You are on page 1of 41

JURNAL Penyakit Telinga Dalam dan Vertigo Posisional Paroksismal Jinak: Insidensi, Karakteristik Klinik dan Manajemennya

M.Riga, A.Bibas, J.Xenellis, dan S.Korres ENT Department, University of Alexandroupolis,Greece (International Journal of Otolaryngology Vol.10.1155/2011/709469)

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya Lab/SMF Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan FK UNEJ - RSD dr.Soebandi Jember

Disadur Oleh : Aries Rahman Hakim, S.Ked 082011101017

SMF ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, TENGGOROKAN RSD dr. SOEBANDI FAKULTAS KEDOKTERAN
1

UNIVERSITAS JEMBER 2013

Penyakit Telinga Dalam dan Vertigo Posisi Paroksismal Jinak: Sebuah Tulisan Kritis tentang Insidensi, Karakter Klinik, dan Manajemennya

1.

Pendahuluan

Vertigo Posisi Paroksismal Jinak (VPPJ) adalah penyakit vestibular yang paling umum terjadi pada dewasa dengan prevalensi 2,4%. Penelitian klinis dan laboratorium mengumumkan bahwa VPPJ disebabkan oleh litiasis vestibular. Partikel padat yang lebih dikenal dengan istilah otolit, menimbulkan penyimpangan yang abnormal pada cupula (a) terutama ketika otolit tersebut melayang dalam kanalis semisirkularis (canalitiasis), (b) ketika otolit tersebut menggabungkan diri atau melewati cupula (cupulolitiasis), atau (c) keadaan yang lebih jarang lagi apabila terjebak / terapit dalam kanal atau cupula (canalith jam). Dalam beberapa keadaan tertentu, penyimpangan abnormal pada cupula menginduksi terjadinya vertigo, yang dapat terjadi lebih parah/keras dan jelas seperti nistagmus di dalam bagian bawah kanalis semisirkularis. Mekanisme detasemen otoconia tidak sepenuhnya dipahamil. Terdapat beberapa penyakit telinga dalam yang menimbulkan otoconia dan belum sepenuhnya kerusakan kanalis semisirkularis dapat menginduksikan VPPJ sekunder. Keadaan yang berhubungan dengan VPPJ sekunder yang paling sering dikenali adalah trauma kepala, neuritis vestibular, penyakit Meniere, dan post operasi. Lesi/kerusakan lain yang berpengaruh terhadap telinga dalam dan berimplikasi terhadap patogenesis dari VPPJ sekunder adalah tuli sensorineural mendadak dan migrain.

Idealnya, untuk menguatkan hubungan kausatif (sebab-akibat), VPPJ seharusnya ipsilateral (memiliki kesamaan) dengan keadaan yang berhubungan dan gejalanya seharusnya berkembang pada waktu yang sama atau setelah perkembangan keadaan primer. Dalam beberapa keadaan, hal tersebut tidak jelas apakah ada efek kausatif atau adakah hubungan koinsedental. Kebanyakan pasien VPPJ memiliki hubungan langsung dengan proses penyakit labirin ipsilateral yang tidak dapat diidentifikasi dan VPPJ idiopatik adalah diagnosis yang paling umum digunakan. Dewasa ini, beberapa penelitian telah memfokuskan penelitian pada VPPJ sekunder, yang sering sulit dalam penegakan diagnosisnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengingat kembali insidensi, karakter klinik, tata laksana VPPJ sekunder. Disamping persamaan yang nyata, perbedaan antara manifestasi klinik dan hasil dari maneuver reposisi antara beberapa tipe VPPJ sekunder dan VPPJ idiopatik memperlihatkan perbedaan diagnosis, konseling, tata laksana, dan strategi follow up. Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk mengetahui koesistensi VPPJ dengan beberapa patologis yang spesifik berhubungan dengan pusing yang menyertai. Dalam kasus ini, VPPJ sulit didiagnosis karena pusing yang ada menandakan patologi primer. Beberapa pasien VPPJ menjelaskan bahwa vertigo yang dialami atipikal (tidak khas) sedangkan tes yang dilakukan mungkin menunjukkan VPPJ yang khas. Walaupun frekuensinya sedikit, kebalikannya mungkin dapat terjadi. Pada beberapa pasien VPPJ tes audiologi dan neurotologi mungkin tidak berpengaruh dan menunjukkan ciri idiopatik, padahal penyakit telinga dalam susah didiagnosis. Kecurigaan tanda pada koesistensi VPPJ dengan patologi penyakit telinga dalam yang menyertai, bersamaan dengan tes yang

tersedia, mungkin menunjukkan diagnosis yang terintregasi dan menghasilkan penatalaksanaan yang secara konsekuensi lebih efisien.

2.

Metode

Penelitian komprehensif dari artikel yang memperhatikan tentang VPPJ ini dipimpin oleh Perpustakaan PubMed dengan didukung 599 artikel (Cari hubungan: Vertigo posisi paroksismal jinak atau vertigo posisi atau vertigo paroksismal jinak) dengan pembatasan penggunaanya pada Title dan Inggris). Penelitian yang tidak termasuk ke dalam informasi abstrak sebuah insidensi, karakter klinik dan penatalaksanaan VPPJ sekunder disingkirkan dalam penelitian ini. Sebuah referensi silang untuk mencari bibliografi termasuk makalah yang diselenggarakan untuk mengidentifikasi penelitian tambahan yang berpotensi relevan.

3.

Hasil

Berdasarkan isi informasi insidensi yang diterangkan pada bagian abstrak, karakteristik klinik, dan manajemen sekunder dari VPPJ, 33 makalah termasuk dalam tulisan review ini. Manual referensi silang (uji silang) mencari bibliografi termasuk tulisan ini menambah jumlah tulisan secara substansial menjadi 55 tulisan ilmiah. Untuk melaporkan isnsidensi, penelitian ini menggunakan lebih dari 100 pasien. Variasi metodologi dalam penelitian ini memiliki perbandingan yang kompleks dalam beberapa kasus. Sebagai contoh, beberapa penelitian tidak menyatakan jika penyakit telinga dalam menimbulkan VPPJ atau hanya patologi yang sama hanya terjadi kebetulan. Dalam beberapa penelitian, trauma kepala

diduga sebagai peristiwa yang menyebabkan terjadinya VPPJ idiopatik dan oleh karena itu bukan merupakan penyebab VPPJ sekunder. Prognosis dari peran diagnosis yang simultan dari VPPJ dan neuritis vestibular, tuli sensorineural idiopatik, atau penyakit Meniere tidak secara adekuat tercantum dalam literatur yang membahas antara rehabilitasi vestibuler dan perbaikan dari penyakit primer dalam telinga tengah. Hal yang sama digunakan juga untuk mengetahui hasil terapeutik dari maneuver reposisi pada pasien VPPJ post operasi.

4. 4.1

Diskusi Insiden dan Mekanisme Patogenesis yang Memungkinkan

Luasnya variasi insidensi VPPJ sekunder (3-66%) diobservasi pada penelitian silang. Hal tersebut dicatat dalam dua penelitian besar oleh Karlberg dkk (menggunakan 2847 subjek) dan Caldas dkk (menggunakan 1271 subjek), insiden VPPJ sekunder bervariasi antara 3% dan 25,2%. Hal ini kemungkinan merefleksikan pola yang berbeda, perbedaan criteria diagnosis yang digunakan untuk menegakkan penyakit telinga dalam, dan perbedaan populasi pasien. Patologi yang paling sering terjadi berdasarkan yang menginduksi terjadinya VPPJ sekunder (berdasarkan presentasi semua kasus VPPJ) meliputi trauma kepala (8,5%-27%), Penyakit Meniere (0,5%-30%), neuritis vestibular (0,8%20%), dan tuli sensorineural idiopatik (0,2-5%). Mekanisme terjadinya otoconia yang dikarenakan trauma kepala merupakan keadaan yang paling berhubungan, dengan insiden trauma kepala pada pasien VPPJ yang dilaporkan yakni berkisar 8,5%-27%. Mekanisme dan

kekerasan trauma yang menyebabkan trauma-VPPJ berbeda, dibedakan dari

trauma kepala ringan hingga trauma kepala dan leher yang berat dengan kehilangan kesadaran. Untuk memperkuat hubungan etiologi antara trauma kepala dengan VPPJ, penulis mencantumkan catatan mengenai insidensi VPPJ dalam 150 penelitian yang diambil secara urut dari pasien trauma kepala berat telah dilaporkan bahwa kejadian VPPJ secara signifikan memiliki angka kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat (populasi) umum yang tidak mengalami trauma kepala (6,6%). Berdasarkan angka kejadian yang dilaporkan, VPPJ sekunder seharusnya kemungkinan dapat terjadi pada trauma kepala yang bersamaan dengan vertigo posisi, dan uji perasat Dix-Hallpike seharusnya termasuk dalam protocol pasien-pasien tersebut, dalam beberapa kasus, pasien merasa tidak nyaman saat dilakukan uji tersebut. Angka kejadian Penyakit Meniere diantara pasien VPPJ telah dilaporkan memiliki rentang angka 0,5-30%. Vice versa, berdasarkan penelitian terhadap 500 pasien dengan penyakit Meniere, diperkirakan sekitar 65%-70% pasien akan mengalami VPPJ diantara serangan penyakitnya. Observasi lain yang juga menarik menyebutkan persentase pasien penyakit Meniere (9/162 atau berkisar 5,5%), yang kebanyakan wanita, rupanya berkembang menjadi VPPJ yang tidak dapat diobati. Oleh karena itu, tes untuk pasien penyakit Meniere seharusnya juga melibatkan aplikasi dari perasat Dix-Hallpike untuk menyingkirkan diagnosis VPPJ sekunder. Pentingnya melakukan perasat tersebut untuk menyingkirkan diagnosis yang salah, secara nyata, perbedaan terapi yang digunakan, kesegaraan pasien menyadari dalam mengikuti maneuver reposisi, dan menopang keberhasilan terapi medis jangka panjang untuk penyakit Meniere.

Berdasarkan mekanisme patofisiologi memperhatikan bahwa hidrop endolimfatik memicu rusaknya macula dari utrikulus dan saculus melalui mekanisme pembuluh darah atau melalui distorsi langsung dari permukaan macula tersebut, mengakibatkan pelepasan otolit ke dalam endolimfe. Rasio insidensi terjadinya hal tersebut meningkat seiring semakin lamanya penyakit Meniere yang diderita. Hal ini dapat dijelaskan melalui hipotesis yang menyatakan bahwa pelebaran hidrops secara periodik, seperti yang terjadi pada penyakit Meniere mungkin terjadinya pelepasan otolit adalah akibat fibrosis makular. Pemeriksaan tulang temporal untuk membuktikan keberadaan endapan yang melayang di dalam kanalis semisirkularis pasien dengan VPPJ dan penyakit Meniere, sebagaimana diketahui terdapat perbedaan signifikan pengaruh keadaan cupular dan endapan yang melayang dalam kanalis semisirkularis posterior dan lateral antara orang dengan penyakit Meniere dan orang yang sehat. Keadaan tersebut lebih memiliki hubungan keterkaitan dengan lama (durasi) sakit daripada dengan usia. Oleh karena itu, pengelompokan VPPJ sekunder seharusnya disesuaikan dengan pemeriksaan fisik pada pasien dengan penyakit Meniere tersebut, terutama yang memiliki riwayat penyakit seperti itu pada masa lalu. Angka kejadian neuritis vestibular pada pasien VPPJ telah dilaporkan berkisar antara 0,8%-24,1%. Vice versa, pada pasien dengan neuritis vestibular angka kejadian VPPJ muncul lebih sering pada frekuensi (9,8%-20%) dibandingkan pada orang sehat. Persentase tersebut membenarkan aplikasi tes perasat Dix-Hallpike pada pasien neuritis vestibular, hal yang sama ditunjukkan pada pemeriksaan klinik lengkap dan laboratorium neurotologi pada pasien dengan VPPJ. Kenyataannya, aplikasi nistagmografi pada pasien VPPJ idiopatik

telah dilaporkan dapat menimbulkan paresis kanal ipsilateral pada 13-47% kasus. Lebih lanjut lagi, persentase abnormalitas VEMPs (Vestibular-Evoked Myogenic Potentials) pada pasien VPPJ dilaporkan secara stastistik lebih tinggi daripada telinga pasien yang dijadikan kontrol (orang sehat). Walaupun penemuan ini telah dijadikan dugaan sementara kepada koresponden dengan lesi pada telinga dalam, diagnosis mereka dan/atau nilai prognosis masih belum jelas. Mekanisme pathogenesis terjadinya VPPJ sekunder pada pasien dengan neuritis vestibular disesuaikan dengan distribusi dari nervus vestibularis pada telinga dalam. Nervus vestibularis superior menginervasi crista kanalis semisirkularis anterior dan lateral dan makula dari utrikulus. Lesi pada kanalis semisirkularis lateral dan nervus vestibularis superior berhubungan dengan abnormalitas yang ditemukan pada nystagmografi. Lesi pada nervus vestibularis superior terutama bagian inferior dari nervus tersebut merupakan mekanisme pathogenesis utama yang menimbulkan VPPJ pada pasien dengan neuritis vestibuler. Kerusakan pada utrikulus mungkin mengakibatkan terlepasnya otoconia. Walaupun demikian, prognosis VPPJ pada pasien dengan neuritis vestibular masih belum dapat diinvestigasi. Setelah otoconia terlepas dari utrikulus, dia dapat memasuki ductus kanalis semisirkularis posterior. Tanda dan gejala klinis pada VPPJ kanalis semisirkularis posterior akan muncul, karena kanalis semisirkularis ini mendapat inervasi dari nervus vestibularis inferior. Kerusakan pada nervus vestibular superior yang menginervasi kanalis semisirkularis anterior dan lateral mungkin menghapuskan jaras reflex vestibuloocular dari kanalis semisirkularis tersebut. Oleh karena itu, akan terjadi nistagmus VPPJ pada kanalis semisirkularis posterior pada pasien dengan neuritis

vestibuler. Hal ini mengimplikasikan bahwa paling tidak beberapa fungsi nervus vestibuler inferior masih tersisa, hal tersebut juga didukung oleh Vestibuler Evoked Myogenic Potentials yang terpelihara pada pasien postneurolabyrinthitis. Potensial tersebut barangkali berasal dari saculus dan antara macula pada sacula dan crista pada kanal posterior yang diinervasi oleh nervus vestibularis inferior. Keadaan setelah operasi kelihatan seperti keadaan lain yang sulit didiagnosis. Operasi yang melibatkan penanaman dan terutama pada daerah maksilofacial dan operasi gigi termasuk penempatan implan pada gigi (tambal gigi) dan implant koklea, memiliki hubungan dengan VPPJ sekunder. Angka kejadian yang telah dilaporkan berkisar antara 3% dan 0-28%. Angka kejadian VPPJ sekunder pada pasien otosklerosis adalah berkisar 6,3% dan 8,5%, angka ini terus berkembang selama 5 tahun terakhir dan 21 hari setelah operasi dan menyebabkan trauma utrikulus. Ahli bedah seharusnya tidak menghilangkan pengelompokan VPPJ pada pasien dengan keluhan pusing setelah operasi oleh/saat dilakukan pemeriksaan klinis yang sederhana, sebelum menyarankan mereka untuk melakukan foto dan sebelum diagnosis akhir yang melibatkan komplikasi dari pascaoperasi ditegakkan. Berdasarkan mekanisme hipotesis, drilling (penanaman) mungkin melepaskan otoconia yang ada dalam utriculus secara mekanik, dengan cara yang sama seperti mekanisme trauma kepala. Mekanisme penyusunan hipotesis yang menjadi penyebab utama VPPJ sekunder setelah implantasi koklea menimbulkan beberapa aspek tambahan yang menarik. Mengenai tipe VPPJ yang timbul pasca operasi, perbedaan (heterogen) yang benar dan interval dalam jangka waktu yang lama telah dilaporkan diantara operasi dan pemunculan gejala VPPJ (28-165 hari

pada penelitian dari Viccaro dkk dan 1-880 hari pada penelitian oleh Limb dkk). Untuk pasien dengan perkembangan VPPJ yang tertunda, secara langsung jatuhnya partikel tulang ke dalam koklea selama kokleostomi, seperti melalui penyingkiran otolit melalui stimulasi listrik telah diduga bertanggung jawab atas terjadinya VPPJ. Setelah terjatuh ke dalam koklea, partikel tulang kemungkinan melalui mikroruptur pada membrane basal akan berpindah ke dalam kompartemen endolimfe pada skala media dan masuk ke dalam lumen kanalis semisirkularis posterior karena itu dapat menghasilkan kanalolitiasis dan berikutnya dapat menimbulkan VPPJ. Hipotesis penyingkiran otoconia karena stimulasi listrik rupanya memiliki kemungkinan, berdasarkan pertimbangan kira-kira 1/3 dari pasien yang ada telah dilaporkan pernah mengalami gejala tersebut sebelum aktivasi implan. Walaupun pada beberapa penelitian, tidak terdapat perbedaan antara tuli mendadak dan tuli sensorineural mendadak (SSNHL), atau meskipun

pendengaran yang berkurang merupakan satu-satunya gejala atau bagian dari patologi yang sama, dan terdapat hubungan antara tuli sensorineural idiopatik dan VPPJ. Patologi ini dijumpai pada 0,2%-5% pasien dengan VPPJ. Vice versa, diagnosis VPPJ telah dilaporkan terjadi pada 12,7% pasien dengan SSNHL. Oleh karena itu, pasien dengan tuli mendadak idiopatik dan pusing yang telah dilakukan pemeriksaan klinis diagnosis VPPJ dapat ditegakkan, walaupun gejala khas VPPJ mungkin tidak dijelaskan oleh pasien. Mengenai dasar mekanisme pathogenesis, logis bila dihipotesiskan bahwa otoconia dalam kasus ini lepas karena peran pembuluh darah atau diakibatkan oleh lesi karena virus; namun

bagaimanapun, dasar mekanisme terjadinya gangguan pendengaran tersebut masih belum diketahui. Angka kejadian VPPJ juga diketahui lebih tinggi pada pasien yang mempunyai migraine. Lempert dkk menemukan prevalensi migraine pada pasien VPPJ dua kali lebih tinggi berdasarkan usia dan jenis kelamin daripada kelompok kontrol. Hubungan antara migraine dan VPPJ masih sangat minim dipahami. Hal tersebut diyakini bahwa migraine menyebabkan vasospasme arteri yang memvaskularisasi labirin, sehingga menginduksi munculnya iskemia local yang memfasilitasi pelepasan otoconia dari macula utriculus. Kemungkinan melalui mekanisme yang sama pada deplesi (pengurangan) vaskularisasi pada telinga dalam, terjadinya VPPJ dilaporkan berhubungan dengan giant-cell arteritis, diabetes, osteopenia/osteoporosis dan hiperurisemia. Sejauh osteoporosis dialami, mengganggu struktur dalam dari otoconia atau interkoneksi mereka dan pengikatan pada matriks gelatin dan mengurangi kapasitas pemisahan/pelepasan otoconia yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi kalsium bebas pada endolimfe yang juga dapat diusulkan sebagai dasar mekanisme terjadinya VPPJ.

4.2

Karakteristik Klinis

VPPJ sekunder yang timbul setelah trauma kepala telah dilaporkan cenderung terjadi pada remaja dengan distribusi umur dan jenis kelamin yang dibandingkan dengan bentuk idiopatik. Perbedaan penting ditulis oleh beberapa penulis adalah angka kejadian lebih tinggi bila terjadi secara bilateral. Kasus bilateral yang paling sering terjadi diantara idiopatik dan VPPJ sekunder adalah

10

pada kanalis semisirkularis posterior. Beberapa penulis melaporkan tidak ada perbedaan dalam kanalis semisirkularis mana, namun penulis yang lain menuliskan angka kejadian pada kanalis semisirkularis posterior lebih tinggi secara konsisten daripada kanalis semisirkularis horizontal pada kedua kelompok. Perasaan pusing yang kronis telah dilaporkan memiliki kesamaan diantara dua kelompok tersebut. Kerusakan bilateral juga merupakan karakteristik yang jelas pada VPPJ sekunder pada penyakit Meniere. Dari 41 pasien dengan penyakit Meniere yang dilaporkan oleh Gross dkk, 18 memiliki kelainan bilateral VPPJ, 16 orang menderita VPPJ pada telinga yang sama, dan 7 orang menderita hanya pada telinga yang kontralateral. Kanalis semisirkularis horizontal telah dilaporkan lebih berpengaruh. Mulai terjadinya serangan pada kebanyakan pasien terjadi dalam satu minggu serangan (60%), padahal onset yang simultan lebih jarang terjadi (10%). Karakteristik klinis ini mungkin dicantumkan untuk kebutuhan apabila dibutuhkan lebih sari satu diagnosis, sebelum VPPJ muncul pada pasien dengan penyakit Meniere. Wanita lebih dominan terkena VPPJ sekunder yang mengikuti epidemiologi penyakit meniere. Ada banyak literature berbeda mengenai kanal mana yang lebih banyak berpengaruh. Kanalis semisirkularis posterior dan lateral dilaporkan lebih sering berpengaruh menurut beberapa penulis lainnya. VPPJ sekunder pada neuritis vestibuler terjadi rata-rata sekitar hari ke 18 setelah onset pada penyakit primer timbul. Kejadian VPPJ setelah neuritis vestibuler mungkin sangat dianjurkan untuk melakukan tes perasat Dix-Hallpike pada waktu follow-up, terutama bila pasien menunjukkan perbaikan yang lambat. VPPJ pada kasus tersebut, merupakan faktor prognosis yang buruk karena hal

11

tersebut pasien didiagnosis pasien tidak sepenuhnya pulih dari penyakit tersebut. Karena itu hal tersebut dianalisis sebagai mekanisme pathogenesis yang mungkin VPPJ disebabkan karena pengaruh dari kanalis semisirkularis posterior pada telinga ipsilateral. Disisi lain,lebih dari separuh pasien dengan VPPJ sekunder yang dikarenakan tuli sensorineural mendadak idiopatik berkembang lebih singkat secara relative, antara 24 jam setelah munculnya ketulian. Informasi mengenai kanalis semisirkularis mana yang paling berpengaruh terhadap terjadinya VPPJ masih tidak jelas dalam beberapa laporan yang relevan. Yang terakhir, VPPJ pasca operasi telinga tengah, implantasi koklea, operasi pada gigi dan maksilofacial juga secara dominan kemungkinan berpengaruh terhadap kanalis semisirkularis posterior karena kanalis

semisirkularis posterior terletak lebih rendah daripada vestibulum pada posisi supinasi. Waktu kejadian VPPJ yang utama setelah operasi gigi dan maksilofasial dilaporkan terjadi pada hari ke empat setelah pasien keluar dan VPPJ berkembang selama 7 hari atau beberapa hari setelah operasi. Mengenai implantasi koklea dan karena hal-hal yang spesifik, dan sebab yang lain, mekanisme patogenesis ysng mengimplikasikan perkembangan tipe VPPJ sekunder ini, penulis mengadopsi interval kriteria yang sempit, dengan melaporkan hasil dari pasien yang menderita VPPJ lebih dari 165 hingga 880 hari setelah operasi. Keterlibatan bilateral pada operasi ini masih jarang, sebaliknya apa yang mungkin diharapkan melalui mekanisme pathogenesis dari transmisi energy mekanik yang melalui tulang dan cairan perilimfatik menuju ke maculi. Usia pasien, sisi yang diimplant, tipe alat, dan etiologi pendengaran yang

12

berkurang secara acak terdistribusi seperti VPPJ post operasi. Menariknya, tidak ada kasus VPPJ yang dilaporkan terjadi setelah implantasi postkoklear walaupun pada anak-anak. Penatalaksanaan Pasien dengan VPPJ idiopatik akan menunjukkan tingkatan perbaikan gejala yang lebih tinggi secara signifikan dengan CPR (Canalith Repositioning Procedures) daripada VPPJ yang terjadi sekunder karena trauma kepala, neuritis vestibuler, atau penyakit Meniere. Waktu penanganan yang utama sampai tercapai resolusi/perbaikan yang komplit dari tanda dan gejala sudah dilaporkan terjadi pada 2280 untuk VPPJ idiopatik dan 4870 hari untuk VPPJ sekunder. Perbedaan tersebut terjadi juga diantara beberapa variasi tipe VPPJ sekunder. Dalam penelitian retrospektif pada 69 pasien dengan VPPJ sekunder durasi utama terapi sudah dilaporkan terjadi pada 6280 hari untuk tuli mendadak sensorineural idiopatik dengan VPPJ, 5070 hari untuk VPPJ dengan neuritis vestibuler dan 2280 hari untuk VPPJ dengan penyakit Meniere. Perbedaan yang signifikan dilaporkan diantara pasien dengan VPPJ post traumatic dan pasien dengan VPPJ idiopatik keduanya memiliki rasio resolusi komplit setelah satu kali CRP dan kembalinya serangan selama 6-42 bulan follow up. Dalam kasus ini, bagaimanapun baik CRP tunggal tidak cukup untuk memperoleh resolusi yang komplit, penambahan beberapa kali CRP tidak menunjukkan pencapaian data statistic yang signifikan diantara kelompok VPPJ sekunder maupun kelompok VPPJ idiopatik. Seperti disebutkan di awal, bahwa perbedaan tata laksana dan prognosis dari VPPJ idiopatik dan VPPJ sekunder mengarahkan pada hipotesis bahwa hal tersebut mungin merupakan hasil dari lesi yang secara kuantitatif maupun

13

kualitatif. Secara lanjut, pembagian latihan bermacam-macam subtype VPPJ sekunder mungkin dijelaskan melalui perbedaan hubungan antara patofisiologi dengan penyakit telinga dalam yang lain. Prognosis yang lebih buruk terjadi pada VPPJ yang diiringi dengan vestibulopati unilateral diakui oleh penulis lain yang melaporkan, pada kelompok kecil yang berjumlah 35 pasien, dilaporkan bahwa pasien dengan neuritis vestibular akut sepertinya memiliki tendensi pada keadaan sembuh yang lebih baik daripada pasien VPPJ dengan etiologi yang lain. Penulis yang sama melaporkan bahwa angka perbaikan nistagmus paroksismal posisional setelah CRP hampir sama pada pasien VPPJ idiopatik dan sekunder. Walaupun demikian, dengan adanya perbandingan yang kontradiksi tersebut penulis mencantumkan bahwa VPPJ sekunder masih lebih sulit diterapi sebab dalam jumlah 42% pasien dengan VPPJ sekunder, masih terjadi vertigo yang persisten setelah CRP yakni setelah hilangnya nistagmus pada maneuver Dix-Hallpike.

5.

Kesimpulan

VPPJ sekunder sepertinya sulit didiagnosis terutama diantara pasien dengan penyebab vertigo yang diketahui seperti pada penyakit Meniere, neuritis vestibuler, tuli saraf mendadak idiopatik, dan pasien pasca operasi. Index kecurigaan yang lebih tinggi dan ditemukan melalui tes Dix-Hallpike pada semua pasien vertigo, dapat diketahui dari penyakit telinga dalam primer (yang muncul lebih dahulu), mungkin akan mengarahkan diagnosis VPPJ sekunder dan menawarkan pasien terapi yang optimal dan efisien. Sebaliknya, VPPJ kemungkinan berhubungan dengan kelainan pada telinga dalam pada beberapa kasus yang dipercayai. Pada banyak pasien, penemuan yang

14

khas pada VPPJ dianggap menjadi diagnosis akhir dan pemeriksaan neurotologi dilalaikan (tidak dilakukan). Namun demikian, tetap direkomendasikan untuk melengkapi pemeriksaan walaupun diagnosis VPPJ sudah ditegakkan dengan pemeriksaan provokatif. Terutama pasien VPPJ dengan gejala persisten, tes audiologi yang rutin, dan evaluasi neurologi seharusnya mungkin ditunjukkan supaya mampu mengenali adanya hubungan dengan patologi pada telinga dalam. Sayangnya, perbedaan klinik antara VPPJ idiopatik dan VPPJ sekunder didemonstrasikan dalam jumlah kasus yang banyak yang dinilai adalah indefinti dan nilai klinis yang terbatas. Pada banyak kasus menyetujui bahwa VPPJ sekunder pada banyak penelitian adalah indefinite dan nilai klinik yang terbatas. Kabanyakan penelitian menyetujui bahwa VPPJ sekunder lebih susah diterapi daripada VPPJ idiopatik dan pasien membutuhkan interval waktu yang lama sebelum dinyatakan sembuh dari gejala klinis. Manifestasi klinis dari lesi pada telinga dalam mungkin bisa dijelaskan. Oleh karena itu, riwayat pengobatan dahulu dan hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan follow up tampak sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan keberhasilan terapi dari VPPJ sekunder. Penelitian medis lebih jauh dibutuhkan untuk mencari tahu prognosis yang mungkin dari vppj sekunder pada penyakit / kelainan telinga tengah seperti sama halnya dengan perbedaan antara waktu pemeriksaan dan efisiensi terhadap rehabilitasi pasien.

15

Vertigo Posisi Paroksismal Jinak (VPPJ)

I.PENDAHULUAN Vertigo merupakan keluhan yang sering dijumpai dalam praktek, yang sering digambarkan sebagai rasa berputar, rasa oleng, tak stabil (giddiness, unsteadiness) atau rasa pusing (dizziness). Deskripsi keluhan tersebut penting diketahui agar tidak dikacaukan dengan nyeri kepala atau sefalgi, terutama karena di kalangan awam kedua istilah tersebut (pusing dan nyeri kepala) sering digunakan secara bergantian. Vertigo berasal dari bahasa latin vertere yang artinya memutar, merujuk pada sensasi berputar sehingga mengganggu rasa keseimbangan seseorang, umumnya disebabkan oleh gangguan pada sistim keseimbangan. Berbagai macam defenisi vertigo dikemukakan oleh banyak penulis, tetapi yang paling tua dan sampai sekarang nampaknya banyak dipakai adalah yang dikemukakan oleh Gowers pada tahun 1893 yaitu setiap gerakan atau rasa (berputar) tubuh penderita atau obyek-obyek di sekitar penderita yang bersangkutan dengan kelainan keseimbangan. Asal terjadinya vertigo dikarenakan adanya gangguan pada sistem keseimbangan tubuh. Bisa berupa trauma, infelsi, keganasan, metabolik, toksik, veskuler atau autoimun.sistem keseimbangan tubuh kita dibagi menjadi 2 yaitu sistem vestibuler (pusat dan perifer) dan non vestibuler (visual [retina, otot bola mata] dan somatokinetik [kulit, sendi, otot]). Sistem vestibuler sentral terletak
16

pada batang otak, serebelum dan serebrum. Sebaliknya sistem vestibuler perifer meliputi labirin dan saraf vestibular. Vertigo posisi paroksismal jinak (VPPJ) atau disebut juga Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah gangguan keseimbangan perifer yang sering dijumpai. Gejala yang dikeluhkan adalah vertigo yang datang tibatiba pada perubahan posisi kepala. Beberapa pasien dapat mengatakan dengan tepat posisi tertentu yang menimbulkan keluhan vertigo. Biasanya vertigo dirasakan sangat berat, berlangsung singkat hanya beberapa detik saja walaupun penderita merasakannya lebih lama. Keluhan dapat disertai mual bahkan sampai muntah, sehingga penderita merasa khawatir akan timbul serangan lagi. Hal ini yang menyebabkan penderita sangat berhati-hati dalam posisi tidurnya. Vertigo jenis ini sering berulang kadang-kadang dapat sembuh dengan sendirinya. Vertigo pada BPPV termasuk vertigo perifer karena kelainannya terdapat pada telinga dalam, yaitu pada sistem vestibularis. BPPV pertama kali dikemukakan oleh Barany pada tahun 1921. Karakteristik nistagmus dan vertigo berhubungan dengan posisi dan menduga bahwa kondisi ini terjadi akibat gangguan otolit.

II. EPIDEMIOLOGI Benign Paroxysmal Potitional Vertigo (BPPV) adalah gangguan keseimbangan perifer yang sering dijumpai, kira-kira 107 kasus per 100.000 penduduk, dan lebih banyak pada perempuan serta usia tua (51-57 tahun). Jarang ditemukan pada orang berusia dibawah 35 tahun yang tidak memiliki riwayat cedera kepala.

17

III.

ANATOMI DAN FISIOLOGI ALAT KESEIMBANGAN

Alat vestibuler (alat keseimbangan) terletak di telinga dalam (Iabirin), terlindung oleh tulang yang paling keras yang dimiliki oleh tubuh. Labirin secara umum adalah telinga dalam, tetapi secara khusus dapat diartikan sebagai alat keseimbangan. Labirin terdiri atas labirin tulang dan labirin membran. Labirin membran terletak dalam labirin tulang dan bentuknya hampir menurut bentuk labirin tulang. Antara labirin membran dan labirin tulang terdapat perilimfa, sedang endolimfa terdapat di dalam labirin membran. Berat jenis cairan endolimfa lebih tinggi dari pada cairan perilimfa. Ujung saraf vestibuler berada dalam labirin membran yang terapung dalam perilimfa, yang berada dalam labirin tulang. Setiap labirin terdiri dari 3 kanalis semi-sirkularis (kss), yaitu kss horizontal (lateral), kss anterior (superior) dan kss posterior (inferior). Selain 3 kanalis ini terdapat pula utrikulus dan sakulus.

18

Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya tergantung pada input sensorik dari reseptor vestibuler di labirin, organ visual dan proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut akan diolah di SSP, sehingga menggambarkan keadaan posisi tubuh pada saat itu. Labirin terdiri dari labirin statis yaitu utrikulus dan sakulus yang merupakan pelebaran labirin membran yang terdapat dalam vestibulum labirin tulang. Pada tiap pelebarannya terdapat makula utrikulus yang di dalamnya terdapat sel-sel reseptor keseimbangan. Labirin kinetik terdiri dari tiga kanalis semisirkularis dimana pada tiap kanalis terdapat pelebaran yang berhubungan dengan utrikulus, disebut ampula. Di dalamnya terdapat krista ampularis yang terdiri dari sel-sel reseptor keseimbangan dan seluruhnya tertutup oleh suatu substansi gelatin yang disebut kupula. Gerakan atau perubahan kepala dan tubuh akan menimbulkan perpindahan cairan endolimfa di labirin dan selanjutnya silia sel rambut akan menekuk. Tekukan silia menyebabkan permeabilitas membran sel berubah, sehingga ion kalsium akan masuk ke dalam sel yang menyebabkan terjadinya proses depolarisasi dan akan merangsang pelepasan neuro-transmiter eksitator yang selanjutnya akan meneruskan impuls sensoris melalui saraf aferen ke pusat keseimbangan di otak. Sewaktu berkas silia terdorong ke arah berlawanan, maka terjadi hiperpolarisasi. Organ vestibuler berfungsi sebagai transduser yang mengubah energi mekanik akibat rangsangan otolit dan gerakan endolimfa di dalam kanalis semisirkularis menjadi energi biolistrik, sehingga dapat memberi informasi

19

mengenai perubahan posisi tubuh akibat per-cepatan linier atau percepatan sudut. Dengan demikian dapat memberi informasi mengenai semua gerak tubuh yang sedang berlangsung. Sistem vestibuler berhubungan dengan sistem tubuh yang lain, sehingga kelainannya dapat menimbulkan gejala pada sistem tubuh bersangkutan. Gejala yang timbul dapat berupa vertigo, rasa mual dan muntah. Pada jantung berupa bradikardi atau takikardi dan pada kulit reaksinya berkeringat dingin.

IV. ETIOLOGI Penyebab utama BPPV pada orang di bawah umur 50 tahun adalah cedera kepala. Pada orang yang lebih tua, penyebab utamanya adalah degenerasi sistem vestibuler pada telinga tengah. BPPV meningkat dengan semakin meningkatnya usia.

V. PATOFISIOLOGI Patomekanisme BPPV dapat dibagi menjadi dua, antara lain : Teori Cupulolithiasis Pada tahun 1962 Horald Schuknecht mengemukakan teori ini untuk menerangkan BPPV. Dia menemukan partikel-partikel basofilik yang berisi kalsiurn karbonat dari fragmen otokonia (otolith) yang terlepas dari macula utriculus yang sudah berdegenerasi, menempel pada permukaan kupula. Dia menerangkan bahwa kanalis semisirkularis posterior menjadi sensitif akan gravitasi akibat partikel yang melekat pada kupula. Hal ini analog dengan keadaan benda berat diletakkan di puncak tiang, bobot ekstra ini menyebabkan tiang sulit

20

untuk tetap stabil, malah cenderung miring. Pada saat miring partikel tadi mencegah tiang ke posisi netral. Ini digambarkan oleh nistagmus dan rasa pusing ketika kepala penderita dijatuhkan ke belakang posisi tergantung (seperti pada tes Dix-Hallpike). KSS posterior berubah posisi dari inferior ke superior, kupula bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan keluhan pusing (vertigo). Perpindahan partikel otolith tersebut membutuhkan waktu, hal ini yang menyebabkan adanya masa laten sebelum timbulnya pusing dan nistagmus. Teori Canalithiasis Tahun1980 Epley mengemukakan teori canalithiasis, partikel otolith bergerak bebas di dalam KSS. Ketika kepala dalam posisi tegak, endapan partikel ini berada pada posisi yang sesuai dengan gaya gravitasi yang paling bawah. Ketika kepala direbahkan ke belakang partikel ini berotasi ke atas sarnpai 900 di sepanjang lengkung KSS. Hal ini menyebabkan cairan endolimfe mengalir menjauhi ampula dan menyebabkan kupula membelok (deflected), hal ini menimbulkan nistagmus dan pusing. Pembalikan rotasi waktu kepala ditegakkan kernbali, terjadi pembalikan pembelokan kupula, muncul pusing dan nistagmus yang bergerak ke arah berlawanan. Model gerakan partikel begini seolah-olah seperti kerikil yang berada dalam ban, ketika ban bergulir, kerikil terangkat sebentar lalu jatuh kembali karena gaya gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut memicu organ saraf dan menimbulkan pusing. Dibanding dengan teori cupulolithiasis teori ini lebih dapat menerangkan keterlambatan delay (latency) nistagmus transient, karena partikel butuh waktu untuk mulai bergerak. Ketika mengulangi manuver kepala,

21

otolith menjadi tersebar dan semakin kurang efektif dalam menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal inilah yag dapat menerangkan konsep kelelahan fatigability dari gejala pusing.

VI. DIAGNOSIS A. Anamnesis Pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset akut kurang dari 10-20 detik akibat perubahan posisi kepala. Posisi yang memicu adalah berbalik di tempat tidur pada posisi lateral, bangun dari tempat tidur, melihat ke atas dan belakang, dan membungkuk. Vertigo bisa diikuti dengan mual. B. Pemeriksaan fisis Pasien memiliki pendengaran yang normal, tidak ada nistagmus spontan, dan pada evaluasi neurologis normal.6 Pemeriksaan fisis standar untuk BPPV adalah ix-Hallpike. Dan Tes kalori. Dix-Hallpike. Cara melakukannya sebagai berikut: - Pertama-tama jelaskan pada penderita mengenai prosedur pemeriksaan, dan vertigo mungkin akan timbul namun menghilang setelah beberapa detik. - Penderita didudukkan dekat bagian ujung tempat periksa, sehingga ketika posisi terlentang kepala ekstensi ke belakang 30o 40o, penderita diminta tetap membuka mata untuk melihat nistagmus yang muncul. - Kepala diputar menengok ke kanan 45 o (kalau KSS posterior yang terlibat). Ini akan menghasilkan kemungkinan bagi otolith untuk bergerak, kalau ia memang sedang berada di KSS posterior.

22

- Dengan tangan pemeriksa pada kedua sisi kepala penderita, penderita direbahkan sampai kepala tergantung pada ujung tempat periksa. - Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan vertigo, posisi tersebut dipertahankan selama 10-15 detik. - Komponen cepat nistagmus harusnya up-bet (ke arah dahi) dan ipsilateral. - Kembalikan ke posisi duduk, nistagmus bisa terlihat dalam arah yang yang berlawanan dan penderita mengeluhkan kamar berputar ke arah berlawanan. - Berikutnya maneuver tersebut diulang dengan kepala menoleh ke sisi kiri 45o dan seterusnya Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke belakang, namun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus. Pada pasien BPPV setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbulnya lambat, 40 detik, kemudian nistagmus menghilang kurang dari satu menit bila sebabnya kanalitiasis, pada kupulolitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari satu menit, biasanya serangan vertigo berat dan timbul bersamaan dengan nistagmus. Tes kalori. Tes kalori ini dianjurkan oleh Dick dan Hallpike. Pada cara ini dipakai 2 macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah 30 derajat C, sedangkan suhu air panas adalah 44 derajat C. volume air yang dialirkan kedalam liang telinga masing-masing 250 ml, dalam waktu 40 detik. Setelah air dialirkan, dicatat lama nistagmus yang timbul. Setelah telinga kiri diperiksa dengan air dingin, diperiksa telinga kanan dengan air dingin juga. Kemudian telinga kiri dialirkan air panas, lalu telinga dalam. Pada tiap-tiap selesai pemeriksaan (telinga kiri atau kanan atau

23

air dingin atau air panas) pasien diistirahatkan selama 5 menit ( untuk menghilangkan pusingnya).

PEMERIKSAAN FISIK Diagnosis BPPV dapat dilakukan dengan melakukan tindakan provokasi dan menilai timbulnya nistagmus pada posisi tersebut. Kebanyakan kasus BPPV saat ini disebabkan oleh kanalitiasis bukan kupolitiasis. Perbedaan antara berbagai tipe BPPV dapat dinilai dengan mengobservasi timbulnya nistagmus secara teliti, dengan melakukan berbagai perasat provokasi menggunakan infrared video camera. Dikenal tiga jenis perasat untuk memprovokasi timbulnya nistagmus yaitu : perasat Dix Hallpike, perasat side lying, dan perasat roll. Perasat Dix Hallpike merupakan perasat yang paling sering digunakan. Side lying test digunakan untuk menilai BPPV pada kanal posterior dan anterior. Perasat Roll untuk menilai vertigo yang melibatkan kanal horisontal. Diagnosis BPPV pada kanalis posterior dan anterior dapat ditegakkan dengan cara memprovokasi dan mengamati respon nistagmus yang abnormal dan respon vertigo dari kanalis semi sirkularis yang terlibat. Pemeriksaan dapat memilih perasat Dix-Hallpike atau side lying. Perasat Dix-Hallpike lebih sering digunakan karena pada perasat tersebut posisi kepala sangat sempurna untuk Canalith Repositioning Treatment (CRT) . Pada saat perasat provokasi dilakukan, pemeriksa harus mengobservasi timbulnya respon nistagmus pada kacamata Frenzel yang dipakai oleh pasien dalam ruangan gelap, lebih baik lagi bila direkam dengan system video infra

24

merah (VIM). Penggunaan VIM memungkinkan penampakan secara simultan dari beberapa pemeriksaan dan rekaman dapat disimpan untuk penayangan ulang.

Gambar 6. Kacamata Video Frenzel

Perasat Dix-Hallpike pada garis besarnya terdiri dari dua gerakan. Perasat Dix-Hallpike kanan pada bidang kanalis semisirkularis (kss) anterior kiri dan kanal posterior kanan dan perasat DixHallpike kiri pada bidang posterior kiri dan anterior kanan. Untuk melakukan perasat Dix-Hallpike kanan, pasien duduk tegak pada meja pemeriksaan dengan kepala menoleh 450 ke kanan. Dengan cepat pasien dibaringkan dengan kepala tetap miring 450 ke kanan sampai kepala pasien menggantung 20-30 pada ujung meja pemeriksaan, tunggu 40 detik sampai respon abnormal timbul. Penilaian respon pada monitor dilakukan selama + 1 menit atau sampai respon menghilang. Setelah tindakan pemeriksaan ini maka dapat langsung dilanjutkan dengan Canalith Repositioning Treatment (CRT) bila terdapat abnormalitas. Bila tidak ditemukan respon abnormal atau bila perasat tersebut tidak diikuti dengan CRT maka pasien secara perlahan-lahan didudukkan kembali. Lanjutkan pemeriksaan dengan perasat Dix-Hallpike kiri dengan kepala

25

pasien dihadapkan 450 ke kiri, tunggu maksimal 40 detik sampai respon abnormal hilang. Bila ditemukan adanya respon abnormal, dapat di lanjutkan dengan CRT, bila tidak ditemukan respon abnormal atau bila tidak dilanjutkan dengan tindakan CRT, pasien secara perlahan-lahan didudukkan kembali. Perasat side lying juga terdiri dari 2 gerakan yaitu perasat side lying kanan yang menempatkan kepala pada posisi di mana kanalis anterior kiri atau kanalis posterior kanan pada bidang tegak lurus garis horisontal dengan kanal posterior pada posisi paling bawah dan perasat side lying kiri yang menempatkan kepala pada posisi di mana kanalis anterior kanan dan kanalis posterior kiri pada bidang tegak lurus garis horisontal dengan kanal posterior pada posisi paling bawah. Pasien duduk pada meja pemeriksaan dengan kaki menggantung di tepi meja, kemudian dijatuhkan ke sisi kanan dengan kepala ditolehkan 45 ke kiri (menempatkan kepala pada posisi kanalis anterior kiri atau kanalis posterior kanan), tunggu 40 detik sampai timbul respon abnormal. Pasien kembali ke posisi duduk untuk diakukan perasat Sidelying kiri, pasien secara cepat dijatuhkan ke sisi kiri dengan kepala ditolehkan 45 ke kanan (menempatkan kepala pada posisi kanalis anterior kanan/kanalis posterior kiri). Tunggu 40 detik sampai timbul respon abnormal.

26

Gambar 7. Perasat side lying kanan

Pada pasien BPPV setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbulnya lambat, + 40 detik, kemudian nistagmus menghilang kurang dari satu menit bila sebabnya kanalitiasis, pada kupulolitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari satu menit, biasanya serangan vertigo berat dan timbul bersamaan dengan nistagmus. Pemeriksa dapat mengidentifikasi jenis kanal yang terlibat dengan mencatat arah fase cepat nistagmus yang abnormal dengan mata pasien menatap lurus ke depan. Fase cepat ke atas, berputar ke kanan menunjukkan BPPV pada kanalis posterior kanan. Fase cepat ke atas, berputar ke kiri menunjukkan BPPV pada kanalis posterior kiri. Fase cepat ke bawah, berputar ke kanan menunjukkan BPPV pada kanalis anterior kanan.
27

Fase cepat ke bawah, berputar ke kiri menunjukkan BPPV pada kanalis anterior kiri. Respon abnormal diprovokasi oleh perasat Dix-Hallpike atau side lying pada bidang yang sesuai dengan kanal yang terlibat. Perlu diperhatikan, bila respon nistagmus sangat kuat, dapat diikuti oleh nistagmus sekunder dengan arah fase cepat berlawanan dengan nistagmus pertama. Nistagmus sekunder terjadi oleh karena proses adaptasi sistem vertibuler sentral. Perlu dicermati bila pasien kembali ke posisi duduk setelah mengikuti pemeriksaan dengan hasil respon positif, pada umumnya pasien mendapat serangan nistagmus dan vertigo kembali. Respon tersebut menyerupai respon yang pertama namun lebih lemah dan nistagmus fase cepat timbul dengan arah yang berlawanan. Hal tersebut disebabkan oleh gerakan kanalith ke kupula. Pada umumnya BPPV timbul pada kanalis posterior dari hasil penelitian terhadap 77 pasien BPPV. Terdapat 49 pasien (64%) dengan kelainan pada kanalis posterior, 9 pasien (12%) pada kanalis anterior, 18 pasien (23%) tidak dapat ditentukan jenis kanal mana yang terlibat, serta didapatkan satu pasien dengan keterlibatan pada kanalis horizontal. Kadang-kadang perasat DixHallpike / side lying menimbulkan nistagmus horizontal. Nistagmus ini bisa terjadi karena nistagmus spontan, nistagmus posisi atau BPPV pada kanalis horizontal. Bila timbul nistagmus horizontal, pemeriksaan harus dilanjutkan dengan pemeriksaan roll test.

28

VII. DIAGNOSIS BANDING Vestibular Neuritis Vestibular neuronitis penyebabnya tidak diketahui, pada hakikatnya merupakan suatu kelainan klinis di mana pasien mengeluhkan pusing berat dengan mual, muntah yang hebat, serta tidak mampu berdiri atau berjalan. Gejalagejala ini menghilang dalam tiga hingga empat hari. Sebagian pasien perlu dirawat di Rumah Sakit untuk mengatasi gejala dan dehidrasi. Serangan menyebabkan pasien mengalami ketidakstabilan dan ketidakseimbangan selama beberapa bulan, serangan episodik dapat berulang. Pada fenomena ini biasanya tidak ada perubahan pendengaran. Labirintitis Labirintitis adalah suatu proses peradangan yang melibatkan mekanisme telinga dalam. Terdapat beberapa klasifikasi klinis dan patologik yang berbeda. Proses dapat akut atau kronik, serta toksik atau supuratif. Labirintitis toksik akut disebabkan suatu infeksi pada struktur didekatnya, dapat pada telinga tengah atau meningen tidak banyak bedanya. Labirintitis toksik biasanya sembuh dengan gangguan pendengaran dan fungsi vestibular. Hal ini diduga disebabkan oleh produk-produk toksik dari suatu infeksi dan bukan disebabkan oleh organisme hidup. Labirintitis supuratif akut terjadi pada infeksi bakteri akut yang meluas ke dalam struktur-struktur telinga dalam. Kemungkinan gangguan pendengaran dan fungsi vestibular cukup tinggi. Yang terakhir, labirintitis kronik dapat timbul dari berbagai sumber dan dapat menimbulkan suatu hidrops endolimfatik atau perubahan-perubahan patologik yang akhirnya menyebabkan sklerosi labirin. Penyakit Meniere

29

Penyakit Meniere adalah suatu kelainan labirin yang etiologinya belum diketahui, dan mempunyai trias gejala yang khas, yaitu gangguan pendengaran, tinitus, dan serangan vertigo. Terutama terjadi pada wanita dewasa. Patofisiologi : pembengkakan endolimfe akibat penyerapan endolimfe dalam skala media oleh stria vaskularis terhambat. Manifestasi klinis : vertigo disertai muntah yang berlangsung antara 15 menit sampai beberapa jam dan berangsur membaik. Disertai pengurnngan pendengaran, tinitus yang kadang menetap, dan rasa penuh di dalam telinga. Serangan pertama hebat sekali, dapat disertai gejala vegetatif Serangan lanjutan lebih ringan meskipun frekuensinya bertambah.

VIII. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan utama pada BPPV adalah manuver untuk mereposisi debris yang terdapat pada utrikulus. Yang paling banyak digunakan adalah manuver seperti yang diperlihatkan pada gambar di bawah. Manuver mungkin diulangi jika pasien masih menunjukkan gejala-gejala. Bone vibrator bisa ditempatkan pada tulang mastoid selama manuver dilakukan untuk

menghilangkan debris. Terlebih dulu , dengan orang duduk, kepala dibalik sekitar 45 ke sebelah kanan atau kiri, tergantung pada sisi pemicu vertigo. Orang kemudian berbaring dengan kepala bergantung di balik pinggir meja periksa (tempat tidur). Akhirnya, kepala dan badan dibalik sampai hidung menunjuk ke lantai. Orang kemudian duduk tegak tetapi menjaga kepala agar tetap dibelokkan sejauh mungkin. Satu kali orang lurus, kepala bisa menghadap ke depan.

30

Kepala kemudian diubah ke arah yang lain dengan sudut yang sama. Kepala dibelokkan lebih jauh ke sebelah kiri, agar telinga sejajar dengan lantai.

Penanganan BPPV di rumah 1. Latihan Brandt Daroff Latihan Brand Daroff merupakan suatu metode untuk mengobati BPPV, biasanya digunakan jika penanganan di praktek dokter gagal. Latihan ini 95% lebih berhasil dari pada penatalaksanaan di tempat praktek. Latihan ini dilakukan dalam 3 set perhari selama 2 minggu. Pada tiap-tiap set, sekali melakukan manuver dibuat dalam 5 kali. Satu pengulangan yaitu manuver dilakukan pada masing-masing sisi berbeda (membutuhkan waktu 2 menit). Jadwal latihan Brandt Daroff yang disarankan : Waktu Latihan Durasi Pagi 5 kali pengulangan 10 menit Sore 5 kali pengulangan 10 menit Malam 5 kali pengulangan 10 menit Mulai dengan posisi duduk kemudian berubah menjadi posisi baring miring pada satu sisi, dengan sudut kepala maju sekitar setengah. Tetap pada posisi baring miring selama 30 detik, atau sampai pusing di sisi kepala, kemudian kembali ke posisi duduk. Tetap pada keadaan ini selama 30 detik, dan kemudian dilanjutkan ke posisi berlawanan dan ikuti rute yang sama. Latihan ini harus dilakukan selama 2 minggu, tiga kali sehari atau selama tiga minggu, dua kali sehari. Sekitar 30% pasien, BPPV dapat muncul kembali dalam 1 tahun. 2. Manuver Epley di rumah
31

Prosedur ini lebih efektif dari prosedur di ruangan, karena diulang setiap malam selama seminggu. Metode ini (untuk sisi kiri), seseorang menetap pada posisi supine selama 30 detik dan pada posisi duduk tegak selama 1 menit. Dengan demikian siklus ini membutuhkan waktu 2 menit. Pada dasarnya 3 siklus hanya mengutamakan untuk beranjak tidur, sangat baik dilakukan pada malam hari daripada pagi atau siang hari, karena jika seseorang merasa pusing setelah latihan ini, dapat teratasi sendiri dengan tidur. Ada beberapa masalah yang timbul dengan metode lakukan sendiri. Jika diagnosis BPPV belum dikonfirmasi, seseorang dapat melakukan latihan ini untuk mengobati keadaan lain (seperti tumor otak atau stroke) dengan latihan posisi. Ini tidak berhasil dapat menunda penanganan yang tepat. Masalah kedua adalah Epley memerlukan pengetahuan dari sisi jelek. Komplikasi seperti perubahan ke kanal lain dapat terjadi selama maneuver Epley, yang lebih baik ditangani oleh dokter daripada dirumah. Akhirnya sering terjadi selama maneuver Epley, gejala neurologis dipicu ole kompresi pada arteri vertebralis. Berdasarkan pendapat kami, lebih aman melakukan Epley di dokter daripada melakukan sendiri. Operasi dilakukan pada sedikit kasus pada pasien dengan BPPV berat. Pasien ini gagal berespon dengan manuver yang diberikan dan tidak terdapat kelainan patologi intrakranial pada pemeriksaan radiologi. Gangguan BPPV disebabkan oleh respon stimulasi kanalis semisirkuler posterior, nervus ampullaris, nervus vestibuler superior, atau cabang utama nervus vestibuler. Oleh karena itu, terapi bedah tradisional dilakukan dengan transeksi langsung nervus vestibuler dari fossa posterior atau fossa medialis dengan menjaga fungsi pendengaran.

32

Tatalaksana Tiga macam perasat dilakukan untuk menanggulangi BPPV yaitu Canalith Repositioning Treatment (CRT), perasat liberatory, dan latihan Brandt-Daroff. CRT sebaiknya segera dilakukan setelah hasil perasat Dix-Hallpike menimbulkan respon abnormal. Pemeriksa dapat mengidentifikasi adanya kanalitiasis pada kanal anterior atau kanal posterior dari telinga yang terbawah. Pasien tidak

kembali ke posisi duduk, namun kepala pasien dirotasikan dengan tujuan untuk mendorong kanalith keluar dari kanalis semisirkularis menuju ke utrikulus, tempat di mana kanalith tidak lagi menimbulkan gejala. Bila kanalis posterior kanan yang terlibat maka harus dilakukan tindakan CRT kanan. Perasat ini dimulai pada posisi Dix-Hallpike yang menimbulkan respon abnormal dengan cara kepala ditahan pada posisi tersebut selama 1-2 menit, kemudian kepala direndahkan dan diputar secara perlahan ke kiri dan dipertahankan selama beberapa saat. Setelah itu badan pasien dimiringkan dengan kepala tetap dipertahankan pada posisi menghadap ke kiri dengan sudut 450 sehingga kepala menghadap kebawah melihat ke lantai. Akhirnya pasien kembali ke posisi duduk, dengan kepala menghadap ke depan. Setelah terapi ini pasien di lengkapi dengan menahan leher dan disarankan untuk tidak menunduk, berbaring, dan membungkukkan badan selama satu hari. Pasien harus tidur pada posisi duduk dan harus tidur pada posisi yang sehat untuk 5 hari. Perasat yang sama juga dapat digunakan pada pasien dengan kanalitiasis pada kanal anterior kanan. Pada pasien dengan kanalith pada kanal anterior kiri dan kanal posterior, CRT kiri merupakan metode yang dapat di gunakan, yaitu

33

dimulai dengan kepala menggantung kiri dan membalikan tubuh ke kanan sebelum duduk.

Gambar 8. Canalith Repositioning Treatment (CRT) atau Epley maneuver

Gejala-gejala remisi yang terjadi setelah CRT kemungkinan disebabkan oleh perasat itu sendiri, bukan oleh perasat pada saat pasien duduk tegak. Kadangkadang CRT dapat menimbulkan komplikasi. Terkadang kanalith dapat pindah ke kanal yang lain. Komplikasi yang lain adalah kekakuan pada leher, spasme otot akibat kepala di letakkan dalam posisi tegak selama beberapa waktu setelah terapi. Pasien dianjurkan untuk melepas penopang leher dan melakukan gerakan horisontal kepalanya secara periodik. Bila dirasakan adanya gangguan leher, ekstensi kepala diperlukan pada saat terapi dilakukan. Digunakan meja pemeriksaan yang bertujuan untuk menghindari keharusan posisi ekstensi dari
34

leher. Pada akhirnya beberapa pasien mengalami vertigo berat dan merasa mual sampai muntah pada saat tes provokasi dan penatalaksanaan. Pasien harus diminta untuk duduk tenang selama beberapa saat sebelum meninggalkan klinis. Perasat liberatory juga dibuat untuk memindahkan otolit (debris/kotoran) dari kanal semisirkularis. Tipe perasat yang dilakukan tergantung dari jenis kanal mana yang terlibat, apakah kanal anterior atau posterior. Bila terdapat keterlibatan kanal posterior kanan, perasat liberatory kanan perlu dilakukan. Perasat dimulai dengan penderita diminta untuk duduk pada meja pemeriksaan dengan kepala diputar menghadap ke kiri 45. Pasien yang duduk dengan kepala menghadap ke kiri secara cepat dibaringkan ke sisi kanan dengan kepala menggantung ke bahu kanan. Setelah 1 menit, pasien digerakan secara cepat ke posisi duduk awal dan untuk ke posisi side lying kiri dengan kepala menoleh 45 ke kiri. Pertahankan penderita dalam posisi ini selama 1 menit dan perlahan-lahan kembali ke posisi duduk. Penopang leher kemudian dikenakan dan diberi instruksi yang sama dengan pasien yang diterapi dengan CRT. Bila kanal anterior kanan yang terlibat, perasat yang dilakukan sama, namun kepala diputar menghadap ke kanan. Bila kanal posterior kiri yang terlibat,

perasat liberatory kiri harus dilakukan, (pertama pasien bergerak ke posisi sidelying kiri kemudian posisi side lying kanan dengan kepala menghadap ke kanan). Bila kanal anterior kiri yang terlibat, perasat liberatory kiri dilakukan dengan kepala diputar menghadap ke kiri. Angka kesembuhan 70-84% setelah terapi tunggal perasat liberatory.

35

Gambar 9. Perasat liberatory

Latihan Brandt dan Daroff dapat di lakukan oleh pasien di rumah tanpa bantuan terapis. Pasien melakukan gerakan-gerakan dari duduk ke samping yang dapat mencetuskan vertigo (dengan kepala menoleh ke arah yang berlawanan) dan tahan selama 30 detik, lalu kembali ke posisi duduk dan tahan selama 30 detik, lalu dengan cepat berbaring ke sisi yang berlawanan (dengan kepala menoleh ke arah yang berlawanan) dan tahan selama 30 detik, lalu secara cepat duduk kembali. Pasien melakukan latihan secara rutin 10-20 kali, 3 kali sehari sampai vertigo hilang paling sedikit 2 hari.

36

Gambar 10. Perasat Brand Daroff

Angka remisi 98% remisi timbul akibat latihan-latihan akan melepaskan otokonia dari kupula dan keluar dari kanalis semirkularis, di mana mereka tidak akan menimbulkan gejala. Remisi juga timbul akibat adaptasi sistem vestibuler sentral. Lebih baik, kanalitiasis pada anterior dan posterior kanal diterapi dengan CRT. Bila terdapat kupulolitiasis, kita dapat menggunakan perasat liberatory. Latihan Brandt Daroff dilakukan bila masih terdapat gejala sisa ringan. Obatobatan dilakukan untuk menghilangkan gejala-gejala seperti mual, muntah. Terapi pembedahan, seperti pemotongan n. vestibularis, n. Singularis, dan penutupan kanal yang terlibat jarang dilakukan. Modifikasi CRT digunakan untuk pasien dengan kanalitiasis pada BPPV kanalis horizontal, permulaan pasien dibaringkan dengan posisi supinasi, telinga yang terlibat berada di sebelah bawah. Bila kanalith pada kanalis horizontal kanan secara perlahan kepala pasien digulirkan ke kiri sampai ke posisi hidung di atas dan posisi ini dipertahankan selama 15 detik sampai vertigo berhenti. Kemudian

37

kepala digulirkan kembali ke kiri sampai telinga yang sakit berada di sebelah atas. Pertahankan posisi ini selama 15 detik sampai vertigo berhenti. Lalu kepala dan badan diputar bersamaan ke kiri, hidung pasien menghadap ke bawah, tahan selama 15 detik. Akhirnya, kepala dan badan diputar ke kiri ke posisi awal dimana telinga yang sakit berada di sebelah bawah. Setelah 15 detik, pasien perlahanlahan duduk, dengan kepala agak menunduk 30. Penyangga leher dipasang dan diberi instruksi serupa dengan pasca CRT untuk kanalis posterior dan kanalis anterior. Latihan Brandt-Daroff dapat dimodifikasi untuk menangani pasien dengan BPPV pada kanalis horizontal karena kupulolitiasis. Pasien-pasien tersebut diminta melakukan gerakan ke depan-belakang secara cepat pada bidang kanalis horizontal pada posisi supinasi. Perasat ini bertujuan untuk melepaskan otokonia dari kupula. Namun bukti menunjukan efektifitas perasat-perasat terapi untuk kanalis horizontal masih dipertanyakan. Perasat CRT, liberatory, dan Brandt Daroff merupakan latihan yang baik untuk pasien BPPV. CRT merupakan terapi standar di berbagai negara. CRT digunakan untuk terapi kanal posterior and anterior akibat kanalithiasis. Perasat Liberatory digunakan untuk kupolitiasis agar menggerakkan otokonia. Latihan Brandt Daroff digunakan untuk pasien dengan gejala yang menetap. Terapi Famakologi Obat-obatan simptomatis yang biasa digunakan adalah supresor saraf misalnya Betahistine dan Merislon.

38

IX. PROGNOSIS Prognosis setelah dilakukan CRP (canalith repositioning procedure) biasanya bagus. Remisi dapat terjadi spontan dalam 6 minggu, meskipun beberapa kasus tidak terjadi. Dengan sekali pengobatan tingkat rekurensi sekitar 10-25%.

39

You might also like