You are on page 1of 24

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapakan kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat-Nya yang tiada

terhingga kepada penulis yang dari mulai dalam kandungan sampai proses pendidikan yang penulis jalani saat ini. Untaian kata dan shalawat beriring salam tak lupa penulis sanjungkan kepada Rasulullah Nabi Muhammad SAW yang telah mengilhami penulis dengan karisma dan sabdanya bagi penulis untuk terus menuntut ilmu sampai ke akhir hayat kelak. Rangkaian ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada para pembimbing dan penuntun pendidikan yang senantiasa dan tak bosan-bosannya membimbing dan menuntun penulis dalam menunutut ilmu sampai ke jenjang Sarjana bahkan pada saat menempuh pendidikan lanjutan di magister hukum pasca sarjana Universitas Andalas pada saat ini. Khususnya kepada Prof. Ismansyah, SH, MH dalam mata kuliah Sosiologi Hukum, karena berkat beliaulah penulis bisa menyelesaikan makalah tentang Pro dan Kontra Peraturan Daerah Larangan Mengangkang Bagi Pengendara Sepeda Motor. Penulis menyadari, bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan masih perlu untuk disempurnakan. Untuk itu saran dan kritik untuk perbaikan makalah ini sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap, semoga penulisan makalah ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Padang, 01 Februari 2013 Penulis

Nofry Hardi
1

BAB I PENDAHULUAN 1. Kajian Filsafat Secara Umum Pembahasan filsafat hukum tidak bisa lepas (berkaitan erat) dari hidup dan penghidupan hukum. Hidup dan penghidupan hukum mengandung aspek teoritis (teoritik) dan aspek praktis (praktek). Hal ini disebabkan karena hukum ini bersifat mendua, yaitu hidup di dunia normatif dan empirik. Hukum hidup tumbuh dan berkembang dimasyarakat, dengan kata lain Hukum ada, tumbuh, dan berkembang jika ada masyarakat, dengan demikian hidup dan penghidupan hukum sebagai salah satu gejala masyarakat/fenomena masyarakat tidak dapat hidup, tumbuh dan berkembang sendiri jika tidak ada masyarakat. Sebagai konsekuensinya, para anggota masyarakat harus/wajib tunduk dan taat (mematuhi) pada hukum yang telah disepakatinya dalam masyarakat itu, hal ini kemudian dikuatkan dengan adanya sanksi. Bahkan dalam masyarakat muncul keyakinan bahwa setiap anggota masyarakat (orang) harus mematuhi hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Seiring dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada era globalisasi secara sangat cepat dan dinamis oleh masyarakat manusia, maka hidup dan penghidupan hukum mau tidak mau harus mengikuti arus tersebut. Dalam hal ini, apakah filsafat hukum yang bersumber dari perenungan manusia masih berguna atau relevan pada saat maraknya masalah-masalah konkret yang memerlukan penyelesaian teknis dan prakmatis saat ini, untuk menjawab pertanyaan ini bukanlah hal yang mudah., oleh karena itu perlu dipahami tentang pengertian filsafat dan filsafat hukum, ruang lingkup filsafat hukum,dan manfaat filsafat hukum. Filsafat merupakan induk semua cabang ilmu. Dalam (ilmu) filsafat dijelaskan asumsi- asumsi dasar bagi eksistensi setiap cabang ilmu, yaitu ontology, epistimologi , dan aksiologi ilmu.1 Istilah filsafat bisa dilacak etimologinya dari istilah Arab falsafah, atau bahasa Inggris Philosophy yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia yang terbentuk dari dua akar kata: philen (mencintai) dan sophos (bijaksana), atau juga philos (teman) dan Sophia (kebijaksanaan). Jadi filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan.
Lili Rasjidi dan B . Arief Sidharta Ed.1994. Filsafat Hukum mazhab dan Refleksinya, Bandung : Remaja Rosdakarya, hlm 5
1

Secara terminologis, penulis menggunakan definisi filsafat sebagai kegiatan/hasil pemikiran/perenungan yang menyelidiki sekaligus mendasari segala sesuatu yang berfokus pada makna di balik kenyataan/ teori yang ada untuk disusun dalam sebuah system pengetahuan rasional. Objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada. Ada itu sendiri dapat dipilah dalam tiga kategori : tipikal/ sungguh-sungguh ada dalam kenyataan, ada dalam kemungkinan, ada dalam pikiran atau konsep.2 Bidang kajian filsafat yaitu : 1. Ontologi hukum yaitu ilmu tentang segala sesuatu (Merefleksi hakikat hukum dan konsep-konsep fundamental dalam hukum, seperti konsep demokrasi, hubungan hukum dan kekuasaan, hubungan hukum dan moral). 2. Aksiologi hukum yaitu ilmu tentang nilai (Merefleksi isi dan nilai-nilai yang termuat dalam hukum seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran). 3. Ideologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan hukum yang mengangkut cita manusia (Merefleksi wawasan manusia dan masyarakat yang melandasi dan melegitimasi kaidah hukum, pranata hukum, sistem hukum dan bagian-bagian dari sistem hukum). 4. Teleologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan hukum yang menyangkut cita hukum itu sendiri (Merefleksi makna dan tujuan hukum). 5. Epistemologi yaitu ilmu tentang pengetahuan hukum (Merefleksi sejauhmana pengetahuan tentang hakikat hukum dan masalah-masalah fundamental dalam filsafat hukum mungkin dijalankan akal budi manusia) 6. Logika hukum yaitu ilmu tentang berpikir benar atau kebenaran berpikir (Merefleksi atran-aturan berpikir yuridik dan argumentasi yuridik, bangunan logikal serta struktur sistem hukum).3

2 3

Jujun S, Surisumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 1996, hlm 9. Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, Raja Grafindo Indo Persada, Jakarta, 1994, hlm 14.

2. Kajian Sosial Kajian sosial pada dasarnya adalah pemahaman terhadap makna dari hukum itu sendiri dengan menggunakan bidanag ilmu filsafat hukum, teori hukum, penemuan hukum, dan sosiologi hukum yang saling berhubungan satu sama lain. Apabila dikaji secara intern, detail dan terperinci maka ilmu hukum merupakan salah satu dari suatu bidang hukum. Tegasnya, jikalau dijabarkan lebih jauh pada hakikatnya ilmu hukum tidaklah identik dengan hukum oleh karena untuk menjadi hukum bukan harus selalu lahir dari proses pengembangan ilmu hukum. Dengan lain perkataan yang sederhana dapatlah diasumsikan bahwa setiap ilmu hukum itu akan berubah menjadi hukum apabila melalui proses keadilan masyarakat. Dalam perkembangannya, apabila ditinjau dari optik konsep ilmu maka secara konseptual ilmu hukum identik dengan ilmu-ilmu lainnya. Akan tetapi jikalau konsep ilmu dalam ilmu hukum dipandang sebagai konsep yang khas dan berbeda dengan konsep umum pada ilmu-ilmu alam maka ilmu hukum menjadi suatu ilmu yang khas dan khusus oleh karena penerapan metode ilmu-ilmu alam dalam ilmu hukum menjadikan ilmu hukum dapat diklasifikasikan ke dalam ilmu sosial. Selain dari aspek tersebut dalam bangun yang lain maka kerap kali ilmu hukum dikategorikan ke dalam ilmu humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Aspek ini terjadi oleh karena ilmu hukum bersifat manusiawi dimana sifat kemanusiaan dari ilmu hukum terlihat dari metode penemuan hukum. Tegasnya, sifat konkrit dan individual mengakibatkan metode penemuan hukum mengarah pada manusia. Apabila ditelusuri mengenai latar belakang penempatan ilmu hukum ke dalam humaniora oleh karena dari aspek ini ilmu hukum tidak lepas dan berkolerasi dari agama. Menurut pandangan nasrani misalnya, Injil dianggap sebagai hukum. Begitu pula halnya dalam agama Islam maka Al-quran adalah salah satu sumber hukum. Dengan demikian maka pemahaman terhadap kitab suci sebagai sumber hukum dilakukan suatu penafsiran. Maka oleh karena itu sejak timbulnya negara bangsa, menimbulkan peraturan di mana dalam ilmu hukum metode penafsiran tetap dipergunakan seperti dalam hukum yang berdasarkan agama. Dengan titik tolak demikian akan menimbulkan pertanyaan fundamental yakni apakah ilmu hukum dapat dikategorikan sebagai ilmu ataukah tidak? Terhadap aspek ini dapat dilihat dari 2 (dua) titik pandang.
4

Pertama, di satu pihak menurut aliran positivistik maka ilmu hukum harus dipisahkan hubungan antara hukum dengan moral sehingga ilmu hukum itu bukanlah ilmu oleh karena hanya sosiologi hukum empirik dan teori hukum empirik dalam arti sempit sebagai ilmu. Sedangkan yang lainnya ternmasuk keahlian hukum terdidik (rechtsgeleerdheid).4 Kedua, di lain pihak menurut aliran normatif maka hendaknya dipisahkan antara korelasi hukum dan moral sehingga tiap teori hukum dalam arti luas dapat menjadi ilmu. Aspek ini lebih rinci dan lugas ditegaskan oleh J.J.H. Bruiggink dengan redaksional sebagai berikut: Hanya sosiologi hukum empirik dan teori hukum empirik dalam arti sempit yang dapat disebut ilmu berdasarkan kretarium positivistik. Kegiatan sosiologi hukum kontemplatif, dogmatika hukum (atau ilmu hukum dalam arti sempit). Teori hukum kontemplatif dalam arti sempit dan filsafat hukum harus dipandang sebagai bukan ilmu hukum, melainkan sebagai rechtsgeleerdheid (Keahlian hukum terdidik atau kemahiran hukum terdidik), setidak-tidaknya demikian menurut pandangan positvistik. Menurut pandangan normatif, tiap teori hukum (dalam arti luas) dapat memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan bagi ilmu, sehingga tiap cabang teori hukum (dalam arti luas) dapat menyandang gelar ilmu.5 Pada faktanya penyebab terjadinya pelanggaran hukum sebagai bahan kajian dalam ilmu sosial ini adalah karena adanya kesempatan atau peluang, pameran kekayaan materiel, kekuasaan tak terbatas, aturan permainanyang simpang siur.6 3. Fakta Beberapa tahun yang silam adalah hal yang biasa melihat perempuan duduk menyamping saat dibonceng sepeda motor. Hanya mereka yg punya hubungan dekat, keluarga (muhrim) atau sesama perempuan yang tidak sungkan duduk mengangkang saat berada diboncengan. Itupun dengan syarat mereka menggunakan celana panjang bukan rok. Untuk duduk mengangkang, apalagi diboncengan laki-laki, sepertinya menjadi hal yang kurang pantas dilihat, apalagi saat menggunakan rok. Dalam situasi
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 8 J.J.H. Bruggink, (alih bahasa: Arief Sidharta), Refleksi Tentang Hukum, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 185 dan 187. 6 Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial, Alumni, Bandung, 1982, hlm 9.
5 4

terpaksa, kalaupun harus duduk mengangkang saat dibonceng laki-laki, biasanya seorang perempuan akan minta persetujuan dulu kepada pengemudinya, boleh atau tidak duduk mengangkang. Padahal waktu itu tidak ada satupun peraturan tertulis yang melarang perempuan untuk duduk mengangkang. Seolah secara otomatis kaum perempuan menyadari bahwa dibonceng dalam posisi mengangkang adalah perbuatan yang kurang sopan. Kini zaman sudah berubah. Secara perlahan tapi pasti nilai-nilai kesopanan masa lalu sudah memudar (atau dipudarkan). Tidak sulit sekarang kita temui di jalan raya, perempuan yang duduk dalam posisi mengangkang di boncengan sepeda motor, tidak peduli apakah ia menggunakan rok ataupun celana super pendek. Belum lagi didukung dengan model sepeda motor yang membuat mereka yang duduk diboncengan mau tidak mau harus mengangkang dan duduk rapat dengan yang memboncengnya. Apalagi dengan mode pakaian perempuan yang semakin mengecil dan meninggi, membuat apa yang di masa lalu dianggap sebagai tidak sopan menjadi hal yang biasa dan modern. Tidak sekali dua kali, para orang tua dan ustadz mengeluhkan tentang pemandangan yang mudah ditemui di jalan raya ini. Mereka prihatin melihat begitu banyaknya anak-anak perempuan dengan seragam sekolah SMA yang duduk mengangkang di boncengan sepeda motor sehingga membuat bagian bawah rok SMAnya tertarik ke atas menampakkan sebagian pahanya. Bisa ditebak, mereka yang berada di boncengan seperti itu rata-rata adalah kaum Muslimah yang semestinya punya kesadaran untuk menutup auratnya. Belum lagi ketika yang berboncengan adalah antara laki dan perempuan yang bukan muhrim. Posisi mengangkang memungkinkan untuk tidak ada jarak yang memisahkan antara yang membonceng dengan yang dibonceng. Tapi apa mau dikata penyebabnya adalah majalah, film dan acara-acara di televisi telah membawa trend modern ini masuk ke kamar anak-anak muda. Ajaran Islam yang memerintahkan perempuan (dan juga laki-laki berperilaku sopan dan menutup auratnya di depan umum), seolah dianggap sebagai sebuah ajaran yang ketinggalan jaman. Kuno. Warisan dari budaya barbar Timur Tengah. Aturan agama tentang menutup aurat dituduh sebagai upaya diskriminatif, pengekangan dan perampasan hak-hak kaum perempuan. Yang disalahkan justru kaum laki-laki yang dianggap tidak bisa menjaga mata dan hawa
6

nafsunya. Padahal sebenarnya perintah menutup aurat ini adalah salah satu upaya Islam untuk menghormati kesucian dan meninggikan nilai perempuan di mata kaum lelaki.7 Apakah kondisi semacam itulah yang menjadi pertimbangan pemerintah kota Lhokseumawe sebagai kota yang menerapkan Syariah Islam untuk mengeluarkan aturan baru yang mengharuskan para perempuan duduk menyamping. khususnya saat dibonceng sepeda motor. Saya juga tidak mau terlalu jauh terlibat dalam pro dan kontra peraturan itu, karena saya sendiri tidak mengetahui secara langsung dan pasti alasan utama sebenarnya. Berita yang dimuat di beberapa media massa tidak bisa dijadikan referensi yang komplit untuk menemukan alasan sebenarnya secara menyeluruh. Media lebih suka mengkorek-korek alasan yang masuk akal untuk menentang dan menghujat peraturan daerah tersebut tanpa mempedulikan sisi religi. Tokoh-tokoh yang diwawancarai lebih banyak diambil dari mereka yang kontra, sedangkan mereka yang pro hampir tak diberi ruang. Dan orang-orangnya sudah bisa ditebak itu-itu lagi, itu-itu lagi. Perbuatan mengangkang pada saat berboncengan akan menimbulkan reisko untuk berpelukan yang dalam hukum Islam dikategorikan sebagai ikhtilath yaitu perbuatan bermesraan antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri atau mahram baik pada tempat tertutup atau terbuka. Dan dapat juga dikategorikan sebagai perbuatan bermesraan dalam Qanun Hukum Jinayat Aceh pada pasal 1 ayat 18 yang menyatakan bahwa bermesraan adalah bercumbu, bersentuh-sentuhan, berpegangan , berpelukan dan berciuman.8 Perempuan duduk menyamping saat dibonceng di sepeda motor, bahkan saat naik kuda, bukan hal yang aneh di masa lalu. Posisi duduk menyamping dibanding duduk mengangkang lebih banyak berkaitan dengan alasan kesopanan. Dan tidak benar juga kalau ada yang mengatakan kaum perempuan di masa lalu ketika naik kuda posisinya selalu mengangkang alias menghadap ke depan. Di beberapa negara Eropa pada abad 1718, perempuan bangsawan saat mengendarai kuda, justru duduk menyamping. 9 Begitu pula, saat dibonceng motor. Di masa lalu, perempuan di negara Barat pun
www,scribd.com/ oleh Zulkifli Dm diakses pada 9 Januari 2013 pukul 19:03 Neng Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam , Jakarta, Kencana , 2010, hlm 107. 9 William Whiteman, An Introduction in to Western History, Oxford Library, page 19
8 7

ketika dibonceng sepeda motor juga melakukan hal yang sama, duduk menyamping, bukan mengangkang. Penyebabnya, tentu saja karena rok panjang yang mereka kenakan. Akan sangat menyulitkan kalau mereka harus duduk mengangkang. Bandingkan dengan sekarang, yang berok pendek pun dengan percaya dirinya duduk mengangkang. Barangkali karena alasan rok panjang itulah, yang identik dengan busana muslimah yang menutup aurat, maka himbauan untuk tidak duduk mengangkang menjadi hal yang dianggap tepat untuk diterapkan di wilayah kota Lhokseumawe. Bisa jadi itu juga salah satu cara untuk membuat kaum perempuan di kota Lhokseumawe mau menggunakan busana Muslimah yang baik dan benar. Keheranan saya cuma satu. Mengapa urusan sepele yang sifatnya lokal dan alasannya juga bisa diterima secara logika beragama ajaran Islam, orang bisa jadi ributnya bukan main. Seolah keberadaan peraturan ini sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Begitu cepat sekali reaksi protes dan nada sinis yang terkesan merendahkan dilontarkan di mana-mana. Tidak itu saja, media di luar negeri pun ikut memberitakan tentang hal ini. Berbagai hujatan mulai dari yang tidak terlalu kasar sampai sangat kasar juga sangat mudah ditemui di internet, termasuk di jaringan sosial. Bahkan sampai ada tokoh perempuan yang dengan lantang mengatakan di media televisi bahwa tidak ada kaitannya urusan berpakaian menutup aurat dengan tingkat kejahatan pemerkosaan. Menurutnya, di negara Arab Saudi yang perempuannya berpakaian menutup aurat justru banyak yang menjadi korban pemerkosaan dibanding di negara Eropa yang perempuannya berpakaian mini bahkan bikini. Sebuah perbandingan yang sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.10 Kalaupun memang ada dari peraturan itu yang perlu dikoreksi atau dikritisi, mengapa tidak dilakukan dengan cara yang santun. Tidak perlu sampai mengeluarkan berbagai hujatan yang menurut saya akhirnya justru menjurus ke sentimen dan negatif thinking terhadap keyakinan agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Lhokseumawe. Berikut adalah bunyi Seruan Bersama yang akan menjadi Peraruran Daerah Larangan Mengangkang bagi Pengendara Sepeda Motor :
10

Artikel hukum diakses dari hukumonline.com tanggal 2 Januari 2013

Seruan Bersama Untuk menegakkan syariat Islam secara kaffah, menjaga nilai budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh dalam pergaulan sehari-hari, serta sebagai wujud upaya Pemerintah Kota Lhokseumawe mencegah maksiat secara terbuka, maka dengan ini pemerintah mengimbau kepada semua masyarakat di wilayah Lhokseumawe agar; 1. Perempuan dewasa yang dibonceng dengan sepeda motor oleh laki-laki muhrim, bukan muhrim, suami, maupun sesama perempuan, agar tidak duduk secara mengangkang (duek phang) kecuali dengan kondisi terpaksa (darurat). 2. Di atas kendaraan baik sepeda motor, mobil, dan/atau kendaraan lainnya, dilarang bersikap tidak sopan seperti berpelukan, berpegang-pegangan dan/atau cara lain yang melanggar syariat Islam, budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh. 3. Bagi laki-laki maupun perempuan agar tidak melintasi tempat-tempat umum dengan memakai busana yang tidak menutup aurat, busana ketat dan hal-hal lain yang melanggar syariat Islam dan tata kesopanan dalam berpakaian. 4. Kepada seluruh Geucik, imam mukim, camat, pimpinan instansi pemerintah atau lembaga swasta agar dapat menyampaikan seruan ini kepada seluruh bawahannya serta kepada semua lapisan masyarakat. Demikian imbauan ini kami sampaikan untuk dapat dilaksanakan dengan penuh kesadaran dalam upaya menegakkan syariat Islam. Lhokseumawe, 7 Januari 201311 Ditandatangani oleh 1) Walikota Lhokseumawe Suaidi Yahya 2) Ketua DPRK Kota Lhokseumawe Saifuddin Yunus 3) Ketua MPU Lhokseumawe Tgk H Asnawi Abdullah 4) Ketua MAA Lhokseumawe Tgk H Usman Budiman

11

Majalah forum keadilan edisi 1 2013

4. Masalah Yang Dimunculkan Dalam makalah ini penulis mencoba menganalisa tentang Peraturan Daerah Tentang Larangan Duduk Mengangkang Bagi Pengendara Sepeda Motor di provinsi Aceh yang menjadi hot issue akhir-akhir ini dikaitkan dengan sosiologi hukum, mengenai: 1) Peraturan Daerah Larangan Mengangkang Bagi Pengendara Sepeda Motor 2) Legalisasi Peraturan Daerah menurut Undang-Undang 3) Tingkat Formalisasi Syariah dalam Perda

10

BAB II PEMBAHASAN A. Latar Belakang Teori Teori hukum adalah disiplin hukum yang secara kritikal dalam perspektif interdisipliner menganalisis berbagai aspek dari hukum secara tersendiri dan dalam keseluruhannya, baik dalam konsepsi teoritikalnya maupun dalam pengolahan praktikalnya dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan penjelasan yang lebih jernih tentang bahan-bahan hukum tersaji.12 Pokok kajian teori hukum meliputi : 1. Analisis hukum yaitu upaya pemahaman tentang struktur sistem hukum, sifat dan kaidah hukum, pengertian dan fungsi asas-asas hukum, unsur-unsur khas dari konsep yuridik (subyek hukum, kewajiban hukum, hak, hubungan hukum, badan hukum) 2. Ajaran metode yaitu metode dari ilmu hukum (dogmatik hukum), metode penerapan hukum (pembentukan hukum dan penemuan hukum), teori perundang-undangan, teori argumentasi yuridik (teori penalaran hukum). 3. Ajaran ilmu (epistemologi) dari hukum dengan mempersoalkan karakter keilmuan ilmu hukum. Teori hukum bukanlah ilmu yang bisa berdiri sendiri untuk itu teori hukum didukung oleh ilmu-ilmu lain seperti: Ontologi hukum yaitu ilmu tentang segala sesuatu (merefleksi hakikat hukum dan konsep-konsep fundamental dalam hukum, seperti konsep demokrasi, hubungan hukum dan kekuasaan, hubungan hukum dan moral). Aksiologi hukum yaitu ilmu tentang nilai (merefleksi isi dan nilai-nilai yang termuat dalam hukum seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran)

Friedman L, Teori dan Filsafat hukum: Telaah kritis atasi Teori-Teori Hukum (susunan I), judul asli Legal Theory, penerjemah: Mohammad Arifin, Cetakan kedua, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada 1993, hlm 3.

12

11

Ideologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan hukum yang mengangkut cita manusia (merefleksi wawasan manusia dan masyarakat yang melandasi dan melegitimasi kaidah hukum, pranata hukum, sistem hukum dan bagian-bagian dari sistem hukum).

Teleologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan hukum yang menyangkut cita hukum itu sendiri (merefleksi makna dan tujuan hukum). Epistemologi yaitu ilmu tentang pengetahuan hukum (merefleksi sejauhmana pengetahuan tentang hakikat hukum dan masalah-masalah fundamental dalam filsafat hukum mungkin dijalankan akal budi manusia)

Logika hukum yaitu ilmu tentang berpikir benar atau kebenaran berpikir (merefleksi atran-aturan berpikir yuridik dan argumentasi yuridik, bangunan logical serta struktur sistem hukum).13

Hakekat dalam teori hukum meliputi : 1. Hukum merupakan perintah (teori imperatif) Teori imperatif artinya mencari hakekat hukum. Keberadaan hukum di alam semesta adalah sebagai perintah Tuhan dan Perintah penguasa yang berdaulat. Aliran hukum alam dengan tokohnya Thomas Aquinas dikenal pendapatnya membagi hukum (lex) dalam urutan mulai yang teratas, yaitu : Lex aeterna (Rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh manusia, yang disamakan hukum abadi) Lex divina (Rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia) Lex naturalis (Penjelmaan dari Lex aeterna dan Lex divina) Lex positive (hukum yang berlaku merupakan tetesan dari Lex divina (kitab suci))

2. Kenyataan sosial yang mendalam (teori indikatif) Mahzab sejarah : Carl von savigny beranggapan bahwa hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat. Aliran sociological jurisprudence dengan tokohnya Eugen Eurlich dan Roscoe Pound dengan

Salman Otje S &Anton Susanto, Teori Hukum (mengingat, mengumpulkan, dan membuka kembali), PT Rafika Aditama, Bandung, 2010, hlm 6.

13

12

konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) baik tertulis malupun tidak tertulis.

a. Hukum tertulis atau hukum positif Hukum posistif atau Ius Constitutum yaitu hukum yang berlaku di daerah (negara) tertentu pada suatu waktu tertentu. b. Hukum tidak tertulis Hukum kebiasaan yaitu kebiasaan yang berulang-ulang dan mengikat para pihak yang terkait. 1) Hukum adat adalah adat istiadat yang telah mendapatkan pengukuhan dari penguasa adat. 2) Traktat atau treaty adalah perjanjian yang diadakan antar dua negara atau lebih dimana isinya mengikat negara yang

mengadakan perjanjian tersebut. 3) Doktrin adalah pendapat ahli hukum terkemuka. 4) Yurisprudensi adalah kebiasaan yang terjadi di pengadilan yang berasaskan azas precedent yaitu pengadilan memutus perkara mempertimbangkan putusan kasus-kasus terdahulu yang di putus (common law). 14 3. Tujuan hukum (teori optatiif) Keadilan menurut Aristoteles sebagai pendukung teori etis, bahwa tujuan hukum utama adalah keadilan yang meliputi : 1) Distributive, yang didasarkan pada prestasi 2) Komunitatif, yang tidak didasarkan pada jasa 3) Vindikatif, bahwa kejahatan harus setimpal dengan hukumannya 4) Kreatif, bahwa harus ada perlindungan kepada orang yang kreatif 5) Legalis, yaitu keadilan yang ingin dicapai oleh undang-undang
14

Dimyati Khudzaifah , Teorisasi Hukum, Muhamadiyah Press, Surakarta, 2004, hlm 19.

13

6) Kepastian,15 Hans kelsen dengan konsepnya (Rule of Law) atau Penegakan Hukum. Dalam hal ini mengandung arti : a. Hukum itu ditegakan demi kepastian hukum. b. Hukum itu dijadikan sumber utama bagi hakim dalam memutus perkara. c. Hukum itu tidak didasarkan pada kebijaksanaan dalam pelaksanaannya. d. Hukum itu bersifat dogmatik.16 Aliran Hukum Dalam Teori Hukum: 1) Aliran Hukum Alam Yaitu aliran yang konsepsinya bahwa hukum berlaku universal dan abadi. Tokohnya Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Grotius. Dalam teori dualisme bahwa manusia bagian dari alam dan manusia adalah majikan dari alam. 2) Aliran Positivisme Hukum Yaitu aliran yang konsepnya bahwa hukum merupakan perintah dari penguasa berdaulat (Jhon Austin) dan merupakan kehendak dari pada Negara (Hans Kelsen).17 3) Mahzab Sejarah (historical jurisprudence) Yaitu aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat. Tokoh : Carl von Savigny. 4) Aliran Sociological Jurisprudence

Abdul Halim Barkatullah, Teguh Prasetyo, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum:Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermatabat , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm 32. 16 Assiddiqie Jimly &M Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal & kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm 87.
17

15

Ibid

14

Yaitu aliran hukum yag konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law baik tertulis maupun tidak tertulis. Tokoh : Eugen Ehrlich. 5) Aliran Pragmatic Legal Realism Yaitu aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum dapat berperan sebagai alat pembaharuan masyarakat. Tokoh : Roscoe Pound.18 6) Aliran Marxis Yurisprudence Yaitu aliran yang konsepnya bahwa hukum harus memberikan perlindungan terhadap golongan proletar atau golongan ekonomi lemah. Tokoh : Lenin, Bernstein, Gramsci, Horkheimer, Marcuse. 7) Aliran Anthropological Jurisprudence Yaitu airan yang konsepnya bahwa hukum mencerminkan nilai sosial budaya (Northrop), hukum mengandung system nilai (Mac Dougall). 8) Aliran Utilitariannism Yaitu aliran yang konsepnya bahwa hukum memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi orang sebanyak-banyaknya (the greatest happines for ter greatest number). Tokoh : Jhon Locke. 9) Mahzab Unpad, yaitu aliran yang konsepnya bahwa hukum dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Tokoh : Mochtar Kusumaatmadja. Hukum tidak meliputi asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat termasuk lembaga dan proses didalam mewujudkan kaedah itu dalam kenyataan. Hukum adalah keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur kehidupan

18

Pound Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta, 1989, hal. 51.

15

manusia dalam masyarakat, termasuk lembaga dan proses dalam mewujudkan berlakunya hukum.19 Sementara jika teori disandingkan dengan sosiologi hukum maka sosiologi hukum merupakan pengetahuan relatif karena senantiasa mengedepankan kajiannya terhadap sesustu yang terjadi dan yang mungkin terjadi dan tindakan sosial adalah merupakan realitas mutlak, sementara relevansinya dengan ketaatan terhadap norma sosial atau hukum merupakan realitas relatif.20 B. Interpretasi Penulis Fenomena ini bisa dilihat dari munculnya peraturan daerah (Perda), baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota, Rencana Strategis (Renstra), Surat Keputusan, Instruksi atau Edaran Bupati/Walikota dan lainnya yang berisi tentang penerapan syariah Islam, paling tidak yang bernuansa syariah, walaupun beragam. Dari kadar syariahnya yang paling rendah yang hanya mengatur pelacuran dan minuman keras (sebagai perda mainstream) yang juga diatur KUHP (Kitab UU Hukum Pidana) seperti di Tangerang, yang mengatur persoalan Jumat khusyuk, keharusan bisa baca tulis Al-Quran, berbusana Muslim, pemberdayaan ZIS (Zakat, Infak, dan Sedekah), hingga penerapan sebagian hukum pidana Islam (kendati yang disebut terakhir hanya terjadi di Aceh), seperti hukum cambuk bagi penjudi dan pelaku khalwat (laki-laki dan wanita dewasa berdua-duaan di tempat sepi).21Termasuk dalam larangan mengangkang bagi pengendara sepeda motor yang seruannya baru saja dikeluarkan.

Pandangan teori hukum dalam menyikapi masalah Peraturan Daerah Larangan Mengangkang tersebut:

Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006 Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hlm 9. 21 Sukron Kamil dkk., Syariah Islam dan HAM, Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non Muslim, Jakarta, CSRC UIN Jakarta dan KAS, 2007, hlm 19.
20

19

16

1. Dinilai dari consequential theory maka Peraturan tersebut tidak dapat diterapkan ke dalam subjek hukum yaitu masyarakat karena dalam kenyataannya masyarakat menolak dan banyak yang tidak setuju dengan keberadaan dan aktivitas peraturan hukum tersebut. Hakikat dari consequential theory adalah bahwa peraturan yang dibuat dan tercipta harus dan akan mempunyai konsekuensi dari peraturan itu sendiri terlepas dari diterima atau tidaknya peraturan tersebut. 2. Dinilai dari deontological theory maka Peraturan tersebut layak untuk diterapkan ke tengah-tengah masyarakat karena sesuai dengan Hukum Islam, Hukum Adat dan nilai-nilai moral yang berlaku di daerah tersebut. Peraturan hukum yang berasaskan dan berlandaskan prinsip-prinsip fundamental harus diterapkan selama peraturan itu dimaksudkan untuk tujuan positif. Upaya penerapan syariah lewat perda di atas bisa dipahami, karena di tingkat nasional (pusat) sendiri, upaya penerapan syariah itu terjadi sejak tahun-tahun awal berdirinya Indonesia. Dengan memanfaatkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, upaya penerapan syariah mengambil pola baru, yaitu lewat daerah. Hal ini karena UU tersebut menyerahkan setidaknya 11 kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Meskipun dalam UU itu dijelaskan ada lima bidang yang tetap menjadi wewenang pemerintah pusat, antara lain urusan agama, tetapi dalam UU tersebut juga dinyatakan bahwa proses legislasi dalam bentuk perda tidak lagi harus disahkan oleh pemerintah pusat, asal tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Belakangan, UU itu memang telah direvisi oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa sebuah perda harus mendapatkan pengesahan pusat atau bagi perda di tingkat kabupaten harus mendapatkan pengesahan pemerintahan tingkat provinsi, kecuali tentu saja Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang diberikan kekhususan terutama lewat UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Namun, hingga kini, karena agaknya faktor pertimbangan politik, perda-perda syariah dibiarkan berjalan, tidak disentuh sama sekali oleh Pemerintah Pusat.22

Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat, Reproduksi Salafiah Ideologis di Indonesia, Jakarta: PSAP, 2007, hlm 390 dan 316.

22

17

C. Prediksi Penulis Berdasarkan kriteria Daniel E. Price,23 syariah Islam yang diterapkan di berbagai daerah dalam bentuk perda-perda syariah atau perda bernuansa syariah baru sampai di level ketiga, yaitu pengaturan ritual keagamaan (ibadah). Pengaturan ritual tersebut bentuknya bervariasi. Dari pengaturan Jumat khusyuk dengan menutup jalan utama saat Jumat berlangsung seperti di Bima atau saat salatnya saja seperti di Bireun Nangroe Aceh Darussalam (NAD); syarat bisa baca tulis Al-Quran bagi calon mempelai dan calon pejabat di Bulukumba, Sulawesi Selatan; hingga keharusan menutup warung/toko saat salat berlangsung, terutama Salat Magrib dan Jumat seperti di Bireun, NAD. Umumnya, penerapan syariah Islam dalam bentuk perda yang berjalan hanyalah pada level pertama (hukum keluarga) dan level kedua (hukum ekonomi), yaitu berpakaian Muslim, pengelolaan zakat, infak, dan sedekah (walaupun ini juga bisa disebut sebagai level pertama), perda wajib belajar sekolah diniyah, dan perda pelajaran ekonomi syariah seperti di Tasikmalaya.24 Dari sekian perda-perda syariah atau bernuansa syariah itu, perda yang berisi larangan atau penertiban minuman keras, pelacuran, perjudian dan larangan mengangkang bagi pengendara sepeda motor merupakan perda mainstream. Hanya saja, kandungan yang memuat keempat isu tersebut sama sekali tidak mencerminkan syariah. Bentuk hukuman atau sanksi dalam perda tersebut, misalnya, tidak sesuai dengan bentuk hukuman seperti yang diatur syariah, terutama di Aceh. Dilihat dari sisi ini, untuk perda yang memuat empat hal tersebut, penamaannya dengan perda syariah tampaknya merupakan simplikasi, bahkan keliru. Hal ini sebagaimana dikatakan pula oleh Prof Dr. Jan Michiel Otto, Direktur van Vollernance Institute for Law, Governance, and Development, Universitas Leiden, Belanda. Baginya, sepanjang perda yang disebut-sebut syariah itu mengandung larangan perjudian, pelacuran, minuman keras dan kesusilaan, sebetulnya tidak ada bedanya dengan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), karena empat hal ini sudah diatur KUHP sejak pemerintahan Orde Baru. Karenanya, perda yang memuat empat isu tersebut bisa saja dikatakan sebagai perda penguatan
Arskal Salim dan Azyumardi Azra, Syaria and Politics in Modern Indonesia, Pasir Panjang: ISEAS, 2003, hlm11. 24 Sukron Kamil dkk., Syariah Islam dan HAM, Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak -Hak Perempuan, dan Non Muslim, Jakarta, CSRC UIN Jakarta dan KAS, 2007, hlm 87
23

18

KUHP dan bisa juga disebut perda yang menjadikan living norm sebagai living law. Argumennya karena nilai-nilai lokal (adat) di masyarakat juga menganggap bahwa perbuatan judi, meminum minuman keras, dan prostitusi adalah perbuatan tercela secara moralitas adat, karena bagi mereka, hal itu merupakan perintah agama. Dalam konteks ini, tampaknya perda syariah dianggap pengejawantahan dari doktrin keharusan penerapan ajaran agama secara kaffah (menyeluruh). Data ini juga menunjukkan: pertama, perspektif keagamaan (syariah) masyarakat Muslim di Indonesia cenderung berorientasi pada negara, kurang berspektif civil society yang meniscayakan posisi negara tidak terlalu dominan, tetapi justru menhendaki kemandirian masyarakat dari negara. 25 Dalam perspektif civil society, penerapan syariah tidak usah melibatkan negara seperti terjadi di Amerika Serikat, meskipun di negara seperti Inggris yang mengakui hukum Gereja Anglikan memiliki kekuatan yang sama dengan common law-nya di pengadilan, negara juga dibutuhkan untuk melegitimasi dibolehkan pelaksanaan syariah kendati bersifat opsional saja. Perspektif seperti ini bisa dipahami, karena dalam sejarah klasik Islam, terutama sejak Dinasti Umayyah (661-750 M) hubungan agama dan negara dalam praktik sejarah begitu organik yang tidak terpisah sama sekali. Kedua, perspektif kegamaan masyarakat yang menerapkan perda syariah berbeda dengan pandangan organisasi Islam terbesar di Indonesia (Nahdhatul Ulama [NU] dan Muhammadiyah) yang mendukung bentuk Indonesia sebagai negara bangsa dan menolak formalisais syariah, paling tidak di tingkat pidana, meskipun dalam praktiknya, anggota-anggotanya banyak terlibat gerakan penerapan syariah Islam di berbagai daerah. Ketiga, tampaknya bagi masyarakat umumnya, ketika disebut syariah, kalangan Muslim yang agam anya tidak kuat sekalipun, takut atau memiliki suasana psikologis yang sulit untuk menolak, meski dalam bentuk perda yang tingkat relatifitasnya tinggi.26 Maka dari itu menurut pandangan penulis sebenarnya masalah Peraturan Daerah terkait Larangan Mengangkang bagi pengendara sepeda motor hanyalah terkait dengan norma-norma sosial dan adat yang hidup dalam masyarakat. Tidak perlu dilegalkan
25 26

Ibid, hlm 89.

Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekular, Menegosiasikan Masa Depan Syariah, Bandung: Mizan, 2007, h. 218

19

dengan peraturan hukum yang formal karena sudah termaktub dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana Tentang Kesusilaan. Yang lebih penting lagi bahwa hal tersebut sudah terkait antara hubungan Al-Muamalah yaitu hubungan manusia dengan Allah bukan Al-Muamanah yaitu hubungan manusia dengan sesama manusia. Dalam hal ini dituntut kebijaksanaan kita sebagai makhluk Allah yang beriman dan bertakwa untuk dapat menafsirkan perintah dan larangan dalam Al-Quran dan Hadist sesuai dengan perkembangan zaman untuk kebaikan umat manusia dan keselamatan kita di akhirat kelak.

20

BAB III PENUTUP 1. KESIMPULAN Berdasarkan paparan di atas, bisa disimpulkan bahwa penerapan/formalisasi syariah atau yang bernuansa syariah lewat perda baru sampai pada level ketiga, yaitu pengaturan aspek ritual/ibadah. Dalam hal ini, formalisasi hukum keluarga dan ekonomi sudah terlampaui, dan ini sama saja dengan formalisasi syariah di tingkat Nasional. Pandangan teori hukum dalam menyikapi masalah Peraturan Daerah Larangan Mengangkang tersebut: 1) Dinilai dari consequential theory maka Peraturan tersebut tidak dapat diterapkan ke dalam subjek hukum yaitu masyarakat karena dalam kenyataannya masyarakat menolak dan banyak yang tidak setuju dengan keberadaan dan aktivitas peraturan hukum tersebut. Hakikat dari

consequential theory adalah bahwa peraturan yang dibuat dan tercipta harus dan akan mempunyai konsekuensi dari peraturan itu sendiri terlepas dari diterima atau tidaknya peraturan tersebut. 2) Dinilai dari deontological theory maka Peraturan tersebut layak untuk diterapkan ke tengah-tengah masyarakat karena sesuai dengan Hukum Islam, Hukum Adat dan nilai-nilai moral yang berlaku di daerah tersebut. Peraturan hukum yang berasaskan dan berlandaskan prinsip-prinsip fundamental harus diterapkan selama peraturan itu dimaksudkan untuk tujuan positif. Secara umum, perda-perda syariah atau yang bernuansa syariah itu diketahui masyarakatnya. Hanya saja sosialisasi yang terjadi bersifat bottom up dan di sebagian daerah. Lebih dari itu, pembentukan perda syariah tersebut secara umum juga tidak melibatkan publik dan ini membuktikan bahwa formalisasi syariah Islam lewat perda lebih sebagai egenda politik elite daerah untuk menambah bobot politisnya, di tengah pengelolaan pemerintah yang buruk. Tampaknya, dengan demikian, perhatian rakyat terhadap kesejahteraan ekonomi misalnya bisa teralihkan.

21

Selain itu, perda syariah juga secara umum disetujui oleh masyarakatnya, karena dinilai sebagai perintah agama dan jalan keluar dari berbagai krisis yang membelit bangsa ini. Dalam praktiknya, dampak positif dari penerapan perda syariah atau yan g bernuansa syariah itu hanya tiga, yaitu: meningkatnya keamanan, meningkatnya penghimpuan ZIS (Zakat, Infak, dan Sedekah), dan meningkatkannya keataatan beragama masyarakat. Namun, yang paling meyakinkan, hanyalah yang disebut pertama (meningkatnya keamanan) dan ternyata perda syariah atau yang bernuansa syariah itu juga melanggar atau mengancam hak-hak sipil dan non Muslim sebagai minoritas. Karena itu, jika syariah Islam ingin diperdakan atau dijadikan hukum positif lainnya seharusnya disesuaikan dengan tuntutan modernitas seperti HAM universal, paling tidak yang non dergable yang menjadi hukum internasional. Wallah alam bi as-shawb. 2. Saran Maka dari itu menurut pandangan penulis sebenarnya masalah Peraturan Daerah terkait Larangan Mengangkang bagi pengendara sepeda motor hanyalah terkait dengan norma-norma sosial dan adat yang hidup dalam masyarakat. Tidak perlu dilegalkan dengan peraturan hukum yang formal karena sudah termaktub dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana Tentang Kesusilaan. Yang lebih penting lagi bahwa hal tersebut sudah terkait antara hubungan Al-muamalah yaitu hubungan manusia dengan Allah bukan Al-muamanah yaitu hubungan manusia dengan sesama manusia. Dalam hal ini dituntut kebijaksanaan kita sebagai makhluk Allah yang beriman dan bertakwa untuk dapat menafsirkan perintah dan larangan dalam Al-Quran dan Hadist sesuai dengan perkembangan zaman untuk kebaikan umat manusia dan keselamatan kita di akhirat kelak.

22

DAFTAR PUSTAKA Abdul Halim Barkatullah, Teguh Prasetyo, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum:Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermatabat , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012 Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekular, Menegosiasikan Masa Depan Syariah, Bandung: Mizan, 2007. Assiddiqie Jimly &M Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal & kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006 Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 2007. Dimyati Khudzaifah , Teorisasi Hukum, Muhamadiyah Press, Surakarta, 2004 Friedman L, Teori dan Filsafat hukum: Telaah kritis atasi Teori-Teori Hukum (susunan I), judul asli Legal Theory, penerjemah: Mohammad Arifin, Cetakan kedua, (Jakarta,PT Raja Grafindo Persada 1993) Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat, Reproduksi Salafiah Ideologis di Indonesia, Jakarta: PSAP, 2007, J.J.H. Bruggink, (alih bahasa: Arief Sidharta), Refleksi Tentang Hukum, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Jujun S, Surisumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 1996. Lili Rasjidi dan B . Arief Sidharta Ed, Filsafat Hukum mazhab dan Refleksinya, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1994. Manan Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004
Neng Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam, Jakarta, Kencana , 2010.

Pound Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta: Bhratara 1989


23

Salman Otje S &Anton Susanto, Teori Hukum (mengingat, mengumpulkan, dan membuka kembali) PT Rafika Aditama, Bandung, 2010 Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, Raja Grafindo Indo Persada, Jakarta, 1994. Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1980.
Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial, Alumni, Bandung, 1982.

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, 1986. Sukron Kamil dkk., Syariah Islam dan HAM, Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non Muslim, Jakarta, CSRC UIN Jakarta dan KAS, 2007 William Whiteman, An Introduction in to Western History, Oxford Library, 2001. Yarsif Watampone, Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding) , Jakarta, 2006 Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Sumber Sekunder : Majalah forum keadilan edisi 1 2013 www.scribd.com/ www.hukumonline.com www.wikipedia.com www.aceh.go.id

24

You might also like