Professional Documents
Culture Documents
BAB I PENDAHULUAN
Angka kejadian epilepsi cukup tinggi, diperkirakan prevalensinya berkisar antara 0,5-4 % (WHO). Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka pasien epilepsi mencapai 1,1-8,8 juta orang. Berkaitan dengan umur, grafik prevalensi epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut.1 Di kalangan masyarakat awam masih terdapat pandangan yang keliru terhadap epilepsi. Ini berpengaruh negatif terhadap upaya pelayanan pasien epilepsi. Di negaranegara yang sedang berkembang pelayanan pasien epilepsi masih menghadapi banyak kendala. Di lain pihak, oleh karena berbagai kendala tadi maka penatalaksanaan kasuskasus epilepsi oleh tenaga medik masih kurang memadai. Berbagai kendala tadi seyogyanya diidentifikasi dan diinventarisasi secara sistematik sehingga mudah untuk diminimalisasi atau dihilangkan. Beberapa kendala yang sudah diidentifikasi antara lain keterbatasan dalam hal tenaga medik, sarana pelayanan, dana dan kemampuan masyarakat. Berbagai keterbatasan tadi dapat menurunkan optimalisasi penanggulangan penyakit. Epilepsi berpotensi untuk menimbulkan masalah sosio-medikolegal yang secara keseluruhan dapat menurunkan atau mengganggu kualitas hidup pasien epilepsi, bahkan keharmonisan keluarga pasien epilepsi juga dapat terganggu. Masalah sosio-medikolegal meliputi kesempatan untuk memperoleh pekerjaan, hak untuk memperoleh tanggungan asuransi, hak untuk memperoleh SIM, hak dan kewajiban dalam bidang hukum, pendidikan, karir, dan perkawinan.
2.5. Tonik-klonik 2.6. Atonik 3. Tak tergolongkan Klasifikasi ILAE 1989 untuk sindrom epilepsi 5 1. Berkaitan dengan letak fokus 1.1. Idiopatik (primer) 1.1.1 Epilepsi Rolandik Benigna (childhood epilepsy with centrotemporal spikes) 1.1.2 Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital 1.1.3 Epilepsi membaca primer (primary reading epilepsy) 1.2. Simtomatik (sekunder) 1.2.1 Lobus temporalis 1.2.2 Lobus frontalis 1.2.3 Lobus parietalis 1.2.4 Lobus oksipitalis 1.2.5 Kronik progresif parsialis kontinua 1.3. Kriptogenik 2. Umum 2.1. Idiopatik (primer) 2.1.1 Kejang neonatus familial benigna 2.1.2 Kejang neonatus benigna 2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi 2.1.4 Epilepsi lena pada anak 2.1.5 Epilepsi lena pada remaja 2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja 2.1.7 Epilepsi dengan bangkitan tonik-klonik pada saat terjaga 2.1.8 Epilepsi tonik klonik dengan bangkitan acak 2.2. Kriptogenik atau simtomatik 2.2.1 Sindrom West (spasmus infantilis dan hipsaritmia) 2.2.2 Epilepsi mioklonik astatik 2.2.3 Sindrom Lennox-Gastaut 2.2.4 Epilepsi lena mioklonik 2.3. Simtomatik 2.3.1 Etiologi non spesifik - Ensefalopati mioklonik neonatal - Sindrom Ohtahara 2.3.2 Etiologi / sindrom spesifik - Malformasi serebral - Gangguan metabolisme
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum 3.1. Bangkitan umum dan fokal - Bangkitan neonatal - Epilepsi mioklonik berat pada bayi - Sindrom Taissinare - Sindrom Landau-Kleffner 3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum 4. Epilepsi berkaitan dengan situasi 4.1 Kejang demam 4.2 Berkaitan dengan alkohol 4.3 Berkaitan dengan obat-obatan 4.4 Eklamsi 4.5 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik) Klasifikasi bangkitan neonatal 6 1.Samar-samar (Subtle) (30%) a. Gerakan mengayuh sepeda (Bicycling / pedaling) atau gerakan bertinju (boxing movements) b. Gerakan mulut (mengunyah, menelan, atau menjulurkan lidah) c. Deviasi bola mata (ke bawah atau ke atas) 2.Klonik (25%) a. Fokal (satu lengan atau satu tungkai) b. Multifokal (misalnya lengan ipsilateral dan tungkai kontralateral) c. Jacksonian (menjalar atau marching / migrating) 3.Mioklonik (20 %) a. Fokal b. Multifokal c. Umum 4.Tonik (20 %) a. Fokal b. Umum ETIOLOGI 1. Idiopatik: penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik. Biasanya berupa epilepsi dengan bangkitan kejang umum. 2. Kriptogenik : dianggap simtomatik tapi penyebabnya belum diketahui, termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gestaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus. 3. Simtomatik : Trauma
Infeksi Kelainan kongenital Lesi desak ruang Gangguan peredaran darah otak Toksik (alkohol, obat) Metabolik Kelainan neurodegeneratif
Rekaman EEG termasuk rekaman waktu tidur, stimulasi fotik, dan hiperventilasi. Kira-kira 29-38% dari pasien epilepsi dewasa, EEG tunggal menunjukkan kelainan epileptiform. Bila diulang pemeriksaannya, gambaran epileptiform meningkat menjadi 59-77%.,3,8,9 Bila EEG normal dan persangkaan epilepsi sangat tinggi, maka dapat dilakukan EEG ulangan dengan persyaratan khusus.
3.2. Pemeriksaan neuroimaging struktural dan fungsional Indikasi : - Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural - Adanya perubahan bentuk bangkitan - Terdapat defisit neurologik fokal - Epilepsi bangkitan parsial - Bangkitan pertama diatas usia 25 tahun - Untuk persiapan operasi epilepsi CT scan : dapat mendeteksi lesi fokal tertentu MRI : merupakan prosedur imaging pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding CT scan. Dapat mendeteksi sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa. Diindikasikan untuk epilepsi refrakter yang sangat mungkin memerlukan terapi pembedahan 8,10,11
3.3. Pemeriksaan Laboratorium Darah : rutin, elektrolit, kadar gula, fungsi hati, dll sesuai indikasi Cairan serebrospinal : atas indikasi Pemeriksaan-pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi Dagnosis pasti Ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinis bangkitan berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG. DIAGNOSIS DIFERENSIAL 1. Pada neonatus dan bayi Jittering Apneu 2. Pada anak Breath holding spell Sinkop
Migren Bangkitan psikogenik / konversi Prolonged QT syndrome Night terror Tic Hypercyanotic attack (pada tetralogi Fallot)
3. Pada dewasa Sinkop; dapat sebagai vasovagal attack, sinkop kardiogenik, sinkop hipovolumik, sinkop hipotensi dan sinkop saat miksi (micturition syncope) Serangan iskemik sepintas (TIA) Vertigo Transient global amnesia Narkolepsi Bangkitan panik, psikogenik Menier Tic GAMBARAN KLINIS A. Bentuk Bangkitan 12,13 Contoh beberapa bentuk bangkitan epilepsi 1. Bangkitan Umum Lena (Petit mal) gangguan kesadaran mendadak (absence) berlangsung beberapa detik selama bangkitan kegiatan motorik terhenti dan pasien diam tanpa reaksi mungkin terdapat automatisme pemulihan kesadaran segera terjadi tanpa perasaan bingung 2. Bangkitan Umum Tonik Klonik (Grand mal) dapat didahului prodromal seperti jeritan, sentakan , mioklonik pasien kehilangan kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10-30 detik, diikuti gerakan kejang pada kedua lengan dan tungkai (fase klonik) selama 30-60 detik, mulut berbusa selesai bangkitan pasien menjadi lemas (fase flaksid) dan tampak bingung pasien sering tidur setelah bangkitan 3. Bangkitan Parsial Kompleks bangkitan fokal disertai kehilangan / terganggunya kesadaran sering diikuti dengan automatisme yang stereotipik seperti mengunyah, menelan, tertawa dan kegiatan motorik lainnya tanpa tujuan yang jelas
4. Bangkitan Parsial Sederhana tidak terjadi perubahan kesadaran bangkitan dimulai dari tangan, kaki atau muka (unilateral / fokal) kemudian menyebar (Jacksonian march) kepala mungkin berpaling kearah yang terkena kejang (serangan adversif) 5. Bangkitan Umum Sekunder berkembang dari bangkitan parsial sederhana atau kompleks yang dalam waktu singkat menjadi bangkitan umum bangkitan parsial dapat berupa aura bangkitan umum yang terjadi biasanya bersifat kejang tonik-klonik
B. Sindrom Epilepsi 14,15 Contoh sindrom epilepsi yang sering ditemui 1. Sindrom West Terdiri dari trias kombinasi bangkitan epilepsi (spasmus infantilis) yang berlangsung beberapa detik, terhentinya perkembangan psikomotor dan pola EEG yang khas yaitu hipsaritmia. Terjadi pada usia di bawah 1 tahun. 2. Sindrom Lennox-Gastaut Bangkitan epilepsi : bangkitan tonik aksial, atonik, dan lena atipikal. EEG abnormal : diffuse slow spike and wave (SSW) atau petit mal variant (PMV) pada kondisi sadar, burst of fast rhytms 10 spd pada keadaan tidur. Perkembangan mental yang lambat. Biasanya muncul pada usia 3-5 tahun, lebih banyak pada perempuan. 3. Sindrom Landau Kleffner Kelainan pada anak-anak dengan 2 gejala mayor berupa afasia didapat dan gambaran EEG paroksismal dengan spike dan spike and wave, sebagian besar multifokal terutama di regio temporal atau parieto-temporo-parietal selama tidur. Kejang jarang didapatkan, bila ada berbentuk tonik klonik umum atau parsial motor.
BAB IV TERAPI
TUJUAN TERAPI Mengontrol gejala atau tanda secara adekuat dengan menggunakan obat tanpa / dengan efek samping minimal. PRINSIP TERAPI Terapi dilakukan bila terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Terapi mulai diberikan bila diagnosis telah ditegakkan dan setelah pasien dan atau keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan dan kemungkinan efek samping. Pemilihan jenis obat sesuai dengan jenis bangkitan. Sebaiknya terapi dengan monoterapi. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai. Pada prinsipnya terapi dimulai dengan obat antiepilepsi lini pertama. Bila diperlukan penggantian obat, maka dosis obat pertama diturunkan secara bertahap dan dosis obat kedua dinaikkan secara bertahap. Bila didapatkan kegagalan monoterapi maka dapat dipertimbangkan untuk diberi kombinasi OAE. Bila memungkinkan dilakukakan pemantauan kadar obat sesuai indikasi.
Pasien dengan bangkitan pertama direkomendasikan untuk dimulai terapi bila 16: Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG. Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan. Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya kerusakan otak. Ada riwayat epilepsi pada orang tua dan saudara kandung kecuali kejang demam sederhana. Ada riwayat infeksi otak atau trauma kapitis terutama yang disertai penurunan kesadaran. Bangkitan pertama berupa status epileptikus.
JENIS OBAT ANTI EPILEPSI Pemilihan obat anti-epilepsi didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping, interaksi antara obat anti-epilepsi. Tabel 1. Pemilihan obat anti-epilepsi atas dasar jenis bangkitan epilepsi 3
TIPE KEJANG DAN SINDROMA EPILEPSI Kejang sederhana dan kejang parsial kompleks, kejang umum tonik-klonik primer dan sekunder OBAT LINI PERTAMA Carbamazepine, valproate dan phenytoin OBAT LINI KEDUA Levetiracetam, Acetazolamide, clobazam, clonazepam, ethosuximide*, gabapentin, lamotrigine, , oxcarbazepine, phenobarbital, primidone*, tiagabine*, topiramate, vigabatrin Acetazolamide, clobazam, clonazepam , lamotrigine, phenobarbital, primidone* Acetazolamide, carbamazepine, clobazam, clonazepam, ethosuximide* , lamotrigine, oxcarbazepine, phenobarbital, phenytoin, primidone*, topiramate Clobazam, clonazepam, ethosuximide* , lamotrigine, phenobarbital, piracetam, primidone*
Valproate, ethosuximde*
Valproate
Myoclonic seizures
Valproate
Tabel 2. Pedoman dosis obat anti-epilepsi lini pertama pada orang dewasa 10,17,18
DOSIS HARIAN UMUM (Miligram) 600 300 JUMLAH DOSIS PER HARI 2-3* 1 WAKTU PARUH PLASMA (Jam) 16-36 24-40
OBAT
INDIKASI
DOSIS AWAL
DOSIS RUMATAN
Carbamazepine Phenytoin
Parsial & KUTK Parsial & KUTK atau status epilepticus Parsial & KUTK Parsial & KUTK, kejang neonatal, atau status epilepticus Parsial & KUTK Kejang absans umum Epilepsi mioklonik, sindroma L-G, spasme infantil, atau status epilepsticus
400 300
600-1200 300-500
500-1000 60-90
1000 120
1000-3000 90-120
2 1
8-16 72-120 48
100-125 500 1
500 1000 4
3 2 1 or 2
: dewasa
: anak-anak
OBAT
INDIKASI
DOSIS AWAL
DOSIS RUMATAN
Parsial & KUTKS Parsial & KUTKS (dewasa) Parsial & KUTKS (dewasa)
2 X 1000 mg/hari 1000 mg/hari q 2 wk 300 mg/hari ; 300mg/hari q1-3d 25-50mg/d; 50mg q1-2 wk; or 25mg q2d; with VPA 2-3 X 400 mg/hari ( concomitant PHT, CBZ,VPA tiap 2033%) dengan dosis tiap 400-600 mg/d q2wk 3-4 x 15 mg/kg/d; ( concomitant PHT, CBZ,VPA tiap 2033%), dengan dosis 15 mg/kg/d q1-2 wk
1000-3000 mg/hari 900-3600 mg/hari Sampai 700 mg/hari (100-150 mg/hari dengan VPA) 1800-4800 mg/d
Felbamate
Sindroma L-G
sampai 45 mg/kg/d
Clobazam
Oxcarbazepine Tiagabine** Topiramate
Parsial & KUTKS Parsial & KUTKS Parsial & KUTKS Parsial & KUTKS
10mg qb atau
2 X10 mg/hari 2 X 300mg/d Tidak Tersedia 100 mg/hari ; 25 -50 mg/hari tiap minggu 2 X 500 mg/hari
20-30mg/hari
sampai 60mg/d 1200-2400mg/hari 32-56mg/hari 400-1000mg/hari
30-46
8-24 6-8 20-24
Vigabatrine**
Parsial & KUTKS Dimungkinkan untuk spasme infantil Parsial & KUTKS
Sampai 3 g/hari
4-8 (efek berlangsung sampai 3 hari) 50-68 (27-38 dengan obat-obat induksi enzim)
Zonisamide*
400-600 mg/hari
** - di Indonesia tidak tersedia dan dilaporkan banyak efek samping KUTKS : Kejang Umum Tonik-Klonik Sekunder ; L-G = Lennox-Gastaut ; q = every ; qb = at bedtime
Catatan : ada obat yang sudah diakui sebagai mono terapi yaitu oxcarbazepine, lamotrigin, topiramat, levetriracetam untuk mioklonik.
Tabel 4.
OBAT
INDIKASI
DOSIS AWAL
Parsial & KUTKS Parsial & KUTKS atau status epilepsi Parsial & KUTKS Parsial & KUTKS, kejang neonatal, atau status epileptikus Parsial & KUTKS Kejang absans umum Epilepsi mioklonik, sindroma Lennox-Gastaut, spasme infantil, atau status epileptikus
5 5 5 4 10 10 0.025
17
DRUG
Carbamazepin
IDIOSINKRETIK
Ruam morbiliform, agranulositosis, anemia aplastik, efek hepatotoksik, Sindroma Stevens-Johnson, teratogenecity Jerawat, coarse facies, hirsutism, cariasis, lupus-like syndrome, ruam, Sindroma Stevens-Johnson, Dupuytrens contracture, efek hepatotoksik, teratogenicity Pankreatitis akut, efek hepatotoksik, trombositopenia, ensefalopati , udem perifer Ruam makulopapular, exfoliation, nekrosis epidermal toksik, efek hepatotoksik, arthritic changes, Dupuytrens contracture, teratogenicity Ruam, agranulositosis, trombositopenia, lupus-like syndrome, teratogenicity Ruam, eritema multiformis, Sindroma Steven-Johnson, lupuslike syndrome, agranulositosis, anemia aplastik Ruam, trombositopenia
Phenytoin
Valproic acid
Phenobarbital
Pirimidone
Ethosuximide
Clonazepam
Gabapentin Lamotrigine
Clobazam Vigabatrin
Oxcarbazepine
Clonazepam
IV Bolus IV Infusa
Diazepam
Fosphenytoin
IV Bolus
Isoflurane
Inhalasi
Lidocaine
IV Bolus IV Infus
Lorazepam Midazolam
Paraldehyde Pentobarbital
Phenobarbital
IV Bolus
10 mg/kg pada rentang pemberian < 100 mg/menit Rumatan 1-4 mg/kg/hari
15-20 mg/kg pada rentang pemberian < 100 mg/menit 3-4 mg/kg/hari
Phenytoin Propofol
15-18 mg/kg pada rentang pemberian < 50 mg/kg 2 mg/kg, dilanjutkan 5-10 mg/kg/jam, kemudian diturunkan menjadi 1-3 mg/kg/jam untuk rumatan burst suppression 100-250 mg bolus diberikan lebih dari 20 detik, kemudian dilanjutkan 50 mg bolus tiap 23 menit sampai kejang dapat dikendalikan. Kemudian pemberian lewat infus untuk rumatan burst suppression (3-5 mg/kg/jam)
Thiopental
IV Infusa
CARBAMAZEPIN CLOBAZAM CLONAZEPAM ETHOSUXIMIDE GABAPENTIN LAMOTRIGINE LEVETIRACETAM OXCARBAZEPINE PHENOBARBITAL PHENYTOIN PRIMIDONE TOPIRAMATE VALPROATE VIGABATRINE
O : none anticipated, : infrequently decrease in concentration, : frequently decrease, : infrequently increase, : frequently increase, AI : autoinduction,
AED : antiepileptic drug, NCP : not commonly prescribed, CBZE : carbamazepine epoxide
PENGHENTIAN OAE
2,3
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan dan sesuai indeks prognosis (lihat lampiran), tergantung bentuk bangkitan. Gambaran EEG normal / membaik. Bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan. Bila bangkitan timbul kembali maka dosis terakhir dipertahankan, kemudian di evaluasi kembali. Dimulai dari 1 OAE yang bukan utama. Pertimbangkan kemungkinan kekambuhan bangkitan lebih besar pada 19,20 : - riwayat KUTK primer atau sekunder. - penggunaan lebih dari satu OAE. - riwayat bangkitan mioklonik. - masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi - mendapat terapi 10 tahun atau lebih. - riwayat bangkitan neonatal - ( gambaran EEG masih abnormal ) Kemungkinan kekambuhan kecil pada pasien yang telah bebas bangkitan antara tiga sampai lima tahun, dan yang selama lima tahun atau lebih 21
STATUS EPILEPTIKUS Definisi Suatu kondisi di mana bangkitan epilepsi berlangsung terus-menerus, atau bangkitan berulang dengan /tanpa pemulihan kesadaran, selama periode 30 menit atau lebih.22 Usulan Bandung Klasifikasi Konvulsif Non-konvulsif Tabel.8 Klasifikasi Status Epileptikus. _________________________________________________________________________
Status epilepticus confined to early childhood Neonatal status epilepticus Status epilepticus in specific neonatal epilepsy syndromes Infantile spasms Status epilepticus confined to later childhood and adult life Febrile status epilepticus Status inchildhood partial epilepsy syndromes Status epilepticus in myoclonic-astatic epilepsy
Electrical status epilepticus during slow wave sleep Landau-kleffner syndrome Status epilepticus occuring in childhood and adult life Tonic-clonic status epilepticus Absence status epilepticus Epilepsia partialis continua Status epilepticus in coma Specific forms of status epilepticus in learning difficulty Syndromes of myoclonic status epilepticus Simple partial status epilepticus Complex partial status epilepticus Status epilepticus confined to adult life De novo absence status and late onset
_____________________________________________________________________________ _ Penanganan Prinsip : 1. Stabilisasi pasien dengan prinsip kegawatan umum ( ABC ) 2. Menghentikan bangkitan dan mencari etiologi secara simultan 3. Mencegah bangkitan ulang atau mengatasi penyulit 4. Mengatasi faktor pencetus Bila setelah menit ke 60 belum teratasi (refrakter), sebaiknya perawatan dilakukan di ICU. Protokol Tabel 9. Penatalaksanaan Umum dan Terapi Anti Epilepsi Spesifik pada Berbagai Stadium Status Epileptikus Stage of Status
Premonitory (0-10 minutes) Early (0-30 minutes)
General Measures
Asses cardiorespiratory function Secure airways Give oxygen Institute monitoring i.v acces Emergency investigations Give 50 % glucose (50 ml) Give thiamine where appropriate Treat acidosis Transfer to intensive care unit
AED treatment
Diazepam (i.v. bolus or p.r.) Midazolam (i.m., i.v.bolus, p.r) Paraldehyd (i.m., p.r.) Lorazepam (i.v.bolus) Diazepam (i.v.bolus) Second line: Lignocaine (i.v.bolus & inf) Clonazepam (i..v.bolus) Paraldehyde (i.m.) Phenytoin (i.v.bolus )
medical
Refractory ( 60 minutes)
EEG monitoring Monitoring seizure EEG and cerebral function Intracranial pressure monitoring if appropriate
Phenobarbitone (i.v. loading & inf) Phenytoin (i.v. loading & inf ) Chlormethiazole ( i.v. loading & inf ) Second line: Clonazepam (i..v.bolus or inf) Paraldehyde (i.v. inf) Diazepam (short inf ) Midazolam ( short inf ) Thiopentone (i.v.bolus & inf ) Propofol ( i.v. bolus & inf ) Second line: Pentobarbitone ( i.v. bolus & inf ) Isoflurane (inhalation ) Etomidate (i.v.bolus & inf )
Catatan Bila status epileptikus telah teratasi maka dilakukan pemeriksaan lanjut yang lebih cermat.
Daftar obat pada status epileptikus Tabel 10. Obat-Obat Untuk Penanganan Status Epileptikus Konvulsif Akut4
Generic Name Diazepam Diazepam rectal gel Fosphenytoin Lorazepam Midazolam Valproic acid Dose 5-10 mg IV (0.2-0.5 mg/kg) 5-10 mg per rectum (0.2-0.5 mg/kg) 1400 mg IV (20 mg/kg ) Rate 2-5 mg/min As tolerated <150 mg/min Advantages Fast onset of action Does not require Ivaccess Easy transition to chronic administration Prevent reccurence Can be given IM with efficacy equal to diazepam Appears safe Disadvantages Possible greater chance of late seizure recurrence Longer onset of action than IV; less control Long onset of action, utility of IM dosing unknown Longer onset of action than diazepam Possible greater chance of late seizure recurrent
4-8 mg IV 2 mg/min (0.05-0.1 mg/kg 0.20 mg/kg IV or 2-5mg min IM 1500-2000 mg IV (25 mg/kg )
20-100 Fastest administration mg/min rate unknown diluted 2:1 1. Lorazepam atau Diazepam IV adalah obat lini pertama yang paling umum dipakai. Midazolam IM memiliki efikasi yang setara dengan diazepam dan tidak memerlukan akses IV. 2. Berdasarkan atas berat badan rata-rata orang dewasa, dosis bolus Benzodiazepin mungkin perlu diulang jika tidak ada efek obat dalam 5-10 menit.
Pentobarbital
1-12 mg/kg at 50 mg/min to burst suppression 10-20 mg/kg at 50100 mg/min 1-5 mg/kg over 5 min
Phenobarbital Propofol
EPILEPSI REFRAKTER Definisi 24 Seseorang yang mengalami bangkitan berulang, meski telah dicapai konsentrasi terapetik suatu terapi standar dalam satu tahun terakhir setelah onset. Bangkitan tersebut benar-benar akibat kegagalan OAE untuk mengontrol fokus epileptik, bukan karena dosis yang tidak tepat, ketidak-taatan minum OAE, kesalahan pemberian atau perubahan dalam formulasi. TERAPI BEDAH EPILEPSI Tujuan : terutama adalah membuat penderita terbebas kejang meningkatkan kualitas hidup pasien menurunkan morbiditas menurunkan kecacatan psikososial meminimalkan defisit neurologik fokal Indikasi dan kriteria Epilepsi refrakter IQ > 70 Tidak ada kontra-indikasi pembedahan Usia < 45 tahun Tidak ada kelainan psikiatrik yang jelas
Kandidat pembedahan epilepsi 25 Epilepsi refrakter Secara umum pada epilepsi dengan durasi lama (beberapa tahun) Mengganggu kualitas hidup Manfaat operasi lebih besar dibanding resiko Tabel 11. Tes Diagnostik yang digunakan pada evaluasi pembedahan epilepsi 26 ___________________________________________________________________ Tests of epileptic excitability Noninvasive EEG Routine interictal EEG : Video EEG Longterm monitoring : outpatient long-term monitoring Invasive EEG Intraoperative electrocorticography : stereotactic-depth-electrode Long-term recording : subdural grid or strip, long-term recording Ictal single-photon-emission computed tomography Interictal and ictal magnetoencephalography* Functional MRI* Tests for structural abnormalities X-ray films, computed tomography, and other radiographic studies MRI Magnetic resonance spectroscopy* Tests of functional deficits Interictal PET; interictal SPECT Neuropsychological batteries; Intracarotid amobarbital (the WADA test); interictal EEG; interictal magnetoencephalography*; Magnetic resonance spectroscopy* Tests of normal cortical function (cortical mapping) Intraoperative electrocorticography; extraoperative subdural-grid recording; Intacarotid amobarbital; PET; Magnetoencephalography*; Functional MRI* _______________________________________________________________________ * Still considered
Epilepsi pada masa pubertas Selama masa pubertas seorang gadis, produksi hormon estrogen dan progesteron jauh lebih banyak daripada ketika dia masih kanak-kanak. Pada kelompok anak tertentu, serangan epilepsi mulai atau berhenti di sekitar pubertas. Hubungan yang ada antara epilepsi dan pubertas kemungkinan oleh karena adanya perubahan hormonal yang berpengaruh terhadap sel-sel otak. Estrogen dapat meningkatkan terjadinya serangan epilepsi. 28 Epilepsi fotosensitif dan jevenile myoclonic epilepsy (JME) mempunyai ciri yang khas yaitu muncul di sekitar masa pubertas. Sementara itu, serangan pada epilepsi absence dan benign rolandic epilepsi justru mereda di sekitar masa pubertas. Namun demikian sebagian besar epilepsi tidak mengalami perubahan dalam hal frekuensi serangannya. Sebagian besar penderita epilepsi parsial mengalami peningkatan frekuensi serangan di sekitar waktu menarke 29. Pada remaja putri yang memperoleh asam valproat harus diwaspadai kemungkinan terjadinya polycystic ovary syndrome yang dicirikan oleh hirsutisme (karena peningkatan hormon androgen), anovulasi kronis dan gangguan menstruasi yang meliputi amenorea, oligomenorea, perdarahan uterus disfungsional, infertilitas (semuanya disebabkan oleh peningkatan kadar estrogen, dan lainnya misalnya obesitas, hiperinsulinemia, dan resistensi terhadap insulin 30.
Epilepsi pada menstruasi (epilepsi katamenial) 31,32,33,34 Epilepsi katamenial adalah serangan epilepsi yang terjadi selama masa menstruasi atau beberapa hari menjelang atau sesudah menstruasi. Serangan pada epilepsi katamenial sering terjadi pada jenis parsial kompleks. Pada perempuan penyandang epilepsi, peningkatan serangan terjadi pada saat menjelang dan selama terjadinya menstruasi, dan pada saat terjadinya ovulasi. Hal demikian ini dapat terjadi pada perempuan dengan epilepsi idiopatik maupun simtomatik. Estrogen, progesterone, dan estradiol berperanan besar dalam perubahan ambang serangan epilepsi melalui berbagai macam mekanisme. Diagnosis epilepsi katamenial berdasarkan pada : Definisi, juga perlu adanya catatan harian berupa : informasi yang lengkap tentang epilepsi yang dialami penderita yaitu tentang peningkatan frekuensi dan lamanya serangan epilepsi pada saat menjelang, selama, dan sesudah menstruasi dan pola menstruasi. kontrasepsi yang digunakan oleh penderita. pemeriksaan kadar hormon estrogen, progesteron, estradiol konsultasi ke spesialis ginekologi. Terapi epilepsi katamenial : Memberi OAE yang sesuai dengan jenis serangan epilepsi yang ada. Diawali dengan meningkatkan dosis obat anti-epilepsi konvensional, bila perlu sampai dengan dosis maksimal. Dapat pula dipertimbangkan untuk memberi tambahan asetazolamid 5-10 hari sebelum dan sesudah haid, atau diberikan clobasam. Apabila tidak memberi hasil baik maka perlu dipertimbangkan untuk memberi terapi hormonal. Manipulasi hormonal dapat meningkatkan kadar progesteron atau menurunkan kadar estrogen. Obat yang dapat diberikan antara lain klomifen sitrat dan medroksiprogesteron. Pemberian hormon ini harus dikonsultasi dengan spesialis ginekologi disertai dengan perhatian khusus tentang kemungkinan adanya efek samping. Disfungsi menstruasi dan reproduksi lebih sering terjadi pada Epilepsi lobus temporalis (ELT) dan Epilepsi Umum Primer ( EUP ). Disfungsi menstruasi meliputi : amenore, oligomenore dan interval siklus menstruasi abnormal. Kelainan endokrin reproduksi meliputi : sindroma ovarium polikistik, hipotalamik hipogonadisme, menopause prematur dan hiperprolaktinemia. Epilepsi pada kehamilan Wanita dengan epilepsi mempunyai angka fertilitas yang rendah. Tingkat kesuburan ( fertilitas ) menurun 69 85 % dari yang diharapkan dan lebih mungkin mempunyai siklus menstruasi anovulatoir, ovarium polikistik, dan disfungsi seksual. Bila ditemukan adanya siklus
menstruasi yang tak teratur, hirsutisme, akne, dan obesitas seharusnya segera di evaluasi atas kemugkinan adanya disfungsi reproduksi. Penanganan wanita hamil dengan epilepsi perlu mendapat perhatian khusus mengingat kemungkinan terjadinya komplikasi baik pada ibu maupun bayi.Memang sebagian besar wanita dengan epilepsi mengalami kehamilan dan persalinan normal, frekuensi kejang juga tak berubah dan lebih dari 90% mendapat bayi yang normal, namun masih banyak wanita epilepsi pada awal kehamilan masih dalam kombinasi beberapa obat antikonvulsan yang ternyata sangat berisiko malformasi pada infant.35 Beberapa hal yang perlu perhatian : Wanita epilepsi usia reproduktif dianjurkan konsultasi pengobatan epilepsi 6 bulan sebelum rencana kehamilan. 35 Dianjurkan pemberian antikonvulsan tunggal dengan dosis diturunkan seminimal mungkin dalam mengatasi kejang, terutama pada 3 bulan pertama kehamilan. Pemberian dosis tinggi dihindari dan sebaiknya diberikan dalam dosis terbagi 3-4 kali/hari.36 Carbamasepin, phenitoin, phenobarbital, sodium valproate, semua obat ini adalah teratogenik tapi peningkatan kelainan perkembangan pada foetus akan terjadi bila diberikan politerapi atau terutama bila dikombinasi dengan sodium valproat.37,38 Carbamasepin berisiko teratogenik lebih rendah dibandingkan valproat, phenitoin, phenobarbital. 12,13 Anti konvulsan baru lini kedua yang dilaporkan cukup aman bagi kehamilan adalah gabapentin dan lamotrigin.(studi pada binatang percobaan).39 Belum ada studi penggunaan Levetiracetam pada wanita hamil , tapi dilaporkan pada binatang percobaan dapat mengakibatkan kelainan lahir. Komplikasi maternal yang dapat terjadi pada wanita yang menggunakan antikonvulsan adalah hiperemesis gravidarum,pre eklampsi, eklampsi, perdarahan pervaginum dan persalinan prematur. 39 Resiko komplikasi kehamilan pada pasien epilepsi meningkat 1,5 4 kali. Pemberian OAE karbamasepin, fenitoin, fenobarbital, dilaporkan cukup aman pada wanita hamil penyandang epilepsi. Selama kehamilan kadar serum karbamazepin, fenitoin, fenobarbital dan valproat menurun secara berturut-turut ( 42%, 56%, 55% dan 39% ), kadar obat bebas karbamazepin, fenobarbital, fenobarbital menurun secara berturut-turut (28%, 31%, dan 50% ), sedangkan kadar obat bebas valproat meningkat 25%. Pada semua wanita penyandang epilepsi yang berpotensi melahirkan anak dianjurkan pemberian suplemen asam folat 0,4-4 mg mg/hari sebelum konsepsi dan selama kehamilan untuk mengurangi risiko defek neural tube akibat OAE 40 Pada Ibu hamil penyandang epilepsi pada trimester akhir kehamilan terutama 2 minggu terakhir menjelang tanggal kelahiran dianjurkan pemberian Vit K oral 10-20 mg/hari untuk menurunkan risiko terjadinya perdarahan maternal maupun neonatal. 37 Kemungkinan terjadinya cacat pada janin mendorong dikerjakannya pemeriksaan pranatal, meliputi pemeriksaan kadar OAE, asam folat, AFP, vitamin K, dan pemeriksaan ultrasonografi untuk mengetahui ada atau tidak adanya neural-tube defects, bibir sumbing, dan
kelainan jantung bawaan. Pemeriksaan tersebut dikerjakan sejak kehamilan 6 minggu sampai 36 minggu.14 Dosis optimal asam folat belum diketahi secara pasti. Untuk perempuan yang tidak mengalami defisiensi asam folat cukup diberi 1mg/hari. Apabila terbukti ada defisiensi asam folat maka perlu diberi asam folat dengan dosis yang lebih tinggi, dapat diberikan sampai 4 mg/hari. 13 Epilepsi pada persalinan 41,42 Persalinan harus dilakukan di klinik atau rumah sakit dengan fasilitas untuk perawatan epilepsi dan unit perawatan intensif untuk neonatus. Perempuan penyandang epilepsi dapat melahirkan normal per vaginum. Selama persalinan, OAE harus tetap diberikan, apabila perlu penderita dapat diberi dosis tambahan dan/atau obat parenteral terutama apabila terjadi partus lama. Terapi akut kejang saat melahirkan sebaiknya digunakan Lorazepam intravena. Perlu diingat bahwa OAE yang menginduksi enzim hepar merupakan inhibitor kompetitif terhadap prothrombin precursors, hal ini menempatkan bayi dalam keadaan risiko tinggi untuk terjadinya perdarahan termasuk perdarahan otak. Risiko tertinggi terdapat pada hari pertama paska lahir, dan bayi mungkin memerlukan pemeriksaan koagulasi. Pemberian vit K 1 mg I.M diberikan pada neonatus saat dilahirkan oleh ibu yang menggunakan OAE induksi-enzim. Pemberian ulangan vit K 2 mg oral dilakukan pada akhir minggu pertama, dan akhir minggu ke4. Tujuan pemberian vitamin K adalah untuk mengurangi risiko terjadinya perdarahan . Epilepsi pada masa menyusui 40,41 Sebagian besar perempuan penyandang epilepsi mampu menyusui anaknya secara baik. Kadar OAE dalam air susu ibu (ASI) ditentukan oleh kadar obat di dalam plasma dan tingkat keterikatan obat oleh protein. Makin tinggi tingkat keterikatan obat pada protein maka kadar OAE dalam ASI makin rendah. Fenitoin dan asam valproat yang proporsi ikatan pada protein cukup tinggi sehingga kadarnya dalam ASI cukup rendah. Lebih dari itu, fenitoin cukup sulit diabsorbsi oleh traktus gastro-intestinal bayi. Dengan demikian ibu yang minum fenitoin dan asam valproat diperbolehkan menyusui bayinya. Karbamazepin dan fenobarbital terdapat di dalam ASI dengan kadar yang lebih tinggi. Apabila si ibu minum fenobarbital, maka bayinya harus diawasi apakah tidak dapat mengisap ASI atau tampak mengantuk terus. Apabila terjadi maka pemberian ASI harus segera dihentikan.14 Konsentrasi OAE di ASI untuk fenitoin 10%, benzodiasepin 15 %, valproat 5 %, karbamasepin 45%, fenobarbital 40%, oxcarbasepin 50%, primidon 80%, ethsuximide 90%. Lamotrigin dan topiramat mempunyai ikatan protein yang rendah sampai sedang, demikian pula konsentrasi yang ditemukan pada ASI. Gabapentin dan levetiracetam tidak ada ikatan protein dan mempunyai konsentrasi yang ekuivelen dengan serum maternal dan ASI.
Dari penelitian disimpulkan, tidak ada kontra-indikasi mutlak untuk menyusui bagi perempuan dengan epilepsi. Penggunaan susu botol pengganti ASI perlu dipertimbangkan bila bayi menjadi malas minum.17 Epilepsi pada menopause 40,44 Selama menopause, kadar estrogen maupun progesteron menurun tajam. Pada kelompok perempuan tertentu serangan epilepsi menjadi reda sementara itu pada kelompok yang lain justru makin memburuk. Hubungan antara menopause dengan epilepsi belum banyak diketahui. Beberapa obat anti epilepsi yang diberikan pada wanita epilepsi apalagi pada masa menopause akan meningkatkan risiko gangguan pada tulang seperti osteoporosis, osteopeni, osteomalacea dan fraktur. Phenitoin, karbamasepin dan phenobarbital dilaporkan dapat meningkatkan terjadinya perubahan pada metabolisme tulang dan densitas tulang.
Obat anti epilepsi pada penggunaan kontraseptif oral dan suntikan 45 Banyak obat anti epilepsi menginduksi ensim hepar serta menurunkan efek oral kontraseptif. Karbamasepin, fenitoin, fenobarbital, dan pirimidon menurunkan efek kontrasepsi oral dengan cara meningkatkan enzim mikrosomal. Karbamazepin mempengaruhi keseimbangan hormon seks : dapat menurunkan tingkat dehidroepiandrosteron sulfat dan indeks androgen bebas, meningkatkan jumlah hormon steroid yang terikat globulin, dan penurunan sekejap respon LH dan Gonadotropin terhadap Gonadotropin releasing Hormon. Fenitoin menurunkan Dehidroepiandrosteron Sulfat ( DHEA-S). Penggunaan lama Valproat berkaitan dengan kenaikan testosteron serum dan DHEA-S. Dianjurkan bila menggunakan kontrasepsi oral, sebaiknya yang mengandung 50 mikrogram etinilestradiol. Penggunaan kontrasepsi suntikan (Depo Provera) dilaporkan dapat memperbaiki kejang dan dianjurkan pemberian suntikan (Depo Provera) ini sebaiknya diulangi setiap10 minggu daripada yang dianjurkan setiap 12 minggu. Benzodiazepin, etosuksimid, vigabatrin,lamotrigin dan gabapentin tidak mempengaruhi efektifitas kontrasepsi oral. Interaksi obat antikonvulsan dan pil KB. 45 Obat2 epilepsi yang tidak mengurangi effektifitas oral kontraseptif :
Obat2 epilepsi yang dapat mengurangi effektifitas oral kontraseptif : Obat yg menginduksi enzim : carbamazepine ethosuximide (though there conflicting data about this)
is
Epilepsi pada penggunaan hormon replacement therapy 46 Hormone replacement therapy= HRT= terapi sulih hormone pada wanita menopause mungkin bermanfaat dalam menghilangkan beberapa simptom menopause seperti hot flushes, keringatan dan kekeringan vagina. Juga dapat membantu memproteksi terjadinya penyakit jantung dan osteporosis. Tapi HRT ini dapat juga merupakan kontraindikasi bagi beberapa wanita lainnya. Para wanita epilepsi membutuhkan pertimbangan cermat, apakah memang benar-benar membutuhkan HRT ( hormone replacement therapy = terapi sulih hormone ) atau tidak.. HRT dapat diberikan berupa estrogen sendiri atau dalam atau dalam bentuk kombinasi estrogen dan progesterone. Testosteron juga kadang-kadang ditambahkan sebagai kombinasi. Estrogen seperti diketahui akan lebih mudah menimbulkan kejang, sehingga saharusnya pada HRT dibutuhkan kombinasi dengan progesteron. Namun pada beberapa wanita, frekuensi kejang akan tetap meningkat walaupun progesteron sudah tercakup dalam HRT. Dalam penggunaan HRT ini juga dianjurkan untuk mengkonsumsi vitamin D dan suplemen calsium, regular weight-bearing exercise, menghindari alkohol dan rokok dapat meminimalkan kehilangan masa tulang dan osteoporosis.
Aspek sosial Pasien epilepsi secara umum mempunyai kendala dalam hubungan sosial dan kemasyarakatan karena : 1. Kekeliruan persepsi masyarakat terhadap penyakit : kutukan, turunan, dsb. 2. Kekeliruan perlakuan keluarga terhadap pasien epilepsi : overproteksi, penolakan, dimanjakan, dsb. 3. Kekeliruan perlakuan masyarakat terhadap penyandang epilepsi : penolakan, direndahkan, diisolasikan, dsb 4. Keterbatasan pasien epilepsi akibat penyakit : dalam bidang pendidikan, kemasyarakatan, seni dan olah raga, dsb. Beberapa karakteristik yang perlu dipertimbangkan : 1. Karakteristik penyakit : tidak menular, paroksismal, dapat disembuhkan, dsb. 2. Karakteristik bangkitan: umum, parsial sederhana, partial kompleks, atonik dsb. 3 3. Karakteristik pasien : kepribadian, pendidikan, keluarga, dsb 3 4. Sistem Sosial dan Hukum : adat istiadat, budaya, undang-undang, dsb 5. Sosialisasi penyakit pada instansi terkait : pendidikan, tenaga kerja, kepolisian, dsb Aspek pekerjaan Epilepsi dapat menurunkan kesempatan dan efisiensi kerja serta meningkatkan risiko kecelakaan kerja, maka bangkitan harus terkontrol Prinsip pilihan pekerjaan : 1. Disesuaikan dengan jenis dan frekuensi bangkitan. 2. Resiko kerja yang paling minimal. 3. Tidak bekerja sendiri dan di bawah pengawasan 4. Jadwal kerja yang teratur. Lingkungan kerja (atasan dan teman kerja) tahu kondisi pasien dan dapat memberikan pertolongan awal dengan baik, maka epilepsi jangan dirahasiakan.
Aspek Olahraga 1. Pasien Epilepsi masih diperbolehkan melakukan olahraga. 2. Pilihan jenis olah raga yang diperbolehkan, dengan pertimbangan : - Dilakukan di lapangan / gedung olah raga.
Olah raga yang dilakukan di jalan umum (balap, lari maraton, dll), di ketinggian (naik gunung, panjat tebing, dll) sebaiknya dihindari. Pengawasan khusus dan atau alat bantu diperlukan untuk beberapa jenis olah raga, seperti : renang, atletik, senam, dsb.
Aspek mengemudi Resiko kecelakaan tergantung pada jenis dan frekuensi bangkitan. Yang penting penyakit epilepsi tidak meningkatkan kejadian kecelakaan lebih besar dibandingkan penyakit jantung, kencing manis, gangguan mental, alkoholisme dan penyalahgunaan obat. Pemberian Surat Ijin Mengemudi ( SIM ) pada pasien epilepsi bervariasi sesuai hukum tiap negara dengan prinsip : - Bangkitan epilepsi telah terkontrol dengan OAE - Masa bebas bangkitan dalam jangka waktu tertentu ( 24 bulan berdasarkan pedoman POLRI ). - Hukum dan peraturan asuransi yang berlaku. - Dengan kondisi yang ada di Indonesia disarankan pemberian ijin mengemudi dengan pertimbangan-pertimbangan : - Pasien sudah terkontrol bangkitannya dan bebas bangkitan dalam jangka tertentu ( perlu kesepakatan dengan pertimbangan berbagai aspek di atas ). - Bagi pengemudi pribadi dengan asisten, masa bebas bangkitan lebih pendek ( 6 12 bulan ) dapat dipertimbangkan, seperti bangkitan parsial sederhana dan melibatkan anggota tubuh non dominan atau epilepsi nokturnal. - Bagi pengemudi angkutan umum, pengecualian ini tidak berlaku, bahkan mungkin diperlukan syarat tambahan, seperti : berobat secara rutin, rekaman EEG, Psikotes, atau masa bebas bangkitan lebih lama. - Perlu ditentukan batas waktu maksimal mengemudi bagi pasien epilepsi untuk menghindarkan stres fisik / psikis yang berlebihan ( maksimal 6 jam menurut pedoman POLRI) - Perlu adanya komunikasi serta kerjasama dengan pihak pimpinan /perusahaan tempat bekerja mengenai seluk beluk penyakit yang diderita untuk dapat memberikan pengawasan langsung ( jadwal kerja, lama kerja, lingkungan kerja, diet dsb ). - Perlu antisipasi khusus terhadap epilepsi refleks ,diperlukan tes povokasi Aspek Hukum Prinsip umum : perlu ada perbedaan perlakuan hukum tertentu bagi pasien epilepsi, khususnya pada hak dan kewajiban hukum, pemberian asuransi kesehatan dan ijin mengemudi. Perlu adanya komunikasi dan advokasi antara pihak / instansi yang terkait untuk meletakkan pasien epilepsi pada posisi sebenarnya.
Aspek perkawinan dan reproduksi 1. Pasien epilepsi diperbolehkan untuk menikah 2. Epilepsi mempengaruhi dan dipengaruhi keseimbangan hormonal ( estrogen dan progesteron ) 3. Hiposeksual sering terjadi pada pasien epilepsi, khususnya Epilepsi Lobus Temporal ( ELT ) 4. Disfungsi menstruasi dan reproduksi lebih sering terjadi pada ELT dan Epilepsi Umum Primer ( EUP ). Disfungsi menstruasi meliputi : amenore, oligomenore dan interval siklus menstruasi abnormal. Kelainan endokrin reproduksi meliputi : sindroma ovarium polikistik, hipogonadisme hipotalamik, menopause prematur dan hiperprolaktinemia. 5. Pada catamenial epilepsy (bangkitan kejang yang ada hubungannya dengan siklus haid) diterapi dengan azetasolamid 5-10 hari sebelum dan sesudah haid, atau diberikan clobasam. 6. Tingkat kesuburan ( fertilitas ) menurun 69 85 % dari yang diharapkan. 7. Karbamazepin mempengaruhi keseimbangan hormon seks : dapat menurunkan tingkat dehidro-epiandrosteron sulfat dan indeks androgen bebas, meningkatkan tingkat hormon steroid yang terikat globulin, dan penurunan sekejap respon LH dan Gonadotropin terhadap Gonadotropin releasing Hormon. 8. Fenitoin menurunkan Dehidro-epiandrosteron Sulfat ( DHEA-S). 9. Penggunaan valproat jangka lama berkaitan dengan kenaikan testosteron serum dan DHEA-S. 10. Fenitoin, Fenobarbital, Karbamazepin dan pirimidon menurunkan efek kontrasepsi oral dengan cara meningkatkan enzim mikrosomal. 11. Bila menggunakan kontrasepsi oral, sebaiknya yang mengandung 50 mikrogram etinilestradiol. 12. Penggunaan kontrasepsi suntikan (Depo Provera) dapat mengurangi kejang. 13. Benzodiazepin, etosuksimid, vigabatrin,lamotrigin dan gabapentin tidak mempengaruhi efektifitas kontrasepsi oral. 14. Resiko komplikasi kehamilan pada pasien epilepsi meningkat 1,5 4 kali. 15. Pemberian OAE karbamasepin, fenitoin, fenobarbital, dilaporkan cukup aman pada perempuan hamil pasien epilepsi. 16. Suplemen asam folat 4-5 mg/hari dianjurkan saat hamil untuk mengurangi risiko defek neural tube akibat OAE. 17. Pada semua perempuan pasien epilepsi yang berpotensi melahirkan anak dianjurkan untuk diberi asam folat 0,4-4 mg mg/hari. 18. Selama kehamilan kadar serum karbamazepin, fenitoin, fenobarbital dan valproat menurun secara berturut-turut ( 42%, 56%, 55% dan 39% ), kadar obat bebas karbamazepin, fenobarbital, fenobarbital menurun secara berturut-turut (28%, 31%, dan 50% ), sedangkan kadar obat bebas valproat meningkat 25%. 19. Pada perempuan hamil pasien epilepsi trimester akhir dianjurkan untuk diberi Vit K oral 20 mg/hari. 20. Pemberian vit K 1 mg I.M diberikan pada neonatus saat dilahirkan pada ibu yang menggunakan OAE penginduksi enzim. 21. Perempuan pasien epilepsi dapat melahirkan normal per vaginum.
22. Terapi akut kejang saat melahirkan sebaiknya digunakan Lorazepam intravena. 23. Konsentrasi OAE di ASI untuk fenitoin 10%, benzodiasepin 15 %, valproat 5 %, karbamasepin 45%, fenobarbital 40%, oxcarbasepin 50%, primidon 80%, ethsuximide 90%. 24. Penggunaan susu botol pengganti ASI perlu dipertimbangkan bila bayi menjadi malas minum.
DIAGNOSIS Diagnosis epilepsi pada usia lanjut ditegakkan berdasar: 1. Anamnesis ( Rek. A). 2. Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologis ( Rek. B). 3. Pemeriksaan Penunjang : a. EEG ( Rek. B). b. CT-Scan ( Rek. B) c. MRI ( Rek B). 4. Pemeriksaan Laboratorium ( Rek C). PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan epilepsi pada usia lanjut hendaknya lebih berhati-hati mengingat pada usia lanjut telah terjadi penurunan fungsi organ tubuh sehingga sering terjadi penyakit lainnya bersama dengan keluhan epilepsinya. Dalam pemilihan obat pada epilepsi usia lanjut perle diperhatikan beberapa hal sebagai berikut : 1. Pemilihan obat berdasarkan jenis epilepsinya. 2. Terapi awal dimulai dengan dosis rendah,usaahakan obat yang dipilih yang dapat diberikan 2 kali sehari unutk meningkatkan kepatuhan. 3. Karena pasien usia lanjut sering mengalami kesulitan menelan berikan bat yang mudah digerus. 4. Periksalah kadar obat dalam darah guna mencegah intoksikasi. 5. Pada usia lanjut sering diketemukan gangguan fungsi organ yang memerlukan terapi, sehingga pemilihan obat anti epilepsi hendaknya dipilih yang tidak berinteraksi dengan obatobat tersebut. 6. Pemberian obat anti epilepsy pada usia lanjut kadang memerlukan waktu lebih dari 3 tahun bahkan seumur hidup ,karena epilepsi pada usia lanjutmumumnya simtomatis. Pemilihan obat OAD pada usia lanjut sehat dan usia lanjut dengan Multiple Medical Problem (MMP) Obat anti Epilepsi Carbamazepin Phenytoin Valproat Phenobarbital Oxcarbazepine Gabapentine Usia Lanjut Sehat baik baik baik dihindari baik baik Usia lanjut dengan MMP Hati-hati pada Ggn Ginjal. Hati-hati pada Ggn Ginjal. Hati-hati pada Parkinson. dihindari Hati-hati pada Ggn Ginjal. Baik
DAFTAR ISI
Halaman sampul Daftar isi Bab I Bab II Bab III Pendahuluan Definisi, klasifikasi Etiologi Diagnosis Diagnosis diferensial Gambaran klinis Terapi Status epileptikus Epilepsi pada perempuan Aspek psikososial, medikolegal, reproduksi Epilepsi pada usia lanjut 1 2 6 7 8 9 10 15 25 32 36
Daftar Pustaka
40
DAFTAR PUSTAKA
1. 2. 3. 4. Gummit RJ. Recommendation Guidelines for Diagnosis and Treatment in Specialized Epilepsy Centers. Epilepsia. Vol 31, supp 1, 1990 Pellegrino TR. Seizures and Status Epilepticus in Adults, in Tintinali JE, Ruiz E, Krome RL. Emergency Medicine. 4th ed. Mc Graw Hill. New York, 1996 Shorvon S. Handbook of Epilepsy Treatment, Blackwell Science Ltd, 2000 The Commission on Classification and Terminology of the International League Against Epilepsy. Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification of epileptic seizures. Epilepsia 1981;22:489-501 The Commission on Classification and Terminology of the International League Against Epilepsy. Proposal for revised classification of epilepsies and epileptic syndromes. Epilepsia 1989;30:389-99 Volpe JJ. Neurology of the Newborn. 3rd edition. Philadelphia. WB Saunders co, 1995 Panayiotopoulos CP. The Epilepsies: Seizures, Syndromes, and Management; Oxfordshire, Blandon Medical Publishing, 2005 MOH Clinical Practice Guidelines. Diagnosis and Management of Epilepsy in Adults. 1999 Gubermann AH, Bruni J. Essential of Clinical Epilepsy. 2 nd ed. Butterworth Heinemann. Boston, 1999 Manford M. Practical Guide to Epilepsy, Butterworth Heinemann Elsevier Sciences. 2003 Kuzniecky R.I. Neuroimaging Techniques in Epilepsy, in : American Academy of Neurology. 55th Annual meeting 2003 Engel J. Seizures and Epilepsy. FA Davis Company. Philadelpia, 1989 Aicardi J. Epilepsy in Children. 2nd ed. The International Review of Child Neurology. Raven Press, 1994 Roger J, Bureau M, Dravet C, et al. Epileptic Syndromes in Infancy, Childhood and Adolescence. 2nd ed. John Libbey & Company, 1992 Cockerel OC, Shorvon OD. Epilepsy current concepts. Current medical literature.London, 1996
5.
6.
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Gumnit RJ. The Epilepsy Handbook The Practical Management of Seizure. 2 nd ed. Raven Press, New York, 1995 Brodie MJ, Dichter MA. Antiepileptic drugs. N Eng J Med. 1996;334:168-75 Browne TR, Holmes GL. Epilepsy. N Eng J Med. 2001; 344:1145-51 Devinsky O. Patients with Refractory Seizures. N Eng J Med. 1999;340:1565-70 Medical Research Council Anti-epileptic Drug Withdrawl Study Group. Randomised study of anti-epileptic drug withdrawl in patients in remission. Lancet 1991;337:1175-80 Medical Research Council Anti-epileptic Drug Withdrawl Study Group. Prognostic index for recurrence of seizures after remission of epilepsy. BMJ 193;306:1374-8 Fountain N. Treatment of Status Epilepticus. In : American Academy of Neurology. 55th annual meeting 2003 Working Group on Status Epilepticus. Treatment of convulsive status epilepticus. Recommendations of the Epilepsy Foundation of Americas Working Group on Status Epilepticus. JAMA 1993;270:854-9 Intractable Seizure. Diagnosis treatment and prevention, Advances in experimental medicine and biology. Vol 497, 2002 Krumholz A. Selection and management of epilepsy patients for surgery. American Academy of Neurology. 55th Annual meeting, 2003. Engel J. Surgery for Seizures. N Engl J Med. 1996 ; 334 : 647-53 Morrell M.J , M.D. Epilepsy in Woman. Columbia University, New York City, New York. In Journal of the American Academy Family Physicians October 15, 2002. Devinsky, O.A 1994 Guide to understanding and living with epilepsy . FA Davis Company, Philadelphia. Morrel, M.J. 1992 Hormones and epilepsy through the lifetime. Epilepsia 33(Suppl. 4):S49-S61. Vainionpaa, L.K., Rattya, J., Kinp, M., Tapanainen, J.S., Pakarinen, A.J., Lanning, P., Tekay, A., Myllyta, W., Isojarvi, J.I.T. 1999 Valproate-induced hyperandrogenism during pubertal maturation in girls with epilepsy. Ann. Neurol. 45:444-50.
31.
Tjahjadi, A. 2001 The effect of progesterone and antiestrogen on the frequency of seizures in women with complex partial seizures and catamenial epilepsy. URL http://142.103.117.44/scil/conf/2001/proc/node53.html. Cited on 8/12/2002. Zahn C. Catamenial epilepsy: clinical aspects. Neurology 1999;53(Suppl 1):S34-S37. Duncan S, Read CL, Brodie MJ. How common is catamenial epilepsy? Epilepsia 1993;34(5):827-831. Harsono 2002 Epilepsi katamenial. B.I.Ked. 34(1):57-63. British Brain and Spine Foundation Epilepsy; a guide for patients and carers, Available at: http://www.brainandspine.org.uk/pdf/epilepsy.pdf (accessed on 3 March, 2005). Nakane Y, Oltuma T, Takahashi R et al. Multi-institutional study on the teratogenicity and fetal toxicity of anticonvulsants: a report of a collaborative study group in Japan. Epilepsia, 1980; 21:663-680. Yerby M S, Pregnancy and teratogenesis. In: Trimble MR (ed). Women and Epilepsy. Chichester, John Wiley & Sons.1991. Shorvon .S.Handbook of Epilepsy Treatment, Blackwell Sciense Ltd, 2000.page 79-83. Dansky L V,The teratogenic effects of epilepsy and anticonvulsant drugs. In Hopkins Liporace, J.D. 1997 Womens issues in epilepsy. Postgrad. Med. 102(1): 1-8. ILAE (International League Against Epilepsy).1993 Guidelines for the care of women of childbearing age with epilepsy. Epilepsia 34(4):588-9. Prof. dr. Harsono, Sp.S (K), Karakteristik epilepsi pada perempuan. Dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Penyakit Saraf pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ; 12 April 2004. AAN (American Academy of Neurology). 1998 Practice parameter: Management issues for women with epilepsy (summary statement). Neurology 51:944-8. Abbasi, F., Krumholz, A., Kittner, S. 1995 Effects of menopause on women with epilepsy . Epilepsia 36(Suppl 4):148-50. National Institute for Clinical Excellence (NICE). The epilepsies: the diagnosis and management of the epilepsies in adults and children in primary and secondary care. Clinical guideline 20., Available at: http://www.nice.org.uk (accessed on 10 August 2005).
46.
Marcus R. Bone, Heatlh In Women With Epilepsy. In : MorrellM, ed. Women with epilepsy : A Handbook of Health and treatment Issues. Cambridge, U.K. : Cambridge University Press. In Press. Agoes A , Dr. Sp.S 2001. AspekKlinis Epilepsi pada usia lanjut. Simposium Epilepsi. Cloyd J, Ph.D, 2004. Pharmacokinetics of Aeds in the Elderly. AAN. http://www. Healthandage.com/P Homel/91d2+733. Seizure in old age. 14-07-2004 http://www. Phome-/medical news.hpp. Effective seizure treatment for elderly patient with epilepsy. 31-07-2004 Kwan P, 2004. Management Seizure and Epilepsy in the Elderly. 5th AOEC-Bangkok. Leppik IE, MD. 2004. Epilepsy in Elderly : Epidemiologi and Treatmnet. AAN Levy RH, 2002. Antiepileptic Drugs in the Treatment of Epilepsy. 150-157 Lumban Tobing S.M, Prof, DR. Dr., 2004, Epilepsy in the Elderly. Simposium Brain Heart. Ujung Pandang Stephen L.J. and Brodie M.J. 2000. Epilepsy in Elderly People. Lancet 355 : 1441-46 Velez L, MD and Selwa LM, MD. 2003. Seizure Disorders in the Elderly in : Journal of the American Academy of Family Physicians. January 15.
50.
51. 52. 53. 54. 55. 56.