You are on page 1of 16

BAB I PENDAHULUAN

Pneutmothorax adalah keadaan dimana terdapat udara di dalam rongga pleura. Pneumothorax dapat terjadi kerana trauma seperti trauma tembus atau tumpul di dada terutama trauma traumatik. Terdapat juga pneumothorax yang terjurus komplikasi dari riwayat paru-paru (Corwin, 2009). Penumothorax merupakan kasus kegawatan paru. di Inggris laki-laki 24 per 100.000 penduduk dan perempuan 9,8 per 100.00 penduduk per tahun. Beberapa penelitian mengatakan bahawa penumothorax terjadi lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan. Sebagai contoh penelitian dari Khan mengatakan bahwa di Pakistan angka kejadian penumothorax pada laki-laki 64,10% dan perempuan 35,90% dengan rerata umur 49,13 tahun (Khan, 2009). Sebuah survey yang telah dilakukan menunjukkan bahwa di Menosta angka kejadian pneumothorax tidak terlalu tinggi. Jumlah kasus ini pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita pada pria kejadian kasus pneumothorax sekitar 7/100000 sedangkan pada penduduk wanita diperkirakan sekitar 1/100000 (Lim, 2012). Hasil dari beberapa penelitian maka menunujukkan bahwa julah pneumothorax pada laik-laki lebih banyak. Penumothorax jika tidak segera mendapatkan maka akan menyebabkan keadaan yang mengancam manusia dengan cara pembuluh darah kolaps sehingga pengisian jantung menurun yang menyebabkan tekanan darah menurun . Selain itu pneumothoraks juga dapat menyebabkan hipoksia dan dispnea berat dan dapat menyebabkan kematian. Melihat bahaya dan angka kejadian dari

penunmtothoraks yang cukup besar maka kelompok kami bermaksud menyusun sebuah refrat dengan masalah yang diangkat yaitu penumothorax(Corwin,2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Pneumothorax didefinisikan sebagai adanya udara atau gas di dalam rongga pleura. Pada keadaan normal, rongga pleura tidak terisi udara maupun gas sehingga paru bebas mengembang di rongga dada (Sudoyo, 2009).

B. Etiologi Pneumothorax dapat diklasifikasikan menurut penyebabnya, yaitu (Sudoyo, 2009) : 1. Pneumothorax Spontan Pneumothorax spontan adalah pneumothorax yang terjadi secara tibatiba. Pneumothorax spontan dapat diklasifikasikan lagi dalam dua jenis yaitu Pneumothorax spontan primer dan sekunder. Pneumothorax spontan primer terjadi secara tiba-tiba dan tidak diketahui penyebabnya atau tanpa didahului penyakit dasar yang jelas. Sedangkan Pneumothorax spontan sekunder terjadi dengan didahului adanya riwayat penyakit paru sebelumnya. Penyakit yang paling sering mendasari adanya Pneumothorax spontan sekunder adalah bronchitis dan emfisema paru yang mengalami ruptur, selain itu Tb paru, pneumonia, kanker paru, dan lain-lain. 2. Pneumothorax Traumatik Pneumothorax traumatik adalah Pneumothorax yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun trauma tumpul. Trauma tersebut kemudian mengakibatkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru sehingga udara atau gas dapat mengisi rongga pleura.

C. Faktor Resiko Faktor resiko pneumothorax terjadi pada laki laki dan orang yang mempunyai kebiasaan merokok mempunyai faktor resiko lebih besar terkena Pneumothorax dibandingkan wanita dan orang yang tidak merokok (Noppen, 2008).

D. Manifestasi Klinis Pneumothorax menimbulkan beberapa gejala yang bisa diamati dan dapat mengerucutkan diagnosis serta menyingkirkan diagnosis banding, antara lain (Noppen, 2008) : 1. 2. 3. 4. 5. Sesak napas berat Takipneu, napas dangkal dan menggunakan otot napas tambahan Nyeri dada unilateral Dada mengembang dengan tidak simetris Sianosis

E. Patofisiologi 1. Pneumothorax simple Simple pneumothorax terjadi bila udara berada di rongga pleura, namun tidak terjadi desakan pada mediastinum dan tidak ada mekanisme ventil. Akibatnya keadaan klinis penderita tetap stabil. Pneumothorax spontan primer seringkali didapati sebagai simpel pneumothorax. Karena tidak ada desakan mediastinum dan udara sedikit, fungsi paru-paru tidak terganggu, terutama pada penderita muda dengan pulmonary reserve yang masih baik(Henry, 2003). 2. Pneumothorax terbuka Pneumothorax terbuka terjadi bila terdapat luka yang cukup lebar pada rongga dada, defeknya melebihi 2/3 diameter trakhea sehingga udara memilih memasuki rongga thoraks melalui defek tersebut. Udara yang keluar-masuk rongga thoraks menimbulkan bunyi seperti mengisap disebut sebagai sucking chest wound. Terjadi insufisiensi ventilasi, karena udara yang keluar masuk rongga thoraks tidak ikut proses ventilasi di alveoli. Meskipun tidak ada desakan mediastinum, berkurangnya ventilasi mengakibatkan hipoksia, hiperkarbi dan

mengancam jiwa penderita. Open pneumothorax memerlukan tindakan segera untuk mengubahnya menjadi Pneumothorax tertutup tetapi tidak boleh menjadi tension pneumothorax(Henry, 2003).

3. Tension pneumothorax Tension pneumothorax merupakan keadaan emergensi yang

mengancam jiwa penderita. Dapat disebabkan oleh trauma yang menyebabkan luka pada parenkhim paru, spontan akibat pecahnya bulla paru atau iatrogenik yang membentuk mekanisme ventil, yaitu udara dapat memasuki rongga pleura tetapi tidak dapat keluar. Tidak jarang pneumothorax simpel pada trauma dapat berubah menjadi tension pneumothorax. Akibat makin bertumpuknya udara dalam rongga pleura, parenkhim paru terdesak, kolaps, mediastinum bergeser kearah dada yang sehat. Tekanan tinggi pada thoraks dan bergesernya mediastinum yang berisi jantung dan pembuluh darah besar mengakibatkan venous return berkurang. Penderita mengalami syok, vena-vena leher melebar dan trakhea terdorong kearah yang sehat. Tension pneumothorax adalah keadaan darurat yang mengancam nyawa dan diagnosisnya ditegakkan secara klinis dengan menemukan adanya tekanan rongga thoraks yang besar. Tidak diperlukan pemeriksaan radiologis, segera diambil tindakan untuk mengubah tension menjadi pneumothorax simpel(Henry, 2003). F. Penegakkan Diagnosis Pneumothorax spontan primer didiagnosa dengan karakteristik serangan akut nyeri dada dan dipsnea dan gambaran radiografi pneumothorax. Radiografi dada menampilkan udara pleura dan 1 mm garis putih halus yang menggambarkan pleura viseral berpindah dari dinding dada. Walaupun tidak direkomendasikan, pada praktis rutin, radiografi dada yang dibuat selama ekspirasi dapat membantu mendeteksi pneumothorax atipical (Crapo et al, 2004). Pneumothorax spontan sekunder lebih sukar didiagnosa karena gejala pernafasan kadang salah diartikan sebagai penyakit paru. Gambaran radiografi pasien dengan penyakit paru interstisial biasanya tampak bersih dari tanda pneumothorax karenalingkaran udara dalam ruang pleura kontras dengan peningkatan densitas pada penyakit paru. Pneumothorax spontan sekunder dapat lebih sukar didiagnosa dengan gambaran radiografi penyakit paru obstruksi kronik karena densitas hiperlusen, paru empisematus seperti

udara pleura. Lebih lagi, bullae subpleura yang besar menyerupai pneumothorax pada pasien ini. CT dada dapat membantu membedakan antara bullae yang besar dan pneumothorax(Crapo et al, 2004). 1) Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik thorax ditemukan (Hariadi, 2010).: a. Inspeksi : i. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit ii. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannnya tertinggal iii. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat. b. Palpasi : i. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar ii. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat. iii. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit. c. Perkusi : i. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak menggetar ii. Batas jantung ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura tinggi d. Auskultasi : i. Pada auskultasi dada dengan menggunakan ketokan dua uang logam Coin Test yang satu ditempelkan di dada dan yang lain diketokkan pada uang logam yang pertama daat terdengar bunyi metalik yang dapat didengar dengan telinga yang ditempelkan di punggung. Jika pneumothorax tadi sebenarnya suatu bula, maka suara metalik tidak akan terdengar(Alsagaff and Wibisono, 2004). ii. Pada bagian yang sakit, suara nafas melemah sampai menghilang iii. Suara nafas terdengar amforik bila ada fistel bronkopleura yang cukup besar pada pneumothorax terbuka. iv. Suara fokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif.

2) Pemeriksaan Penunjang Foto Thorax i. Bagian pneumothorax akan tampak hitam, rata dan paru yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru akan kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler yang sesuai dengan lobus paru. ii. Adakalanya rongga ini sangat sempit sehingga hampir tidak tampak seperti massa yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak berkaitan dengan berat ringan sesak nafas yang dikeluhkan. iii. Perlu diamati ada tidaknya pendorongan. Apabila ada pandorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumothorax ventil dengan tekanan intrapleura yang tinggi.

Gambar 1. Foto Polos Pneumothorax Pada Gambar 1 tampak pasien mengalami pneumothorax pada sisi sebelah kiri dengan kolaps sebagian pada paru kiri. Lapangan paru terlihat hitam. Tampak ujung paru yang berwarna hitam.

G. Terapi 1. Water Sealed Drainage (WSD) Pemasangan WSD atau tube thoracostomy masih merupakan tindakan pertama sebelum penderita diajukan untuk tindakan yang lebih invasif seperti torakoskopi atau torakotomi. Pemasangan tube thoracostomy pada pneumotoraks teutama ditujukan pada penderita PSP yang gagal dengan tindakan aspirasi dan penderita PSS, sebelum menjalani tindakan torakoskopi atau torakotomi. Pada penderita PSP angka keberhasilan pemasangan tube thoracostomy PSS(Punarbawa & Suarjaya, 2009). Penggunaan suction pada sistem drinase tidak banyak memberikan keuntunagn dalam mempercepat pengemabnagan paru, sehingga pada awal pemasangan biasanya dihubungkan dengan katup satu arah atau dengan perangkat WSD tanpa suction, namun bila terjadi kebocoran udara tube thoracostomy dihubungkan dengan suction. Pada WSD penanganan dengan jarum dekompresi yang dilakukan pada intercostal 2 pada garis midklavikula, ini merupakan metode konvensional. Pada literatur American College Of Chest Physician(ACCP) dan British Thoracic Society (BTS) dekompersi dapat dilakukan pada intercosta 5 pada garis anterior aksila. WSD mempunyai 2 komponen dasar yaitu, ruang water seal yang berfungsi sebagai katup satu arah berisi pipa yang ditenggelamkan dibawah air, untuk mencegah air masuk kedalam pipa pada tekanan negatif rongga pleura. dan ruang pengendali lebih tinggi dibandingkan dengan

suction(Punarbawa & Suarjaya, 2009). Setelah daerah penusukan yang terpilih dibersihkan, selanjutnya dilakukan anestesi lokal dengan lidokain 1%. Untuk mendapatkan efek anestesi lokal yang memadai biasanya diperlukan waktu sekitar 5-10 menit. Insisi kulit dilakukan secara transversal selebar kurang lebih 2 cm sampai subkutis dan kemudian dibuka secara tumpul dengan kiem sampai mendapatkan pleura parietalis. Pleura ditembus dengan gunting tajam yang ujungnya melengkung sampai terdengar suara aliran udara (tanda pleura parietalis telah terbuka). Selang dimasukkan ke dalam trokar dan

kemudian dimasukkan bersama-sama melalui lubang pada kulit ke dalam rongga pleura. Apabila dipakai selang tanpa trokar, maka ujung selang dijepit dengan klem tumpul untuk mempermudah masuk nya selang ke dalam rongga pleura. Jika posisi selang sudah benar, kulit di sekitar selang dijahit dengan jahitan sarung guling dan sisa benang dililitkan pada selang. Apabila setelah pemasangan WSD paru tidak dapat mengembang dengan baik, maka dapat dilakukan penghisapan secara berkala atau terus menerus. Tekanan yang biasanya digunakan berkisar antara -12 sampai 20 cm air (Punarbawa & Suarjaya, 2009). Setelah paru mengembang, yang ditandai terdengarnya kembali suara nafas dan dipastikan dengan foto toraks, maka selang WSD diklem selama 13 hari. Pengembangan paru secara sempurna selain dapat dilihat pada foto toraks biasanyadapat diperkirakan jika sudah tidak terdapat undulasi lagi pada selang WSD. Apabila setelah diklem selama 13 hari paru tetap mengembang, maka WSD dapat dicabut. Pencabutan selang WSD dilakukan dalam keadaan ekspirasi maksimal(Punarbawa & Suarjaya, 2009). 2. Pleurodesis Pleurodesis adalah tindakan melekatkan pleura panietalis dengan pleura viseralis untuk mencegah kekambuhan pneumotoraks. Tindakan ini dilakukan dengan memasukkan bahan kimia tertentu, seperti glukosa 40% sebanyak 20 ml atau tetrasiklin HCl 500 mg dilarutkan dalam 2550 ml garam faal. Karena tetrasiklin dapat menimbulkan rasa sakit yang hebat, maka pemberian bahan ini sebaiknya didahului dengan pemberian analgesik(Punarbawa & Suarjaya, 2009). 3. Torakotomi Torakotomi adalah operasi pembukaan rongga toraks kemudian dilanjutkan dengan penjahitan fistel pada pleura. Operasi ini diindikasikan pada kasus pneumotoraks kronik, pneumotoraks yang berulang 3 kali atau lebih, pneumotoraks bilateral, serta jika pemasangan WSD mengalami kegagalan (paru tidak mengembang atau terjadi kebocoran udara yang menetap(Punarbawa & Suarjaya, 2009).

H. Prognosis Prognosis tergantung dari banyak faktor. Antara lain umur penderita, etiologi, penyakit penyerta atau juga underlying disease-nya, kecepatan therapy, luasnya dan tipe dari pneumothorax. Spontaneous pneumothorax umumnya akan hilang dengan sendirinya tanpa perawatan. Secondary pneumothorax yang berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya, bahkan ketika kecil, adalah jauh lebih serius dan membawa angka kematian sebesar 15%. Secondary pneumothorax memerlukan perawatan darurat dan segera. Angka kekambuhan untuk keduanya primary dan secondary pneumothorax adalah kira-kira 40%; kebanyakan kekambuhan terjadi dalam waktu 1.5 sampai dua tahun. Prognosis Pneumothorax adalah Dubia et bonam. Hampir 50% mengalami kekambuhan setelah pemasangan tube torakostomi tapi kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien yang dilakukan torakotomi terbuka(Sudoyo, 2009). I. Komplikasi 1) Gagal napas akut (3-5%) 2) Komplikasi tube torakostomi karena lesi pada nervus interkostales 3) Henti jantung-paru 4) Infeksi sekunder dari penggunaan WSD 5) Kematian 6) Timbul cairan intra pleura, misalnya.- Pneumothoraks disertai efusi pleura : eksudat, pus. Pneumothoraks disertai darah : hemathotoraks. 7) Pneumotoraks tension 8) Pio-pneuomotoraks, 9) Hiro-pneumotoraks/hemo-pneumotoraks, 10) Pneumumodiastinum 11) Emisefima subkutan 12) Pneumothorax simultan bilateral 13) Pneumothorax kronik 14) Syok 15) Henti jantung paru dan kematian (sangat jarang terjadi) (Sudoyo, 2009)

BAB III PEMBAHASAN

A. Teori baru Tujuan dalam penatalaksanaan pneumothorax adalah untuk

mengeluarkan udara dari cavum pleura dengan tatalaksana sebagai berikut (Sudoyo, 2009): 1. Primary Survey Airway Assesment : a) Perhatikan jalan nafas b) Dengar suara nafas c) Perhatkan bila ada retraksi otot pernafasan dan dinding dada Management : a) Setelah diinspeksi dengan cepat, lakukan chin lift dan jaw thrust, hilangkan benda penghambat jalan nafas b) Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan cavum pleura sudah menutup, maka udara yang berada dalam cavum pleura tersebut akan direabsorbsi yang akan meningkat bila ditambahkan O2 (Sudoyo, 2006). Kemudian, Observasi dalam beberapa hari dengan foto thorax selama 12-24jam selama 2 hari, terutama pada pneumothorax terbuka (Alsagaf, 2009). c) Reposisi kepala dan pasang collar neck. d) Lakukan Cricothyroidotomy atau tracheostomi atau intubasi oral/nasal. Breathing Assesment : a) Periksa frekuensi nafas b) Perhatikan gerakan pernafasan c) Palpasi dan Auskultasi thorax

10

Management: a) Pasang ventilator bila perlu b) Lakukan tindakan bedah yang sesuai jenis dari pneumothorax. Circulation Assesment : a) Periksa denyut jantung dan denyut nadi b) Periksa tekanan darah c) Pemeriksaan pulse oxymetri d) Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis) Management : a) Resusitasi cairan dengan 2 IV lines b) Thoracotomi emergensi bila perlu c) Operasi Eksplorasi vascular emergensi (Alsagaf, 2009). 2. Tindakan Bedah Emergency a) Krikotiroidotomi b) Trakheostomi c) Tube Torakostomi d) Torakotomi e) Eksplorasi vascular (Alsagaf, 2009). 3. Penatalaksanaan WSD Water Seal Drainage (WSD) adalah Suatu sistem drainage yang menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum pleura (ronggapleura) (Prabowo, 2010).Tujuannya: a) Mengalirkan / drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut b) Dalam keadaan normal rongga pleura memiliki tekanan negatif dan hanya terisi sedikit cairan pleura / lubrican. c) Perubahan Tekanan Rongga Pleura.

Tekanan Istirahat Inspirasi Ekspirasi a) Atmosfir 760 760 760

b) Intrapulmoner 760 757 763 c) Intrapleural 756 750 756

11

Indikasi pemasangan WSD : a) Hemotoraks, efusi pleura

b) Pneumotoraks ( > 25 % ) c) Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk

d) Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator Kontraindikasi pemasangan WSD : a) Infeksi pada tempat pemasangan

b) Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol (Prabowo, 2010). 4. Tindakan dekompresi Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada

kasuspneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan inibertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan

membuathubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan cara (Sudoyo, 2009) : a) Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut (Alsagaf, 2009). b) Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil : i. Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam botol (Alsagaf, 2009). ii. Jarum abbocath Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang

12

berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol (Alsagaf, 2009). iii. Pipa water sealed drainage (WSD) Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuatdengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada lineamid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selainitu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis midklavikula. Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera

dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udaradapat dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut (Alsagaf, 2009). Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah negative kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan ujicoba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi positif maka pipa belum bias dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal (Sudoyo, 2009).

13

5.

Pengobatan Tambahan a) Pengobatan penyebabnya b) Bed rest c) Pemberian antibiotik profilaksis setelah tindakan bedah dapat dipertimbangkan untuk mengurangi insidensi komplikasi, terhadap penyakit yang menyertai terhadap

misalnya emfisema (Alsagaf, 2009). 6. Rehabilitasi a) Pasien yang telah sembuh, harus dilakukan pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya. b) Untuk sementara waktu pasien dianjurkan untuk tidak mengejan dan bersin atau batuk yang terlalu keras (Alsagaf, 2009) c) Bila kesulitan defekasi karena antitusif, berikan laksan.

d) Monitoring penderita terutama bila ada keluhan pernafasan. B. Kekurangan dan kelebihan teori baru 1. Kelebihan: a) Lebih cepat dalam penanganan secara emergensi b) Lebih efisien secara medik c) Lebih cenderung tidak menimbulkan efek rekurensi d) Penanganan dan assesment lebih menyeluruh 2. Kekurangan a) Beberapa bagian bersifat invasi b) Pada thoracostomy dapat beresiko menyebabkan banyak

komplikasi c) Membutuhkan peralatan yang benar-benar steril

C. Harapan penatalaksanaan Dalam penatalaksanaan pneumothorax diharapkan pasien dapat sembuh sempurna dan dapat menjalankan fungsinya dimasyarakat dan tidak mengalami rekurensi atau kekambuhan dan kecacatan. Oleh karena itu penatalaksanaan harus dilakukan oleh tenaga medis yang berkompeten dalam bidang masing-masing dan dilaksanakan secara adekuat terutama

14

saat pelaksanaan tindakan emergensi. Penatalaksanaan juga diharapkan memiliki persiapan yang matang, terutama dalam penanganan yang secara invasif.

15

BAB IV KESIMPULAN

1. Pneumothorax didefinisikan sebagai adanya udara atau gas di dalam rongga pleura. 2. Beberapa tanda gejala pneumothorax yang dapat diamati antara lain sesak napas berat, takipneu, nyeri dada unilateral, sianosis. 3. Pneumothorax dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Selain itu dilakukan pemeriksaan penunjang, yaitu foto thorax. 4. Pilihan terapi pneumothorax adalah terapi oksigen, observasi, aspirasi sederhana dengan kateter vena, pemasangan tube, pleurodesis, torakoskopi single port, VAST dan torakotomi. 5. Prognosis pneumothorax adalah dubia et bonam. Hampir 50% kambuh setelah pemasangan tube torakostomi tapi jarang terjadi pada pasien-pasien yang dilakukan torakotomi terbuka.

16

You might also like