You are on page 1of 9

AGRARIA

Catatan atas Naskah Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional : MENGATUR KEBERAGAMAN DALAM PERSPEKTIF PUSAT Oleh Aan Eko Widiarto, SH Perebutan Kewenangan Naskah Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional sejak awal penulisannya memang telah menginsafi keberagaman etnik dan budaya bangsa sehingga berimplikasi terhadap perbedaan pola-pola pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah yang ada dan berkembang antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Disadari bahwasannya ada daerah yang memiliki kecenderungan pola kepemilikan dan penguasaan tanah secara individual dan ada pula yang bersifat kolektif (adat) dengan berbagai variasi pola kepemilikan, penguasaan dan penggunaan tanahnya. Dipandang pula, perbedaan-perbedaan tersebut bukanlah masalah tetapi justru dipandang sebagai keunikan dan kekayaaan budaya bangsa Indonesia. Para founding father sejak awal sangat menghargai keragaman pola tersebut dengan menempatkan dan menjamin hak-hak masyarakat atas tanah di Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Namun demikian karakteristik sentralisasi Pusat kembali muncul ketika memahami bahwa Tap MPR IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA memberikan mandat kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan berbagai hal. (hal.2 par.2) Pemerintah Indonesia dipandang sebagai satu-satunya institusi penyelenggara urusan pertanahan yang akan melakukan upaya penataan peraturan dan perundang-undangan maupun penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah demi kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan. Dalam konteks yang demikian keberagaman hanya ditempatkan sebagai sebuah kesadaran yang kemudian tidak diimplementasikan dalam bentuk keterlibatan setiap komponen suku bangsa yang berbeda tersebut dalam mengambil kebijakan di lingkungan mereka masingmasing. Muara pemecahan seluruh problem pertanahan dipahami sebagai tugas Pemerintah Pusat. Bukankah ini yang justru menjadi persoalan selama ini bahwa ketika Konstitusi dan UUPA telah memberikan jaminan akses masyarakat terhadap tanah kemudian dikebiri dengan peraturan-peraturan organik yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Munculnya Kepres yang mengatur pengadaan tanah untuk pembangunan ternyata telah memasung hak kepemilikan dan penguasaan tanah masyarakat, demikian pula dengan keluarnya Surat-surat Keputusan Menteri Agraria yang memberikan hak pemakaian atau pun HGU lahan eks perkebunan Belanda kepada instansi militer maupun perusahaan negara. Belum lagi kebijakan-kebijakan lain di bidang agraria semisal pemberian HPH serta hak penambangan yang selama ini mengabaikan eksistensi masyarakat lokal yang merasa mempunyai sistem penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sendiri sesuai dengan kearifan lokal. Naskah Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional kurang menyoroti persoalan inti dari pengelolaan tanah atau yang lebih luas yaitu sumber daya agraria adalah tidak adanya akses masyarakat lokal untuk menentukan kebijakan agraria di tempatnya sendiri. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah mencoba untuk mendekatkan akses publik terhadap pengambilan kebijakan di bidang pertanahan dengan menenetukan bahwa urusan pertanahan adalah bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota (Pasal 11 ayat 2). Di dalam penjelasan pasal 11 ayat 2 tersebut diatur bahwa kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan

Daerah Kota tidak dapat dialihkan ke Daerah Propinsi. Daerah untuk melaksanakan kewenangan wajibnya juga tidak perlu menunggu penyerahan kewenangan dari Pusat, karena dengan ketentuan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 seluruh kewenangan sudah berada pada Daerah Kabupaten/Kota kecuali yang ditentukan bahwa kewenangan itu milik Pusat. Posisi Pemerintah Pusat hanya melakukan mekanisme pengakuan atas pelaksanaan kewenangan Kab./Kota (Penjelasan Pasal 11 ayat1). Naskah Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional tidak mencoba mengimplementasikan ketentuan kewenangan pertanahan sebagai kewenangan wajib Daerah Kabupaten dan Kota. Naskah lebih menempatkan pemegang kebijakan pertanahan masih Pusat dengan dominannya peran Pusat dalam menentukan corak kebijakan nasional pertanahan. Peranperan kebijakan lokal untuk mengatur tanahnya seolah-olah dilewati begitu saja dan disinilah terjadi pengabaian terhadap kewenangan wajib daerah. Kelembagaan pertanahan saat ini juga belum berubah dengan masih eksisnya Badan Pertanahan Nasional, kewenangan daerah mengurusi pertanahan dibatasi dengan dikeluarkannya Kepres No. 34 tahun 2003 tentang . Sudah saatnya Daerah (dipahami masyarakat daerah bersama pemerintahan daerah) diberikan akses yang lebih untuk mentukan kebijakan daerahnya sendiri dan Pusat menarik diri dari urusan yang bukan menjadi kewenangannya dengan hanya menempatkan diri sebagai fasilitator pelaksanaan urusan daerah. Problematika Pengaturan Tanah Salah satu kebijakan dalam Naskah Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional adalah mengarahkan seluruh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pertanahan (kehutanan, pertambangan, lingkungan, dan lain-lain) kepada undang-undang pokok yang memayungi seluruh peraturan perundang-undangan pertanahan tersebut. Pembentukan undang-undang pokok sebenarnya bukan isu baru karena Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 juga merupakan undang-undang pokok. Bahkan Undang-undang tersebut lebih maju karena dari sisi title sudah menunjuk pada materi Agraria dan bukan pertanahan. Agraria menurut Budi Harsono mempunyai dua pengertian. Agraria dalam pengertian luas menyangkut bumi, air, udara, luar angkasan, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Sedangkan Agraria dalam arti sempit adalah tanah. Dengan demikian penyebutan Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria lebih tepat dan maju ketimbang Undang-undang Pokok Pertanahan (Naskah KKPN hal. 15). Hanya saja UUPA tidak konsisten dalam pengaturan lebih lanjut aspek agrarianya karena yang menonjol adalah pengaturan pertanahan di dalamnya. Hal ini dapat dimaklumi dengan melihat latar belakang sejarah yang terjadi pada waktu pembentukan undang-undang yaitu masih terbatasnya teknologi dan pengembangan sumber-sumber agraria di air, udara, tambang, hutan dan lainnya. Pada saat itu sumber daya alam yang dipandang sangat penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak adalah sebatas tanah. Ketika zaman telah berubah dan teknologi serta kebutuhan masyarakat semakin meningkat seiring dengan menipisnya lahan maka eksplorasi laut, udara, hutan dan tambang menjadi penting adanya. Disinilah dibutuhkan sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan. Sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan agraria tidak dapat dilakukan dengan pembentukan undang-undang payung sebagaimana dikenal di negara lain sebagai umbrella act atau zaman orde lama disebut undang-undang pokok. Apabila kita mau konsisten dalam menerapkan sistem dan tata urutan perundang-undangan maka istilah undang-undang pokok tidak akan bisa dibuat. A. Hamid S. Attamimi sebagaimana pendapatnya ditulis oleh Maria Farida Indrati S berpendapat bahwa di Indonesia Undang-undang Pokok (undang-undang yang merupakan induk dari undang-undang lain) tidak dikenal. Hal ini dikarenakan semua undang-undang di Indonesia mempunyai hirarki yang sama dan semuanya dibentuk oleh Presiden bersama-sama DPR. Jadi disini tidak dikenal pengertian raamwet, kaderwet atau

pun moederwet sebagaimana ada di negeri Belanda. Indonesian berdasarkan UUD 1945 tidak mengenal berbagai jenis undang-undang. Berdasarkan pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 UUD 1945 hanya terdapat satu jenis undangundang. Dengan demikian apau nama undang-undang yang dihasilkan maka kedudukannya adalah sama, yang satu tidak lebih tinggi dari yang lain. Di Belanda ada yang disebut raamwet, basiswet, atau moederwet. Pembentuk wet di Belanda adalah pembentuk grondwet (undang-undang dasar) dan pembentuk basiswet sehingga hirarkinya dapat diatur oleh pembentuk wet sendiri. Di Indonesia pembentuk UUD berbeda dengan pembentuk undangundang sehingga produknya, apapun namanya, sama saja tingkatannya. Merenda Konklusi Prinsip pengaturan yang perlu ditekankan disini sebanarnya bukan membuat undang-undang yang bersifat pokok, namun antar undang-undang maupun peraturan organiknya harus sinkron dan harmonisi. Menatap pada perubahan sistem hubungan antara pusat dan daerah yang di dalamnya juga menyangkut perubahan kewenangan maka sudah saatnya sinkronisasi dan harmonisasi dilakukan dengan merubah peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan saling bertentangan dan memberikan akses yang besar bagi masyarakat untuk ambil bagian dalam melakukan sinkronisasi dan harmonisasi. Ketika masyarakat dilibatkan maka kebijakan pertanahan pada khususnya dan sumber-sumber agraria yang lain akan mengakar pada kepentingan masyarakat lokal. Perkara kesejahteraan, itu hanya persoalan dampak sehingga akan tumbuh dengan sendirinya apabila setiap warga negara mempunyai akses yang sama terhadap sumber-sumber agraria. METODE DAN TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK Oleh : Aan Eko Widiarto, SH M.Hum A. Pengertian Di dalam Ilmu Peraturan Perundang-undangan, Naskah Akademik merupakan prasyarat untuk menyusun rancangan peraturan perundang-undangan . Naskah Akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Naskah Akademik merupakan konsepsi pengaturan suatu masalah (jenis peraturan perundang-undangan) yang dikaji secara teoritis dan sosiologis. Secara teoritik dikaji dasar filosofis, dasar yuridis dan dasar politis suatu masalah yang akan diatur sehingga mempunyai landasan pengaturan yang kuat. Dasar filosofis merupakan landasan filsafat atau pandangan yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan suatu masalah ke dalam peraturan perundang-undangan. Dasar filosofis sangat penting untuk menghindari pertentangan peraturan perundang-undangan yang disusun dengan nilai-nilai yang hakiki dan luhur ditengah-tengah masyarakat, misalnya nilai etika, adat, agama dan lainnya. Dasar yuridis ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum (rechtsgrond) bagi pembuatan peraturan perundang-undangan. Dasar yuridis ini terdiri dari dasar yuridis dari segi formil dan dasar yuris dari segi materiil. Dasar yuridis dari segi formil adalah landasan yang berasal dari peraturan perundang-undangan lain untuk memberi kewenangan (bevoegdheid) bagi suatu instansi membuat aturan tertentu. Sedangkan dasar yuridis dari segi materiil yaitu dasar hukum untuk mengatur permasalahan (objek) yang akan diatur. Dengan demikian dasar yuridis ini sangat penting untuk memberikan pijakan pengaturan suatu peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi konflik hukum atau pertentangan hukum dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Dasar politis merupakan kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi

kebijakan-kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan . Diharapkan dengan adanya dasar politis ini maka produk hukum yang diterbitkan dapat berjalan sesuai dengan tujuan tanpa menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Secara sosiologis Naskah Akademik disusun dengan mengkaji realitas masyarakat yang meliputi kebutuhan hukum masyarakat, aspek sosial ekonomidan nilai-nilai yang hidup dan berkembang (rasa keadilan masyarakat). Tujuan kajian sosiologis ini adalah untuk menghindari tercerabutnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dari akar-akar sosialnya di masyarakat. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang setelah diundangkan kemudian ditolak oleh masyarakat lewat aksi-aksi demonstrasi merupakan cerminan peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki akar sosial kuat. Dengan demikian Naskah Akademik memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan karena didalamnya terdapat kajian yang mendalam mengenai substansi masalah yang akan diatur. Dalam rangka melakukan kajian teoritis tersebut maka metode yang digunakan harus ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Dalam konteks inilah metode penelitian hukum sangat penting peranannya sebagai cara menggali dan menganalisis bahan hukum primer maupun sekunder dalam sebuah penelitian hukum normatif dan/atau empiris. Dengan demikian dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan tidak boleh dilakukan secara pragmatis dengan langsung menuju pada penyusunan pasal per pasal tanpa kajian atau penelitian yang mendalam terlebih dahulu. Peraturan perundangan-undangan yang dibentuk tanpa pengkajian teoritis dan sosiologis yang mendalam akan cenderung mewakili kepentingan-kepentingan pihak berwenang pembentuk peraturan sehingga ketika diterapkan ke masyarakat yang terjadi adalah penolakan-penolakan. Masyarakat merasa tidak memiliki (tidak ada sense of belonging) atas suatu peraturan perundang-undangan akibat proses pembentukannya tidak partisipatif dengan mengikutkan dan meminta pendapat mereka. Keberadaan Naskah Akademik yang sangat penting tersebut ternyata tidak didukung dengan aturan hukum yang mengharuskan setiap penyusun peraturan perundang-undangan untuk menyusun Naskah Akademik. Penyusunan Naskah Akademik dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia masih bersifat fakultatif (bukan keharusan). Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 pasal 3 ayat (1) yang menyebut istilah Naskah Akademik dengan istilah Rancangan Akademik untuk penyusunan undang-undang menentukan bahwa: Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa penyusunan rancangan Undang-Undang dapat pula terlebih dahulu menyusun rancangan akademik mengenai Rancangan Undang-Undang yang akan disusun. Penggunaan rumusan frase dapat pula tersebut mengandung makna tidak harus sehingga Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa penyusunan rancangan Undang-Undang dapat tidak menyusun Naskah Akademik. Selain itu dalam pasal 3 ayat (1) tersebut hanya diatur penyusunan Naskah Akademik untuk rancangan Undang-Undang sehingga beberapa jenis peraturan perundangundangan yang lain seperti Perda, PP, Perpresdan Perpu, tidak terikat ketentuan pasal tersebut. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan juga tidak mengatur tentang naskah akademik dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan. Dengan demikian ketentuan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 pasal 3 ayat (1) masih berlaku karena dalam Pasal 57 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ditentukan bahwa Peraturan Perundang-undangan lain yang ketentuannya telah diatur dalam UndangUndang ini, dinyatakan tidak berlaku. Akibat Naskah akademik tidak diatur dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 maka ketentuan yang mengatur Naskah Akademik di dalam Kepres Nomor 188 Tahun 1998 tetap berlaku. Sedangkan berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional Pasal 13 diatur

bahwa naskah akademik wajib disertakan dalam penyampaian perencanaan pembentukan Rancangan Undang-Undang dalam hal Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen telah menyusun Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang. Pengaturan ini membawa konsekuensi yuridis bahwasannya apabila Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen tidak atau belum menyusun Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang maka naskah akademik tidak wajib disertakan dalam penyampaian perencanaan pembentukan Rancangan Undang-Undang. Pengaturan pasal 13 tersebut lebih lanjut selaras dengan pasal 16 ayat (2) yang menentukan dalam hal konsepsi Rancangan Undang-Undang tersebut disertai dengan Naskah Akademik, maka Naskah Akademik dijadikan bahan pembahasan dalam forum konsultasi. Konsekuensi yuridis pasal 16 ayat (2) ini juga berupa tiadanya kewajiban menyertakan Naskah Akademik dalam pembahasan di forum konsultasi. Sedangkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden juga tidak mewajibkan dibentuknya Naskah Akademik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pasal 5 (1) Pemrakarsa dalam menyusun Rancangan Undang Undang dapat terlebih dahulu menyusun Naskah Akademik mengenai materi yang akan diatur dalam Rancangan Undang Undang. Keberadaan Naskah Akademik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebenarnya sangat strategis dan merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan apabila membentuk peraturan perundang-undangan yang baik. Hal ini disebabkan dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia yang sedang dalam masa transisi demokrasi secara yuridis masih belum banyak aturan hukum yang lengkap untuk mengatur segala hal. Sementara itu arus perubahan yang diinginkan oleh masyarakat sangat kuat terutama terhadap produk peraturan perundang-undangan yang responsif dan aspiratif. Masyarakat lebih banyak menuntut keberadaan suatu peraturan perundang-undangan bukanlah kehendak penguasa (legislatif dan/atau eksekutif) belaka. Namun perlu adanya ruang-ruang publik yang memungkinkan suara rakyat tertampung dalam penyusunan substansi peraturan perundangundangan. Dengan adanya Naskah Akademik maka ruang-ruang publik tersebut sangat terbuka dan masyarakat bebas mengeluarkan aspirasi serta melakukan apresiasi terhadap substansi peraturan perundang-undangan yang sedang diatur. Sedangkan dalam konteks otonomi daerah, amandemen UUD 1945 juga memberikan peluang yuridis bagi daerah untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah daerah juga menentukan keleluasaan yang besar bagi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Kewenangan yang luas tersebut tentunya harus dipahami untuk menuju kesejahteraan dan keadilan sosial bersama sehingga produk perundang-undangan daerah yang dihasilkan adalah produk perundang-undangan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Dengan demikian, untuk kepentingan masyarakat maka masyarakat harus diajak bersama-sama dalam merumuskan rancangan perundangundangan di daerah. Hal ini tentunya tidak mengenyampingkan keberadaan wakil-wakil rakyat di DPRD. Perlu adanya kesinambungan peran antara masyarakat dengan DPRD karena pada kenyataannya wakil-wakil rakyat yang berada di dewan tidak mampu mewakili seluruh aspirasi masyarakat yang sangat dinamis itu. Disinilah dibutuhkan kearifan bersama antara Pemerintah Daerah, DPRD dan masyarakat dalam membuat peraturan perundang-undangan di daerah dengan menyusun naskah akademik sebelum merancang peraturan daerah.

Hambatan yuridis dengan tidak adanya dasar hukum yang mengharuskan pembuatan Naskah Akademik dalam penyusunan rancangan peraturan daerah, bukanlah dasar penghalang untuk dibuatnya Naskah Akademik tersebut. B. Sistematika Naskah Akademik Kerangka Naskah Akademik pada dasarnya terdiri dari : BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Latar belakang penyusunan berisi tentang hal-hal yang mendorong disusunnya suatu masalah atau urusan sehingga sangat penting dan mendesak diatur dalam peraturan perundangundangan. Aspek yang perlu diperhatikan dalam latar belakang ini adalah aspek ideologis, politis, budaya, sosial, ekonomi, pertahanan dan keamanan (ekspoleksosbud hankam). B. Tujuan Tujuan penyusunan merupakan hasil yang diharapkan dengan diaturnya suatu masalah atau urusan dalam peraturan perundang-undangan. C. Metode Bagaimana cara penyusunan naskah akademik ini (riset normatif dan riset sosiologis) BAB II TELAAH AKADEMIK Kajian Filosofis Dalam bagian ini diuraikan landasan filsafat atau pandangan yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan suatu masalah ke dalam peraturan perundang-undangan. Kajian Yuridis Dalam bagian ini diuraikan landasan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan lain untuk memberi kewenangan (bevoegdheid) bagi suatu instansi membuat aturan tertentu dan dasar hukum untuk mengatur permasalahan (objek) yang akan diatur. Kajian Politis Dalam bagian ini diuraikan kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan. Kajian Sosiologis Dalam bagian ini diuraikan realitas masyarakat yang meliputi kebutuhan hukum masyarakat, kondisi masyarakat dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang (rasa keadilan masyarakat). Kajian Teoritis Dalam bagian ini diuraikan kerangka teori pengaturan suatu masalah sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenaran ilmiahnya. Konsep-konsep Menjelaskan ruang lingkup pengertian istilah-istilah yang dipakai dalam naskah akademik. BAB III MATERI DAN RUANG LINGKUP Pembahasan gambaran umum Materi dan Ruang Lingkup peraturan perundangan yang akan dibuat. Pada umumnya materi atau ruang lingkup peraturan perundang-undangan terdiri dari: 1. Pengaturan Asas dan Tujuan Asas dan Tujuan peraturan perundangan yang akan dibuat berupa nilai-nilai dasar yang akan mengilhami norma pengaturan selanjutnya. Dengan demikian ruang lingkup pengaturan peraturan perundang-undangan yang akan disusun tidak terlepas dari asas dan tujuan dari peraturan perundang-undangan itu sendiri. Misalnya di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan hidup maka dipakai asas: Sustainability (keberlanjutan), Responsibility (pertanggung-jawaban) dan utility (manfaat). 2. Pengaturan Hak dan Kewajiban; 3. Pengaturan Kewenangan dan Kelembagaan; 4. Pengaturan Mekanisme; 5. Pengaturan Larangan-larangan; 6. Pengaturan Sanksi.

BAB IV: PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA C. Langkah-langkah Penyusunan Penyusunan Naskah Akademik dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1) Tahap Penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (Divem) Pada dasarnya penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIVEM) merupakan langkah untuk menemukan atau menginventarisir masalah-masalah yang perlu diatur dengan suatu produk hukum. Cara menyusun DIVEM dilakukan dengan menjawab beberapa pertanyaan dasar berikut : FORM 1 MASALAH SUBSTANSI HUKUM Bagian 1.A Masalah-masalah pemerintahan apa yang terjadi selama ini dalam pelaksanaan urusan/kewenangan pemerintahan terkait suatu hal yang perlu diatur dengan suatu produk hukum? (Misal: masalah terkait prosedur penyelenggaraan tupoksi suatu urusan yang akan diatur) Faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya masalah tersebut ? Apa yang perlu diatur sehingga dapat mengatasi masalah tersebut ? Bagian 1.B Masalah-masalah yuridis (hukum) apa yang terjadi selama ini dalam pelaksanaan urusan/kewenangan pemerintahan terkait suatu hal yang perlu diatur dengan suatu produk hukum ? (Misal: ada, tidak ada, atau pertentangan produk hukum daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi) Faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya masalah tersebut ? Apa yang perlu diatur sehingga dapat mengatasi masalah tersebut ? FORM 2 MASALAH STRUKTUR HUKUM Bagian 2.A Masalah-masalah sumberdaya manusia (aparatur/pegawai) apa yang terjadi selama ini dalam pelaksanaan urusan/kewenangan pemerintahan terkait suatu hal yang perlu diatur dengan suatu produk hukum? (Misal: masalah terkait kemampuan dan jumlah pegawai dalam menangani suatu urusan yang akan diatur) Faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya masalah tersebut ? Apa yang perlu diatur sehingga dapat mengatasi masalah tersebut ? Bagian 2.B Masalah-masalah hubungan antar SKPD apa yang terjadi selama ini dalam pelaksanaan urusan/kewenangan pemerintahan terkait suatu hal yang perlu diatur dengan suatu produk hukum ? (Misal: tidak adanya unit kerja, sinkron, tidak sinkron, atau tidak adanya mekanisme hubungan antar SKPD terkait suatu urusan yang akan diatur) Faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya masalah tersebut ? Apa yang perlu diatur sehingga dapat mengatasi masalah tersebut ? FORM 3 MASALAH KULTUR HUKUM Bagian 3.A Masalah-masalah sosial apa yang terjadi selama ini dalam pelaksanaan urusan/kewenangan

pemerintahan terkait suatu hal yang perlu diatur dengan suatu produk hukum ? (Misal: masalah terkait pandangan, keluhan/komplain, kritik masyarakat terhadap penyelenggaraan suatu urusan yang akan diatur atau masalah akselerasi (percepatan) pengaturan dengan perkembangan masyakat dan IPTEK) Faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya masalah tersebut ? Apa yang perlu diatur sehingga dapat mengatasi masalah tersebut ? Bagian 3.B Masalah-masalah norma atau nilai-nilai sosial apa yang terjadi selama ini dalam pelaksanaan urusan/kewenangan pemerintahan terkait suatu hal yang perlu diatur dengan suatu produk hukum ? (Misal: pandangan masyarakat tetang patut atau tidaknya penyelenggaraan suatu urusan yang diatur menurut nilai-nilai sosial yang ada ) Faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya masalah tersebut ? Apa yang perlu diatur sehingga dapat mengatasi masalah tersebut ? 2) Penyusunan Konsepsi Pengaturan Berdasarkan isian tabel DIVEM maka dapat disimpulkan pokok permasalahan yang perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Setelah ditemukan pokok permasalahan kemudian disusun konsepsi pengaturannya dengan merumuskan : a. urgensi dan tujuan penyusunan b. sasaran yang ingin diwujudkan c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur d. jangkauan serta arah pengaturan. Konsepsi pengaturan suatu rancangan peraturan perundang-undangan menjadi embrio/cikal bakal dibentuknya Naskah Akademik. 3) Penyusunan Sistematika Naskah Akademik Setelah konsepsi pengaturan disusun, langkah berikutnya adalah menyusun Sistematika Naskah Akademik dengan menyusun kerangka naskah akademik bagian per bagian berikut pokok-pokok pikiran di tiap bagiannya. 4) Penyusunan Naskah Akademik Dalam tahap ini Sistematika Naskah Akademik dijabarkan menjadi sebuah Naskah Akademik. Penjabaran dilakukan dengan menguraikan tiap-tiap bagian dalam Sistematika Naskah Akademik yang teah disusun secara objektif, analitis, kritis, komprehensif dan progresif. D. Metode Penyusunan Metode yang digunakan dalam penulisan Naskah Akademik adalah metode penelitian yuridis normatif dan empiris yang dikaji secara holistik kontekstual progresif. Holistik digunakan karena peraturan-peraturan yang ada maupun yang akan dibuat harus dikaji titik tautnya dengan peraturan dan aspek-aspek yang lain, terutama untuk melihat apakah kelemahan dan kekuatan peraturan yang ada ketika diimplementasikan pada kondisi nyata. Pengkajian aspek-aspek lain yang terkait, seperti pengalaman para stakeholders terkait, hasilhasil penelitian dan konsep-konsep yang berkaitan dengan materi muatan peraturan perundang-undangan. Sedangkan secara kontekstual adalah suatu pengkajian tentang kebutuhan-kebutuhan yang sangat penting atau vital yang mendasari atau melatarbelakangi pembuatan peraturan daerah. Progresif adalah keharusan telah dikajinya peraturan yang dibuat dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan saat ini, mendesak, tapi masih punya nilai prospektif untuk masa mendatang dengan mengadakan pembaruan-pembaruan. 1. Penelitian Yuridis Normatif Pendekatan yuridis normatif digunakan untuk mengetahui landasan atau dasar hukum

pengaturan suatu masalah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan praktek pelaksanaannya yang dilihat dari peraturan kebijakan, keputusan dan tindakan pejabat atau organ pemerintah maupun pemerintah daerah lainnya yang terkait dengan masalah penelitian. Pendekatan teoritis dilakukan untuk mengetahui: konsep ilmiah, landasan filosofis dan landasan politis suatu masalah yang diatur. Pembahasan dalam penelitian yuridis normatif dilakukan secara deskriptif analitis. Data penelitian didapatkan dari dokumen-dokumen sehingga juga merupakan penelitian dokumen. Dokumen yang dipilih adalah dokumen-dokumen yang terkait dan dapat menjawab permasalahan penelitian. Dokumen-dokumen tersebut meliputi dokumen-dokumen hukum dan literatur terkait, media massa dan lain-lain. Fokus penelitian yuridis normatif ini adalah: a. Mengkaji landasan atau dasar hukum suatu masalah yang diatur sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan praktek pelaksanaannya yang dilihat dari peraturan kebijakan, keputusan dan tindakan pejabat atau organ pemerintah maupun pemerintah daerah. b. Mengkaji konsep ilmiah suatu masalah yang diatur. c. Mengkaji landasan filosofis suatu masalah yang diatur. d. Mengkaji landasan politis suatu masalah yang diatur. Dokumen-dokumen yang akan diteliti sebagai sumber data dalam penelitian hukum disebut dengan bahan-bahan hukum. Bahan-bahan hukum dalam penelitian ini meliputi : a. Bahan Hukum Primer yang berupa peraturan perundang-undangan. b. Bahan Hukum Sekunder yang berupa pendapat ahli, literatur, hasil penelitian terdahulu, dan lain-lain. c. Bahan Hukum Tertier yang berupa kamus dan ensiklopedi. Proses analisis dilakukan dengan pengelompokan data yang terkumpul dan mempelajarinya untuk menemukan prinsip-prinsip yang akan menjadi pedoman pembahasan. Prinsip-prinsip tersebut diperoleh dengan penafsiran terhadap bahan-bahan hukum serta konteks ruang dan waktu dokumen tersebut dibuat. Data-data dikumpulkan berdasarkan permasalahan tinjauan yuridis yaitu dasar pengaturan suatu masalah yang diatur. Selanjutnya dilakukan analisis yang menghubungkan antara tinjauan yuridis dengan tinjauan teoritis. Dengan demikian akan menghasilkan gambaran atas suatu masalah yang diatur. 2. Penelitian Empiris Penelitian empiris dilakukan untuk menganalisis pengalaman empirik dari para stakeholders yang terkait dengan suatu masalah yang diatur. Data empiris yang digunakan dalam penulisan Naskah Akademik ini adalah : a. Kebutuhan hukum masyarakat dalam pengaturan suatu masalah. b. Kondisi sosial masyarakat. c. Nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat. Teknik pengambilan data dilakukan dengan wawancara dapat dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview) melalui pendekatan participatory rural appraisal (PRA), survey, Focus Group Discussion (FGD), Lokakarya, dan lain-lain.

You might also like