You are on page 1of 23

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN Nama Umur : Tn sutrisno : 61 tahun Tanggal pemeriksaan : 23-5-13

Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Swasta

Suku Bangsa : Lampung Alamat : Desa V poncowati lamteng

ANAMNESIS Seorang pasien laki- laki berumur 61 tahun dirawat di Bangsal bedah RS Abdul Muluk sejak tanggal 23-5-13, dengan : Keluhan Utama : Benjolan pada leher kanan sejak 5 bulan sebelum masuk rumah sakit Riwayat Penyakit Sekarang : Benjolan pada leher kanan sejak 5 bulan sebelum masuk rumah sakit, awalnya bengkak dirasakan sebesar kelereng makin lama makin membesar dan sekarang sebesar telur bebek dengan disertai rasa nyeri. Pasien juga mengeluhkan sakit pada kepalanya terutama pada kepala bagian kanan. Rasa sakit tersebut menjalar sampai ke leher. Sakit tersebut dirasakannya semenjak empat bulan yang lalu. Pasien merasakan sakit kepala yang hilang timbul.

Pasien berdenging pendengaran pasien berkurang semenjak terdapatnya benjolan pada leher pasien.

Riwayat demam tidak ada. Riwayat sakit di dada tidak ada. Pasien adalah seorang perokok aktif yang dalam seharinya bisa menghabiskan dua bungkus rokok. Pasien biasa melakukan kegiatan merokoknya dalam ruangan ber- AC dikantornya. Kegiatan merokok tersebut dilakukan semenjak pasien bujang.

Terasa kesemutan dibagian wajah kanan. Pandangan pada sebelah kanan menurun

Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak ada yang berhubungan

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang menderita tumor leher atau tumor pada anggota tubuh yang lain

Riwayat Pasien merupakan perokok aktif

PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis Keadaan Umum Kesadaran Tekanan darah Frekuensi nadi Frekuensi nafas Suhu : tampak sakit sedang : Composmentis : 130/90 mmHg : 80 x/menit : 20 x/menit : 36,8 C

STATUS LOKALIS Regio Colli Dextra Terdapat multinoduler benjolan Benjolan pertama berukuran 5x3 cm dengan konsistensi keras, warna sama dengan kulit sektar ,Nyeri (-), terfixsasi, benjolan kedua berukuran 4x 2 cm keras, warna sama dengan kulit sekitar, terfixasi, nyeri tekan(-), benjolan ketiga

berukuran 3x2 cm keras tidak dapat di gerakan nyeri tekan(+).

KGB daerah leher (+) unilateral (dextra) Hasil patologi anatomi Makroskopi putih : Benjolan retroaurikuler sejak 4 bulan, ukuran 10X7cm terfiksir aspirat

Mikroskopi

: sedian sitologi aspirasi jarum halus mengandung kelompokan sel-sel

dengan inti bulat oval, pleomorfik, kromatin kasar

Kesimpulan

: Positif, anak sebar karsinoma berdiferensiasi buruk yang dapat berasal

dari nasofaring

Diagnosis

Ca nasofaring

Diagnosis Banding

: Carsinoma laring

Pemeriksaan Anjuran : CT scan nasofaring

Terapi : Ceftriaxone 2x1 iv Ketorolac 1 amp drip Kemoterapi + radioterapi :

Terapi Anjuran

: - Radioterapi - Kemoterapi

Prognosis Quo ad Vitam

: : dubia et malam

Quo ad Sanactionam : dubia et malam Quo ad Functionam : dubia ad bonam

KARSINOMA NASOFARING

A. Sinomin Karsinoma nasofaring mempunyai beberapa persamaan kata antara lain : malignant nasopharyngeal tumors, nasopharyngeal carcinoma, NPC, nasopharyngeal kanker, NPC, kanker kepala dan leher, head and neck carsinoma1.

B. Insedensi Karsinoma nasofaring merupakan jenis keganasan yang sering terjadi di Asia Tenggara. Di beberapa wilayah seperti Cina selatan, Hong Kong, Singapura, Malaysia, dan Taiwan, tingkat kejadian dilaporkan bervariasi dari 10-53 kasus tiap 100.000 orang per tahun. Angka kejadian juga tinggi di antara orang Eskimo di Alaska dan Greenland dan di orang Tunisia, berkisar dari 15-20 kasus tiap 100.000 orang per tahun. Walaupun Karsinoma nasofaring adalah penyakit yang relatif jarang di negara Barat (<1 kasus per 100.000), tetapi merupakan masalah kesehatan yang cukup berarti di daerah Amerika Serikat di mana terdapat penduduk orang Asia dakam jumlah besar. Tingkat kejadian bagi orang Asia di Amerika Serikat adalah 3,0-4,2 kasus tiap 100.000 orang1.

C. Etiologi Etiologi Karsinoma nasofaring masih belum jelas, secara umum, karsinoma nasofaring diperkirakan merupakan hasil penggabungan antara pengaruh infeksi dengan virus EpsteinBarr (EBV), genetik maupun faktor lingkungan seperti karsinogen. Bukti dari terlibatnya faktor genetik adalah ditemukannya pada kelompok penderita karsinoma nasofaring dengan genotipe HLA-A2 dan HLA-Bsin2 yang lazim terdapat pada ras dari Cina selatan tetapi jarang ditemukan pada ras kulit putih. Selanjutnya, kelainan multipel kromosom lainnya yang sudah dikenali, termasuk 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 22, dan X1. Faktor lingkungan atau kebudayaan yang mungkin dihubungkan dengan karsinoma nasofaring diantaranya termasuk konsumsi ikan asin dan makanan diawetkan berisi

karsinogenik nitrosamines, khususnya konsumsi saat masa kecil. Bukti keterlibatan EBVDNA dengan ditemukan di hampir seluruh sel karsinoma nasofaring yang dipelajari ditemukan EBV. Deteksi dari clonal EBV-DNA memberikan bahwa keganasan clonal merupakan perluasan satu sel induk yang ditulari oleh EBV. Kesimpulan ini menunjukkan bahwa EBV hadir dalam sel pada saat transformasi sehingga menjadi ganas dan memberi perintah untuk virus dalam membantu menghasilkan peristiwa transformasi awal1. Kontribusi baik faktor genetik dan faktor lingkungan untuk penyakit ini dicerminkan pada pengamatan bahwa timbulnya karsinoma nasofaring bagi individu yang kelahiran Amerika, generasi kedua dari orang cina lebih rendah tingkat kejadiannya daripada dari individu cina yang kelahiran Cina, tetapi tetap lebih tinggi daripada individu kulit putih di Amerika Serikat1.

D. Faktor Resiko Beberapa faktor yang meningkatkan resiko terserang suatu penyakit kanker nasofaring yaitu : - Perokok - Pengkonsumsi alkohol - Pengguna marijuana - Diet tinggi konsumsi ikan asin, daging asap, daging bebek, sosis serta makanan dengan tinggi kandungan N-nitrosamin4 - Orang China tenggara dan Hongkong - Orang yang terinfeksi malaria5 - Orang yang terpapar EBV - Laki-laki 2x lebih berisiko daripada wanita2 E. Klinis Walaupun dilaporkan karsinoma nasofaring ditemukan di semua kelompok umur, tingkat kejadian tertinggi timbulnya terjadi di individu berumur 30-60 tahun. Karsinoma nasofaring sebagian besar di temukan pada pria, dengan perbandingan antara pria dan wanita rasio 3:1. Secara klinis, Karsinoma nasofaring mempunyai sedikit tanda gejala awal, hal tersebut menyebabkan diagnosa sering terlambat. Gejala awal non spesifik termasuk rasa tersumbat di hidung, dahak diselubungi dengan darah, tinnitus, sakit kepala, sulit membuka

mulut, sakit pada tenggorok yang menetap, rasa penuh telinga, nyeri dan telinga berdengung, kehilangan pendengaran konduksi unilateral dari serous otitis media akut atau otitis media berulang, penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya. Pada kasus dengan tingkatan menengah, tumor bisa menyerang pangkal tengkorak dan penyebaran intrakranial lewat satu atau banyak foramina. Bukti keterlibatan nervus kraniales (III-VI), termasuk diplopia dan rasa tebal muka1,2. Banyaknya pembuluh kapiler darah daerah limphatik di nasofaring membantu penyebaran dengan prevalensi metastasis tinggi. Kira-kira 44-57% pasien awalnya pergi kedokteran karena keluhan metastatis pada kelenjar getah bening yang banyak timbul di leher. Pada saat diagnosa, 60-85% pasien sudah mempunyai cervikal metastasis. Penyebaran sistemik juga terjadi lebih mudah pada karsinoma nasofaring daripada jenis kanker kepala dan leher yang lain. Paling sering metastase melibatkan daerah tulang, paru-paru, dan hati. Metastases jauh didapatkan di 5-10% pasien pada pertemuan pertama6,7

F. Anatomi nasofaring Nasofaring didefinisikan sebagai rongga yang pada bagian anteriornya dibatasi oleh choane posterior, bagian posterior dibatasi oleh clivus dan vertebra cervicalis 1-2, superior dibatasi oleh lantai dari os sphenoid, dan inferior dibatasi oleh tingkat batas bebas dari palatum mole. Nasofaring terbagi menjadi 3 bagian yaitu: dinding posterosuperior, dinding lateral, dan permukaan dari posterosuperior palatum mole. Torus tubarius merupakan tempat terbuka dari tuba Eustachi ke dalam dari lateral dinding nasofaring. Fossa Rosenmuller adalah celah atau tempat tersembunyi di belakang torus, yang sebagai penghubung antara dinding lateral dan posterior. Karsinoma nasofaring paling sering terjadi pada daerah ini2.

Medical Illustrations

Posterior dan lateral dinding nasopharyngeal terdiri dari 3 lapisan tissue. Mucosa epithelium nasofaring adalah kompleks, terdiri sebagian besar pseudostratified columnar ciliated epithelium dekat choanae dan bagian berdampingan atap nasofaring, trantitional epithelium di atap dan dinding lateral, dan epithelium squamous berlapis sepanjang bagian posterior dan bagian-bagian lebih rendah nasofaring. Otot konstriktor superior dan buccopharyngeal fascia melingkungi mucosa. Secara superior, buccopharyngeal fascia bersatu dengan pharyngobasilar fascia, yang lekat pada alas tengkorak1. Buccopharyngeal fascia berjalan posterolateral dari pinggir bebas yang ditengah-tengah pterygoid plate ke batas bagian samping arteri karotis. Fascia ini memisahkan nasofaring dari parapharyngeal (paranasopharyngeal) space1. Garis yang menghubungkan pinggir bebas yang ditengah-tengah pterygoid plate posterolaterally ke styloid pembagi proses paranasopharyngeal space ke anterior prestyloid space dan retrostyloid space (berisi sarung karotis dan nervus craniales) di belakang. Paranasopharyngeal space diikat anterior oleh pterygomandibular raphe, yang berhubungan dengan lateral pterygoid plate ke mandibula. Retropharyngeal space berisi kelenjar getah bening retropharyngeal dan kelenjar Rouviere. Space ini ditemukan posterior

buccopharyngeal fascia dan anterior prevertebral fascia; oleh karena itu, lesi yang berjalan melewati buccopharyngeal fascia posterior melibatkan retropharyngeal space, sedangkan luka yang berjalan menyamping di sisi yang lain ini fascia menjangkau parapharyngeal space1.

Nasofaring adalah bidang yang sulit secara anatomis untuk dilakukan pembedahan membuka. Bidang ini tertutup serta berdekatan kepada beberapa foramina dan menghubungkan vital neurovascular struktur. Ini termasuk foramen ovale, foramen spinosum, foramen lacerum, kanal karotis, dan foramen jugularis1.

Leher Ho semula menggambarkan supraclavicular fossa sebagai daerah segi tiga ditegaskan oleh 3 point: end sternal dari clavicula, lateral end os clavicula, dan titik di mana leher bertemu bahu. Bidang ini secara klinis punya arti penting, pada daerah tersebut banyak terlibat ialah, lesi N3 dan, oleh karena itu, stadium IV kanker1.

G. Lab Studies Banyak studi sudah menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring secara bermakna berhubungan dengan EBV. Seroepidemiologik sudah memperlihatkan bahwa 80-90% pasien dengan World Health Organization (WHO) tipe 2 NPC dan WHO tipe 3 NPC telah meningkatkan kadar immunoglobulin (IgA) antibodi untuk virus capsid antigen (VCA) dan early antigen (EA). Tetapi, hanya 10-20% pasien dengan WHO tipe 1 NPC telah meningkatkan kadar IgA antibodi untuk VCA. Peningkatan titer EBV juga mungkin dihubungkan dengan entensitas penyakit lain, seperti sinonasal undefferentiated carcinoma (SNUC), sinonasal lymphoma, dan kanker lidah1.

Table 1. Prediksi nilai dari Ebstain Barr Virus Serologi kombinasi

IgA Antibody to EA + +

IgA Antibody to VCA +

Probability of NPC 100% 100% 5.5%

37.8%

Serologic test yang lain termasuk IgA antibodi yang ditujukan melawan EBV, EpsteinBarr (virus) nuklir antigen (EBNA) -1 (ditemukan di sekitar 90% dari pasien dengan Karsinoma nasofaring), dan immunoglobulin G (IgG) antibodi untuk EBV replication activator (ZEBRA). Tes laboratorium lain untuk pertimbangan termasuk hitungan CBC dan tes fungsi hati (LFT) untuk mengetahui penyebaran metastasis1.

H. Imaging Studies MRI dengan gadolinium dan fat suppresion merupakan radiologic modality terpilih. Dapat membedakan jika terdapat penyebaran ke intracranial dari tumor yang membungkus parenkim otak atau sinus cavernous. Penjalaran ke intracranial bisa terjadi lewat beberapa foramina yang berada disekitar nasofaring. Foramin-foramen tersebut antara lain foramen ovale, foramen spinosum, foramen lacerum, kanal karotis, dan foramen jugular. Deteksi dari penyebaran tumor ke dalam retropharyngeal, parapharyngeal, dan pterygomaxillary, sebaik infratemporal fossa dan sinus. Imaging studi lain termasuk radiography dada, CT scan dada jika kesimpulan di radiograph abnormal, abdominal CT scan jika kesimpulan LFT abnormal, scan tulang, dan bone marrow untuk lesi stadium IV. Untuk penyakit berulang atau sisa yang terjadi setelah terapi radiasi, membedakan jaringan tumor dari radionecrosis atau fibrosis mungkin sulit. Positron emisi tomography (PET) mungkin membantu untuk mengetahui lesi di nasofaring dan dasar tengkorak. Jika lesi apakah lesi di intracrania, spectral MRI mungkin lebih berguna untuk membedakan tumor dari radionecrosis1.

I. Prosedur diagnostik Transnasal biopsi nasopharyngeal mass Mendapatkan sampel dari multipel biopsi pada tempat primer untuk secara akurat memutuskan WHO histologic tipe tumor; Pembedaan yang akurat penting karena klasifikasi mempunyai implikasi prognostik yang signifikan. Kebanyakan karsinoma nasofaring ialah homogenous, Shanmugaratnam menemukan 26,4% karsinoma nasofaring mempunyai gambaran lebih dari 1 tipe histologic. Fee menemukan kesimpulan yang mirip di 35% dari

kasus Karsinoma nasofaring berulang. Jenis heterologous tumor dklasifikasikan sebagai bentuk predominan histologik tipe. Karena campuran banyak lymphocytes, deteksi jarsinoma nasofaring dengan histopathology rutin mungkin sulit. Diagnostik karsinoma nasofaring dari sampel biopsi berlangsung dari jaringan sebelumnya yang disinari juga sulit dilakukan identifikasi, karena hubungan di antara karsinoma nasofaring dan EBV adalah molekul EBVspesifik yang mapan yang baik bisa dipakai sebagai petanda untuk deteksi karsinoma nasofaring di sampel biopsi. Salah satu molekul EBV-spesifik EBV encoded small RNA (EBER). Penelitian di Taiwan, insitu hybridization assay untuk EBV encoded RNA 1 (EBER1) dilaporkan mempunyai sensitifitas 96,4% untuk mendeteksi klarsinoma nasofaring primer. ketika di ujikan ke beberapa subtipe, sensitifitas adalah 80% untuk WHO tipe 1, 97,3% untuk WHO tipe 2, dan 97,3% untuk WHO tipe 3. Kegunaan petanda yang lain adalah gen EBV mampu menyandikan laten membran protein 1 (LMP1). Walaupun gen tersebut menyandikan LMP1 (LMP1) tetapi tidak ekspresikan secara terus-menerus pada semua karsinoma nasofaring (hanya sekitar 65%), LMP1 dapat ditemukan di setiap sel karsinoma nasofaring. Dengan munculnya teknik polymerase reaksi berantai (PCR), hanya sedikit sel karsinoma nasofaring diperlukan untuk mendeteksi LMP1. Oleh karena itu, swab dari nasofaring dan test untuk LMP1 secara teoretis bisa dipakai sebagai alat screening untuk deteksi awal karsinoma nasofaring di wilayah dengsan insidensi yang tinggi. Tetapi, ketidakmampuan tes ini untuk mengetahui submucosal tumor. Baru-baru ini, Hao et al melapor menggunakan LMP1 sebagai petanda mungkin untuk membantu membedakan antara Karsinoma nasofaring berulang dari osteoradionecrosis di sequestrectomy spesimens1. Nasofaring normal kaya akan jaringan limfoid, dimana tempat ini merupakan target untuk infeksi EBV pada kondisi seperti mononukleosis. Banyak infiltrasi lymphocyte juga timbul pada karsinoma nasofaring. Karena itu, kekhawatiran timbul karena molekul EBVspesifik yang diketahui dari nasofaring mungkin berasal dari sel yang dulunya ditulari oleh EBV dan tidak dari sel karsinoma nasofaring. Chen et al, asal jaringan ini dan menggunakan immunohistochemistry untuk mempertunjukkan bahwa EBV-DNA dilokalisir hanya dalam sel karsinoma nasofaring dan tidak di lymphocytes melindungi sel tumor atau di normal jaringan nasopharyngeal. Pemeriksa lain juga sudah menunjukkan bahwa infeksi laten EBV tidak terjadi di sel epithelial nasopharyngeal normal. Keganasan lain, seperti human virus leukemia T-sel tipe 1 (HTLV-1)-associated T-sel lymphoma dewasa, nasal lymphoma,

kanker lidah, dan suatu letal midline granuloma, juga dihubungkan dengan EBV. Meskipun lesi ini jarang, mereka harus dimasukkan di diagnosa diferensial ketika pada pasien test positif untuk molekul EBV-spesifik. Diagnosa histologis dari penyakit persisten radioterapi kadang-kadang mungkin menyesatkan. Biopsi diambil dengan segera mengikuti radiasi mungkin memperlihatkan sel kanker yang dapat berfungsi, yang akhirnya akan menjalani kematian sel. Kwong et al mempelajari 803 pasien dengan karsinoma nasofaring, dengan diambil serial biopsi post-radioterapi nasopharyngeal. Mereka menemukan bahwa mungkin sampai 10 minggu untuk penyelesaian terapi radiasi agar sel kanker mengalami kematian sel. Dengan begitu, biopsi untuk menegakkan penyakit persistent biasanya minimal 10 minggu untuk mengikuti penyelesaian pengobatan radiasi untuk menghindari diagnosa false-positif1.

Fine needle aspirasi pada massa di leher Fine needle aspirasi pada massa di leher mungkin berguna untuk deteksi tumor nasopharyngeal primer yang tersembunyi. Teknik PCR bisa dipergunakan untuk evaluasi aspirat untuk adanya EBV-DNA, atau insitu hybridization bisa dipergunakan untuk menentukan adanya EBER (EBER1-ISH). In situ assay dilaporkan mempunyai sensitifitas 98,1% dan spesifik sebanyak 100%, di daerah seperti Taiwan, di mana sebagian besar penduduk ditulari dengan EBV. PCR pun teknik mempunyai sensitifitas lebih rendah sebanyak 90,7% dan positif di 7 dari 61 pasien tanpa karsinoma nasofaring (spesifik 88,5%). Beberapa peneliti dari negara Barat merekomendasikan penggunaan tes ini untuk area yang tidak endemik. Dictor et al melaporkan sensitifitas sebanyak 88,9% dan spesifik sebanyak 100% yang memakai EBER1-ISH di atas sampel biopsi dari cervikal metastasis. Ke-2 kasus hasil negatif palsu cervikal metastasis dari keratinizing NPC1.

Histologic Findings Seperti diperlihatkan di table 2. Karsinoma nasofaring bisa dikelompokkan ke dalam 3 kategori menurut WHO klasifikasi sistem.

Table 2. WHO Tipes Histology Tipes Frequency

WHO tipe 1 WHO tipe 2 WHO tipe 3

Keratinizing squamous cell carcinoma Nonkeratinizing squamous cell carcinoma Undifferentiated carcinoma (lymphoepithelioma)

10% 20% 70%

Staging: American Joint Committee di Cancer-Union Internationale Contre le Cancer (AJCC-UICC) 2002 Klasifikasi1,8: Tumor primer TX - Tumor primer tidak bisa dinilai. T0 - Tak ada bukti primer tumor Tis - Carcinoma di situ T1 - Tumor terbatas di nasofaring T2 - Tumor sampai soft tissue oropharynx dan/atau yang hidung fossa. T2a - Tanpa perluasan parapharyngeal T2b - Dengan parapharyngeal extension T3 - Tumor invasi ke struktur bertulang dan/atau paranasal sinus. T4 - Tumor dengan penyebaran ke intracranial dan/atau keterlibatan nervus craniales,

infratemporal fossa, hypopharyng, orbit, atau masticator space Kelenjar getah bening regional NX - Kelenjar getah bening regional tidak bisa dinilai. N0 - Tak ada metastasis getah bening regional N1 - Unilateral metastasis di getah bening node (S), 6 cm atau kurang, di atas supraclavicular fossa N2 - Bilateral metastasis di getah bening node (S), 6 cm atau kurang di paling hebat dimensi, di atas supraclavicular fossa N3 - Metastasis di getah bening node (S) N3a - Lebih besar daripada 6 cm di dimensi N3b - Penyebaran ke supraclavicular fossa Penyebaran metastasis MX - Jauh metastasis tidak bisa dinilai.

M0 tidak ada metastasis M1 - Jauh metastasis Stage2 Stage 0 karsinoma insitu (Tis), N0, M0 Stage I - T1, N0, m0 Stage IIA - T2a, N0, m0 Stage IIB - T1/T2a, N1, m0; T2b, N0/N1, m0 Stage III - T1/T2a/T2b, N2, m0; T3, N0/N1/N2, m0 Stage IVA - T4, N0/N1/N2, m0 Stage IVB - T Yang Mana Pun, N3, m0 Stage IVC - T Yang Mana Pun, sembarang N, m1

Stage 0:

Larger image Stage I:

Larger image Stage IIA:

Larger image

Stage IIB:

Larger image Stage III:

Stage IVA:

Larger image Stage IVB:

Larger image Stage IVC:

Larger image J. Penatalaksanaan Eksternal beam radiation therapy Eksternal beam radiation therapy merupakan model utama managemen terhadap karsinoma nasofaring baik itu pada lokasi utama maupun pada bagian leher. Hal ini

disebabkan tumor mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap radiasi serta

keterbatasan anatomi untuk tindakan operasi pada daerah nasofaring yang cukup kompleks. Adanya kemajuan kemampuan dalam menggambarkan lokasi tumor secara akurat dan pengembangan teknik-tehnik radioterapi baru-baru ini seperti Stereotactic radioterapy boost sangat membantu memperbaikai tingkat kontrol lokoregional. Serta pada saat yang sama komplikasi terapi radiasi dapat dikurangiPemberian radiasi minimum yang direkomendasikan adalah minimal 65-75 Gy pada daerah primer1,8,9. Saat terapi radiasi secara tunggal memberikan respon yang sangat baik pada

penanganan karsinoma nasofaring tahap I dan II, pemberian terapi kemoterapi adjuvan setelah radioterpi pada karsinoma nasofaring pada tahap lanjut (tahap II-IV) masih merupakan opini yang kontroversi karena perbedaan literatur yang dipergunakan. Pada tingkat kontrol dan angka kelangsungan hidup di Asia Tenggara lebih baik jika dibandingkan pada pasien-pasien orang-orang barat 1,8. Kemoterapi bisa diberikan terlebih dahulu (neoadjuvant), selama (berbarengan), atau mengikuti (adjuvant) terapi radiasi. Bahan-bahan kemoterapi yang aktif yang digunakan antara lain cisplatin, 5-fluorouracil (5-FU), doxorubicin, epirubicin, bleomycin,

mitoxantrone, methotrexate, dan vinca alkaloid. Berbagai pendekatan kemoterapeutik telah dilakukan untuk meningkatkan tingkat respon serta meminimalisasi toksisitas 1,8. Pada 1998, Al-Saraaf et al. Melaporkan hasil penelitian yang dilakukan dengan cara pemeriksaan acak yang bersifat prospektif yang besar di Amerika Utara bahwa kemoradiasi konkomitan (cisplatin 100 mg/m2 yang diberikan pada hari-hari 1, 22, dan 43) diikuti dengan kemoterapi adjuvant dengan menggunakan cisplatin (80 mg/m2) dan 5-FU (1 g/m2) tiap-tiap 4 minggu untuk 3 putaran dapat memperbaiki kelangsungan hidup keseluruhan (OS) pada 3 tahun selama pasien dengan tahap karsinoma nasofaring lanjut setelah menjalani radioterapi tunggal (75% lawan 46%). Al-Saraaf et al juga melaporkan bahwa pasien yang mendapatkan kemoradiasi berkelanjutan dapat meningkatkan tingkat survival hidup 5 tahun jika dibandingkan dengan pasien yang hanya mendapatkan radiasi saja (67%:37%) Penelitian ini merupakan percobaan secara acak yang besar yang pertama kali dilakukan yang menunjukkan hasil yang signifikan terhadap tingkat hidup dengan memberikan kombinasi kemoterapi dengan radiasi. Hal ini juga ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan di amerika serikat1.

Namun pada penelitian-penelitian di Asia menunjukkan hasil yang sebaliknya dimana pemberian kemoradiasi tidak meningkatkan tingkat hidup 5 tahun secara signifikan pada karsinoma nasofaring stadium lanjut(81%: 55%) pada pemberian radiasi secara tunggal. Begitu juga pada penelitian di Asia-oceania tidak berhasil menunjukkan keuntungan yang signifikan pada pemberian kombinasi pada 3 tahun daya hidup1.

Leher Terapi radiasi lebih mudah mengontrol pada penyakit leher disebabkan oleh karsinoma nasofaring daripada penyakit leher yang disebabkan carsinoma kepala dan leher pada bagian lain1. Pemberian radiasi minimal yang direkomendasikan adalah 65-75gy pada penderita dengan nodul leher yang positif. Pemberian sangat dianjurkan pada karsinoma nasofaring yang yang mempunyai kecenderungan untuk terjadi metastase ke leher, sebagian besar peneliti menganjurkan pemberian pengobatan elektif pada leher pada saat N01.

Carsinoma nasofaring yang persisten atau rekurren (locoregional failure) Meskipun terdapat kemajuan yang terbaru pada pengobatan karsinoma nasofaring, tingkat locoregional failure masih signifikan yakni berkisar antara 15.6-58% (median, 34%). Frekuensi regional failure dilaporkan untuk berkisar dari 18-58%. Pengobatan penyakit

yang berulang secara lokal dapat diberikan dengan re-irradiasi atau dengan tindakan nasopharyngectomy. Pemberian re-irradiasi berkaitan dengan tingginya tingkat komplikasi antara lain nekrosis lobus temporal, kerusakan batang otak , neuropathy kranialis, disfungsi endokrin, gangguan pendengaran dan penglihatan, osteonekrosis, nekrosis jaringan ikat dan trismus. Komplikasi-komplikasi ini dapat dikurangi dengan pemberian brachytherapy atau streotactic radioterapi. 23%1. Leher regional failure Frekuensi penyakit pada leher yang persisten atau berulang dilaporkan berkisar dari 834%. Pasien yang perlakuannya gagal secara regional bisa diobati dengan baik dengan reMeski telah dilaporkan tingkat kelangsungan hidup 3 tahun

mencapai 34-48% namun pasien yang tidak disertai penyakit penyerta hanya sekitar 15-

irradiasi atau diseksi pada leher. Laju kontrol setelah re-ia dilaporkan antara 28% dan 33%. Bahkan , Wei et al melaporkan tingkat kontrol regional mencapai 66% setelah dilakukan diseksi leher radikal1. Meskipun ada kesempatan kontrol regional yang relatif baik, pasien dengan penyakit leher yang persisten atau berulang biasanya mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadi metastase1.

Metastase jauh Paien dengan karsinoma nasofaring mempunyai prevalensi metastase yang cukup

tinggi tingkat kegagalan dilaporkan berkisar 18-35%. Pada saat pertama pemberian, 5-10% pasien mungkin sudah mengalami metastase jauh. Tingginya angka metastase tidak

berkaitan dengan ukuran tumor primernya tetapi dengan adanya penyakit pada nodul dan berkembangnya penyakit yang penyerta dimana sebesar 38% pasien dengan N+ menunjukkan metastase jauh sedangkan pada N0 hanya 11% yang menunjukkan kejadian metastase, Sedangkan pada N3 angka metastasenya mencapai 80%. Organ yang paling sering terkena adalah paru-paru, tulang dan hati1,9. Sekarang ini, pengobatan pasien dengan metastase yang jauh belum ada yang efektif. Terapi yang dilakukan hanya bersifat paliatif yang ditujukan untuk menghilangkan rasa sakit, mengontrol gejala-gejala yang timbul dan memperbaiki daya hidup 1,8,9,10. Pemberian radiasi pada pasien dengan rasa sakit yang timbul dari metastase ke tulang masih sangat efektif. Sedangkan penggunaan kemoterapi paliatif pada pasien yang disertai gejala-gejala simtomatis masih bisa diberikan namun pada pasien-pasien yang tidak disertai dengan keluhan masih kurang jelas 1,8,9,10.

Terapi operasi:
Karena tumor mempunyai tingkat sensitifitas yang tinggi terhadap terapi radiasi dan adanya keterbatasan anatomis untuk akses operasi pada daerah nasopharingeal yang kompleks. Nasopharingektomi direkomendasikan hanya pada karsinoma nasofaring yang rekuren yang disertai penyakit yang terbatas1.

Karsinoama Nasofaring yang rekuren atau persisten (locoregiona failure)

Nasofaring- regional failure Meski Nasofaringektomi mampu mencapai kontrol lokal yang agak lebih baik dan mempunyai tingkat komplikasi yang lebih rendah dibandingkan dengan re-irradiasi, namun tindakan pembedahan ini hanya dapat dilakukan pada pasien dengan penyakit yang terbatas seperti rT1, rT2, rT31. Penyakit yang berulang atau yang tersisa yang mengenai fossa kranial bagian tengah dapat dilakukan diseksi ulang lewat pendekatan kraniofacial. Sebagian besar ahli bedah mempertimbangkan adanya sinus kavernosus dan arteri karotis sebagai kotraindikasi untuk dilakukan intervensi operasi, meski secara teknis tumor pada daerah ini dapat diangkat. Tindakan operasi merupakan kontraindikasi dikarenakan tingginya angka morbiditas akibat terpotongnya arteri karotis interna dan nervus kraniales.Tingkat kontrol 5 tahun berkisar 3060%1. Berbagai pendekatan operasi nasofaring telah dikembangkan. Masing-masing pendekatan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Karena kompleksitasnya daerah nasofaring secara anatomi, seorang ahli bedah harus memahami semua pendekati operasi1.

Leher- regional failure Tindakan diseksi radikal pada leher dapat dilakukan untuk penyakit yang berulang atau tersisa pada leher setelah dilakukan terapi radiasi dengan kemungkinan kontrol regional yang bagus1. Wei et al melaporkan tingkat kontrol regional sebesar 66% setelah diseksi leher radikal. Berdasarkan kesimpulan ini, Wei et al menganjurkan pemotongan diseksi radikal pada leher sebagai prosedur penyelamatan yang terpilih. Jika retropharyngeal atau parapharyngeal space terlibat, diseksi radikal pada leher diperpanjang sampai daerah ini1. Penilaian sebelum operasi: Peilaian yng detail mengenai perkembangan tumor sangatlah penting. Pertimbangan keberadaan sinus kavernosu dan arteri interna serta tingkat metastase dari tumor hrus benar-benar dipertimbangkan sebelum dilakukan tindakan operasi. mengisolasi dan melindungi arteri karotis interna dapat dilakukan pendekatan transervikal dengan melakukan reseksi pada dinding lateral nasofaring sehingga dapat meminimalisasi resiko pada arteri karotis dan saraf kranial. Penyakit yang meluas sampai pada ruang pterygomaksilaris dapat dilakukan pendekatan transmaksilaris dengan melalui dinding

Penilaia

posterior sinus maksilaris.kemudian dilakukan pengeboran pada clivus dan tulang vertebra1. Tingkat kontrol lokal 5 tahun sebanyak 67% dengan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun sebesar 52% yang tanpa penyakit dan tingkat OS 60% tercapai. memperkenalkan pendekatan fossa infratemporal, Fisch

Gros dan Panje memperkenalkan

pendekatan temporo lateral. Kedua pendekatan ini mempunyai kelebihan untuk ekplorasi tumor yang meluas sampai fossa infratemporal dan parapharyngeal space. Kerugiannya adalah insisi pada pendekatan ini dilakukan disebelah lesi sehingga terjadi kesulitan jika tumor meluas sampai nasofaring kontralateradenl disamping itu angka morbiditas cukup tinggi dan dapat disertaai dengan hilangnya sensoris pendengaran, kebocoran cairan serebrospinal(CSF), paralisis laring unilateral,dan defisit pada nervus fasialis1. Wei et al (1995) menyarankan gagasan baru untuk kontak nasopharynx lewat maxillary swing (translokasi muka).Pendekatan ini memerlukan insisi Weber-Fergusson. Namun pada cara ini kontrol terhadap arteri karotis interna kurang optimal. Tingkat kontrol lokal sebanyak 42% pada 3.5 tahun1. Biller dan Krespi memperkenalkan pendekatan transcervico-mandibulo-palatal. Pendekatan ini memberikan ruang yang luas pada nasofaring dan perlindungan terhadap arteri karotis interna yang cukup baik. Morton et al melaporkan tingkat kontrol lokal sebanyak 67% pada 2 tahun dengan pendekatan ini. Tingkat kelangsungan hidup 5 tahun sebanyak 47% dengan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun sebanyak 42% yang tanpa penyakit1. Sebagian besar kasus kekambuhan terjadi dalam 5 tahun, 5-15% kambuhnya mungkin muncul di antara yang ke-5 dan ke-10 tahun. Oleh karena itu, pasien dengan karsinoma nasofaring sebaiknya diamati selama sedikitnya 10 tahun sesudah pengobatan disamping itu untuk mengamati keefektifan pengobatan khusus karsinoma nasofaring.

K. Komplikasi
Radiasi Komplikasi yang disebabkan oleh radioterapi pada karcinoma nasofaring maupun pada leher dapat diklasifikasikan berdasarkan sistem organ1: Otak disfungsi pituitary, brainstem enchepalopaty, nekrosis lobus temporal, kelumpuhan saraf cranial.

Telinga Hilangnya Sensorineural pendengaran, otitis media yang disertai effuse, disfungsi tuba eustachi. Mata Sindrom mata kering, ischemic retinopathy Thyroid - Hypothyroidism Gastrointestinal sistem mukositis yang hebat, xerostomia, mual, muntah, dysphagia, dehidrasi, striktur pada esophagus. Musculoskeletal sistem fibrosis yang eksesif, trismus, myelitis radiasi,

osteoradionecrosis, soft tissue nekrosis , osteomyelitis Sistem pembuluh darahm - Stenosis arteri karotis)

Pembedahan Komplikasi-komplikasi pembedahan dapat dibedakan berdasarkan kaitannya dengan nasofaringektomi dan yang berkaitan dengan diseksi leher. Karena biasanya tindakan operasi dilakukan setelah dilakukan radioterapi radikal sehingga mengakibatkan penyembuhan luka bekas operasi menjadi sangat lambat1.

L. Prognosis
Faktor-faktor yang mempengaruhi Prognostis pada pasien dengan karsinoma nasofaring adalah bayak sedikitnya tumor primer (invasi ke dasar tengkorak , keterlibatan syaraf cranial, infiltrasi ke paraparingeal), kadar penyakit di leher, sub-tipe histologi, umur dan jenis kelamin pasien, dan macam dan teknik radioterapi. Tingkat kelangsungan hidup umumnya lebih baik pada wanita daripada pria1. Beberapa Penelitian melaporkan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun yang tanpa penyakit 40-60% dengan pengobatan radiasi primer. Tingkat 5 tahun OS ialah 85-95% untuk NPC tingkat I dan 70-80% untuk NPC tingkst II pada pemberian dengan radioterapi tunggal. Pada tingkat III dan IV pemberian radioterapi tunggal mempunyai tingkat hidup 5 tahun berkisar antara 24-80% dan pada pasien-pasien yang berasal dari Asia Tenggara menunjukkan hasil yang cukup bagus1.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Shang L.H. Malignant Nasopharyngeal tumor. eMedicine (http://www.emedicine.com /med/topic269.htm diakses tanggal 9 Juli 2006)

(Online)

2.

PLWC Editor. Nasopharyngeal Cancer. Oncologist-approved cancer information from the Amerika Society of Clinikal Onkology (Online) (http://www.plwc.org/portal/site/PLWC/menuitem.7dc. diakses tanggal 9 Juli 2006) Razmpa E. A Five Year Study of Nasopharyngeal masses in Patients Admitted inAmir and imam Khomeiny Hospital between 1991 and 1996. Temran University of Medical Sciences (Online)( http://www.razmpa.com/En/Articles/20.aspx diakses tanggal 9 Juli 2006) Moorhead C.J. Nasopharyngeal Carsinoma. Baylor College of Medicine (Online) (http://www.bcm.edu/oto/grand/21794.html diakses tanggal 9 Juli 2006) Fahracus. Epstein-Barr Virus Causes Nasopharyngeal Cancer and Lymphomas. International Agency for Research on Cancer (Online) (http://www.smokershistory.com/EBV.htm diakses tanggal 9 Juli 2006) S. F. Galan, F. Aguado, F. J. Dez1, and J. Mira. NasoNet, Modeling the Spread of Nasopharyngeal Cancer with Networks of Probabilistic Events in Discrete Time. Servicio de Oncologa Radioterapica Hospital Clnico Universitario San Carlos (Online)(http://www.ia.uned.es/~fjdiez/ papers/nasonet.pdf diakses tanggal 9 Juli 2006)

3.

4.

5.

6.

7.

Porter K. Chemoradiation and Treatment of Nasopharyngeal Cancer. Commision on Cancer American college of Surgery (Online)( http://www.facs.org/cancer/ ncdb/ np study instructionsanddataitems.pdf diakses tanggal 9 Juli 2006) K. Thephamongkhol, G. Browman, I. Hodson, T. Oliver, L. Zuraw, Chemotherapy with Radiotherapy for Nasopharyngeal Cancer Program in Evidence-based Care, Cancer Care Ontario. Developed by the Provincial Head and Neck Cancer Disease Site Group. Desember 2004

8.

9.

Practice guideline report. The Role of Neoadjuvant Chemotherapy in the Treatment of Locally Advanced Squamous Cell Carcinoma of the Head and Neck (excluding nasopharynx). New evidence added to the guideline report: February 2003 Cancer Care Ontario Practice Guidelines Initiative. Hyperfractionated Radiotherapy for Locally Advanced Squamous Cell Carcinoma of the Head and Neck New evidence added to the guideline report: January 2003 Daly .D, Leung,H. Cheung14. Metreweli Thoracic Metastases from Carcinoma of the Nasopharynx: High Frequency of Hilar and Mediastinal Lym phadenopathy Department of diagnostic Radiology and Organ Imaging, Chinese University of Hong Kong, Prince of Wales Hospital, Shatin, Hong Kong

10.

11.

You might also like