You are on page 1of 4

Bittersweet Symphony ...

This Life'
Rossi Finza Noor - detikSport
Senin, 20/05/2013 11:13 WIB

Mike Hewitt/Getty Images

Setahun lalu Roberto Mancini adalah pahlawan, adalah raja, adalah dewa untuk Manchester City. Wigan Athletic juga untuk sesaat membuat banyak penggemarnya bahagia. Tapi roda sudah berputar. Wigan adalah contoh nyata sebuah romantisme. Klub kecil dari sebuah kota kecil, dibangun dengan budget yang kecil juga, tapi bisa menundukkan Manchester City, yang nyata-nyata adalah klub kaya dan punya status sebagai salah satu juara Premier League, pada pertandingan final Piala FA dua pekan lalu. Banyak yang menyebut, itu adalah bukti bahwa magis Piala FA masih ada. Turnamen tertua di dunia tersebut memang biasa demikian; yang kecil mengalahkan yang besar. Pada malam ketika Wigan mengalahkan City di Wembley, saya ingat satu sosok. Namanya Richard Ashcroft. Ashcroft bukanlah pemain sepakbola atau pesohor sepakbola. Tapi, layaknya orang Inggris kebanyakan, dia juga suka sepakbola. Mereka yang mengakrabi scene musik Inggris pada era 90-an akan langsung mengenalinya sebagai pentolan sekaligus vokalis band The Verve. Pada masa mudanya, Ashcroft pernah menggeluti sepakbola. Lahir dari keluarga kelas pekerja, Ashcroft sempat mencoba untuk jadi pesepakbola dan di Wigan-lah dia mengawali kariernya. Ada cerita bahwa saking seriusnya, hidungnya pun jadi bengkok gara-gara kelewat keras main bola. Namun, karier Ashcroft di lapangan tidak panjang, hanya sebatas tim akademi. Dia kemudian melupakan sepakbola dan memilih menekuni musik. Kemenangan Wigan atas City mungkin tidak ada hubungannya juga dengan Ashcroft. Andai dia pendukung Wigan, mungkin dia akan lebih peduli pada kans timnya lolos dari degradasi. Sayangnya, meski lahir di Wigan dan sempat masuk tim sepakbolanya, Ashcroft adalah suporter fanatik Manchester United. Sedemikian kecil dan insignifikannya Wigan sampai penduduk dari kotanya lebih memilih untuk mendukung tim dari kota yang lebih besar dan berada tidak jauh.

Kelak dalam perjalanannya sebagai musisi, Ashcroft dan rekan-rekannya bakal menulis The Bittersweet Symphony, lagu yang akan menjadi signature dari kelompok mereka dan salah satu lagu paling ikonik pada era 90-an. Mungkin semuanya hanya sekadar kebetulan saja. Tapi The Bittersweet Symphony jadi terasa cocok untuk menggambarkan Wigan. Kemenangan atas City itu diraih dengan manis. Tampil tanpa kenal takut sepanjang laga (baca: menyerang dan tidak bermain bertahan), Wigan menang lewat gol tunggal di menit-menit akhir laga. Yang mencetak golnya adalah pemain yang selama enam bulan terakhir duduk di tepi lapangan lantaran patah kaki. Para pendukung Wigan di Wembley -- yang katanya dapat jatah 40 ribu tiket, namun yang memesan tidak sampai segitu -- bersorak. Dave Whelan, sang presiden, girang bukan kepalang. Para pendukung Manchester United yang menonton menonton dari layar kaca --mungkin salah satunya Ashcroft sendiri - bisa jadi juga bersorak. Saya tidak perlu menceritakan bahwa trofi itu adalah trofi mayor pertama mereka dalam 81 tahun berdirinya klub. Pokoknya, malam itu Wigan senang. Optimisme muncul. Wigan percaya bisa memenangi dua laga terakhir di Premier League dan lolos dari degradasi, seperti yang sudah-sudah mereka alami sebelum ini. Tapi rupanya, daya magis lolos dari degradasi dalam beberapa musim terakhir seperti sudah habis dicurahkan pada malam di Wembley itu. Belum sampai pada pertandingan terakhir liga, keinginan Wigan untuk tetap berada di Premier League musim depan sudah sirna. Mereka bertemu Arsenal dan kalah. Jangan ditanya betapa campur-aduknya perasaan Whelan, para pemain Wigan, dan juga Roberto Martinez. Satu piala yang begitu penting dalam sejarah klub mereka jadi tidak terasa penting. Petualangan mereka selama delapan tahun terakhir di kasta teratas sepakbola Inggris menemui akhir. Entah kapan lagi kita akan melihat Wigan di Premier League.

Dan begitulah, The Bittersweet Symphony mengalun untuk Wigan. Ashcroft seperti menyanyikannya untuk bekas klubnya itu.

Dengan lugas, Ashcroft bercerita soal pahit-manisnya hidup. Bagaimana kadang manusia berdoa mengharap suatu keajaiban, padahal sebelumnya mereka sama sekali tidak pernah berdoa. Bagaimana kemudian manusia berubah bentuk dan sifat, entah karena keadaan, entah karena bertemu manusia yang berbeda pula. Ashcroft seperti mempuisikan sebuah ucapan klise, "Memang begitulah hidup... kadang di atas, kadang di bawah." Ashcroft memang filosofis. Lirik-lirik yang dia tulis kemudian kerap menggambarkan hal-hal sederhana, namun disorot dalam sudut pandang yang begitu dalam. Noel Gallagher, pentolan Oasis sekaligus seorang pendukung akut City, bahkan respek habis padanya. Mereka yang menyimpan album legendaris Oasis, "What's The Story Morning Glory", akan menemukan satu lagu di dalamnya yang dibuat khusus untuk Ashcroft. Lagu itu adalah "Cast No Shadow", di mana dalam ucapan terima kasihnya, Noel terang-terangan mendedikasikan, "... to the genius of Richard Ashcroft." Saya jadi merasa lucu sendiri. "The Bittersweet Symphony kemudian jadi tidak hanya terasa cocok untuk Wigan, tetapi juga Roberto Mancini -- pelatih dari tim yang dielu-elukan Noel. Mancini dipecat hanya beberapa hari setelah timnya kalah dari Wigan. Yang terasa ironis, Mancini dipecat pada malam tanggal 13 Mei menjelang pergantian hari. Mereka yang mendukung City tentu tahu betapa pentingnya tanggal 13 Mei. Ya, tepat setahun sebelum Mancini dipecat, pada tanggal itulah mereka meraih trofi juara Premier League dengan cara yang biasa dilakukan oleh rival sekota mereka: gol di menit-menit akhir.

Mancini yang jadi pahlawan setahun lalu itu kini jadi pengangguran dengan uang pesangon yang, bisa dibayangkan, begitu besar. Brian Kidd, sang asisten, menggambarkan pemecatan Mancini adalah sesuatu hal yang mengejutkan. Sementara David Platt memilih untuk ikut keluar dari tim. City yang tepat setahun lalu berada di puncak, tiba-tiba mendapati mendung tebal menaungi klub. Banyak spekulasi mengapa Mancini dipecat. Beberapa menyebut karena kekalahan di Piala FA, sementara beberapa menyangkalnya. Yang menyangkal itu kemudian mengatakan, menang atau tidak di Piala FA Mancini bakal tetap didepak. Kesalahan utamanya adalah kegagalan di Eropa dan ketidakbisaannya menjaga keharmonisan di ruang ganti. Beberapa pemain bahkan dikabarkan Telegraph menyebut Mancini sebagai sosok arogan dan kerap berlagak layaknya diktator. Spekulasi tentang kegagalan di Eropa menguak spekulasi lainnya. Adalah hal yang naif jika mengatakan, para Sheikh pemilik City itu hanya memikirkan soal sepakbola. Dengan investasi yang sudah ditumpahkan, dan jumlahnya tidak sedikit, bukan hal yang aneh jika mereka kemudian mencari keuntungan. Kegagalan melangkah lebih jauh di Eropa berarti meminimalkan pemasukan. Alhasil, City jelas harus berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang masuk dari sektor lain. Ini memang bicara soal untung-rugi, tapi ada hal lain yang juga tidak kalah pentingnya: meratakan neraca demi tuntutan UEFA Financial Fair Play. Melihat kondisi City sekarang ini, saya kemudian terbayang adegan di mana Ashcroft berdiri di sebuah pedestrian yang padat dengan jaket hitamnya. Dia kemudian berjalan lurus ke depan tanpa mempedulikan sekitarnya, dan lantas bertabrakan dengan orang-orang yang berada di jalurnya. Dari mulutnya, mengalun syair The Bittersweet Symphony itu. "Cause it's a bittersweet symphony... this life. Trying to make ends meet, you're a slave to the money then you die."

===

* Penulis adalah wartawan detiksport, biasa beredar di dunia maya dengan akun twitter @rossifinza

You might also like