You are on page 1of 14

Analysis of Indonesia Textile Industry Competitiveness in Regulation Theory Perspective By : Nur Efendi A.

Pendahuluan Fenomena daya saing Indonesia beberapa tahun terakhir memperlihatkan trend yang cukup menggembirakan, setidaknya demikianlah menurut laporan World Economic Forum (WEF). WEF dalam laporannya tahun 2011 yang menempatkan Indonesia dalam urutan ke 44 berdasarkan Indeks Daya Saing Global, jauh dibawah beberapa Negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Thailand yang masing-masing berapa pada urutan ke 26 dan 38. Posisi ini lebih baik daripada tahun sebelumnya yang menempatkan

Indonesia pada posisi 54. Dalam laporan WEF tahun 2011 dikatakan bahwa ada 3 pilar dimana Indonesia memperoleh skor terendah, yaitu kecanggihan teknologi (skor 3,2), infrastruktur (skor 3,6) dan kelembagaan (skor 4,0).

Pengukuran daya saing tidak hanya dilakukan dengan mengunakan 12 pilar seperti yang telah disebutkan oleh WEF. Marsh dan Tokarick (1994) misalnya, mereka menggunakan lima indicator, yaitu real exchange rates based on consumer price indices, export unit values of manufacturing goods, the relative price of traded to nontraded goods, normalized unit labor costs in manufacturing, and the ratio of normalized unit labor costs to value-added deflators in manufacturing. Sedangkan Kumar, dkk (1999) menggunakan pendekatan kuantitatif untuk mengukur daya saing berbasis kualitas pada suatu organisasi. Namun,seperti juga dalam banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli, perbedaan pendekatan dalam mengukur daya saing akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.

Secara tradisional analisis daya saing mencakup tiga tingkatan,yaitu Negara, industri dan, perusahaan (Porter 1990). Porter (1990) mengatakan bahwa daya saing suatu Negara

didasarkan kepada daya saing berbagai industri dan atau perusahaan yang ada. Artinya, semakin tinggi daya saing industri dan perusahaan maka daya saing Negara juga akan meningkat. Demikian juga sebaliknya. Dan logika ini juga dapat digunakan untuk

menentukan daya saing industri yaitu berdasarkan daya saing perusahaan yang ada dalam industri tersebut. Sebuah industri dikatakan memiliki daya saing yang tinggi, apabila
1

perusahaan-perusahaan memiliki kemampuan untuk menghasilkan, memasarkan dan menjual produk dan jasa yang mereka hasilkan.

Salah satu industri yang cukup mengalami penurunan daya saing beberapa tahun terakhir adalah industri tekstil. Industri tekstil adalah salah satu kelompok industri yang masuk dalam kluster industri prioritas berdasarkan Perpres Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan

Industri Nasional. Dengan dikeluarkannya Perpres ini seharusnya daya saing industri tekstil terutama industri yang bersaing di pasar domestic, tidak mengalami penurunan seperti yang terjadi saat ini. Penurunan ini ditandai oleh banyaknya perusahaan tekstil yang harus ditutup karena produknya tidak mampu bersaing dengan produk pesaing dan produk impor. Data dari Asosiasi Perpekstilan Indonesia (API) wilayah Jawa Barat

misalnya, menunjukkan bahwa terdapat 50 perusahaan tekstil yang tidak dapat dikonfirmasi pada tahun 2011 (data API Jabar).

Penurunan daya saing industri tekstil

dapat ditinjau dari berbagai aspek.

Sanchita

Banerjee Saxena dan Vronique Salze-Lozach, yang melakukan penelitian terhadap daya saing produk tekstil dan garmen di Bangladesh menyimpulkan bahwa lemahnya daya saing industri tekstil dan garmen di Bangladesh disebabkan oleh buruknya infrastruktur, fluktuasi nilai tukar mata uang, bunga pinjaman yang tinggi, tenaga kerja yang tidak terampil, banyaknya pesaing di dalam negeri, rendahnya teknologi produksi, dan citra negative yang digambarkan oleh media (www.asiafoundation.org. Occasional Paper, No. 1, July 2010). Demikian juga halnya dengan penelitian tekstil di dalam negeri, seperti penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Propinsi Jawa Tengah, menyimpulkan bahwa industri tekstil Jawa Tengah masih menghadapi masalah berkaitan dengan ketersediaan bahan baku benang sutera sehingga harus dikirim dari luar daerah atau di impor. Pada industri pemintalan, masalah yang dihadapi adalah kualitas tenaga kerja yang rendah dan keterbatasan teknologi

(http://www.balitbangjateng.go.id/perpustakaan/index.php?p=show_detail&id=1412). Sementara itu Sri Martini menyimpulkan adanya 3 masalah pokok dihadapi oleh industri TPT, yaitu umur mesin yang relative tua, produktifitas tenaga kerja yang belum optimum, dan biaya energy yang tinggi (www. agung.blog.stisitelkom.ac.id/).

Dalam konteks kelembagaan, turunnya daya saing industri tekstil kita juga dapat dilihat dari berbagai perspektif teori, seperti dalam perspektif teori biaya transaksi yang menyoroti tingginya biaya transaksi dalam suatu industri yang berakibat terjadinya praktek ekonomi biaya tinggi. Makalah ini bertujuan untuk menganalis lemahnya daya saing industri tekstil di pasar domestic dalam persepktif teori regulasi.

B. Pembahasan 1. Konsep Daya Saing Daya saing adalah sebuah konsep yang membandingkan kemampuan dan kinerja suatu perusahaan, sub sector atau Negara untuk menjual dan mensuplai barang dan jasa ke pasar yang dituju. (Easterly and Levine 2002) (sumber

http://en.wikipedia.org/wiki/Competitiveness). Dalam konsep seperti ini, kemampuan untuk mengelola sumberdaya ekonomi seperti modal, tenaga kerja, dan teknologi, secara optimal akan sangat menentukan kinerja perusahaan yang dapat diukur dengan kemampuan untuk menjual dan menawarkan barang dan jasa pada pasar tertentu. Semakin baik perbandingan antara ability dan performance menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki daya saing yang kuat atau keunggulan bersaing. Namun demikian, daya saing perusahaan tidak hanya ditentukan oleh kekuatan internal, tetapi juga sangat ditentukan oleh hubungan dengan pihak eksternal seperti pemasok, konsumen,

pemerintah, dan bahkan dengan pesaing yang membantu mereka untuk mendapatkan keunggulan bersaing. Jaringan hubungan internal dan eksternal perusahaan ini oleh Kay ( 1993 : 66) disebut sebagai Architecture, yaitu a network of relational contract with or around the firm. Pada sisi yang lain, Cravens (1996 : 18) mengatakan bahwa daya saing adalah kemampuan perusahaan untuk bersaing dengan perusahaan pesaingnya. Oleh sebab itu perusahaan harus memiliki strategi bersaing dan keunggulan bersaing yang focus pada proses yang dinamis. Michael Porter (1990) menyatakan bahwa keunggulan bersaing sebagai kunci untuk mencapai kinerja perusahaan, industri dan ekonomi yang superior.

Dikaitkan dengan kompetisi, daya saing mencerminkan posisi salah satu entitas ekonomi (negara, industri, perusahaan, rumah tangga) dalam kaitannya dengan entitas ekonomi lainnya dengan membandingkan kualitas atau hasil kegiatan yang mencerminkan
3

superioritas atau inferioritas (Reiljan, dkk, 2000). Dalam hal konteks ini, daya saing dapat didefinisikan baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Dalam arti sempit daya saing merupakan explored in conditions where entities interests are contradictory. Pencapaian tujuan oleh salah satu entitas akan menutup peluang bagi entitas lain untuk memenuhi kepentingannya. Pada Pendekatan yang lebih luas , konsep daya saing juga mencakup persaingan potensial dan tidak langsung antara entitas, menganalisis area di mana kepentingan-kepentingan langsung entitas tidak bertentangan. Pendekatan yang lebih luas membuat analisis daya saing mirip dengan analisis komparatif dalam arti yang paling umum. Pendekatan ini menekankan pentingnya metode perbandingan dalam menilai kualitas dan kegiatan entitas. Setiap kualitas atau kinerja dapat secara menyeluruh dievaluasi hanya dibandingkan dengan entitas yang sama (Reiljan, dkk, 2000).

Seperti telah diungkapkan pada bagian pendahuluan, Porter (1990) mengatakan bahwa dalam pandangan beberapa ahli ekonomi, daya saing suatu negara didasarkan pada daya saing berbagai industri dan atau perusahaan. Dalam pandangan seperti ini, daya saing nasional tergantung pada daya saing perusahaan dan produk yang dihasilkannya (Puera, dalam Reiljan, 2000) dimana indicator-indikator perdagangan luar negeri rasio ekspor terhadap GDP dan rasio keseimbangan perdagangan luar negeri terhadap GDP. Dengan demikian, daya saing didefinisikan sebagai kemampuan suatu negara untuk memperoleh dan memelihara pangsa pasar di pasar internasional (Figueroa, 1998)

Berdasarkan uraian di atas, maka daya saing dapat dikelompokkan dalam tiga level, yaitu daya saing Negara, industri, dan perusahaan (Porter, 1990). Meskipun demikian,ketiga level ini saling berkaitan karena daya saing industri nasional sangat tergantung pada kondisi daya saing berbagai industri yang menopang perekonomian nasional. Demikian juga halnya dengan daya saing industri sangat ditentukan oleh daya saing perusahaan yang beroperasi dalam industri tersebut. Mengukur daya saing bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Kadocsa (2006) mengatakan A few values, indicators, or characteristic features that can be quantified and accessible, or are not quantifiable or accessible at all, or are difficult to quantify or access, have to be identified at corporate level. Menurut Kadocsa, ada beberapa indicator untuk mengukur daya saing, yaitu penerimaan, ekspor, laba, pangsa pasar, produktifitas, standar teknis,
4

nilai perusahaan, good will, pencitraan, kepuasan konsumen, dan nilai produk dan jasa yang dihasilkan. Kadocsa (2006) juga menyatakan bahwa secara garis besar, faktor yang mempengaruhi daya saing dibagi menjadi dua, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Perbedaan antara faktor eksternal dan internal diberikan Kadocsa sebagai berikut : Faktor Eksternal Employment Productivity Capital supply opportunities Globalisation EU Business relations Alliances Networks Faktor Internal Marketing Innovation Productivity Knowledge-based development Capital supply Management, organisation, structure Cost-efficiency Compliance

Sementara itu Tambunan (2008) mengatakan bahwa ada 7 (tujuh) faktor yang mempengaruhi daya saing perusahaan, yaitu keahlian atau tingkat pendidikan pekerja, keahlian pengusaha, ketersediaan modal, sistem organisasi dan manajemen yang baik, ketersediaan teknologi, ketersediaan informasi, dan ketersediaan input-input lainnya seperti energy dan bahan baku.

2. Perspektif Teori Regulasi dalam Bisnis Fenomena lemahnya daya saing industri tekstil yang berorientasi pasar domestic seperti diuraikan di atas, dapat dijelaskan dengan teori regulasi. Dalam hal ini, Johan den Hertog (1999) mendefinisikan regulasi sebagai penerapan instrumen hukum untuk melaksanakan tujuan kebijakan sosial-ekonomi. Karakteristik instrumen hukum adalah bahwa individu atau organisasi dapat dipaksa oleh pemerintah untuk memenuhi perilaku yang ditetapkan dengan ancaman hukuman sanksi. Korporasi dapat dipaksa, untuk misalnya, untuk mengamati harga tertentu, untuk memasok barang tertentu, untuk tetap berada di luar pasar tertentu, menerapkan teknik-teknik tertentu dalam proses produksi atau untuk membayar upah minimum. Sanksi dapat mencakup denda, dengan publikasi pelanggaran, penjara, perintah untuk membuat perjanjian khusus, sebuah perintah terhadap menahan tindakan tertentu, atau menutup bisnis.

Menurut tujuannya, Mitnick (1980) menyatakan bahwa regulasi sebagai bentuk koreksi pemerintah atas kegagalan pasar. Ketidakmampuan pasar dalam melindungi kepentingan umum mengharuskan pemerintah untuk mengambil inisiatif dan tanggung jawab untuk mengatur mekanisme pasar dan kelembagaan yang sudah ada. Kepentingan umum dalam hal ini bukan hanya menyangkut konsumen, tetapi juga kepentingan produsen. Dalam kasus maraknya produk impor yang masuk ke pasar domestic, pemerintah dapat mengambil tindakan dengan membuat regulasi yang dapat membatasi masuknya produk impor, baik melalui pembatasan kuota, penetapan tarif masuk yang tinggi, dan pengawasan yang ketat terhadap masuknya produk illegal. George L Stigler mengatakan bahwa ada dua sudut pandang utama dalam regulasi industri, yaitu 1. Regulasi dilembagakan terutama untuk memberikan proteksi dan manfaat tertentu untuk publik atau sub publik. 2. Regulasi sebagai analisis pasar politik yang memiliki landasan rasional Dalam konteks regulasi, beberapa penulis membedakan antara regulasi ekonomi dan sosial, contohnya Viscusi, Vernon dan Harrington (1996) (dalam Johan den Hertog, 1999). Menurut Kay dan Vickers (1990) Regulasi ekonomi terdiri dari dua jenis, yaitu regulasi struktural dan perilaku regulasi (dalam Johan Struktural den Hertog, 1999). Regulasi

digunakan untuk mengatur struktur pasar. Contohnya adalah pembatasan

masuk dan keluar dan aturan terhadap individu penyedia jasa profesional tanpa adanya kualifikasi yang diakui. Sedangkan Perilaku regulasi digunakan untuk mengatur perilaku dalam pasar. Contohnya adalah harga kontrol, aturan terhadap iklan dan standar kualitas minimum (Johan den Hertog, 1999).

Mengacu pada pendapat Stiegler bahwa regulasi bertujuan untuk memberikan perlindungan dan manfaat tertentu untuk public ataupun sub public, maka public atau sub public yang dimaksudkan disini adalah kepentingan umum. Johan den Hertog (1999) lebih jauh menjelaskan bahwa kepentingan umum dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai alokasi terbaik sumber daya yang langka bagi individu dan barang kolektif. Dijelaskan oleh Hertog bahwa, Dalam ekonomi barat, alokasi sumber daya yang langka adalah untuk sebuah batas yang signifikan dikoordinasikan oleh mekanisme pasar. Secara teori, dalam kondisi tertentu, alokasi sumber daya dapat dilakukan melalui mekanisme pasar secara optimal (Arrow, 1985). Karena kondisi ini sering tidak dipatuhi dalam praktek, alokasi sumber daya tidak terjadi secara optimal dan permintaan untuk untuk meningkatkan alokasi muncul (Bator, 1958). Salah satu metode yang efisiensi untuk mencapai alokasi sumber
6

daya adalah melalui regulasi pemerintah (Arrow, 1970; Shubik, 1970). Menurut teori kepentingan umum, regulasi pemerintah merupakan instrumen untuk mengatasi kerugian dari persaingan tidak sempurna, operasi pasar yang tidak seimbang. Regulasi dapat meningkatkan alokasi dengan memfasilitasi, mempertahankan, atau meniru operasi pasar.

3. Analisis Lemahnya Daya Saing Industri Tekstil Dalam kaitannya dengan fenomena pasar tekstil domestic yang 60% dikuasai oleh produk impor (bisnis-jabar.com, Kamis 3 Nopember 2011), para pengusaha dalam industri tekstil maupun Asosiasi Pertekstilan Indonesia belum melihat adanya regulasi yang mengarah pada perlindungan terhadap industri tekstil local. Hal ini cukup aneh karena sebagaimana dikatakan oleh Dieder Bos, bahwa pemerintah sebagai regulator tidak memiliki informasi yang cukup berkaitan dengan mekanisme pasar dan proses produksi industri tekstil, dan karena itu pemerintah mendorong pengusaha sebagai agent untuk beroperasi sesuai dengan keinginan pemerintah. Hal ini pada akhirnya akan menciptakan saling pengertian antara pemeritah dengan pengusaha dalam hal alokasi sumber daya yang mengarah pada pembagian incentive compatibility (Dieter Bos, 2001). Dalam kenyataannya, pemerintah memiliki lebih banyak informasi tentang pasar daripada pengusaha sebagai agent. Pertanyaannya kemudian adalah, jika pengusaha tidak dilibatkan dalam permainan ini, dengan siapakah pemerintah bermain? Jika pengusaha kecil dan menengah yang beroperasi pasar domestic tidak ikut bermain, mungkinkan perusahaan besar yang berorientasi ekspor yang bertindak sebagai agent dalam permainan ini? Untuk

mengetahuinya lebih jauh, mari kita lihat salah satu regulasi pemerintah yang berkaitan dengan industri tekstil, yaitu Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 123/MIND/PER/11/2010 Tentang Program Revitalisasi dan Penumbuhan Industri Melalui Restrukturisasi Mesin/Peralatan Industri Tekstil dan Produk Tekstil Serta Industri Alas Kaki, yang diperbarui dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15/MAnalisis terhadap Peraturan Menteri Pendindustrian ini dilakukan

IND/PER/2/2012.

dengan menggunakan sudut pandang alur produk. Dalam hal ini, regulasi dipandang sebagai suatu proses input-proses-output-outcome. Dengan menggunakan pendekatan ini diharapkan akan terjawab beberapa pertanyaan terdahulu, yang berkaitan dengan lemahnya daya saing industri tekstil, dan agent yang menjadi mitra bermain pemerintah. Dengan demikian akan diketahui juga siapa pihak yang diuntungkan oleh regulasi ini.

Berdasarkan pemetaan atas pasal-pasal yang terdapat dalam Peraturan Menteri ini ke dalam alur input, proses, output dan outcome, ternyata aspek-aspek yang ditekankan dalam regulasi ini secara langsung belum menyentuh pokok permasalahan dalam industri tekstil. Pada aspek input misalkan, kita hanya menemukan pengertian-pengertian tentang industri tekstil, alas kaki, dan investasi. Dan dalam pasal 1 juga dijelaskan bahwa

perusahaan yang bisa memperoleh fasilitas keringanan pembelian mesin dan peralatan ini adalah perusahaan yang telah berinvestasi dan beroperasi minimal 2 tahun. Pasal ini secara jelas membatasi perusahaan yang baru untuk memperoleh keringanan dalam berinvestasi.

Regulasi ini secara nyata juga sangat membatasi perusahaan yang ingin mengajukan permohonan keringanan dalam pembelian mesin. Hal ini bisa dilihat pada aspek proses, dimana pemerintah memberikan persyaratan yang cukup berat untuk bisa dipenuhi oleh industri tekstil skala kecil dan menengah yang notabene adalah pelaku utama dalam industri tekstil yang berorientasi ke pasar domestic. Beberapa hal yang memberatkan tersebut adalah : 1. Keringanan pembiayaan hanya diberikan bagi perusahaan yang menggunakan teknologi yang lebih maju. 2. Mesin/peralatan menggunakan teknologi yang lebih maju dan kondisi baru (bukan bekas); dan atau jenis mesin terkait dengan proses produksi dan peralatan penunjang. 3. Investasi mesin/peralatan pada saat permohonan sekurang-kurangnya setara dengan nilai sebesar: a. Rp. 500.000.000,~ (lima ratus juta rupiah) untuk ITPT; atau b. Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) untuk IAK; dan c. nilai potongan harga dimaksud maksimum Rp. 3.000.000.000,-(lima milyar rupiah) per perusahaan per tahun anggaran, yang dibuktikan dengan memberikan bukti-bukti pembelian. Pertanyaannya sekarang adalah, berapa besarkah proporsi perusahaan tekstil yang membutuhkan teknologi yang lebih maju, terutama perusahaan garmen dengan skala kecil dan menengah, apakah industri tekstil benar-benar sangat membutuhkan mesin dengan kondisi baru, dengan kondisi yang ada sekarang, mampukah mereka membelinya dengan cara cicilan sekalipun, dan berapa banyakkan industri tekstil yang nilai investasi mesin dan
8

peralatannya nya saat ini mencapai Rp 500 juta? Pertanyaan ini penting untuk dijawab karena pada kenyataannya, hanya sedikit perusahaan yang mampu memenuhi persyaratan ini. Dan dalam ketentuan inipun ada tambahan persyaratan bahwa mesin yang akan dibeli adalah mesin dengan merek Jepang, yang harganya jauh lebih mahal. Hal yang juga menarik dari Peraturan Menteri perindustrian ini adalah dibentuknya tim pengarah dan tim teknis yang keanggotaannya terdiri dari berbagai elemen, yaitu pejabat di lingkungan Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Bappenas, BKPM, Dinas Provinsi yang menangani industri, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Persepatuan Indonesia (APRISINDO), Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (APKI) dan atau instansi teknis lainnya. Pembentukan tim pengarah dan tim teknis ini sedikit banyak akan mempengaruhi kesempatan sebuah perusahaan untuk bisa menerima fasilitas keringanan pembelian mesin dan peralatan tekstil ini. Fakta bahwa tidak semua

perusahaan menjadi anggota asosiasi menjadi alasan utama atas pernyataan di atas.

Dengan persyaratan yang cukup menyulitkan dan keterlibatan asosiasi dalam implementasi kebijakan, bisa dikatakan bahwa hanya perusahaan besar yang menjadi anggota asosiasilah yang pada akhirnya menikmati regulasi ini. Dan satu hal lagi yang perlu dicatat bahwa sebagian besar anggota API adalah perusahaan besar yang berorientasi ekspor, bukan yang menjual produk di pasar domestic. Dengan fakta-fakta seperti ini, hampir bisa dipastikan bahwa pihak yang diuntungkan melalui regulasi ini adalah

perusahaan tekstil berskala besar, sedangkan perusahaan berskala kecil dan menengah tetap tidak bisa melakukan restrukturisasi mesin dan peralatan produksi karena terkendala oleh dana. Dengan demikian apa yang dikatakan oleh Stiegler bahwa regulasi sebagai the result of pressure group action and results in laws and policies to support business adalah benar. Artinya, kepentingan anggota asosiasi diartikulasikan melalui perjuangan diranah regulasi sehingga mereka diuntungkan secara organisasional maupun personal. Dan mekanisme dalam organisasi akan menyeleksi pihak-pihak yang berhak atas kue kesuksesan ini. Free rider tidak akan diikutsertakan dalam hal ini. akhirnya, anggota yang terpilih inilah yang akan menikmati perjuangan asosiasi. Pada

Program restrukturisasi mesin dan peralatan untuk industri TPT sebenarnya telah dimulai sejak tahun 2008 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perindustrian Nomor

5/M-IND/PER/3/2008, Nomor 13/M-IND/PER/2/2009 dan Nomor 30/M-IND/PER/3/ 2010, dan terakhir dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15/M-

IND/PER/2/2012. Namun apa yang diharapkan seperti yang tertera pada outcome, yaitu peningkatkan daya saing industri tektil, sangat sulit untuk terjadi. Hal ini disebabkan karena regulasi yang dikeluarkan pemerintah tidak secara langsung menyentuh akar permasalahan yang dihadapi oleh industri tekstil. Selain masalah mesin produksi yang yang sudah tua, industri tekstil juga menghadapi praktek bisnis biaya tinggi sebagai akibat dari mahalnya biaya bahan baku dan biaya energy. Disisi lain, pengusaha masih harus mengeluarkan banyak biaya untuk praktek birokrasi dan pungutan tidak resmi lainnya yang sudah melembaga dalam industri tekstil. Pihak dari API Jawa Barat misalnya,

menyatakan bahwa besarnya pungutan yang harus dibayar pengusaha mencapai 30% dari biaya produksi. Regulasi tentang restrukturisasi mesin dan peralatan ini hanyalah

sebagian kecil dari regulasi yang diharapkan oleh industri tekstil dan itupun tidak menyentuh semua perusahaan dalam industri tekstil. Baik secara konteks maupun konten peraturan menteri perindustrian ini belum mampu melihat permasalahan sebagian besar industri tekstil.

Berdasarkan uraian diatas, lemahnya daya saing industri tekstil kita dapat dipahami sebagai akibat dari lemahnya regulasi yang mampu melindungi industri dalam negeri. Ada banyak pihak yang berkepentingan dengan regulasi dalam industri dan perdagangan tekstil, diantaranya adalah pengusaha tekstil, importir, dan pemerintah. Pengusaha tekstil yang lebih banyak diwakili oleh ekportir yang bernaung di bawah asosiasi berkepentingan untuk terlibat secara langsung dalam proses pembuatan kebijakan menyangkut industri tekstil. Dan kelompok ini sukses dengan dikeluarkannya program restrukturisasi mesin dan peralatan untuk industri tekstil. Sedangkan importir juga berkepentingan untuk

membanjiri pasar tekstil domestic dengan produk dari luar. Hanya saja perjuangan mereka dilakukan dengan cara mengupayakan penurunan tarif masuk dan pajak atas barang impor.

Pertanyaannya sekarang adalah kenapa pemerintah begitu lambat dalam membuat regulasi yang berkaitan dengan tata niaga tekstil di pasar domestic? Penjelasan rasional untuk ini diberikan oleh Stiegler dengan mengatakan bahwa ada tiga hal yang membatasi keefektifan regulasi, yaitu : 1. The distribution of control of the industry among the firm in the industry is changed.
10

2. The procedural safeguards required of public processes are costly. 3. The political process automatically admits powerful outsiders to the in dustrys councils.

Dalam kondisi tidak ada regulasi, setiap perusahaan akan mempunyai pengaruh terhadap harga dan pangsa pasar. Dalam hal ini perusahaan yang besar akan lebih punya peluang untuk menguasai pasar sehingga mendapatkan keuntungan dari kondisi tersebut. Regulasi pada akhirnya akan memberikan kuota yang pada akhirnya menggeser penguasaan pasar oleh perusahaan besar kepada perusahaan-perusahaan kecil. Oleh sebab itu,perusahaan besar sangat berkepentingan untuk mengawal setiap regulasi yang bisa mengancam posisi mereka sebagai penguasa pasar. Rasionalitas dalam teori regulasi dibuktikan dengan adanya kolaborasi antara pemerintah sebagai regulator dan perusahaan besar sebagai agent untuk memantapkan status quo melalui alokasi keuntungan di antara mereka yang sering disebut sebagai incentive compatibility (Dieter Bos, 2001)

Dalam negara yang demokratis, regulasi menjadi konsumsi bagi pemerintah dan badan legislatif. Perusahaan besar melalui kekuatan ekonominya akan selalu berusaha

mempengaruhi proses pembuatan regulasi melalui interest group yang bermain dilingkup legislatif. Regulasi yang bisa mengancam kedudukan mereka akan dikesampingkan Begitu

melalui tangan anggota dewan yang ikut menikmati incentive compatibility.

mahalnya proses politik yang harus dilalui untuk bisa menghasilkan regulasi menyebabkan perusahaan kecil dan menengah kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembuatan regulasi. Dengan demikian, proses politik dengan sendirinya mengakui keberadaan kelompok-kelompok kepentingan yang ikut bermain dalam proses pembuatan regulasi.

C. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa lemahnya daya saing Industri Tekstil Jawa Barat bukan semata-mata disebabkan oleh banyaknya produk tekstil yang membanjiri pasar domestic, tetapi secara fundamental sangat dipengaruhi oleh kelembagaan yang ada dalam industri ini. Kelembagaan bisnis industri tekstil sangatlah kompleks dan mengakar. Dilihat dari perspektif teori regulasi, kelembagaan dalam

industri ini secara formal sangat dipengaruhi oleh besarnya peran pemerintah dalam proses
11

pembuatan regulasi. Dalam hal ini pemerintah sebagai regulator memiliki banyak informasi yang siap ditransaksikan dengan pengusaha yang bersedia memberikan harga yang pantas untuk setiap kemudahan yang diberikan. Kondisi pasar domestic tidak

menguntungkan bagi industri tekstil berskala kecil dan menengah dan kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan perusahaan besar yang berorientasi ekspor. Regulasi

dibidang pertekstilan tidak dapat dinikmati oleh sebagian besar industri tekstil yang notabene adalah industri kecil dan menengah, tetapi justru lebih banyak menguntungkan perusahaan besar. Besarnya pengaruh perusahaan besar dalam pembuatan regulasi tidak lepas dari peran asosiasi yang secara sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan anggotanya. Pemerintah dalam hal ini benar-benar memainkan peran regulator yang sesungguhnya dengan perusahaan besar sebagai agent. Isu perdagangan bebas yang

bertiup begitu kencangnya menyebabkan pemerintah mengeluarkan regulasi yang memberi kemudahan bagi masuknya produk impor. Regulasi dalam perdagangan internasional yang dilakukan oleh pemerintah disatu sisi menguntungkan para importir tekstil, namun disisi lain membuat lumpuhnya industri tekstil domestic. Sementara itu, tidak adanya regulasi dalam perdagangan tekstil dipasar domestic, semakin membuat industri tekstil dalam negeri tidak berdaya. Dengan demikian, pihak yang diuntungkan dengan kondisi seperti ini adalah perusahaan besar yang mampu dan bersedia memberikan incentive compatibility kepada regulator.

D. Daftar Pustaka Bos, Dieter. 2001. Regulation : Theory and Concepts. University of Bonn. Cravens, David W. 1996. Pemasaran Strategis. Jakarta: Erlangga Figueroa, A.1998. Equity, Foreign Investment and International Competitiveness in Latin America. The Quarterly Review of Economics and Finance. Vol. 38, No. 3, Fall 1998. Hertog, Johan den . 1999. General Theories of Regulation. Economic Institute/ CLAV, Utrecht University Copyright 1999 Johan den Hertog Janno Reiljan, Maria Hinrikus and Anneli Ivanov. 2000. Key Issues in Defining And Analysing The Competitiveness of A Country. Present working paper is written on the framework of grant no. 3974 of Estonian Science Foundation ISSN 1406 5967 Tartu University Press. Tiigi St. 78, 50410 Tartu. http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm
12

Kadocsa, Gyrgy. 2006. Research of Competitiveness Factors of SME. Acta Polytechnica Hungarica Vol. 3, No. 4, 2006. Keleti Kroly Faculty of Economics, Budapest Tech Kay, John. 1993. Foundations of Corporate Success. New York: Oxford University Press Kumar, Ashok, Jaidep Motwani, dan Kathryn E. Stecke. 1999. A Quantitative Approach to Measured Quality-Based Competitiveness of An Organization.Working Paper Series. University of Michigan Business School Marsh, Ian W. and Stephen P. Tokarick. 1994. Competitiveness Indicators: A Theoretical and Empirical Assessment. Approved for Distribution by Peter B. Clark. International Monetary Fund Research Department Martini, Sri. 2011. Analisis Backward Fordward Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Kabupaten Bandung. Bandung: STISI Telkom. Mitnick, Barry M. 1980. The Political Economy of Regulation, New York, Columbia University Press. Porter, Michael. 1990. The Competitive Advantage of Nations . New York : The Free Press, A Division of Macmillan 1990 Saxena, Sanchita Banerjee and Vronique Salze-Lozach. 2010. Competitiveness in the Garment and Textiles Industry: Creating a supportive environment A Case Study of Bangladesh. (Occasional Paper No. 1, July 2010) http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm Stigler, George L. The Theory of Economic Regulation. The University of Chicago Tambunan, Tulus. 2008. Ukuran Daya Saing Koperasi dan UKM. Jurnal Pusat Studi Industri dan UKM World Economic Forum. 2010 dan 2011. Global Competitveness Index. www.asiafoundation.org. (Occasional Paper, No. 1, July 2010). www.balitbangjateng.go.id/perpustakaan/index.php?p=show_detail&id=1412 www. bisnis-jabar.com. Impor Tekstil Ilegal dari China Masih Tinggi. 03 November 2011 www.businessdictionary.com/definition/ competitiveness.html www. en.wikipedia.org/wiki/Competitiveness

13

Peraturan-Peraturan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 123/M-IND/PER/11/2010 Tentang Program Revitalisasi dan Penumbuhan Industri Melalui Restrukturisasi Mesin/Peralatan Industri Tekstil dan Produk Tekstil Serta Industri Alas Kaki Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15/M-IND/PER/2/2012 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 123/M-IND/PER/11/2010 Tentang Program Revitalisasi dan Penumbuhan Industri Melalui Restrukturisasi Mesin/Peralatan Industri Tekstil dan Produk Tekstil Serta Industri Alas Kaki

14

You might also like