tidak tertuntaskan secara baik. Seiring dengan perubahan paradigma penanganan bencana di Indonesia yang telah mengalami pergeseran. Penanganan bencana tidak lagi menekankan pada aspek tanggap darurat, tetapi lebih menekankan pada kesiapsiagaan dan pemahaman terhadap manajemen risiko bencana. Paradigma penanganan bencana tersebut di dukung dengan diterbitkannya berbagai kebijakan dalam bentuk Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2006-2009, yang dilanjutkan dengan menyusun Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2010-2012, serta mengintegrasikan pengurangan risiko bencana kedalam kebijakan dan perencanaan pembangunan, yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sejak tahun 2007. Secara faktual upaya-upaya tersebut masih belum dapat menyelesaikan berbagai isu yang berkembang pada saat tanggap darurat, pasca bencana, dan rehabilitasi. Pada saat kejadian bencana masih sering ditemui berbagai kendala, seperti: (i) kurang berfungsinya mekanisme penanggulangan bencana (formal dan informal) sehingga berdampak terhadap koordinasi dilapangan, (ii) kesenjangan struktural antara pusat dan daerah yang berdampak terhadap kerancuan tupoksi, (iii) kurangnya mobilisasi dan alokasi sumber-sumber, dan (iv) lemahnya sumber daya manusia yang berdampak terhadap profesionalisme penanganan, dan kurang berfungsinya sistem informasi, serta (v) ketidakadaan peralatan dalam penanganan bencana. Dalam rangka melaksanakan mandat Undang-undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang menyatakan bahwa penanggulanan bencana merupakan urusan bersama pemerintah, masyarakat, dunia usaha, organisasi non-pemerintah internasional, serta seluruh pemangku kepentingan lainnya, serta melihat berbagai kendala yang ada. Serta memperhatikan Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial perlu melakukan langkah kebijakan dalam upaya penanganan bencana alam, salah satunya adalah melalui Kebijakan Pelembagaan SDM Kesejahteraan Sosial dalam penanganan bencana alam. Pelembagaan SDM Kesejahteraan Sosial ini penting dan strategis melihat kendala yang dihadapi pemerintah. Pada hal lain Kementerian Sosial memiliki SDM yang vii | P a g e

tersebar di provinsi dan kabupaten/kota dalam bentuk, seperti: Karang Taruna, Pekerja Sosial Masyarakat, Taruna Siaga Bencana, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan, Penyuluh Sosial, dan tenaga relawan sosial lainnya. SDM Kesejahteraan Sosial tersebut berada paling depan dalam penanganan berbagai permasalahan kesejahteraan sosial di daerah. Penguatan Kapasitas SDM Kesejahteraan Sosial Daerah mempunyai arti penting dalam mendorong penanganan bencana alam yang memberikan rasa aman, nyaman dan berkelanjutan dalam kerangka pengurangan resiko bencana dan mempercepat peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat di daerah bencana. Kajian Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga merupakan salah satu dokumen yang memuat rekomendasi terhadap peningkatan peran dan fungsi SDM Kesejahteraan Sosial melakukan penanganan bencana alam. Melalui kajian

PELEMBAGAAN

PENDAYAGUNAAN

SUMBER

DAYA

MANUSIA

KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM PENANGGULANGAN BENCANA ALAM diharapkan dapat memberikan masukan dan input data dalam kerangka peningkatan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial, khususnya dalam penanganan bencana alam.

Jakarta, November 2011 Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga

W i r d a Abdullah NIP. 19540131 197901 2 00119680407

viii | P a g e

DAFTAR ISI

SAMBUTAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENETRIAN SOSIAL i SAMBUTAN KEPALA BIRO PERENCANAAN. iv KATA PENGANTAR. vi DAFTAR ISI ix ABSTRAKSI.. BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan. 1.3 Manfaat.. 1.4 Landasan Hukum 1.5 Perumusan Masalah 1.6 Metode Kajian 1.7 Teknik Pengumpulan Data 1.8 Batasan Operasional.. 1.9 Sistematika Penulisan. PERMASALAHAN, PERAN DAN PELEMBAGAAN SDM KESEJAHTERAAN SOSIAL.. 2.1 Permasalahan Kesejahteraan Sosial Akibat Bencana 2.2 Peran SDM Kesejahteraan Sosial Dalam Penanganan Bencana Alam 2.3 Pelembagaan SDM Kesejahteraan Sosial dalam Penanganan Bencana Alam.. 2.4 Kerangka Pemikiran. EVALUASI KEBIJAKAN 3.1 Kebijakan Penanganan Bencana Alam.. 3.2 Data Penaganan Bencana Alam di Daerah. 3.3 Analisa Terhadap Kebijakan Penanganan Bencana Alam 3.4 Evaluasi Implementasi Sistem Penanggulangan Bencana 3.5 Temuan Hasil Kunjungan Lapangan.. ALTERNATIF KEBIJAKAN.. 4.1 Alternatif I 4.2 Alternatif II.. 4.3 Alternatif III xii 1 1 3 4 4 5 6 7 7 8

BAB II

10 10 12 15 16 17 17 19 26 29 31 35 35 37 38 ix | P a g e

BAB III

BAB IV

BAB V

REKOMENDASI KEBIJAKAN.. 5.1 Kebijakan yang Diusulkan.. 5.2 Komponen Kebijakan. PENUTUP. 6.1 Kesimpulan 6.2 Saran..

40 40 44 51 51 53 55

BAB VI

Daftar Pustaka

x|Page

TIM PENYUSUN
ANALISIS PENGEMBANGAN KEBIJAKAN KELEMBAGAAN LINGKUP STAF AHLI MENTERI SOSIAL RI BIDANG HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NARA SUMBER : DR. Chazali H Situmorang, Apt., M.Sc., PH Dra. Sahawiah Abdullah, M.Si Mu`man Nuryana ,M.Sc.,Ph.D PENYUSUN : Dra. Wirda Abdullah Dr. Firdaus Syam DR. Imron Rosadi, S.Sos., M.Si Drs. Ahmad Juhari, MP Drs. Ahmad Shobirin, M.Si Cecep Sulaeman, SST., M.Si Wiwit Widiansyah, SST., M.Si Dra. Mulya Astuti Dra.Irna Kurniasih Drs. Sutaat Drs. Tommy Cahyo Utomo Siti Mitmainah,SST Nenden Tasbihat, S.Ag Arimbi NS.,SE Satria Pinandita Rusmanto

xi | P a g e

ABSTARAKSI

Sumber daya manusia atau biasa disingkat menjadi SDM merupakan potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan. Dalam pengertian praktis sehari-hari, SDM lebih dimengerti sebagai bagian integral dari sistem yang membentuk suatu organisasi. Dewasa ini, perkembangan terbaru memandang SDM bukan sebagai sumber daya belaka, melainkan lebih berupa modal atau aset bagi institusi atau organisasi. Karena itu kemudian muncullah istilah baru di luar H.R. atau Human Resources, yaitu H.C. atau Human Capital. Di sini SDM dilihat bukan sekedar sebagai aset utama, tetapi aset yang bernilai dan dapat dilipatgandakan, dikembangkan (bandingkan dengan portfolio investasi) dan juga bukan sebaliknya sebagai liability (beban,cost). Di sini perspektif SDM sebagai investasi bagi institusi atau organisasi lebih mengemuka. Dalam pembangunan penyelenggaraan kesejahteraan sosial SDM dikenal dengan sumber daya manusia kesejahteraan sosial. SDM tersebut dalam UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial telah disebutkan dengan jelas bahwa SDM Kesejahteraan Sosial mencakup; (i) tenaga kesejahteraan sosial, (ii) pekerja sosial profesional, (iii) penyuluh sosial, dan (iv) relawan sosial. Keberadaan SDM tersebut sangat strategis dalam mendukung pembangunan penyelenggaraan kesejahteraan sosial, khususnya dalam penanganan kasus kejadian bencana alam. Permasalahannya pada setiap kasus kejadian bencana alam, penyelenggaraan kesejahteraan sosial sering menjadi bagian yang terlambat bila dibandingkan dengan SDM lain. Dampaknya tidak hanya menyulitkan Kementerian Sosial dalam memberikan pelayanan sosial yang dibutuhkan, lebih dari itu memperlihatkan kinerja Kementerian yang tidak kondusif dalam mensikapi dinamika kejadian bencana alam. Staf ahli menteri (SAM) hubungan antar lembaga (HAL) Kementerian Sosial melalui kajian kebijakan PELEMBAGAAN PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA MANUSIA KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM PENANGGULANGAN xii | P a g e

BENCANA ALAM, diharapkan dapat memberikan masukan bagi Kementerian Sosial dalam mensikapi berbagai dinamika SDM Kesejahteraan Sosial. Dengan demikian SDM Kesejahteraan Sosial menjadi asset dan bagian strategis penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam penanganan kasus kejadian bencana alam. Salah satu upaya menjadikan SDM Kesejahteraan Sosial menjadi asset penting dan strategis adalah melalui PENYUSUNAN PEDOMAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM PENANGGULANGAN BENCANA. Rekomendasi ini berdasarkan analisa SWOPA merupakan prioritas pertama dari tiga priroitas yang disusulkan dalam rekomendasi kebijakan yang diusulkan. Cakupan rekomendasi ini meliputi; (i) perlu disusun dilakukan inventarisasi permasalahan dan potensi institusiinstitusi sosial dan SDM Kesejahteraan Sosial di daerah sebagai dokumen dasar penyusunan Pedoman Manajemen SDM Kesejahteraan Sosial Dalam Penanggulangan Bencana, (ii) perlunya dilakukan kajian khusus yang lebih mendalam tentang kebutuhan, masalah, dan potensi SDM Kesejaheraan Sosial dalam penanggulangan bencana baik di pusat maupun didaerah, (iii) perlu disusun grand desain pendayagunaan SDM Kesejahteraan Sosial di lingkungan Kementerian Sosial sebagai blue print bagi upaya penyusunan Pedoman Manajemen SDM Kesejahteraan Sosial Dalam Penanggulangan Bencana, (iv) perlu disusun Peraturan Menteri Sosial tentang Pendayagunaan SDM Kesejahteraan Sosial Dalam Penanggulangan Bencana, yang mencakup ketentuan umum dan ketentuan pelaksanaan program yang mengandung 5 komponen program, yaitu; konsep, strategi, sistem komunikasi dan informasi, supervisi, dan monitoring evaluasi. Kata Kunci: SDM, Pembangunan Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, Human Resource, Human Capital, Asset, Integratif, Strategis.

xiii | P a g e

I.

PENDAHULIAN

1.1.

Latar Belakang Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan bencana, salah satunya adalah yang disebabkan oleh kejadian alam seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor, letusan gunung berapi, banjir, angin putting beliung dan kekeringan. Kejadian bencana alam tersebut terjadi akibat peristiwa alam maupun yang disebabkan oleh ulah manusia dalam pengelolaan sumber daya dan lingkungan (contohnya kebakaran hutan, pencemaran lingkungan, kecelakaan transportasi, dan kecelakaan industri). Kejadian bencana alam umumnya berdampak merugikan. Rusaknya sarana dan prasarana fisik (perumahan penduduk, bangunan perkantoran, sekolah, tempat ibadah, sarana jalan, jembatan dan lain-lain sarana pelayanan publik) hanyalah sebagian kecil dari dampak terjadinya bencana alam disamping masalah turunnya kualitas kesejahteraan sosial masyarakat akibat luka dan kehilangan harta benda serta hilangnya lahan produktif masyarakat. Bencana alam dapat pula mengakibatkan arus pengungsian penduduk ke lokasi-lokasi yang dianggap aman. Hal ini tentunya dapat menimbulkan masalah kesejahteraan sosial baru (new soscial welfare issues) di wilayah yang menjadi tempat penampungan pengungsi. Kerentanan dan kerawanan sosial akan muncul mulai dari kasus pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan dan masalah pekerjaan, perawatan keluarga, anak dan lanjut usia. Apabila kondisi ini berlanjut terus menerus akan terakumulasi dan menjadi permasalahan kesejahteraan sosial yang kompleks yang berbentuk konflik sosial dan/ atau permasalahan kemanusian (HAM). Upaya penanggulangan masalah kesejahteraan sosial akibat bencana alam merupakan rangkaian kegiatan yang dimulai sejak sebelum terjadinya bencana yang dilakukan melalui kegiatan pencegahan, mitigasi (pelunakan/penjinakan dampak) dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana alam. Kegiatan yang dilakukan pada

saat terjadi bencana berupa kegiatan tanggap darurat sementara pada saat setelah terjadi bencana alam berupa kegiatan pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk itu, tenaga penanggulangan masalah kesejahteraan sosial akibat bencana alam harus memiliki suatu pemahaman terhadap permasalahan bencana dan penyelesaian secara komprehensif, serta terkoordinasi secara lintas program maupun lintas sektor. Karena bencana alam merupakan suatu kejadian yang tidak diinginkan dan biasanya terjadi secara mendadak serta menimbulkan jatuhnya korban, dan penurunan kualitas kesejahteraan sosial masyarakat. Kejadian ini bila tidak ditangani secara cepat dan tepat dapat menghambat, mengganggu serta menimbulkan kerugian bagi kehidupan masyarakat. Salah satu kendala yang sering dijumpai dalam upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial di daerah bencana alam adalah kurangnya sumber daya manusia (SDM) Kesejahteraan Sosial yang dapat difungsikan dalam penanganan bencana alam. Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial pada saat bencana alam merupakan faktor yang sangat penting untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas kesejahteraan sosial yang lebih parah dan berkelanjutan pada masyarakat pascabencana. Pengalaman pada saat terjadi bencana gempa dan tsunami di NAD dan Nias Sumatera Utara pada 26 Desember 2004 menunjukkan kurangnya SDM Kesejahteraan Sosial, sehingga dibutuhkan SDM asing (NGO dan relawan sosial) yang mampu menyelenggarakan kesejahteraan sosial dengan kualifikasi social worker yang memiliki standar dan sertifikasi. SDM Kesejahteraan Sosial, merujuk pada UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial Pasal 33 mencakup (i) Tenaga Kesejahteraan Sosial, (ii) Pekerja Sosial Profesional, (iii) Relawan Sosial, dan (iv) Penyuluh Sosial. Dalam konteks kajian kebijakan ini lebih menekankan pada Tenaga Kesejahteraan Sosial, seperti: Karang Taruna, Pekerja Sosial Masyarakat, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan, Penyuluh Sosial, dan Taruna Siaga Bencana, serta relawan sosial lainnya, seakan tidak ada dan hilang dalam krisis kemanusiaan yang menurunkan derajat kesejahteraan sosial masyarakat di daerah bencana. Demikian pula pada kejadian bencana alam di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, 2|Page

Tasikmalaya Jawa Barat, Waisor Papua Barat, Padang dan Mentawai di Sumatera Barat dan beberapa daerah bencana lainnya. SDM Kesejahteraan Sosial menjadi tidak bermakna pada saat keajadian bencana alam terjadi, yang muncul adalah SDM Kesehatan dan SDM pemangku kepentingan lainnya yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di daerah bencana, seperti PMI dan relawan lainnya. Bahkan, taruna siaga bencana yang dipersiapkan untuk melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di daerah bencana peran dan keberadaannya masih terbatas, bersifat praktis serta cenderung kurang memahami paradigma penanganan bencana secara profesional dan lemah terhadap konsep manajemen resiko bencana. Oleh karena itu, mengingat kompleksnya permasalahan kesejahteraan sosial yang ada pada saat kejadian bencana alam, maka dipandang perlu melihat kembali kebijakan Kementerian Sosial dalam pembinaan dan penguatan kapasitas SDM Kesejahteraan Sosial di daerah, khusunya pada wilayah-wilayah rawan bencana alam. Pemanfaatan taruna siaga bencana sebagai salah satu SDM Kesejahteraan Sosial bukan merupakan langkah bijaksana ditengah tingginya itensitas kejadian bencana alam dan bergesernya paradigma penanganan bencana dari tanggap darurat menjadi pengurangan resiko bencana. Dengan demikian SDM Kesejahteraan Sosial tidak hanya menjadi akses bagi masyarakat yang menjadi korban tetapi juga menjadi sumber-sumber strategis dalam upaya pengurangan resiko bencana alam.

1.2

Tujuan Tujuan kajian pelembagaan pendayagunaan SDM kesejahteraan sosial dalam penanggulangan bencana alam, adalah untuk: 1.2.1 Mengetahui Arah kebijakan penanggulangan bencana alam dan

implementasinya di daerah; 1.2.2 Mengembangkan pola pelembagaan pendayagunaan SDM Kesejahteraan Sosial dalam penanggulangan bencana alam;

3|Page

1.2.3 Meningkatkan Pola pengembangan koordinasi dan sinkronisasi antara lembaga pemerintah (kementerian sosial, dinas / instansi sosial provinsi,

kabupaten/kota) dan masyarakat dalam penanggulangan bencana alam. 1.2.4 Mengetahui aspirasi masyarakat terhadap pelembagaan pendayagunaan SDM kesejahteraan sosial dalam penanggulangan bencana alam yang cepat, tepat dan akuntabel.

1.3

Manfaat Manfaat kajian adalah sebagai bahan masukan bagi Kementerian Sosial terkait dengan pelembagaan pendayagunaan SDM kesejahteraan sosial dalam

penanggulangan bencana alam di daerah yang dititikberatkan pada : 1.3.1 Pola penataan kelembagaan pengorganisasian pendayagunaan SDM

Kesejahteraan Sosial oleh pemerintah pusat dan daerah yang efisien dan efektif yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam kerangka penanggulangan bencana alam yang cepat, tepat, dan akuntabel. 1.3.2 Pengembangan sistem, mekanisme pendayagunaan dan mobilisasi SDM Kesejahteraan Sosial yang mendukung peningkatan sistem penanggulangan bencana alam.

1.4

Landasan Hukum 1.4.1 UUD 1945 1.4.2 Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 1.4.3 Undang Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanganan Bencana 1.4.4 Undang Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial 1.4.5 Keputusan Menteri Sosial RI No. 10/HUK/2010 tentang Rencana Strategis 2010-2014 Kementerian Sosial.

4|Page

1.5

Perumusan Masalah 1.5.1 Tingginya kejadian bencana gempa bumi yang terjadi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, bencana baru terus terjadi, sementara resiko timbulnya korban dan kerusakan yang cukup masif masih menjadi keprihatinan bersama. 1.5.2 Kekurang-sigapan pemerintah dalam menangani dampak yang ditimbulkan oleh bencana. 1.5.3 Kurang adanya kebijakan pemerintah yang terintegrasi dan lemahnya koordinasi antar Kementerian / Lembaga dianggap sebagai beberapa penyebab yang memungkinkan hal itu dapat terjadi. 1.5.4 Lama dan rumitnya bantuan untuk korban bencana datang ke lokasi bencana karena manajemen penanggulangan bencana oleh pemerintah dalam

penanganan tanggap darurat bencana serta belum sinergi dengan upaya masyarakat di daerah bencana. 1.5.5 Masih terbatasnya tenaga / SDM Kesejahteraan Sosial yang memiliki kesiapsiagaan bencana alam di diaerah, sehingga masih mengandalkan tenaga dengan keahlian tertentu dan bantuan dari pemerintah pusat. 1.5.6 Sistem mobilisasi sumber daya manusia yang masih sentralistis dan belum menjalannya desentralisasi sehingga dengan otonomi, daerah belum benarbenar dapat menangani dengan cepat setiap kejadian bencana alam. Memperhatikan beberapa kendala dan permasalahan tersebut di atas, maka masalah kajian pelembagaan pendayagunaan SDM kesejahteraan sosial dalam penanggulangan bencana alam, adalah: 1.5.1 Bagaimanakah arah kebijakan Kementerian Sosial terkait pendayagunaan dan mobilisasi SDM Kesejahteraan Sosial dalam penanggulangan bencana alam dan implementasinya di daerah ? 1.5.2 Bagaimanakah pola pelembagaan pendayagunaan SDM Kesejahteraan Sosial dalam penanggulangan bencana alam ?

5|Page

1.5.3 Bagaimanakah koordinasi SDM kesejahteraan sosial dalam penanganan bencana alam ? 1.5.4 Bagaimankaha aspirasi pemerintah dan masyarakat terhadap penanggulangan bencana alam ke depan, khususnya pelembagaan pendayagunaan SDM kesejahteraan sosial dalam pengurangan resiko bencana alam ?

1.6

Metode Kajian 1.6.1 Model Kajian Model kajian adalah kajian evaluatif-kuantitatif, yaitu mencoba menjelaskan hubungan-hubungan yang terjadi antara kebijakan yang ada dengan implementasinya berdasarkan data dan fakta. Substansi kajian diarahkan pada: 1.6.1.1 Kajian evaluasi atas sinkronisasi kebijakan penanganan bencana alam; 1.6.1.2 Kajian evaluasi terhadap peran SDM Kesejahteraan Sosial dalam penanganan bencana alam di daerah bencana pada saat kejadian bencana dan pasca bencana. 1.6.2 Sumber Data Sumber data yang dibutuhkan untuk analisis terhadap aspek-aspek yang dijadikan pokok bahasan adalah : 1.6.2.1 Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung dan data hasil FGD. 1.6.2.2 Sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil studi literatur, dokumen perundang-undangan yang melandasi kebijakan penanganan bencana alam (Pusat dan Daerah), dokumen kebijakan, laporan-laporan dan bahan-bahan lain yang relevan dengan materi kajian.

6|Page

1.7

Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam kajian yaitu : 1.7.1 Teknik wawancara (Interview), yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi dari informai di lokasi kajian dengan cara melakukan tanya jawab langsung dan FGD dengan pihak-pihak yang berkompeten dalam upaya penanganan bencana alam. Alat ukur digunakan untuk melakukan pengumpulan data adalah pedoman wawancara dan panduan FGD. 1.7.2 Teknik observasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati langsung kondisi yang ada di lapangan, dengan tujuan untuk memperoleh gambaran mengenai upaya penanganan bencana alam. 1.7.3 Teknik studi dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mempelajari berbagai arsip, catatan, dokumen, rencana operasional / petunjuk operasional program, laporan bulanan dan tahunan, data-data geografis dan demografis lokasi studi serta hasil penelitian/kajian sebelumnya.

1.8

Batasan Operasional 1.8.1 Pelembagaan (Institusionaliztion) SDM Proses internalisasi sistem kelembagaan sosial pendayagunaan SDM kesejahteraan sosial dalam penanggulangan bencana alam, yang benar-benar dipahami dan dilaksanakan sehingga dapat membantu masyarakat dalam pelaksanaan penanggulangan bencana baik melalui sosialisasi, penyuluhan maupun pendidikan dan pelatihan. 1.8.2 Pendayagunaan SDM Perubahan pada diri SDM kesejahteraan sosial dari tidak mampu menjadi mampu, dari tidak memiliki kewenangan menjadi memiliki kewenangan, dari

7|Page

tidak mampu untuk bertanggung jawab menjadi memiliki tanggung jawab dalam penanggulangan bencana alam. 1.8.3 Sumber Daya Manusia (SDM) Kesejahteraan Sosial Segenap potensi manusia yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial dalam bidang penanggulangan bencana alam yang terdiri dari: Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial (Tagana, Karang Taruna, Pekerja Sosial Masyarakat, Organisasi Sosial, Tenaga, Kesejahteraan Sosial

Kecamatan), Penyuluh Sosial, Relawan Sosial 1.8.4 Penanggulangan Bencana Alam Upaya yang terpadu, terintegrasi, dan berkelanjutan baik sebelum, saat, dan setelah terjadinya bencana untuk mengurangi resiko kerugian dan korban jiwa akibat terjadinya bencana alam. 1.8.5 Bencana Alam Adalah kasus kejadian yang datang secara tiba-tiba yang menimbulkan kerugian materi dan korban jiwa masif yang disebabkan oleh peristiwa alam, seperti gempa bumi, gunung meletus, Stunami, Angin Topan/Putting Beliung, Banjir, Tanah Longsor, dan kebakaran hutan. 1.8.6 Integrasi Proses menyatunya pemahaman peran tenaga kesejahteraan sosial dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam mewujudkan rasa aman dan nyaman pada saat kejadian bencana berdasarkan tugas dan fungsi serta

tanggungjawabnya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial di daerah.

8|Page

1.9

Sistematika Penulisan Hasil analisis kajian ini diuraikan melalui sistematika penulisan sebagai berikut : Bab I PENDAHULUAN, yang menyajikan latar belakang, tujuan, manfaat, landasan hukum, perumusan masalah, metode kajian, batasan operasional, dan sistematika penulisan. Bab II PERMASALAHAN, KESEJAHTERAAN PERAN SOSIAL, DAN yang PELEMBAGAAN terdiri dari SDM

permasalahan

kesejahteraan sosial di daerah bencana, peran SDM Kesejahteraan Sosial dalam penanganan bencana alam, dan pelembagaan SDM Kesejahteraan Sosial dalam penanganan bencana alam yang intergatif, serta kerangka pemikiran. Bab III EVALUASI KEBIJAKAN, menguraikan tentang kebijakan penanganan bencana alam, data penanganan bencana alam di daerah dan analisis kebijakan penanganan bencana alam di daerah Bab IV ALTERNATIF KEBIJAKAN, yaitu berupa kriteria pemilihan alternatif kebijakan, baik bersifat kualitatif, maupun kuantitatif, serta pilihan-pilihan kebijakan sesuai dengan kondisi lapangan. Bab V REKOMENDASI KEBIJAKAN PRIORITAS, yang memuat kebijkan yang diusulkan, serta komponen kebijakan yang terdiri dari tujuan, sasaran, strategi, komponen program, kelembagaan, dan indikator kebijakan. Bab VI PENUTUP, yang memuat tentang harapan dari pembuatan laporan analisis kajian.

9|Page

II. PERMASALAHAN, PERAN DAN PELEMBAGAAN SDM KESEJAHTERAAN SOSIAL

2.1

Permasalahan Kesejahteraan Sosial Akibat Bencana Permasalahan kesejahteraan sosial (masalah sosial) dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi yang tidak mengenakan dan dirasakan oleh orang banyak (masyarakat). Menurut UU No 11 Tahun 2009 permasalahan kesejahteraan sosial terjadi akibat adanya ketidak sesuaiaan gap antara kebutuhan dan harapan yang berdampak terhadap derajat kesejahteraan sosial masyarakat. Masalah kesejahteraan sosial pada kejadian bencana alam dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu sebagai akibat langsung dan akibat tidak langsung. Akibat langsung merupakan dampak primer yang dialami korban di

daerah bencana pada saat bencana terjadi dan berdampak langsung terhadap penurunan kesejahteraan sosial. Kasus-kasus yang sering terjadi, antara lain: 2.1.1 Hilangnya harta benda Hilangnya harta benda terjadi akibat rusaknya tempat tinggal sebagai dampak langsung dari kejadian bencana alam. Pada umumnya hilangnya harta benda terjadi apabila kejadian bencana alam terjadi secara masif dan disusul oleh kejadian bencana alam lainnya seperti gempa bumi yang diikuti oleh tsunami, banjir bandang yang disertai tanah longsor dan gunung meletus yang diikuti oleh gelombang awan panas dan/atau gempa tektonik. Hilangnya harta benda secara masif mengakibatkan masyarakat menjadi tidak berdaya dan berada pada kondisi yang sangat rentan. 2.1.2 Terhentinya (sementara/seterusnya) aktivitas produksi Gangguan penghasilan terjadi akibat aktivitas produksi terhenti yang disebabkan oleh pencari nafkah utama meninggal dunia, sakit, dan cacat permanen atau hilangnya tempat aktivitas produksi yang dimiliki masyarakat di daerah bencana. Hilangnya pendapatan masyarakat akan berdampak terhadap kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Tidak adanya pendapatan pengganti 10 | P a g e

berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat mempertahankan derajat kesejahteraan sosial. 2.1.3 Tidak berfungsinya lembaga pelayanan publik Tidak berfungsinya lembaga pelayanan publik seperti kelembagaan pemerintahan, rumah sakit, sekolah, dan kelembagaan sosial pengganti keluarga berdampak signifikan terhadap penurunan derajat kesejahteraan sosial masyarakat. Pada saat kelembagaan keluarga inti tidak berfungsi dan kelembagaan penggati tidak tersedia mengakibatkan masyarakat renatan terhadap permasalahan kesejahteraan sosial. 2.1.4 Disintergasi keluarga Kematian, kehilangan, dan kecacatan salah satu anggota keluarga atau seluruhnya berdampak terhadap kestabilan dan keutuhan keluarga. Pada kondsisi seperti ini kelembagaan sosial dan relawan harus dapat melakukan peran-peran pengganti keluarga untuk membantu anggota keluarga yang masih ada dan merehabilitasi anggota keluarga yang cacat. Ketidak tersediaan peranperan tersebut dan lemahnya kelembagaan sosial pengganti di masyarakat dapat memperburuk keluerga di daerah bencana. Selanjutnya akibat tidak langsung merupakan dampak yang dialami korban/masyarakat pada saat terjadinya pengusian atau tinggal di tenda-tenda penampungan (huntara). Masalah kesejahteraan sosial yang terjadi, antara lain: 2.1.1 Hilangnya rasa aman dan nyaman masyarakat Tinggal di daerah penampungan atau tenda-tenda penampungan dalam jangka waktu yang relatif lama berpengaruh terhadap hak individu dan masyarakat untuk memperoleh rasa aman dan nyaman. Kondisi ini bila tidak tertangani akan berdampak terhadap pola perilaku masyarakat dan

kerharmonisan antara anggota masyarakat yang tinggal di penampungan bahkan dengan masyarakat lainnya yang tinggal di daerah yang menjadi tempat penampungan pengungsi.

11 | P a g e

2.1.2 Ketidakpastian masa depan Hilangnya pencari nafkah utama dan hilangnya lahan produksi masyarakat pada daerah bencana berdampak terhadap ketidakpastian masa depan masyarakat korban bencana. Kondisi ini dapat berpengaruh terhadap upaya-upaya pemerintah dan masyarakat untuk merehabilitasi korban bencana dan membangun kembali kepercayaan masyarakat melalui pemberdayaan dan kelembagaan. 2.1.3 Hilangnya hak masyarakat untuk hidup sejahtera Kejadian bencana alam yang berdampak terhadap kehilangan harta benda dan korban jiwa serta pendapatan masyarakat (semantara/permanen) berpengaruh terhadap hak masyarakat untuk dapat hidup sejahtera. Kondisi ini akan berdampak buruk apabila upaya pemenuhan kebutuhan dasar melalui bantuan sosial tidak didukung upaya-upaya merehabilitasi sikap dan mental korban bencana serta upaya-upaya pemberdayaan yang terintegrasi.

2.2

Peran SDM Kesejahteraan Sosial dalam Penanganan Bencana Alam SDM Kesejahteraan Sosial yang tersebar di daerah provinsi hingga daerah kabupaten/kota dan desa merupakan sumber dan potensi yang strategis yang apabila didayagunakan dapat menjadi barisan terdepan Kementerian Sosial dalam penanganan bencana alam. Sulit dijangkaunya daerah bencana dan lambatnya respon pemerintah dalam penanganan tanggap darurat, dan pasca bencana serta terbatasnya dana dan peralatan penanganan bencana alam, merupakan pintu masuk dalam mengoptimalkan SDM Kesejahteraan Sosial. Peran SDM Kesejahteraan Sosial menjadi penting untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial di daerah bencana, yang pada saat kejadian bencana, pasca bencana dan tanggap darurat menjadi faktor penting mengurangi resiko korban bencana yang meninggal dunia dan luka-luka. Hal ini memungkinkan karena pada saat kejadian bencana infrastruktur dasar dan sarana pelayanan publik menjadi rusak

12 | P a g e

dan tidak berfungsi. Hanya sentuhan relawan dan masyarakat sekitar yang dekat daerah bencana alam yang dapat mengurangi meningkatnya jumlah korban bencana. Permasalahannya, apakah SDM Kesejahteraan Sosial seperti Karang Taruna, Pekerja Sosial Masyarakat, Penyuluh Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan, Taruna Siaga Bencana dan relawan sosial lainnya yang dekat dengan masyarakat dan berada ditengah-tengah korban bencana memiliki keahlian dalam upaya-upaya penanganan bencana dan memahami manajemen resiko bencana alam? Disamping permasalahan peralatan penanganan bencana, permasalahan koordinasi antar SDM Kesejahteraan Sosial juga menjadi hal penting yang perlu diperhatikan pada setiap kejadian bencana alam terjadi. Data dan informasi lapangan menunjukan bahwa pada saat kejadian bencana alam, kendala SDM Kesejahteraan Sosial adalah masalah koordinasi dan ketidaktahuan dalam manajemen penanganan bencana. Taruna siaga bencana yang dipersiapkan Kementerian Sosial untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial di daerah bencana, juga dihadapi permasalahan yang sama, yaitu masalah: (i) koordinasi, (ii) lemahnya/ kurang berfungsinya mekanisme penanggulangan bencana, (iii) kesenjangan structural antara pusat dan daerah, dan (iv) kurangnya pemahaman tupoksi. Kasus kejadian meninggalnya anggota taruna siaga bencana di daerah bencana menunjukan bahwa profesionalisme dan penguasaan manajemen resiko bencana juga menjadi kunci keberhasilan SDM Kesejahteraan Sosial dalam penanganan bencana alam. Meskipun SDM Kesejahteraan Sosial seperti taruna siaga bencana pada beberapa daerah bencana telah dapat berperan dalam penanggulangan bencana alam, namun secara umum keberadaan SDM Kesejahteraan Sosial belum berperan secara optimal dalam upaya-upaya penanganan bencana alam dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di daerah bencana. Kondisi ini harus secepatnya diperbaiki dan ditingkatkan kapasitasnya yang tidak hanya taruna siaga bencana tetapi juga SDM Kesejahteraan Sosial lainnya, mengingat kecenderungan bencana alam dalam jangka panjang di Indonesia masih relatif tinggi. Berdasarkan data EM-DAT Basis Data

13 | P a g e

Bencana Internasional, bencana yang sering muncul adalah; (i) banjir, (ii) longsor, (iii) gempa bumi, dan (iv) tsunami. Memperhatikan UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, maka peran SDM Kesejahteraan Sosial dalam penanganan bencan alam pada saat kejadian bencana dan tanggap darurat, antara lain; 2.2.1 Mengkondisikan tempat penampungan sementara Menentukan tempat penampungan bagi korban bencana merupakan upaya penting dalam setiap penanganan bencana. Peran ini dapat dilakukan apabila SDM Kesejahteraan Sosial memiliki pemahaman dan pengetahuan membaca peta rawan bencana dan jalur evakuasi penanganan bencana. 2.2.2 Menyediakan data korban Data korban merupakan informasi berharga bagi outsider untuk melakukan berbagai langkah tindakan penanganan bencana alam. Keakuratan jumlah korban hidup dan meninggal serta keberadaan korban, akan mengurangi meningkatnya jumlah korban meninggal atau luka-luka. Oleh karena itu kemampuan melakukan pendataan korban perlu didukung oleh keterampilan dan kemampuan menggunakan berbagai media komunikasi. 2.2.3 Melakukan koordinasi penyediaan kebutuhan bagi korban Menyiapakan berbagai kebutuhan bagi korban bencana alam, tidak hanya sebatas pada penyediaan dapur umum. Kebutuhan kebutuhan spesifik laki-laki dan perempuan serta balita menjadi bagian penting dalam upaya mengurangi meningkatnya jumlah korban. Kebutuhan lain yang juga sangat diperlukan adalah sarana air bersih dan keperluan mandi cuci dan kakus (MCK). Berbagai kebutuhan tersebut memerlukan pemahaman dan

kemampuan melihat situasi serta mengkoordinasikan dengan para pihak terkait.

14 | P a g e

2.2.4

Memberikan pelayanan psikososial Peran yang sangat penting bagi SDM Kesejahteraan Sosial dan memerlukan keahlian khusus adalah pelayanan psikososial. Peran ini sangat diperlukan mengingat banyak korban bencana alam yang umumnya mengalami trauma dan menghadapi kasus-kasus gangguan stress.

2.2.5

Melakukan kegiatan evakuasi bagi korban bencana Melakukan pertolongan dan mengevakuasi korban adalah dua hal yang berbeda tapi dapat dilakukan bersama-sama. Inti dari tindakan ini

adalah upaya menyelamatkan korban dengan menghindari tempat/daerah yang dapat menimbulkan kerugian bagi korban bencana. Namun demikian, tindakan yang ceroboh dapat menimbulkan akibat kematian/kecacatan tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi SDM Kesejahteraan Sosial. Kasus relawan tagana pada kejadian bencana gunung merapi adalah salah satu bukti lemahnya pengatahuan dan pemahaman SDM Kesejahteraan Sosial dalam melakukan tindakan evakuasi korban bencana.

2.3

Pelembagaan SDM Kesejahteraan Sosial dalam Penanganan Bencana Alam. Pertanyaan yang perlu tim sampaikan adalah, perlukah pelembagaan SDM Kesejahteraan Sosial dalam penanganan bencana alam? Pelembagaan bagaimana yang seharusnya dibangun dan dikembangkan? Bagian tulisan ini menjadi penting untuk menjawab permasalahan kajian dan rekomendasi yang diusulkan terkait dengan kajian yang dilaksanakan. Oleh karena itu, tim tidak dapat menguraikan dalam tulisan sebelum memberikan penjelasan pada bagian III. Namun demikian secara substansi, konsep pelembagaan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah proses internalisasi sistem kelembagaan sosial

pendayagunaan SDM kesejahteraan sosial yang terpadu dalam penanggulangan bencana alam, yang benar-benar dipahami dan dilaksanakan sehingga dapat membantu masyarakat dalam pelaksanaan penanggulangan bencana alam baik melalui sosialisasi, penyuluhan maupun pendidikan dan pelatihan. 15 | P a g e

Konsep pelembagaan digunakan untuk memberikan penekanan bahwa SDM Kesejahteraan Sosial merupakan elemen penting dalam penyelenggaraan

kesejahteraan sosial di daerah-daerah rawan yang memiliki kelompok penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) relatif tinggi serta daerah karena kondisi tertentu rawan terhadap kejadian bencana alam.Dengan demikian, penguasaan penanganan bencana dan manajemen resiko bencana menjadi penting dan mutlak dimiliki oleh setiap SDM Kesejahteraan Sosial. Ide dasarnya adalah agar SDM Kesejahteraan Sosial memiliki keahlian dan keterampilan yang memadai, terstandar, tersertifikasi untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial serta memiliki kemampuan membangun koordinasi sesuai dengan konsep manajemen resiko bencana pada saat bencana terjadi daerah mereka. Oleh karena itu, menjadikan SDM Kesejahteraan Sosial mampu melakukan penanggualangan bencana alam perlu didukung melalui sistem pelembagaan yang dapat mewujudkan aktualisasi peran dalam masyarakat.

2.4

Kerangka Pemikiran
KERANGKA PIKIR KAJIAN PELEMBAGAAN PENDAYAGUNAAN SDM KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM KERANGKA PIKIR KAJIAN PELEMBAGAAN PENDAYAGUNAAN SDM KESSOS DALAM PENANGGGUUANGAN BENCANA ALAM
PENANGGULANGAN BENCANA
KONDISI DAN PERMASALAHAN KEBENCANAAN 1. Kondisi Geografis 2. Daerah Rawan Bencana 3. Dampak Bencana 4. Tingginya Korban Bencana 5. Kelemahan Sistem PB 6. Keterbatasan SDM

PAKET KEBIJAKAN PB 1. UU 24/2007 (Penanggulangan Bencana) 2. UU 11/2009 (Kesejahteraan Sosial)

PEMERINTAH

PERANGKAT PELAKSANA PENANGGULANGAN BENCANA


PP 21 / 2008 (PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA)

PUSAT

DAERAH

PEMANTAUAN INFORMASI & KOMUNIKASI KEGIATAN PENGENDALIAN PENILAIAN RESIKO LINGKUNGAN PENGENDALIAN

Proses Terintegrasi dan Terinternalisasi

A. TAHAP PRA BENCANA 1. Situasi Tidak Terjadi Bencana (Perencanaan, Pencegahan, Diklat dsb) 2. Situasi Terdapat Potensi Bencana (Kesiapsiagaan, Peringatan Dini, Mitigasi Bencana) B. TAHAP TANGGAP DARURAT 1. Assesmen (Lokasi, Kerusakan, Sumber Daya) 2. Penentuan Ststus Bencana) 3. Penyelematan dan Evakuasi Masyarakat 4. Pemenuhan Kebutuhan Dasar 5. Perlindungan Kelompok Rentan 6. Pemulihan sdegera Sarpras Vital C. TAHAP PASCA BENCANA 1. Rehabilitasi 2. Rekonstruksi

UMPAN BALIK KEBIJAKAN

SDM KESSOS MASYARAKAT


(Peksos, TKS, Penyuluh Sosial, Relawan Sosial)

16 | P a g e

III. EVALUASI KEBIJAKAN

3.1. Kebijakan Penanganan Bencana Alam Seiring dengan perubahan paradigma penanganan bencana di Indonesia yang telah mengalami pergeseran, yaitu penanganan bencana tidak lagi menekankan pada aspek tanggap darurat, tetapi lebih menekankan pada kesiapsiagaan dan pemahaman terhadap manajemen risiko bencana. Paradigma penanganan bencana tersebut di dukung dengan diterbitkannya berbagai kebijakan dalam bentuk Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2006-2009, yang dilanjutkan dengan menyusun Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2010-2012, serta mengintegrasikan pengurangan risiko bencana kedalam kebijakan dan perencanaan pembangunan, yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sejak tahun 2007. Lebih jauh lagi, sebagai kerangka hukum penanganan bencana dan pengurangan risiko bencana, telah dikeluarkan Undang-undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanganan Bencana serta 3 buah peraturan turunannya, yaitu: (1) Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana; (2) Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana; (3) Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-pemerintah dalam Penanggulangan Bencana. Selanjutnya untuk mengatur kelembagaan penanggulangan bencana ditingkat pusat dan daerah telah ditetapkan dengan Peraturan Presiden No.8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana, serta Permendagri No.46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No.3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

17 | P a g e

Dalam rangka melaksanakan mandat Undang-undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang menyatakan bahwa penanggulanan bencana merupakan urusan bersama pemerintah, masyarakat, dunia usaha, organisasi nonpemerintah internasional, serta seluruh pemangku kepentingan lainnya, telah dibentuk Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana yang akan memberikan advokasi dan dukungan kepada pemerintah dalam upaya melaksanakan pengurangan risiko bencana (PRB) secara terencana, sistematis dan menyeluruh. Selain itu, melalui pembentukan Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana, Indonesia mendapat apresiasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dunia internasional, karena Indonesia telah memperlihatkan adanya komitmen global untuk upaya pengurangan risiko bencana, sebagai bagian dari implementasi Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action/ HFA) 2005 2015. Berdasarkan hasil survey diempat daerah (kajian), kebijakan yang dikembangkan oleh empat provinsi memiliki karakteristik yang berbeda dan dapat dipaparkan dalam matrik berikut (lihat matrik 1.) Memperhatikan berbagai kerangka regulasi penanganan bencana, dan UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial menunjukan bahwa penanganan bencana alam merupakan pekerjaan besar dan kompleks yang memerlukan keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan. Kementerian Sosial, sebagai kementerian yang memiliki kepentingan terhadap upaya peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat, perlu mengembangkan upaya-upaya yang strategis dan terintegrasi dengan penanganan bencana alam baik pada saat kejadian bencana (darurat) maupun pasca bencana. Salah satu upaya tersebut adalah melalui peningkatan SDM Kesejahteraan Sosial yang tersebar di provinsi dan kabupaten/kota. Dalam konteks penyelenggaraan kesejahteraan sosial, penanganan bencana alam dan pemberdayaan potensi masyarakat membutuhkan sumber daya dan sumber dana besar yang harus ditopang oleh kinerja pemerintah yang profesional, akuntabel dan transparan. Selain itu juga ditopang oleh suatu sistem kelembagaan dan pengorganisasian yang mampu menyesuaikan diri dengan dinamika perubahan masyarakat. 18 | P a g e

Matrik 1. Kebijakan terhadap SDM Kesejahteraan Sosial dan Peraturan Penanggulangan Bencana di Empat Daerah Kajian
Kebijakan terhadap SDM Kesejahteraan Sosial Masih menjadikan taruna siaga bencana sebagai SDM Kesejahteran Sosial yang menyelenggarakan pekerjaan sosial di daerah bencana Masih menjadikan taruna siaga bencana sebagai SDM Kesejahteraan Sosial yang menyeleng-garakan pekerjaan sosial di daerah bencana Kebijakan Peraturan Penanggulangan Bencana Kebijakan penanggulangan bencana baru dibentuk Tim. Baru tersusun draf RAD. Memberikan peran pada BPBD untuk menangani kasus-kasus kejadian bencana di daerah

Provinsi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Catatan SDM Kesejahteraan Sosial lain tidak dikembangkan untuk penanganan bencana.

Provinsi Aceh

SDM kesejahteraan Sosial tidak dimotivasi dan tidak ditingkatkan kapasitasnya dalam penanganan bencana SDM Kesejahteran lain tidak pernah ditingkatkan kapasitasnya dalam upaya-upaya penanganan bencana SDM Kesejahteran lain tidak pernah ditingkatkan kapasitasnya dalam upaya-upaya penanganan bencana

Provinsi Sumatera Barat

Masih menjadikan taruna siaga bencana sebagai SDM Kesejahteraan Sosial yang menyelenggarakan pekerjaan sosial di daerah bencana

Provinsi telah memiliki rencana penanggulangan bencana (RPB)

Provinsi Sulawesi Utara

Masih menjadikan taruna siaga bencana sebagai SDM Kesejahteraan Sosial yang menyelenggarakan pekerjaan sosial di daerah bencana

Pemerintah provinsi belum memiliki kebijakan penanganan bencana baik dalam bentuk RPB maupun RAD

3.2. Data Penanganan Bencana Alam di Daerah Kasus kejadian bencana alam di Indonesia selama kurun waktu 2004 - 2009 telah terjadi 4.408 kali. Data ini belum mencatat kejadian bencana tahun 2010 2011 yang juga cukup besar menimbulkan kerusakan dan korban jiwa. Selama dua tahun tersebut saja terjadi kasus kejadian bencana alam sebanyak 7 kali dengan korban jiwa + sebanyak 1.880 orang. Sedangkan kerugian materi akibat kerusakan tidak dapat dilukiskan besarnya dengan kerusakan infrastruktur dasar dan tempat tinggal masyarakat korban bencana. Terkait dengan kajian Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga, berikut ini adalah data penangan bencana alam di lokasi kajian. 19 | P a g e

3.2.1 Kajian Penanganan Bencana Alam Provinsi NAD Tsunami Aceh Desember 2004, merupakan kejadian bencana alam yang menyadarkan Indonesia dan dunia bahwa dampak yang diakibatkan bencana sangat masif dan berdampak terhadap kehidupan masyarakat. Hilangnya harta benda dan banyaknya korban jiwa tidak hanya menurunkan derajat kesejahteraan sosial masyarakat tetapi juga menjadikan masyarakat menjadi tidak berdaya menghadapi bencana. Keberadaan SDM Kesejahteraan Sosial pada saat kejadian bencana dan tanggap darurat tidak berfungsi. Hal ini terlihat dengan banyaknya

relawan luar (baik lokal maupun asing) yang berdatangan memberikan bantuan penanggulangan bencana dan melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Banyak aktivitas pekerjaan sosial yang dilakukan oleh NGO dan

relawan asing, seperti pelayanan terapi bagi korban trauma, pelayanan trassing bagi keluarga, rehabilitasi psikososial, pendirian camp-camp

pengusi bagi keluarga dan anak-anak, pengadaan dapur umum dan pelayanan sosial bagi anak-anak. Terbatasnya SDM Kesejahteraan Sosial pada kejadian bencana alam tsunami Aceh banyak faktor yang mempengaruhi. Mungkin mereka juga menjadi korban menderita dan meninggal dunia atau memang secara kualitas dan kuantitas SDM Kesejahteraan Sosial tidak tersedia. Apabila faktor ke dua yang menjadi inti permasalahannya, maka Kementerian Sosial perlu melakukan upaya-upaya yang terintegratif untuk menyediakan SDM dimaksud. Terbatasnya kualitas SDM Kesejahteraan Sosial, terlihat dari permasalahan kesejahteraan sosial yang masih ditemui setelah 6 tahun pascabencana adalah masalah pemukiman dan pemenuhan kebutuhan hidup (livelihood). Untuk pemukiman masih ada masyarakat yang tinggal di tempat hunian sementara (huntara) dan belum mendapat penempatan relokasi sebagaimana kebijakan perintah melalui Inpres Nomor 1 tahun 2005 tentang Percepatan Penanggulangan Bencana Alam NAD. Sedangkan masih adanya masyarakat yang memerlukan bantuan kebutuhan hidup dikarenakan tidak 20 | P a g e

adanya pencari nafkah utama dalam keluarga akibat meninggal dunia dan/atau cacat. Keberadaan penyelegaraan dan peran SDM Kesejahteraan dihadapkan Sosial pada dalam kendala

kesejahteraan

sosial,

masih

keterbatasan pengetahuan/keterampilan, tidak tersedianya dana dan lemahnya komitmen kebijakan penanganan korban bencana. Sosial Pada sisi lain

ketidakpahaman

SDM

Kesejahteraan

menjalankan

fungsi

penyelenggaraan kesejahteraan social dan menempatkan taruna siaga bencana sebagai inti penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi korban bencana. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh lemahnya koordinasi dan sistem informasi yang tidak sesuai lagi dengan paradigma penanganan bencana alam. Berbagai kasus penanganan bencana alam Aceh yang terjadi dan seharusnya mendapat pelayanan, adalah; kerusakan dan kehilangan harta benda, korban jiwa, anggota keluarga yang terpisah dengan keluarga inti, cacat, trauma, kehilangan tempat tinggal, dan kehilangan pendapatan (sementara), serta tinggal di tempat-tempat huntara. Sedangkan upaya yang dilakukan

terkait dengan penanganan bencana alam Aceh, dapat di lihat pada matrik berikut ini. Matrik 2. Penanganan bencana alam Aceh oleh SDM Kesejahteraan Sosial.
Kasus Kejadian pada Saat Penanganan Bencana Kerugian harta benda/kehilangan tempat tinggal Sebelumnya Membawa ke tempat pengungsian Mendirikan tendatenda pengungsian Ditangani PMI/SAR SAR Saat ini*) Membawa ke tempat pengungsian Mendirikan tenda-tenda pengungsian Melakukan pencatatan Membawa korban ke rumah sakit/berkordinasi dengan PMI Melakukan pendataan Melakukan penelusuran (trassing) Melakukan reunifikasi Melakukan pencatatan Membawa ke posko kesehatan

Korba meninggal dunia

Anggota keluarga yang hilang/terpisah

Korban menderita/cacat

PMI/Para Medis

21 | P a g e

Ketidakadaan makanan/minuman

Korban trauma/stress

Mendirikan dapur umum Mendistribusikan makanan Para Medik

Mendirikan dapur umum Membantu menyiapkan bahan kebutuhan dapur umum Memberikan pelayanan psikososial Memberikan terapi penenangan Membuat MCK dan penampungan air bersih. Ada melalui posko relawan Posko Tagana

Sanitasi dan lingkungan Koordinasi antar SDM Kesejahteraan Sosial

PU

*) Upaya yang dilakukan (saat ini) masih banyak dilakukan oleh relawan lain, sementara SDM Kesejahteraan Sosial selain tagana belum mampu berperan aktif dalam penanganan bencana dan melakukan aktivitas tersebut. SDM

Kesejahteran Sosial yang ada masih berorientasi pada tugas dan fungsi secara formal. Seperti Karang Taruna adalah media bagi pemuda-pemudi tidak pada upaya penanganan bencana.

3.2.2Kajian Penanganan Bencana Alam Provinsi Sumatera Barat Keberadaan SDM Kesejahteraan Sosial di provinsi Sumatera Barat masih terkendala oleh lemahnya keterampilan dan pengetahuan dalam penanggulangan bencana. Meskipun pemerintah telah memiliki Perda tentang penanggulangan bencana namun belum terimplementasi dengan baik karena menunggu beberapa peraturan pusat seperti tentang kelembagaan. Masih ada kontraproduktif antara peraturan yang dikeluarkan oleh masing-masing instansi/lembaga dan kementerian. Kondisi ini berdampak terhadap lemahnya pemahaman terhadap upaya-upaya penaganan bencana alam secara terpadu dan integratif. Berikut ini adalah matrik penanganan bencana yang dilakukan oleh SDM Kesejahteraan Sosial.

22 | P a g e

Matrik 3. Penanganan bencana alam Padang oleh SDM Kesejahteraan Sosial.


Kasus Kejadian pada Saat Penanganan Bencana Kerugian harta benda/kehilangan tempat tinggal Korba meninggal dunia Sebelumnya Membawa ke tempat pengungsian Mendirikan tenda-tenda pengungsian PMI/SAR Saat ini*) Membawa ke tempat pengungsian Mendirikan tenda-tenda pengungsian Melakukan pencatatan Membawa korban ke rumah sakit/berkordinasi dengan PMI Melakukan pendataan Melakukan penelusuran (trassing) Melakukan reunifikasi Melakukan pencatatan Membawa ke posko kesehatan Mendirikan dapur umum Membantu menyiapkan bahan kebutuhan dapur umum Memberikan pelayanan psikososial Memberikan terapi penenangan Membuat MCK dan penampungan air bersih. Ada melalui posko relawan Posko Tagana

Anggota keluarga yang hilang/terpisah

Korban menderita/cacat

Ketidakadaan makanan/minuman

Korban trauma/stress

Melakukan pendataan Melakukan penelusuran (trassing) Melakukan reunifikasi Melakukan pencatatan Membawa ke posko kesehatan Mendirikan dapur umum Mendistribusikan makanan Para Medis

Sanitasi dan lingkungan Koordinasi antar SDM Kesejahteraan Sosial

PU Posko relawan

*) Penanganannya masih dilakukan oleh taruna siaga bencana dan belum melibatkan SDM Kesejahteraan Sosial lainnya.

3.2.2 Kajian Bencana Alam Provinsi Sulawesi Utara Julukan supermal bencana alam kiranya pantas diberikan kepada Provinsi Sulawesi Utara mengingat begitu banyaknya potensi bencana alam yang mengancam maupun yang telah sering terjadi. Oleh sebab itu, sudah semestinya bila daerah ini memiliki kebijakan dan strategi serta programprogram yang tidak hanya diarahkan untuk mengatasi situasi darurat ketika 23 | P a g e

terjadi bencana, namun program yang bersifat antisipatif dan terencana dengan baik. Untuk kasus penanganan kejadian bencana alam di Sulawesi Utara, masih diarahkan pada upaya pencegahan (hal ini dilakukan mengingat kasus kejadian bencana alam belum terjadi lagi seperti yang dialami oleh Aceh dan daerah lainnya di Indonesia). Namun demikian upaya pemerintah daerah telah mengarah pada upaya-upaya mengurangi resiko bencana seperti (i) pembuatan peta rawan bencana, dan (ii) kasus kejadi bencana yang sering/mungkin muncul. Untuk kasus kejadian bencana, data diperoleh dengan melihat data karakteristik daerah. Empat daerah yang dianggap rawan di Sulawesi Utara masing-masing Kota Tomohon, Kota Manado, Kabupaten Sangihe dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan. Empat daerah kota/kabupaten ini sangat berpotensi terjadinya bencana banjir dan longsor, apalagi di beberapa tahun terakhir daerah-daerah ini sering dilanda bencana yang sering memakan korban jiwa. Terkait dengan SDM Kesejahteraan Sosial, upaya penanganan masih menempatkan taruna siaga bencana sebagai pelaku utama dalam

penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam penanganan bencana alam. Upaya ini perlu di reposisi kembali agar semua SDM Kesejahteraan Sosial mendapat peran dalam penanganan kasus kejadian bencana alam.

3.2.4 Penanganan Bencana Alam Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Provinsi DI Yogyakarta tergolong provinsi yang kecil, namun memiliki potensi bencana yang beragam. Salah satu kejadian bencana gempa bumi tahun 2006 dan tahun 2010 telah membuat pemerintah serta masyarakat memandang bencana dengan perspektif berbeda. Dilihat dari beberapa peran yang dilakukan SDM Kesejahteraan Sosial, kasus penanganan bencana alam sangat konstruktif dan sangat 24 | P a g e

melembaga.

Kondisi ini terwujud karena banyaknya pengalaman kasus

kejadian bencana alam yang sudah dipahami dan Kementerian Sosial telah menjadi kontribusi utama dalam peningkatan SDM Kesejahteraan Sosial di provinsi DIY. Berikut ini adalah matrik penanganan bencana yang dilakukan oleh SDM Kesejahteraan Sosial. Matrik 4. Penanganan Bencana Alam DIY oleh SDM Kesejahteraan Sosial.
Kasus Kejadian pada Saat Penanganan Bencana Kerugian harta benda/kehilangan tempat tinggal Sebelumnya Membawa ke tempat pengungsian Mendirikan tenda-tenda pengungsian PMI/SAR Saat ini*) Membawa ke tempat pengungsian/ Daeah aman Mendirikan tenda-tenda pengungsian Melakukan pencatatan Membawa korban ke rumah sakit/berkoordinasi dengan PMI/Puskesmas/ Rumah sakit Melakukan pendataan Melakukan penelusuran (trassing) Melakukan reunifikasi Mendirikan tenda korban hilang. Melakukan pencatatan Membawa ke posko kesehatan Mendirikan dapur umum Membantu menyiapkan bahan kebutuhan dapur umum Bantuan tanggaap darurat Memberikan pelayanan psikososial/ relief recovery Memberikan terapi penenangan Membuat MCK dan penampungan air bersih.

Korba meninggal dunia

Anggota keluarga yang hilang/terpisah

Melakukan pendataan Melakukan penelusuran (trassing) Melakukan reunifikasi

Korban menderita/cacat

Melakukan pencatatan Membawa ke posko kesehatan Mendirikan dapur umum Mendistribusikan makanan

Ketidakadaan makanan/minuman

Korban trauma/stress

Para Medis

Sanitasi dan lingkungan

PU

25 | P a g e

Koordinasi antar SDM Kesejahteraan Sosial

Posko relawan

Ada melalui posko relawan/ Posko Sosial Posko Tagana

*) Penanganannya masih dilakukan oleh taruna siaga bencana dan belum melibatkan SDM Kesejahteraan Sosial lain.

3.3

Analisa Terhadap Kebijakan Penanganan Bencana Alam Kebijakan penanggulangan bencana alam di daerah kajian ditinjau dari beberapa sisi antara lain yaitu dari sisi berbagai peraturan yang secara khusus mengatur tentang bencana itu sendiri, kebijakan lain yang memiliki kaitan erat dengan penanggulangan bencana, sistem kelembagaan dalam penanggulangan bencana serta kebijakan yang terkait dengan alokasi anggaran di bidang kebencanaan. 3.1.1 Peraturan tentang Penanggulangan Bencana Bila ditinjau dari sisi peraturan yang terkait dengan penanggulangan bencana alam, maka saat ini Pemerintah Provinsi belum memiliki peraturan setingkat Perda yang secara khusus mengatur mengenai upaya penanggulangan bencana. Daerah masih menggunakan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanganan Bencana dan 3 buah peraturan turunannya, yaitu: (1) Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana; (2) Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana; (3) Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Nonpemerintah dalam Penanggulangan Bencana. Empat peraturan ini dijadikan bahan bagi daerah dalam merumuskan kerangka kebijakan penanganan bencana, termasuk pula dalam pembentukan kelembagaan dan SDM daerah. Untuk beberapa kasus kejadian bencana alam, daerah menggunakan berbagai kerangka kebijakan Kementerian/Lembaga 26 | P a g e

yang terkait dalam penanganan bencana seperti: Kementerian Sosial melalui kebijakan penyediaan bahan pokok kebutuhan bagi korban bencana dan dana on call dalam pemberian bantuan bagi korban bencana dan kebijakan penanganan lain yang terkait dengan penanganan bencana. Sedangkan kebijakan SDM Kesejahteraan Sosial, daerah menggunakan taruna siaga bencana dalam membantu penanganan bencana di daerah. Sedangkan SDM Kesejahteraan Sosial lain masih sangat terbatas bahkan cenderung tidak dilibatkan. 3.1.2 Kebijakan Terkait Lainnya Pada dasarnya terdapat berbagai kebijakan yang terkait erat dan mempengaruhi kebijakan penanggulangan bencana. Salah satu kebijakan tersebut adalah kebijakan tata ruang. 3.1.3 Sistem Kelembagaan Sistem kelembagaan merupakan salah satu faktor penting yang memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan pelaksanaan sistem

penanggulangan bencana di suatu wilayah. Bila sebelumnya Pemerintah Daerah membentuk Satkorlak sebagai organisasi yang bertugas mengatasi kejadian bencana, maka dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU PB), maka terjadi perubahan kelembagaan, dari Satkorlak menjadi Badan Penanggulangan Bencana Daerah/BPBD (Pasal 18 UU PB). Amanat Pasal 18 UU PB ini ternyata ditanggapi positif oleh Pemerintah Sulawesi Utara dan segera mengimplementasikannya melalui evaluasi SOTK yang baru sesuai amanat Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Perangkat Organisasi Daerah. Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Sosial Provinsi menyatakan bahwa Badan Penanggulangan bencana Daerah (BPBD) sudah berjalan mulai tahun 2009, namun saat ini urusan penanganan kejadian bencana masih tetap dilakukan oleh SKPD terkait dalam koordinasi dan komado. 27 | P a g e

Fungsi Satkorlak-PB provinsi sampai saat ini, kebanyakan berperan pada masa tanggap darurat ketika suatu bencana terjadi dan melakukan beragam kegiatan kesiapsiagaan (preparedness), termasuk peningkatan kapasitas para personilnya (SDM) khusus untuk urusan respon (tanggap darurat). Sedangkan untuk urusan pasca bencana, terutama kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, maka masih tetap diemban oleh masing-masing SKPD terkait, semisal Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan Dinas Pekerjaan Umum serta masih menerapkan pola koordinasi yang telah diterapkan sebelumnya. 3.1.4 Prosedur Tetap Penanggulangan Bencana Sama seperti di daerah lain di Indonesia, maka untuk urusan penanggulangan bencana di empat provinsi kajian, pemerintah setempat masih menggunakan berbagai pedoman yang dikeluarkan Pemerintah Pusat melalui sejumlah Kementerian yang memiliki kaitan erat dengan penanggulangan bencana, semisal BNPB, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, dan Kementerian Dalam Negeri. Selain menggunakan pedoman tersebut, Pemerintah daerah juga telah menyusun beberapa pedoman yang terkait dengan penanggulangan bencana, terutama pada saat tanggap darurat dalam hal pembagian tupoksi masing-masing SKPD/dinas teknis, penetapan status aktivitas gunung api dan pemberian bantuan serta proses rehabilitasi/rekonstruksi pasca kejadian bencana. 3.1.5 Tata Komando dan Komunikasi Penanggulangan Bencana Lembaga yang mengemban tugas dalam urusan penanggulangan bencana di daerah saat ini masih Satkorlak-PB dalam naungan Kesbang Provinsi, sehingga ini mempengaruhi tata komando dan komunikasi upaya

penanggulangan bencana.

28 | P a g e

Pelaksanaan tata komando jika terjadi bencana sampai sekarang masih berada pada kendali Ketua Satkorlak-PB dengan Kepala Kesbang sebagai sekretaris harian Satkorlak-PB dan menjadi the leading sector. Sebagai pelaksana langsung komando tersebut adalah SKPD/dinas teknis terkait sesuai dengan bidang keahliannya. Komunikasi internal dan intra SKPD/dinas teknis relatif berjalan lancar. Komunikasi kemudian akan bersifat koordinatif antar masingmasing SKPD/dinas teknis ketika memasuki masa pasca dan sebelum terjadi bencana kembali. Pada pasca bencana, cukup fungsi koordinatif yang dilakukan, karena masing-masing SKPD/dinas teknis terkait (rehabilitasi dan reskonstruksi) akan mengambil peran sesuai dengan tupoksinya. Komunikasi koordinatif dan reguler juga dilakukan ketika sedang tidak terjadi bencana antar SKPD/dinas terkait dengan tujuan membangun kesiapsiagaan

(sosialisasi, drill, dll) yang serupa dari segi kualitas skil dan substansi tentang penanggulangan bencana dengan paradigma baru.

3.4

Evaluasi Implementasi Sistem Penanggulangan Bencana Secara umum evaluasi implementasi sistem penanggulangan bencana dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut: 3.4.1 Evaluasi Aspek Kebijakan
No. 1 Aspek Efektifitas kebijakan dalam mengurangi risiko bencana dan saat bencana terjadi Hasil Kajian

Karena kebijakan (Perda) yang mendukung penanggulangan


bencana belum ada, maka efektifitas kebijakan tersebut belum bisa dinilai. Belum berjalan efektif, karena semua kebijakan terutama yang bersifat implementatif dan menjadi suatu rencana aksi dalam urusan penanggulangan bencana belum ada.

Hambatan dalam penyusunan kebijakan di bidang penangulangan bencana (pusat maupun daerah)

Masih banyak terjadi ketidaksesuaian antara desain yang Masalah yang dihadapi dan kebutuhan yang diperlukan oleh
masing-masing daerah tidak selalu sama. diharapkan oleh pusat dengan realitas pelaksanaan di daerah.

Fokus pembangunan yang memprioritaskan dalam urusan


penanggulangan bencana belum menjadi sasaran utama untuk dilaksanakan khususnya di Provinsi Sulawesi Utara.

29 | P a g e

Sinergi implementasi antar peraturan (adakah yang saling kontraproduktif) Tingkat dukungan politik terkait kebijakan penanggulangan bencana

Masih ada kontraproduktif antara peraturan yang dikeluarkan


oleh masing-masing instansi/lembaga dan kementerian.

Dukungan politik dari berbagai pihak (Legislatif, Perguruan


Tinggi dan LSM) sangat baik.

Peran Gubernur yang sangat peduli dalam urusan dampak


kerusakan lingkungan (bencana karena faktor manusia) sangat mempengaruhi kinerja perangkat pemprov, untuk mulai memikirkan kebijakan penanggulangan bencana secara intensif.

Hambatanhambatan dalam pelaksanaan kebijakan penanggulangan bencana

Masih adanya ketidak sesuaian antara kebijakan yang dikeluarkan


pusat (antara lembaga/instansi dan departemen) dengan kebijakan daerah, sehingga berdampak pada lemahnya komitmen dan kepercayaan dari Pemerintah Daerah. Prioritas masalah yang dihadapi oleh tiap-tiap daerah tingkat kabupaten/kota tidaklah sama. Masih ada kesan bahwa daerah cenderung reaktif, tidak pro aktif. Sikap menunggu kebijakan dari pusat dirasa lebih aman.

3.4.2 Kajian Aspek Strategi

No. 1

Aspek Proses penyusunan rencana-rencana di bidang penanggulangan bencana

Hasil Kajian

Rencana khusus untuk penanggulangan bencana belum disusun.


SKPD/Dinas terkait menyusun rencana kegiatan sebatas hanya untuk mendukung Tupoksinya, sehingga kegiatan penanggulanagn bencana yang disusun masih sangat terbatas ruang lingkupnya sesuai SKPD/Dinasnya masing-masing (sektoral). Usulan dari SKPD akan diverifikasi oleh Bapeda dan Tim Anggaran Daerah. Dengan dibuatkannya satu struktur baru dalam Perda SOTK yang baru dari Pemprov Sulawesi Utara mengenai lembaga BPBD, harapannya, semua perencanaan, penganggaran dan implementasi program/kegiatan penanggulangan bencana bisa dilakukan secara terintegrasi, dengan dikoordinasikan oleh lembaga ini.

Mekanisme integrasi rencana strategis ke dalam renja SKPD Hambatan dalam penyusunan rencana dan implementasi rencana penanggulangan bencana

Belum memiliki mekanisme integrasi khusus, karena rencana


strategis khusus yang diarahkan untuk urusan penanggulangan bencana ataupun penguranga risiko bencana (PRB) belum disusun.

Ada tumpang tindih kegiatan yang diajukan oleh masing-masing


SKPD/Dinas terkait terutama dalam urusan penanggulangan bencana ketika bencana itu belum terjadi (pra bencana). Contoh: kegiatan sosialisasi UU PB untuk sekolah-sekolah. (kegiatan serupa, hanya beda obyek). Ada ego sektoral antar SKPD, berdampak pada tidak maksimalnya realisasi dari hasil dan dampak dari suatu kegiatan.

Hambatan dalam alokasi anggaran

Ada aturan dari Pusat yang mengharuskan realisasi dari penggunaan


dana di masing-masing SKPD/dinas terkait di Sulawesi Utara

30 | P a g e

terkait dengan penanggulangan bencana

berupa kegiatan-kegiatan saja, bukan untuk situasi darurat yang terkadang membutuhkan dana untuk pembelian barang, bukan kegiatan. Alokasi anggaran untuk kebencanaan tersebar di SKPD/dinas terkait. Selama ini SKPD merasakan terbatasnya anggaran untuk kegiatan penanggulangan bencana. Mekanisme pencairan dana dari suatu mata anggaran, terutama untuk urusan penanggulangan bencana di Sulawesi Utara, masih sulit dilakukan (birokrasi panjang).

Hambatan dalam meraih komitmen SKPD dan mekanisme koordinasi dalam melaksanakan rencana-rencana penanggulangan bencana

Masih muncul ego sektoral antar SKPD/dinas terkait, terutama pada


situasi normal dan pasca bencana.

Tingkat pemahaman masing-masing SKPD/dinas terkait dalam


urusan penanggulangan bencana tidak seragam, bahkan cendrung masih sangat jauh dari yang diharapkan.

3.4.3 Kajian Aspek Operasional

No. 1

Aspek Hambatan dalam implementasi protap di lapangan Hambatan dalam implementasi tata komando dan tata komunikasi

Hasil Kajian

Karena belum ada Protap khusus yang disusun oleh SKPD terkait,
maka Protap yang dilaksanakan masih mengacu kepada instansi vertikal (kementerian/dinas)

Koordinasi antar SKPD/dinas terkait pada saat tanggap darurat


kadang-kadang sulit dilakukan secara efektif.

3.5

Temuan Hasil Kunjungan Lapangan Dari empat provinsi yang telah dikunjungi, kebijakan yang dikembangkan oleh ketujuh propinsi tersebut memiliki karakteristik yang unik seperti dapat dipaparkan dalam matrik berikut : 3.5.1 Kebijakan dan Peraturan

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Kebijakan Penanggulangan Bencana Kebijakan penanggulangan bencana tidak ada. Telah dibentuk tim untuk menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD). Draft RAD sudah ada.

Catatan Kabupaten lain di DIY telah menyusun RAD dengan fasilitasi lembaga internasional. RAD ini disusun sebelum UU no. 24/2007 sehingga memiliki format

31 | P a g e

Kab. Bantul merevisi RPJMD dengan menambahkan aspek bencana Kab. Bantul merencanakan penyusunan RAD pada tahun 2009

Sulawesi Utara

Sumatera Barat

NAD

Pemprov telah mengeluarkan Perda Mitigasi Bencana (RPB) dan saat ini sedang mempersiapkan RAD. Pemkot Padang telah memiliki RAD dan Protap Penanggulangan Bencana Pemprov belum memiliki kebijakan terkait penanggulangan bencana. Pemkot Tomohon telah memilki perda tentang program penanggulangan bencana berbasis masyarakat desa. Kebijakan penanggulangan bencana tidak ada. Telah dibentuk tim untuk menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD). Draft RAD sudah ada.

yang berbeda. Sleman telah mengembangkan kelembagaan dan prosedur tetap penanggulangan bencana khususnya yang terkait dengan Merapi. Bekerjasama dengan kabupaten lain dan BMG telah dibentuk Forum Merapi. Telah dibentuk forum PRB yang akan memberikan masukan ke pemerintah. Pemprov telah membentuk tim untuk menyusun draft RAD Pemkot Padang telah menguji protap penanggulangan bencana dalam evacuation drill RPJMD provinsi tidak secara langsung mengandung unsur penanggulangan bencana. Konsep program penanggulangan bencana Kota Tomohon diadaptasi dari Jepang Kabupaten lain di NAD telah menyusun RAD dengan fasilitasi lembaga internasional. RAD ini disusun sebelum UU no. 24/2007 sehingga memiliki format yang berbeda. NAD telah mengembangkan kelembagaan dan prosedur tetap penanggulangan bencana khususnya yang terkait dengan Merapi. Bekerjasama dengan kabupaten lain dan BMG. Telah dibentuk forum PRB yang akan memberikan masukan ke pemerintah.

Temuan di lapang memperlihatkan bahwa secara umum di daerah terdapat dua kondisi dalam penyusunan kebijakan penanggulangan bencana (Rencana Penanggulangan Bencana/RPB dan Rencana Aksi Daerah/RAD), yaitu: (i) Daerah yang belum memiliki kebijakan PB. (ii) Daerah yang sudah memiliki kebijakan. Daerah ini dapat dikelompokkan lagi menjadi daerah yang kebijakannya sesuai dengan UU No. 24/2007 dan daerah yang kebijakan disusun sendiri sesuai dengan kebutuhan lokal. Daerah yang belum memiliki kebijakan PB pada umumnya mengemukakan beberapa penjelasan seperti berikut : Belum ada sosialisasi yang menyeluruh pada SKPD yang terkait. Ketidakjelasan siapa yang harus memulai. 32 | P a g e

Masih adanya tumpang tindih dengan peraturan-peraturan lain yang terkait. Ketidakjelasan aspek keuangan yang akan muncul bila kebijakan dikeluarkan. Urgensi dan prioritas daerah yang berbeda sehingga kebijakan PB yang khusus dirasakan belum mendesak. Kesulitan komunikasi dengan lembaga pengambil kebijakan (DPRD) untuk mengalokasikan dana guna membiayai program pengembangan kebijakan PB. Daerah-daerah yang sudah memiliki kebijakan PB pada umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (i) terjadinya bencana alam yang besar, (ii) inisiasi aktif dari pelaku lembaga non pemerintah, yaitu lembaga internasional (UNDP, JICA, GTZ) maupun lembaga nasional (akademisi, LSM, PMI, perusahaan). 3.5.2 Strategi dan Operasi Strategi dan operasi yang dikembangkan oleh daerah dalam menanggulangi bencana juga memiliki karakteristik tersendiri seperti dapat dilihat dari matrik berikut :
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Strategi & Operasi Mengoptimalkan mekanisme dan kelembagaan yang sudah ada (Satkorlak dan Satlak) Membuka diri untuk bekerja sama dengan berbagai pelaku non pemerintah seperti lembaga internasional Membentuk forum multi stakeholder untuk mengkaji dan mengusulkan kebijakan sekaligus menjadi sarana koordinasi. Pemprov menetapkan kebijakan sebagai payung hukum sehingga kegiatan PB berikutnya dapat dilaksanakan Kelembagaan masih menggunakan yang ada (Satkorlak, Satlak, dan Pusdalops) Pemkot Padang mengandalkan Dinas PKPB untuk menyusun dan melaksanakan strategi dan operasi PB. Catatan Peran dari pelaku non pemerintah sangat dominan Berbagai hal terkait dengan bencana ditumpukan kepada lembaga dan orang tertentu.

Sumatera Barat

Inisiatif dari pelaku non pemerintah sangat dominan Urusan PB masih terkonsentrasi pada dinas dan individu tertentu.

33 | P a g e

Sulawesi Utara

NAD

Kerja sama dengan pelaku non pemerintah sangat dominan Pemprov merencanakan membentuk BPBD yang akan diberi tugas untuk menyusun strategi dan mengkoordinir pelaksanaan PB. PB dilaksanakan sesuai tupoksi SKPD Pemkot Tomohon mengembangkan kesiapsiagaan dan ketahanan masyarakat desa sebagai prioritas, pemkot bersifat mendukung. Pemprov membentuk BPBD dan telah dilengkapi dengan infrastruktur serta staf untuk dapat berfungsi pada tahap awal. Staf dan fungi BPBD dipindah dari bidang yang terkait PB di SKPD lain. Forum PRB difungsikan menjadi partner dari BPBD Jaringan komunikasi antar desa diperkuat dan dibuat menjadi mekanisme rutin.

Koordinasi dan inisiatif bertumpu pada kepala daerah

BPBD merupakan terobosan dari beberapa aturan yang saling tumpang tindih

Strategi dan operasi Penanggulangan Bencana (PB) yang pada saat ini dilaksanakan di daerah pada umumnya sudah menggunakan mekanisme yang sesuai UU Nomor 24 Tahun 2007, namun hampor semua daerah juga masih memakai mekanisme lama pada SKPD terkait, karena beberapa alasan : Jenis dan tingkat bencana masih dapat ditangani oleh mekanisme yang ada. Mekanisme yang ada masih dapat dioptimalkan dengan beberapa penyesuaian seperti alokasi dana yang memadai. Belum adanya informasi mengenai arah PB ke depan. Penataan kelembagaan dan mekanisme baru yang masih disosialisasikan. Upaya pengembangan strategi dan operasi PB di daerah dilakukan dengan melakukan optimalisasi mekanisme dan fungsi yang ada. Beberapa daerah berpandangan lebih efektif untuk mengoptimalkan mekanisme yang ada dan mendorong SKPD menjalankan tupoksinya secara optimal. Agar hal ini dapat berjalan, pada umumnya menuntut beberapa hal seperti keterlibatan kepala daerah yang tinggi, penunjukan pimpinan dinas yang tepat, alokasi anggaran yang memadai.

34 | P a g e

IV. ALTERNATIF KEBIJAKAN

Bab ini menguraikan tentang alternatif kebijakan yang menyangkut Pelembagaan Pendayagunaan SDM Kesejahteraan Sosial dalam Penanggulangan bencana Alam. Alternatif kebijakan sosial dalam upaya mensinergikan fungsi dan peran kelembagaan penyelenggara kesejahteraan sosial menggunakan beberapa analisa dan kriteria sebagai berikut : 4.1. Alternatif I : PENYUSUNAN PEDOMAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM

PENANGGULANGAN BENCANA Kebijakan yang ditempuh dalam rangka penataan regulasi penyelengaraan kesejahteraan sosial dan penanggulangan bencana alam di Indonesia di masa yang akan datang diharapkan dapat memberikan dampak bagi perwujudan eksistensi masyarakat (baik lokal maupun nasional) dan interaksinya sehingga dapat berperan bersama dalam upaya antisipasi terhadap bencana. Kebijakan ini bertujuan untuk menjadikan instrumen peraturan perundang-undangan, kebijakan, pedoman standar dan aturan pelaksanaan teknis lainnya menjadi prioritas yang tidak kalah penting untuk terus disempurnakan dan dikembangkan untuk meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam penanggulangan bencana. Alternatif ini merupakan upaya untuk menyiapkan perangkat kebijakan dan teknis kelembagaan dan standardisasi penanggulangan bencana sebagai kerangka bagi konsolidasi program-program pemberdayaan SDM Kesejehtaraan Sosial dalam penanggulangan bencana berbasis pemberdayaan masyarakat dan kemandirian di daerah untuk meningkatkan efektifitas program dalam mempercepat penanggulangan bencana, meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat. Mengingat beragamnya bencana yang terjadi serta kompleksitas akibat

permasalahan dan dampak sosial yang ditimbulkan d i

Indonesia

bencana, serta besarnya potensi yang dapat dikembangkan oleh SDM Kesejaheraan Sosial seperti Pekerja Sosial, Penyuluh Sosial, 35 | P a g e

Tenaga Kesejahteraan Sosial (Tagana, Orsos, PSM, Karang Taruna) dan Relawan Sosial yang selama ini telah direkrut, dibina dan dikembangkan oleh Kementerian Sosial maka dipandang perlu u n t u k m e n y u s u n P e d o m a n M a n a j e m e n SDM Ke s e j a hter a a n Sosia l d a l a m P e n a n g g u l a ng a n B e n c a n a y a n g s e c a r a u m u m b e r t u j u a n u n t u k Peningkatan pengelolaan SDM K e s e j a ht e raa n So s i al dalam penanggulangan bencana. Melalui alternatif ini, Kementerian Sosial akan memiliki pedoman dan pola dasar yang komprehensif pendayagunaan SDM kesejahteraan Sosial, memiliki format dan langkah dasar dalam menjamin ketersediaan dan distribusi SDM Kesejahteraan Sosial yang mempunyai kemampuan dalam penanggulangan bencana serta memiliki pola dan standar peningkatan kualitas SDM Kesejahteraan Sosial dan penanggulangan bencana. Substansi dari alternatif kebijakan ini antara lain : 4.1.1 Penanggulangan krisis kedaruratan dan bencana dilakukan dengan koordinasi dan kemitraan ( p a r t n e r s h ip ) serta memperkuat jejaring SDM secara lintas program, lintassektor dan kerja sama baik nasional maupun internasional agar pelayanan kesejahteraan sosial dapat

diselenggarakan sesegera mungkin secara optimal dalam penanggulangan bencana baik pada fase sebelum terjadinya bencana, tanggap darurat serta sesudah terjadinya bencana. 4.1.2 Pengorganisasian penanggulangan krisis di tingkat Provinsi dan

Kabupaten/Kota, dilaksanakan dengan semangat desentralisasi dan otonomi. 4.1.3 Pemberdayaan potensi SDM daerah rawan bencana dengan peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya untuk mengurangi risiko krisis kedaruratan dan bencana. 4.1.4 Pengembangan SDM Kesejahteraan Sosial yang mencakup perencanaan, pengadaan serta pendayagunaan SDM perlu dimantapkan secara terusmenerus agar dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam upaya penanggulangan bencana. 36 | P a g e

4.1.5

Dalam rangka mewujudkan Sistem Kesejahteraan Sosial Nasional (SKSN), SDM Kesejahteraan Sosial merupakan salah satu unsur yang penting sehingga perlu menekankan pentingnya upaya penetapan jenis, jumlah dan kualifikasi SDM Kesejahteraan Sosial yang sesuai dengan kebutuhan.

4.1.6

Menerapkan standar minimum kesejahteraan sosial bidang SDM di kabupaten / kota sebagai dasar untuk melaksanakan penilaian kesejahteraan sosial, peningkatan kapasitas kelembagaan dam pengelolaan kesejahteraan sosial, peningkatan sumberdaya kesejahteraan sosial, dan upaya penjaminan mutu penanganan penanggulangan bencana yang profesionalisme dan akuntabilitas di Indonesia.

4.1.7

Melakukan tindakan alternatif dengan memberikan perhatian lebih besar pada perluasan jangkauan pelayanan kesejahteraan dalam penanggulangan bencana.

4.2. ALTERNATIF II : REVITALISASI DESA KETAHANAN SOSIAL DALAM PENANGGULANGAN BENCANA Kebijakan yang ditempuh dalam penyiapan sistem dan pranata sosial masyarakat yang sustainable dan reliabel dalam penyelengaraan kesejahteraan sosial dan penanggulangan bencana di Indonesia di masa yang akan datang diharapkan dapat memberikan dampak bagi perwujudan kesiapsiagaan masyarakat (baik lokal maupun nasional) dalam upaya penanggulangan bencana. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan kondisi, memperkuat peran dan fungsi masyarakat pada tingkat akar rumput (desa dan kelurahan) dalam menghadapi berbagai permasalahan termasuk dalam penanggulangan bencana. Substansi dari alternatif kebijakan ini antara lain : 4.2.1 Penyiapan sistem dan pranata sosial masyarakat desa yang memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan untuk mencegah dan mengatasi berbagai masalah kebencanaan dan kedaruratan kesejahteraan sosial serta kemampuan untuk mengembangkan potensi dan nilai-nilai kesetiakawanan sosial secara mandiri. 37 | P a g e

4.2.2

Peningkatan kapasitas dan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal dalam menghadapi berbagai permasalahan kebencanaan dan kedaruratan.

4.2.3

Peningkatan

kemandirian

masyarakat

dalam

menghadapi

berbagai

permasalahan kebencanaan dan kedaruratan. 4.2.4 Peningkatan kapasitas dan kemampuan masyarakat untuk bertahan dalam menghadapi berbagai permasalahan kebencanaan dan kedaruratan. 4.2.5 Melakukan tindakan alternatif dengan memberikan perhatian lebih besar pada jejaring kelembagaan dan jejaring pengaman sosial (social sefety network) yang terlembaga di masyarakat dalam penanggulangan bencana. 4.3. ALTERNATIF III : PENYUSUNAN STANDAR DAN SERTIFIKASI SDM KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM PENANGGULANGAN BENCANA Kebijakan pengelolaan kesejahteraan sosial di Indonesia ditempuh dengan menggunakan pendekatan secara menyeluruh dari sektor kesejahteraan sosial yang bercirikan (a) program kerja lembaga kesejahteraan social disusun secara kolaboratif dan sinergis untuk menguatkan pelaksanaan kebijakan pada semua tingkatan, (b) reformasi manajemen institusi yang dilaksanakan secara berkelanjutan yang didukung program pengembangan kapasitas kelembagaan dan SDM Kesejahteraan Sosial, (c) perbaikan program dilakukan secara berkelanjutan dan didasarkan pada evaluasi kinerja tahunan yang dilaksanakan secara sistematis dan memfungsikan peran-peran stakeholder yang lebih luas. Alternatif kebijakan penyusunan standar dan sertifikasi SDM Kesejahteraan Sosial dalam penanggulangan bencana didasari oleh suatu asumsi pemikiran bahwa selama ini Kementerian Sosiak telah melakukan upaya yang optimal dam penanggulangan bencana, khususnya melalui unsur tenaga kesejahteraan sosial masyarakat yang selama ini telah direkruit, dibina dan dikembangkan seperti : Karang Taruna, PSM, Orsos, Tagana, TKSK dsb. Namun kondisi empiris dilapangan juga menunjukkan bahwa kebutuhan akan tersedianya suatu SDM Kesejahteraan Sosial yang lebih efektif, efisien dan reliabel dengan kebutuhan penanganan 38 | P a g e

kebencanaan dan kedaruratan juga cukup tinggi, khususnya terkait dengan kecepatan, ketepatan, kesiapsiagaan dan akuntabilitas penanganan kebencanaan. Substansi dari alternatif kebijakan ini antara lain : 4.1.1 4.1.2 SDM Kesejahteraan Sosial perlu dikembangkan secara lebih profesional. SDM Kesejahteraan Sosial yang terlibat dalam upaya penanggulangan bencana harus memiliki kemampuan dasar dan keahlian yang sesuai dengan kebutuhan penanganan baik pada fase pra bencana, tanggap darurat maupun pasca bencana. 4.1.3 SDM kesejahteraan sosial tidak saja berperan secara langsung dalam penanggulangan bencana, namun juga berfungsi sebagai agen perubahan dan focal point di masyarakat yang diharapkan dapat memberikan pencerahan dan peningkatan pemahaman, pengetahuan serta ketrampilan masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana. 4.1.4 Melaksanakan evaluasi dan penjaminan mutu melalui suatu proses analisis yang sistematis terhadap hasil dan kualitas pelaksanaan program

penanggulangan bencana. 4.1.5 Melakukan tindakan alternatif dengan memberikan perhatian lebih besar pada peningkatan kualitas dan kapasitas SDM yang terlembaga di masyarakat dalam penanggulangan bencana.

39 | P a g e

V. REKOMENDASI KEBIJAKAN

5.1. Kebijakan yang Diusulkan Kejadian bencana umumnya berdampak merugikan. Rusaknya sarana dan prasarana fisik (perumahan penduduk, bangunan perkantoran, sekolah, tempat ibadah, sarana jalan, jembatan dan lain-lain) hanyalah sebagian kecil dari dampak terjadinya bencana disamping masalah kesehatan seperti korban luka, penyakit menular tertentu, menurunnya status gizi masyarakat, stress pasca trauma dan masalah psikososial, bahkan korban jiwa. Bencana dapat pula mengakibatkan arus pengungsian penduduk ke lokasi-lokasi yang dianggap aman. Hal ini tentunya dapat menimbulkan masalah kesehatan baru di wilayah yang menjadi tempat penampungan pengungsi, mulai dari munculnya kasus penyakit dan masalah gizi serta masalah kesehatan reproduksi hingga masalah penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, penyediaan air bersih, sanitasi serta penurunan kualitas kesehatan lingkungan. Upaya penanggulangan krisis akibat bencana merupakan rangkaian kegiatan yang dimulai sejak sebelum terjadinya bencana yang dilakukan melalui kegiatan pencegahan, mitigasi (pelunakan / penjinakan dampak) dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Kegiatan yang dilakukan pada saat terjadi bencana berupa kegiatan tanggap darurat sementara pada saat setelah terjadi bencana berupa kegiatan Pemulihan / rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk itu, tenaga penanggulangan krisis akibat bencana harus memiliki suatu pemahaman terhadap permasalahan dan penyelesaian secara komprehensif, serta terkoordinasi secara lintas program maupun lintas sektor. Pelayanan kesejahteraan sosial pada saat bencana merupakan faktor yang sangat penting untuk mencegah terjadinya resiko-resiko dan kerentanan sosial berupa kematian, kecacatan dan kejadian penyakit. Karena bencana merupakan suatu kejadian yang tidak diinginkan dan biasanya terjadi secara mendadak serta disertai jatuhnya korban, kejadian ini bila tidak ditangani secara cepat dan tepat dapat menghambat, mengganggu serta menimbulkan kerugian bagi kehidupan masyarakat.

40 | P a g e

Salah satu kendala yang sering dijumpai dalam upaya penanggulangan krisis di daerah bencana adalah kurangnya SDM (sumber daya manusia) kesejehtaraan sosial yang dapat difungsikan dalam penanggulangan krisis akibat bencana. Kondisi tersebut memang sudah ada sejak sebelum terjadinya bencana atau karena adanya tenaga kesejehtaraan sosial yang menjadi korban bencana. Pengalaman pada saat terjadi bencana gempa dan tsunami di NAD dan Sumatera Utara pada 26 Desember 2004 serta Gempa Bumi di DIY Tahun 2006 menunjukkan betapa banyak tenaga kesejehtaraan sosial dan keluarganya menjadi korban sehingga upaya penanggulangan krisis menjadi terhambat karena kekurangan tenaga kesejehtaraan sosial. Pemikiran diatas menjadi dasar dalam penetapan alternatif kebijakan yang dipandang paling tepat sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian Sosial dalam penanggulangan kemiskinan sebagai mana diemban oleh salah satu Unit Eselon I Kementerian Sosial yaitu Direktorat Jenderal Pelindungan dan Jaminan Sosial. Guna memastikan alternatif terbaik yang dapat diusulkan, analisa yang digunakan adalah SWOPA, yaitu menilai kekuatan (Strengthness) dan kelemahan (Weaknesses) masing-masing kebijakan, Setelah itu melihat bagaimana peluang (Opportunities) kebijakan tersebut jika diterapkan. Setelah menganilisa (Problems), maka selanjutnya dianilisis bagaimana cara melaksanakan (Actions) kebijakan tersebut. Selain analisa SWOPA, juga digunakan Analisis Efektifitas, Efisiensi, Transparansi, Sustainabilitas dan Akuntabilitas. Kedua analisis tersebut selanjutnya dipertajam dengan menggunakan kriteria Kualitatif dan Kuantitatif. Hasil analisis SWOPA (Strengthness, Weakness, Oppoutunities, Problems and Action) dijabarkan sebagai berikut : Matrik 5. Analisis SWOPA Terhadap Alternatif Kebijakan
Aspek Regulasi dan Manajemen SDM Kessos Dalam Penanggulangan Bencana Mensinergikan jaringan kerja tim penanggulangan bencana tingkat pusat hingga tingkat akar rumput / kelurahan dan desa Sistem dan Pranata Sosial Dalam Penanggulangan Bencana Sejalan dengan regulasi penanggulangan bencana yang dikeluarkan pemerintah pusat Standar dan Kompetensi SDM Kessos Dalam Penanggulangan Bencana Peningkatan Standardisasi penanggulangan bencana Terwujudnya Kualitas SDM Kessos dalam penanggulangan

Kekuatan (Strengthness)

41 | P a g e

bencana; Mengedepankan pendekatan ber-basis pemberdayaan sosial berdasar-kan prinsip pembelajaran, kemandirian dan keberlanjutan. Memperkuat peran dan fungsi institusi sosial dan kelompokkelompok masyarakat serta perseorangan untuk berperan dalam upaya penanggulangan bencana. SDM Pekerja Sosial, Tenaga Kessos, Penyuluh Sosial dan Relawan tersedia banyak Kementerian Sosial telah merekruit, membina dan mengembangkan SDM Kesejahteraan Sosial Kapasitas dan kompetensi managerial aparat dan institusi sosial daerah dalam penyelenggaraan program penanggulangan kemiskinan yang efektif, inovatif, efisien dan akuntabel masih terbatas Tersedianya regulasi bidang penanggulangan bencana seperti : UU 24 Tahun 20107 tentang Penggulangan Bencana dan UU Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial Memperjelas peran dan fungsi Kementerian Sosial dalam upaya pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan bencana Memperluas akses Meningkatkan dan pranata masyarakat sistem sosial Menjamin mutu upaya penanggulangan bencana

Basis data dan potensi daerah cukup tersedia

Kelemahan (Weakness)

Membutuhkan waktu yang relatif lama

Belum lembaga sertifikasi kesejahteraan sosial Biaya cukup besar

Peluang (Oppoutunities)

Tersedianya regulasi bidang penanggulangan bencana seperti : UU 24 Tahun 20107 tentang Penggulangan Bencana dan UU Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial

Tersedianya regulasi bidang penanggulangan bencana seperti : UU 24 Tahun 20107 tentang Penggulangan Bencana dan UU Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Mewujudkan sistem penanggulangan bencana yang lebih profesional.

Daerah mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan berbagai regulasi yang diperlukan para pemangku kepentingan di daerah dalam upaya penanggulangan bencana.

42 | P a g e

kelembagaan sosial (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) untuk mewujudkan layanan sosial dasar yang adil dan merata bagi masyarakat secara cepat, tepat, profesional dan akuntabel. Masalah (Problems) Proses komunika-si, informasi, edu-kasi, dan advokasi antar pelaku dalam upaya penanggulangan bencana masih sangat terbatas. Penyusunan Pedoman Manajemen SDM Kessos Dalam Penanggulangan Bencana

Pembentukan kelompok kelom-pok masyarakat sebagai modal sosial berpeluang membuka dan mengembangkan program-program penguatan modal social dalam penanggulangan bencana.

Tindakan (Action)

Belum ada grand design daerah yang bisa menun-jukkan arah dan peran masingmasing lembaga dalam penang-gulangan bencana. Revitalisasi Desa Ketahanan Sosial Dalam Penanggulangan Bencana

Lembaga Sertifikasi belum terbentuk

Penyusunan Standar dan Sertifikasi SDM Kessos Dalam Penanggulangan Bencana

Berdasarkan dasar pemikiran, implikasi kebijakan dan analisia SWOPA tersebut di atas, alternatif kebijakan yang diusulkan adalah Alternatif Kebijakan I yaitu PENYUSUNAN PEDOMAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM PENANGGULANGAN BENCANA merupakan Prioritas Pertama rekomendasi kebijakan yang dapat usulkan berdasarkan hasil analisa hubungan kelembagaan. Adapun alternatif 2 diusulkan sebagai rekomendasi terkait dengan unit operasional Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial serta alternatif 3 diusulkan sebagai rekomendasi terkait dengan unit operasional Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial. Beberapa substansi yang kami sampaikan kepada Menteri Sosial terkait dengan rekomendasi kebijakan Prioritas Pertama tersebut antara lain : 5.1.1 Perlu disusun dilakukan inventarisasi permasalahan dan potensi institusiinstitusi sosial dan SDM Kesejahteraan Sosial di daerah sebagai dokumen dasar penyusunan Pedoman Manajemen SDM Kesejahteraan Sosial Dalam Penanggulangan Bencana.

43 | P a g e

5.1.2

Perlunya dilakukan kajian khusus yang lebih mendalam tentang kebutuhan, masalah, dan potensi SDM Kesejaheraan Sosial dalam penanggulangan bencana baik di pusat maupun didaerah.

5.1.3

Perlu disusun grand desain pendayagunaan SDM Kesejahteraan Sosial di lingkungan Kementerian Sosial sebagai blue print bagi upaya penyusunan Pedoman Manajemen SDM Kesejahteraan Sosial Dalam

Penanggulangan Bencana. 5.1.4 Perlu disusun Peraturan Menteri Sosial tentang Pendayagunaan SDM Kesejahteraan Sosial Dalam Penanggulangan Bencana, yang mencakup ketentuan umum dan ketentuan pelaksanaan program yang mengandung 5 komponen program, yaitu : konsep, strategi, sistem komunikasi dan informasi, supervisi, dan monitoring evaluasi.

5.2. Komponen Kebijakan 52.1 Lingkup Kegiatan Lingkup Pedoman Manajemen SDM Kesejahteraan Sosial Dalam Penanggulangan Bencana dalam rangka optimalisasi peran SDM kesejahteraan sosial yang terlembaga dalam penanggulangan bencana meliputi : 5.1.1.1 Fasilitasi Penyusunan dokumen Strategis Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) tingkat Propinsi maupun Kabupaten / Kota. 5.1.1.2 Fasilitasi pembentukan jaringan pemberdayaan kelembagaan

institusi sosial dalam penanggulangan kemiskinan hingga tingkat kecamatan sebagai dalam Pengaturan kelembagaan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2010 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. 44 | P a g e

5.1.2

Tujuan 5.1.2.1 Tujuan Umum Peningkatan pengelolaan SDM Kesejahteraan Sosial dalam

penanggulangan bencana. 5.1.2.2 Tujuan Khusus 5.1.2.2.1 Penyusunan pedoman perencanaan SDM

kesejahteraan sosial dalam penanggulangan bencana. 5.1.2.2.2 T e r s e d i a mempunyai bencana. 5.1.2.2.3 Peningkatan kua l i ta s SDM kesejahteraan sosial SDM kesejahteraan sosial yang

kemampuan

dalam penanggulangan

d a l a m p enanggulangan bencana. 5.1.3 Sasaran Kelompok sasaran implementasi kebijakan Fasilitasi

Pemberdayaan Kelembagaan Sosial Dalam Penanggulangan Kemiskinan Daerah adalah : 5.1.3.1 Kementerian Dalam Negeri 5.1.3.2 Gubernur dan Bupati c.q. Dinas Sosial Provinsi dan

Kabupaten/Kota. 5.1.3.3 DPRD/lembaga legislatif Provinsi dan Kabupaten/Kota. 5.1.3.4 Sektor-sektor terkait seperti : Basarnas, Satkorlak, TNI, Polri, BNPB 5.1.3.5 Lembaga / Organisasi Sosial / Lembaga Swadaya Masyarakat Nasional dan Internasional di berbagai tingkatan. 5.1.3.6 Organisasi Profesi 5.1.3.7 Lembaga Adat

45 | P a g e

5.1.4

Masukkan Masukan dalam Penyusunan Pedoman Manajemen SDM Kesejahteraan Sosial Dalam Penanggulangan Bencana adalah : 5.1.4.1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana 5.1.4.2 Undang-undang Sosial 5.1.4.3 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan

Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana; 5.1.4.4 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana; 5.1.4.5 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-pemerintah dalam Penanggulangan Bencana. 5.1.4.6 Selanjutnya untuk mengatur kelembagaan penanggulangan bencana ditingkat pusat dan daerah telah ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional

Penanggulangan Bencana, serta Permendagri No.46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). 5.1.4.7 Keputusan Menteri Sosial RI Nomor : 10/HUK/2010 tentang Renstra Kementerian Sosial Tahun 2010 - 2014. 5.1.4.8 Peraturan Menteri Sosial RI Nomor : 86 / HUK / 2010 tentang SOTK Kementerian Sosial. 5.1.4.9 Data dan peta wilayah rawan bencana di Indonesia yang dirilis oleh Bakosurtanal. 46 | P a g e

5.1.5

Keluaran Keluaran yang diharapkan melalui Penyusunan Pedoman Manajemen SDM Kesejahteraan Sosial Dalam Penanggulangan Bencana antara lain : 5.1.5.1 Kebijakan Pemerintah Pusat dalam Pemberdayaan Kelembagaan Sosial Masyarakat dan SDM Kesejahteraan Sosial dalam

Penanggulangan Bencana sesuai dengan peraturan dan ketentuan perundang-undangan. 5.1.5.2 Menata pola pemberdayaan SDM Kesejehteraan Sosial berdasarkan kebutuhan nyata daerah yang bersifat jejaring, bersifat fleksibel dan adaptif, sehingga mampu memberdayakan masyarakat dengan lebih baik dan efisien, sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing dalam penanggulangan bencana. 5.1.5.3 Menyiapkan ketersediaan perangkat jaringan kelembagaan sosial dan SDM Kesejahteraan Sosial di daerah (pemerintah hingga tingkat grass root) yang berkualitas secara proporsional diseluruh daerah dan wilayah rawan bencana. 5.1.5.4 Pola mobilisasi SDM Kesejehteraan Sosial dalam penanggulangan bencana di daerah dan wilayah rawan bencana. 5.1.5.5 Peta potensi dan sumber SDM Kesejahteraan Sosial di daerah dan wilayah rawan bencana.

5.2 Langkah-Langkah 5.2.1 Menentukan batasan/definisi, karakteristik, dan lingkup pengaturan

kelembagaan menurut konteks peraturan perundang-undangan. 5.2.2 Menentukan Cakupan Pedoman Manajemen SDM Kesejahteraan Sosial Dalam Penanggulangan Bencana

47 | P a g e

5.2.3

Menguraikan Tujuan, Fungsi dan Peran Kelembagaan dalam Pedoman Manajemen SDM Kesejahteraan Sosial Dalam Penanggulangan Bencana skala nasional dan daerah.

5.2.4

Mengoptimalkan

pemanfaatan

potensi

sumberdaya

pada

institusi

kesejahteraan sosial pusat dan daerah dalam penanggulangan bencana. 5.2.5 Mengatur pola rekruitmen, distribusi dan pengembangan SDM

Kesejahteraan Sosial dalam penanggulangan bencana. 5.2.6 Pengembangan siaga bencana dimaksudkan sebagai alat (tools/vehicle) untuk mendorong dan meningkatkan kesadaran dan ketahanan sosial masyarakat terhadap resiko, kerawanan dan kedaruratan kesejahteraan sosial, khususnya bencana sehingga terwujud daerah berketahanan sosial. 5.2.7 Menguraikan Pola Pendayagunaan SDM Kesejahteraan Sosial oleh Institusi Kesejahteraan Sosial maupun institusi terkait lainnya dalam

penanggulangan bencana. 5.2.8 Pola Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai dengan Kepmensos Nomor 29 Tahun 2008. 5.3.8 Pola Komunikasi dan Asistensi Pendayagunaan SDM Kesejahteraan Sosial dalam penanggulangan bencana. 5.3.9 Secara prosedural Manajemen SDM Kesejahteraan Sosial Dalam Penanggulangan Bencana dilakukan oleh lembaga pemerintah dan daerah dalam hal pemanfaatan, pemantauan, pengawasan dan penertiban maupun lembaga lain (Orsos / LSM / Ngo) dalam penanggulangan bencana.

5.4 Strategi Strategi dalam mengimplementasikan kebijakan Manajemen SDM Kesejahteraan Sosial Dalam Penanggulangan Bencana ini mencakup langkahlangkah :

48 | P a g e

5.4.1

Penajaman Orientasi Penanggulangan Bencana pada Perubahan Sikap dan Perilaku Mendasar dari Masyarakat Masyarakat di daerah dan wilayah rawan bencana, meliputi : 5.4.1.1 Kesiapsiagaan sistem dan pranata sosial masyarakat dalam penanggulangan bencana khususnya untuk mencegah dan mengatasi berbagai masalah kebencanaan dan kedaruratan kesejahteraan sosial serta kemampuan untuk mengembangkan potensi dan nilai-nilai kesetiakawanan sosial secara mandiri. 5.4.1.2 Peningkatan kapasitas dan kemampuan masyarakat dalam

mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal (Nilai-nilai Kemanusiaan, Kesetaraan, Kemandirian, Keadilan dan Kesetiakawanan sosial) dalam menghadapi berbagai permasalahan kebencanaan dan kedaruratan. 5.4.2 Peningkatan kemandirian masyarakat dalam menghadapi berbagai

permasalahan kebencanaan dan kedaruratan. 5.4.3 Menjadikan upaya penanggulangan bencana tidak lagi hanya menjadi pemerintah,

urusan pemerintah, tapi menjadi Gerakan Bersama antara

pelaku usaha dan masyarakat madani (LSM, perguruan tinggi, ormas dan orpol) khususnya oleh seluruh unsur SDM Kesejahteraan Sosial; 5.4.4 Meningkatkan tata kelola pemerintahan yang profesionalitas, terbuka, akuntabel dan bertanggungjawab (good governance) dalam

mendayagunakan SDM Kesejahteraan Sosial dalam penanggulangan bencana; 5.4.5 Upaya penanggulangan bencana perlu didukung oleh sistem dan regulasi yang mengedepankan upaya penguatan dan pemberdayaan masyarakat yang bersifat prevetif.; 5.4.6 Upaya penanggulangan bencana perlu didukung komitmen, waktu yang panjang dan dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan dalam menciptakan potensi

49 | P a g e

sistem ketahanan sosial masyarakat terhadap risiko, kerawanan dan kedaruratan bencana.

5.5 Indikator Kebijakan 5.5.1 Ditetapkannya Keputusan Menteri Sosial RI tentang Manajemen SDM Kesejahteraan Sosial Dalam Penanggulangan Bencana. 5.5.2 Tersusun dan terlaksananya program dan kegiatan Penyusunan Pedoman Manajemen SDM Kesejahteraan Sosial Dalam Penanggulangan Bencana. 5.5.3 Tersedianya pedoman/ petunjuk teknis Manajemen SDM Kesejahteraan Sosial Dalam Penanggulangan Bencana guna implementasi kebijakan, program dan kegiatan penanggulangan bencana.

50 | P a g e

VI. PENUTUP

6.1. Kesimpulan Secara umum dapat disimpulkan bahwa sistem penanggulangan bencana yang saat ini dikembangkan baik di tingkat nasional maupun daerah sedang berada pada tahap transisi antara sistem yang selama ini berjalan dengan sistem baru seperti yang diamanatkan oleh UU Nomor 24 tahun 2007. UU ini menjadi milestone perubahan pendekatan penanggulangan bencana. Tiga hal yang secara khusus dirombak oleh UU Nomor 24 tahun 2007 adalah: 6.1.1 Legalitas payung hukum. Upaya penanggulangan bencana memiliki payung hukum yang memperkuat dan melindungi berbagai inisiatif yang terkait. Pada waktu sebelumnya penanggulangan bencana adalah sebuah inisiatif dan program, namun pada saat ini telah menjadi kewajiban legal. 6.1.2 Perubahan paradigma/mindset. Penanggulangan bencana bukan lagi sebuah tindakan reaktif dan terpisah dari inisiatif pembangunan. Pembangunan bencana pada saat ini perlu dilihat sebagai sebuah pendekatan menyeluruh yang terintegrasi dalam proses pembangunan. 6.1.3 Pengembangan kelembagaan. Lembaga dan sistem penanggulangan bencana melalui UU No. 24 tahun 2007 telah mendapatkan posisi yang lebih kuat sehingga diharapkan dapat berfungsi lebih efektif dalam melaksanakan berbagai tahap penanggulangan bencana. Paparan tata lembaga

penanggulangan bencana seperti yang tercantum dalam undang-undang tersebut perlu dielaborasi lebih lanjut dengan memisahkan dua fungsi yaitu disaster council dan disaster agency. Disaster council lebih berperan dalam pengembangan legal and regulatory framework serta mengembangkan enabling environment bagi stakeholders untuk berpartisipasi, sementara disaster agency adalah lembaga pelaksana penanggulangan bencana yang memiliki otoritas penuh dan menjalankan fungsi komando.

51 | P a g e

6.1.4

Sistem penanggulangan bencana seperti yang dimaksud UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang kemudian diikuti dengan keluarnya berbagai aturan pelaksana di satu sisi mampu meletakkan satu sistem penanggulangan bencana baik untuk skala nasional maupun daerah. Namun di sisi lain, banyak isu dan kendala yang ditemukan dalam proses pelaksanaan sistem penanggulangan bencana, terutama untuk Pemerintah Daerah. Dari hasil survei dan evaluasi yang dilakukan terhadap implementasi sistem penanggulangan bencana, terdapat sejumlah isu yang menonjol dan harus segera di atasi untuk menjamin berjalannya sistem penanggulangan bencana dengan baik.

6.1.5

Keberadaan dan fungsi SDM Kesejahteraan Sosial secara terlembaga sangat dibutuhkan apalagi didukung oleh amanat UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Namun demikian secara empiris sistem pendayagunaan SDM Kesejahteraan Sosial belum terlembaga, masih bersifat parsial dan belum terintegrasi dalam sistem penanggulangan bencana baik oleh instansi pusat maupun daerah serta unsur yang terkait lainnya di masyarakat. Selain itu hal-hal yang mendasari daerah untuk mengembangkan sistem

Penanggulangan Bencana dapat disimpulkan sebagai berikut : Ekspose daerah terhadap bencana Daerah yang terekspos bencana (skala besar) akan cenderung lebih proaktif untuk mengembangkan sistem baru daripada daerah yang kurang tereskpos. Keberadaan lembaga promotor Keberadaan lembaga promotor secara nyata mendorong daerah untuk

mengembangkan sistem baru. Pengalaman penanggulangan bencana Daerah yang memiliki pengalaman positif dalam menanggulangi bencana akan cenderung mengoptimalkan sistem yang ada. Sementara daerah yang tidak memiliki pengalaman positif akan cenderung merubah sistem yang telah ada. Dengan memahami sebab-sebab daerah mengembangkan sistem

Penanggulangan Bencana, maka dapat disusun langkah-langkah untuk mendorong 52 | P a g e

daerah mengembangkan sistem pendayagunaan SDM Kesejaheraan Sosial dalam penanggulangan bencana dalam bentuk insentif maupun disinsentif. 6.2. Saran-Saran 6.2.1 Dari pemaparan beberapa kesimpulan tersebut di atas, maka ada beberapa saran yang dapat dikembangkan dan ditindaklanjuti untuk menjembatani masa transisi perubahan sistem penanggulangan bencana yang lama ke sistem dengan dimensi baru dan menyempurnakan sistem baru tersebut, khususnya dalam hal kebijakan, strategi, dan operasi pendayagunaan SDM Kesejahteraan Sosial. 6.2.2 Tiga prinsip utama dalam penanggulangan bencana sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 24 tahun 2007 adalah : cepat dan tepat, prioritas, dan koordinasi dan keterpaduan. Dalam melaksanakan ketiga prinsip tersebut, pelembagan pendayagunaan SDM Kesejahteraan Sosial dalam penanggulangan bencana harus dapat bertindak lintas sektor dan lintas wilayah serta memiliki rantai komando yang jelas dan efektif. 6.2.3 Dalam kaitan kemampuan bertindak lintas sektor, pada saat ini beberapa departemen teknis di tingkat pusat dan beberapa SKPD di daerah telah menjalankan fungsi penanggulangan bencana. Fungsi koordinasi telah dijalankan oleh unsur pimpinan nasional dan pimpinan daerah. Keberadaan BNPB dan BPBD secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola kerja dan koordinasi yang telah berjalan. Karena itu, dengan adanya BNPB dan BPBD maka Kementerian Sosial perlu dikelola mereposisi peran dan fungsi dalam penanggulangan bencana, khususnya dalam mendayagunakan SDM Kesejahteraan Sosial secara bijaksana dan bertahap serta dilengkapi berbagai peraturan yang mendukung kemampuan bertindak lintas sektor. 6.2.4 Bencana yang terjadi, dampak dan penyebabnya pada umumnya lintas wilayah sehingga berpengaruh terhadap mobilisai SDM Kesejahteraan Sosial. Beberapa hal yang perlu dicermati:

53 | P a g e

6.2.4.1

Mekanisme kerja sama antar wilayah untuk menanggulangi bencana perlu dikembangkan. Salah satu inisiatif yang dapat dijadikan rujukan dalam mendayagunakan SDM Kesejahteraan Sosial adalah forum Merapi di Jawa Tengah dan DIY.

6.2.4.2

Kondisi kerawanan bencana tidak berbanding lurus dengan potensi daerah sehingga pada beberapa daerah miskin justru tingkat kerawanan tinggi sementara pada daerah yang secara ekonomi lebih baik tingkat kerawanan lebih rendah. Pola penetapan anggaran untuk bencana dengan demikian perlu disesuaikan dengan tingkat

kerawanan. 6.2.4.3 Rantai komando yang jelas dan efektif khususnya dalam fungsi pelaksanaan menuntut Kementerian Sosial memiliki hubungan kelembagaan yang bersifat komando dalam hal merekrut dan membina SDM Kesejahteraan Sosial. Sehingga Pola Pendayagunaan SDM Kesejahteraan Sosial harus banr-benar terlembaga dan tersosialisasi baik dilingkungan pemerintah dan daerah serta seluruh elemen masyarakat.

54 | P a g e

DAFTAR BACAAN

________ . 2007. Impact Measurement and Accountability in Emergencies. Oxfam GB. London, UK. Abarquez, Imelda and Murshed, Zubair. 2004. COMMUNITY-BASED DISASTER RISK MANAGEMENT - field practitioners handbook. APDC. Pathumthani, Thailand Coburn, A.W., Spence, R.J.S., Pomonis, A. 1994. Disaster Mitigation. UNDP. Cambridge, UK ________. 2006. Hazards of Nature Risk to Development. World Bank. Washington, USA Benson, Charlotte and Twigg, John. 2007. Tools for Mainstreaming Disaster Risk Reduction. ProVention. Switzerland Handmer, John and Dovers, Stephen. 2007. Handbook of Disaster & Emergency Policies & Institution. Earthscan. New York. Ikawati dan Chatarina Rusmiyati. 2009. Kepedulian Masyarakat terhadap Kepuasan Difabel Korban Gempa Dalam Memperoleh Bantuan Aksessibilitas. BBPPPKS Press. Yogyakarta. . 2005. Perda No.15/2005 tentang RPJMD Kabupaten bantul Pemerintah Kabupaten Bantul. . 2005. Pedoman teknis standarisasi bantuan sosial korban bencana alam. Departemen Sosial. . 2008. Perda Kota Padang No3/2008 tentang penanggulangan bencana. Pemerintah Kota Padang. . 2008. Petunjuk pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana gempa bumi Kota Padang. . 2007. Rencana Aksi Daerah penanggulangan bencana Kota Padang 20072012. Pemerintah kota padang. 2006-2010.

55 | P a g e

. 2010. Rencana Strategis Kementerian Sosial Tahun 2010 - 2014. Kementerian Sosial. . 2011. Laporan Tim Kendali Operasi Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam Merapi Wilayah Jawa Tengah. BBPPPKS Press. Yogyakarta. Sri Salmah. 2010. Pemberdayaan Penyandang Cacat Korban Bencana. BBPPPKS Press. Yogyakarta. Warto. 2008. Menguak Kesalehan Sosial Dalam Penanggulangan Korban Bencana di Bantul. BBPPPKS Press. Yogyakarta.

56 | P a g e

You might also like