You are on page 1of 21

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Sebagian besar penyakit telinga tengah didahului oleh gangguan fungsi tuba eustachius.Infeksi saluran nafas atas karena virus, rinitis alergi maupun non alergi merupakan faktor predisposisi terjadinya sumbatan ostia sinus paranasal maupun tuba eusthachius.5 Rinosinusitis kronis adalah penyakit multifaktorial. Banyak faktor yang berperan dalam patogenesisnya, yaitu faktor lokal (variasi anatomi), faktor individu dan faktor non individu.Prevelensi rhinosinusitis mencapai 14 % dari populasi secara global.4 Rhinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada hidung dan sinus paranasal yang sering terjadi, terutama pada usia antara 30 69 tahun. Prevelensi penyakit ini ditemukan lebih tinggi pada jenis kelamin perempuan dibandingkan laki laki. Etiologi rhinosinositis kronis bersifat multifaktorial meliputi faktor penjamu (host) baik sistemik maupun lokal dan faktor lingkungan.Namun pada rhinosinusitis kronis yang persisten meskipun telah diberikan terapi yang adekuat biasanya berhubungan dengan adanya obstruksi mekanik, riwayat alergi dan asma, inflamasi dari super antigen dan jamur serta adanya polutan seperti rokok3 Diagnosis rinosinusitis kronis didapatkan melalaui anamnesis,pemeriksaan THT dengan rinoskopi anterior dan posterior, nasoendoskopi kaku atau fleksibel,pemeriksaan radiologi (Rontgen ataupun tomografi komputer sinus paranasal) dan pemeriksaan mikrobiology.3

Komplikasi yang disebabkan oleh rinosinusitis akut ataupun kronik dapat berupa komplikasi lokal (mukokel, osteomeolitis), komplikasi orbita dan komplikasi intrakranial.Komplikasi orbita umumnya terjadi akibat perluasan infeksi rinosinusitis akut pada anak sedangkan pada anak yang lebih besar dan orang dewasa dapat disebabkan oleh rinosinusitis akut ataupun kronik.1 Penatalaksanaan rinosinusitis kronis dengan komplikasi orbita dapat berupa pemberian medikamentosa baik antibiotik intravena dengan spektrum luas dan atau kombinasi, dekongestan,kortikosteroid sistemik maupun disertai dengan tindakan operatif. Umumnya tindakan operatif dilakukan bila terdapat kegagalan terapi medikamentosa yang optimal atau sudah terdapat komplikasi orbita yang berat dan atau komplikasi intrakranial. 1 1.2 Batasan Masalah Penulisan refrat ini dibatasi mengenai tatalaksana rhinosinusitis kronis, mencakup definis, etiology, klasifikasi rhinosinusitis kronis, manifestasi klinis, pemeriksaan sinus, pemeriksaan penunjang, komplikasi, tatalalsana dan komplikasi rhinosinusitis kronis. 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan refrat ini adalah membahas tatalaksana rhinosinusitis kronis mencakup definis, etiology, klasifikasi rhinosinusitis kronis, manifestasi klinis, pemeriksaan sinus, pemeriksaan penunjang, komplikasi, tatalalsana dan komplikasi rhinosinusitis kronis.

1.4 Metoda Penulisan Metode penulisam refrat ini adalah berdasarkan tinjauan kepustakaan dari berbagai literatur.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Rinosinusitis Kronis Rinosinusitis adalah peradangan mukosa nasal dan sinus paranasal, dikatakan kronis apabila berlangsung paling sedikit 12 minggu, ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala dimana salah satunya harus berupa gejala sumbatan hidung/kongesti atau sekret yang keluar dari hidung baik dari antrerior ataupun posterior, dengan gejala lain adalah nyeri wajah dan gangguan penghidu. 1,2 2. Epidemiologi Rinosinusitis Kronis Rinosinusitis ini merupakan inflamasi yang sering ditemukan dan akan terus meningkat prevalensi. Insiden rinosinusitis di Amerika Serikat

diperkirakan sebesar 14,`1% dari populasi orang dewasa dan hampir 75% terjadi pada usia 30-69 tahun. Prevalensi meningkat seiring dengan peningkatan usia, dengan prevalensi rerata 2,7%, dan 6,6% berturut-turut pada kelompok usia 20-29 tahun dan 50-59 tahun. Kasus rinositis kronis ini sendiri sudah masuk data rumah sakit dengan jumlah 18-22 juta pasien setiap tahun dan 200.000 orang diantaranya mmenjalani operasi rinosinusitis per tahun di Amerika. Pada tahun 1995 di RSCM, rinosinusitis kronik merupakan 2,8% dari seluruh kunjungan poliklinik; di RS Dr Karyadi Semarang, sebesar 2,6%. Di RS Dr Sardjito Yogyakarta selama tahun 2000-2006 frekuensi pendrita rinosinusitis kronis 2,5%-4,6%. 3,4,8

Menurut Arivalagan, 2013 insidren rinosinusitis kronis lebih sering terjadi pada perempuan yaitu sebanyak 54,2% berbandig lelaki sebanyak 45,8% pada tahun 2011 berdasarkan data RSUP Haji Adam Malik Medan. Pada kunjungan rawat jalan ke poli Rinologi RSUP Dr M. Djamil Padag didapatkan kejadian rinosinusitis kronis sebesar 60,7% pada wanita dan 39,3% pada lelaki. 3, 8 Sinus yang paling sering terinfeksi pada penderita rinosinusitis kronis pada tahun 2011 di RSUP Haji Adam malik Medan menurut Arivagalan, 20913 adalah sinus maksilaris (54,6%), diikuti sinus ethmoidalis (15,5%), sinus frontalis (10,2%). Sinus sfenoidalis merupakan sinus yang paling keciln bilangannya sebanyak 7,2%. 8 3. Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal 3.1 Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok anterior yang terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior yang bermuara pada meatus media, kelompok posterior yang terdiri dari sinus etmoid posterior bermuara pada meatus superior dan sinus sfenoid yang bermuara pada resesus sfenoethmoidalis. 3

3.1.1 Sinus Maksilaris Sinus maksilaris adalah sinus yang prtama berkembang dan terbesar. Sinus maksilaris ini berbentuk piramida dengan volume kira-kira 15 ml. Dasar dari piramida adalah dnding nasal dengan puncak yang menunjuk ke arah processus zigomatikum. Dinding anterior memiliki foramen infraorbital berada pada bagian midsuperior dimana nervus infraorbital berjalan di atas atap sinus dan keluar melalui foramen itu. Bagian yang tertipis dari dinding anterior adalah sedikit di atas fossa canina. Atap dibentuk oleh dasar orbital dan ditranseksi oleh nervus infraorbital. Dinding posterior tidak bisa ditandai. Di belakang dinding ini adalah fossa pterygomaxxilaris dengan arteri maxillaris interna, ganglion sphenopalatina dan saluran Vidian, nervus palatina mayor dan foramen rotundum. Dasar dari sinus, seperti dibahas di atas, bervariasi tingkatannya. Sejak lahir sampai umur 9 tahun dasar dari sinus adalah di atas rongga hidung. Pada umur 9 tahun dasar sinus secara umum sama dengan dasar nasal. Dasar sinus berlanjut menjadi pneumatisasi sinus maxilaris. Oleh karena itu berhubungan erat dengan penyakit pertumbuhan gigi yang dapat menyebabkan infeksi rahang dan pencabutan gigi dapat mengakibatkan fistula oral-antral. 9 3.1.2 Sinus Etmoidalis Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhirakhir ini dianggap paling penting, karena bisa menjadi focus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15 ml (3,3 x 2,7 x 1,4 cm). Bentuk ethmoid seperti piramid dan

dibagi menjadi multipel sel oleh sekat yang tipis. Atap dari ethmoid dibentuk oleh berbagai struktur yang penting. Sebelah anterior posterior agak miring (15 derajat). 2/3 anterior tebal dan kuat dibentuk oleh os frontal dan faveola ethmoidalis. 1/3 posterior lebih tinggi sebelah lateral dan sebelah medial agak miring ke bawah ke arah cribiform plate. Perbandingan antara tulang tebal sebelah lateral dan plate adalah sepersepuluh kuat atap sebelah lateral. Perbedaan berat antara atap medial dan lateral bervariasi antara 15-17 mm. Sel ethmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid. Dinding lateralnya adalah lamina paprycea orbita. 9 3.1.3 Sinus Frontalis Sinus ini terletak didalam os frontal dan mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus. Volume sinus ini sekitar 6-7 ml (28x24x20mm). Anatomi sinus frontalis sangat variasi tetapi secara umum ada dua sinus yang berbentuk seperti corong dan berbentuk point menaik. Kedalaman dari sinus berhubungan dengan pembedahan untuk menentukan batas yang berhubungan dengan pembedahan. Kedua bentuk sinus frontal mempunyai ostia yang bergantung dari rongga itu (posteromedial). Sinus ini dibentuk dari tulang diploe. Bagaimanapun, dinding posterior (memisahkan sinus frontal dari fossa kranium anterior) lebih tipis. Dasar sinus ini juga berfungsi sebagai bagian dari atap rongga mata. 9 3.1.3 Sinus Sphenoid Sinus ini terletak didalam os sphenoid di belakang sinus etmoid posterior. Usia belasan tahun sinus ini sudah mencapai ukuran penuh dengan volume 7,5 ml (23 x 20 x 17 mm). Secara umum merupakan struktur bilateral yang terletak postero

superior dari rongga hidung. Kebanyakan posisi posterior dapat menempatkan sinus bersebalahan struktur yang penting seperti arteri carotid, nervus opticus, nervus maxilaris, cabang dari nervus

trigeminal,nervus vidian, pons sella tursicadan sinus karvenosus. Hati-hati ketika memperbaiki septa sinusn ini mungkin di dalaam kesinambungan dengan katortid dan kanalisoptikus yang dapat merngakibatkan kematian dan kebutaan. Kemudain ostium sinus spenoidalis bermuara ke resesus spenoietmoidalis. Ukurannya sangat ekcil 0,5-4mm dan letaknyas ekita 10mm di ats dasar sinus. 9 3.2 Kompleks Ostiomeatal Kompleks ostiomeatal terdiri dari sel-sel udara dari etmoid anterior dan ostiumnya, infundibulum etmoid, ostium sinus maksila, ostium sinus frontal, dan meatus media. Struktur lainnya adalah sel agger nasi,

prosesus unsinatus, bula etmoid, hiatus semiklunaris inferior, dan konka media. Struktur ini berperan sebagai jalur drainase dan ventilasi untuk sinus frontal, maksila dan etmoid anterior. 3 3.3 Fisiologi Sinus Paranasal Sampai saat ini peranan sinus paranasal masih menjadi kontroversi. Tetapi fungsi yang paling penting dari sinus paranasal adalah

meningkatkan fungsi nasal. Fungsi sinus paranasal antara lain untuk ventilasi, penghangatan, humadifikasi, filtrasi, dan pertahanan tubuh. Patensi KOM sangat berperan dalam memelihara fungsi sinus paranasal. Perannya antara lain sebagai tempat drainase mukus dan debris serta

memelihara tekanan oksigen dalam keadaan normal sehingga mencegah tumbuhnya bakteri. 3 4. Etiopatofisiologi Rinosinusitis Kronis Banyak faktor berperan dalam patogenesis rinosinusitis kronis, yaitu faktor lokal \(variasi anatomi), faktor indivudu, dan faktor non individu. Variasi anatomi telah diketahui memiliki peranan dalam menyebabkan penyakit sinus kronis karena dapat menimbulkan obstruksi \kKOM. Fakjtor individu dibedakan menjadi daktor instrinsik (pejamu\) yang terdiri dari faktor instrinsik (prejamu) dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terbagi menajdadi faktro sistemik dan faktor lokal. Faktor sistremik seperti kelainan genetik/kongenitakl, gangguan imunodefisiensi, penyakit autoimun, kondisi atopik, refluks laringofaringeal, gangguan endokrrin, dan kehamilan serta idiiopoatyik. Faktor lokal yang berhubungan dengan rinosinusitis kronios adalah kelainan anatomi, kelainan anatiomi iatrogenik, massa di rongga nasal, da inflamasi tulang sionus paranasal, infeksi saluran nafas atas, rinitis alergi dan non alergi. Sedangkan faktor ekstrinsik yang berperan dalam perkembangan rinosinusitis kronis adalah infeksi bakteri, jamur, dan polusi iudara baik di dalam maupu di luar rumah. Kuman patogen yang sering ditremukan pada penyakit ini adalah peptostreptococcus, bacteroides, Corynobacterium, Vellionelaa, staphylococcus aurreus, Streptococcus viridans, dan

H\aemophillus influenzxa., 3,4,5

Penyakit sinus terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekret. Gangguan salahsatu faktor atau kombinasi dari faktpor tersebut mengubah fisiologi dan menibulkan rinosinusitis. Obstruksi ostium meniumbulkan darainase tidaak adekuat, menyebabkan

penumpoukan cairan dalam sinus; pada sinus maksilaris menjadi penting kibat mukus dibersihkan melawan pengaruh gravitasi . obstruksi menyebabkan hipoksia lokal dalam sinus, menibmbulkan perubahan pH, kerusakan epiutel dan fungsi silia (gangguann sistem mukosiliar) .cairan dalam sinus menjadi media baik bagi pertumbuhan bakteri, menimbulkan inflamasi jaringfan dan penembalan mukosda sehingga menambah obstruksi ostium. 2, 6 5. Klasifikasi Pinheiro et al. dalam Vimala, 2010 membagi rinosinusitis ditinjau dari lima aksis: 1, 2 1. Gambaran klinis (akut {<12 minggu}, subakut, dan kronis {>12 minggu}) 2. Lokasi sinus yang terkena (maksilaris, frontalis, etmoidalis, dan sfenoidalis) 3. Organisme yang terlibat (virus, bakteri, atau jamur) 4. Keterlibatan ekstrasinus (komplikasi atau tanpa komplikasi) 5. Modifikasi penyebab spesifik (atopi, obstruksi kompleks osteomeatal) Klasifikasi lain didasarkan ditemukan tidaknya alergi, membagi

rinosinusitis menjadi alergi dan nonalergi atau berdasarkan ada tidaknya infeksi dibagi dalam rinosinusitis infeksi dan non infeksi. Sedangkan

untuk derajat sinusitis digunakan gambaran radiologis untuk menunjukkan berat ringannya penyakit. 2 6. Gejala Klinis Rinosinusitis Kronis Gejala rinosinusitis berbeda-beda, dari sangat ringan hingga berat. Gejala bisa dikelompokkan menjadi geljala objektif dan objektif. Gejala subjektif meliputi gejla nasal dan ansofaringeal, faring, dan nyeri wajah. Gejala nasal meliputi obstruksi hidung, sekresi hidung, dan post nasal drip. Terkadang ada epitaksis dan gangguan olfaktorius. Gejala faring berupa rasa kering di tenggorokan dan gejala nyeri wajah akibat keadaan vakum di sinus. 2 Selain berdasarkan gejala objektif dan subjektif, gejaala

rinosinusitis dibagi menjadi gejala lokal, regional, dan sistemik. Gejala lokalnya meliputi hidung tersumbat, hidung berair, nyeri/rasa penuh pada wajah, nyeri kepala, gangguan penciuman hingga anosmia. Gejala reional meliputi nyeri tenggorok, disfonia, batuk, halitosis, bronkospasm , rasa penuh/nyeri pada telinga dan nyeri gigi. Gejala sistemik berupa kelelahan, demam, bahkan anorerksia. 3 Berdasarkan prevalensi gejala klinis rinosinusitis kronis

berdasarkan penelitiaj Arivalagan, 2013 didapati keluhan hidung tersumbat menempati urutan pertama sebanyak (56,8%), diikuti gejala nhidung berair (12,6%). Sedangkan keluhan utama yang paling sedikit dikeluhkan adalah hidung gatal (0,5%). 8

7. Diagnosis Rinosinusitis Kronis Diagnosis rinosinusitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik THT dengan rinoskopi anterior dan posterior, nasoendoskiopi kaku atau fleksibel, pemeriksaan radiologi dan, pemeruiksaan mikrobiologi. 3 Berdasarkan anamnesis, diagnosis rinosinusitis kronis ditegakkan berdasarkan kriteria EP3OS 2007 yaitu ada dua atau lebih gejala, salah satunya hidung buntu/obstruksi/kongesti atau adanya sekret hidug (anterior atau postnasal dreip), ditambah satu atau lebuih; rasa nyeri/rasa penuh diwajah, hiposmia atau anosmia, yang berlasngsung lebih dari 12 minggu. Konfirmasi diagnosis dengan foto polos posii Waters, dianggap rinosinusitis kronis bila pada salahsatu ataui lebih sinus paranasal didapatkan salah satu atau lebih gambaran perselubungan, air-fluid level, atau penebalan mukosa. 3,5 American Academy of Otolaryngology (AAO) memberikan suatu kriteria diagnosis untuk kasus ini, yang terdirid ari kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor meliputi, nyeri wajah, rasa penuh pada wajah, hidung tersumbat, hidung berair, sekret purulen, hiposmia atau anosmia, dan demam. Kriteria minor meliputi nyeri kepala, demam, halitosis, kelelahan, nyeri gigi, batuk, nyeri atau rasa penuh ditelinga. Berdasarkan kriteria tersebut, diagnosis ditegaakan bila terdapat dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria kinor selama sekurang-kursangnya 12 minggu. 3

Pada pemeriksaan fisik THT dilakukan rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior, serta faring. Pada pemeriksaaan anterrior dapat

ditemukan tanda inflamasi yaitu, mukosa hiepremis, edem, dischharge mukopurulenn yang terlihat meauts media. Pemeriksaan rinoskoppi posterior dapat ditemukan kumpulan pus di permukaan palatum, bisa berasal dari ebrbagai sinus. Pus dtampak menetes melaslui ujung posterior konka inferior daroi meautus media. Pada pemeriksaaan faring dapat

terlihat pus mengalir sampai sampai kebawah melalui sela dinding lateral faring . pada pemeriksadaan endoskopi dapat dilihat edem dan hiperemi di meatus media, bula etmoid, dan ada jaringan granulasi. 2 8. Pemeriksaan Penunjang Rinosinusitis Kronis Penyakit inflamasi sinus membutuhkan diagnosis yang akurat sebagai kunci manajemen terapi termasu k untuk memnetapkan etiologi dan faktor predisposisisi. Para ahli menyepakati bahwa rinosinusitis disebabkan oleh obstruksi clearance mukosilia dari nsinus paranasal, khusunya daerah kompleks osteomeatal. Sehingga pemeriksaan radiologi diharapkan dapat menggambarkan secara akurat morfologi egional dan menunjukkan obstruksi osteomeatal.salahsatu pemeriksaan penunjang radiologinya adalah foto polos atau radiografi standar dan CT scan. 2 8.1 Foto Polos atau Radiografi Standar Foto polos sionus paranasal merupakan metode mudah dan cepat untuk evaluasi struktur maksilofasial. Gambaran penebalan mukosa lebih dari 4 mm, opasitas komplit, dan air fluid level merupakan gsmbaran

radiologis utama yang digunakan untuk diagnosis sinusitis pada foto polos. 2 8.2 CT Scan CT scaan menyediakan gambaran hifung dan sinus apranasal yang lebih detail dibandingan roentgen. Potongan koronal CT scan memberikan gambaran akurat sinus etmoid anterior, 2/3 kavum nasi bagian atas, resessus frontalis. Potongan lintang CT scan dapat menilai kondisi soft tissue di akvum ansi, sinsu paranasal, orbita, dan intrakranial. Potongan koronal merupakan potongan terbaik karena mampu menunjukkan terbaik akrena mampu menunjukkan hubungan antara otak dan sinus ethmoid, orbita, dan sinus paransala lainnya serta kompleks osteomeatal. 2 9. Komplikasi Komplikasi rinosinusitis kronis terlah ajrang dilaporkan sejak ditemukannya antibiotik tetapi walaupun begitu komplikasi yang berat masih tetap dilaporkan. Kompliasi ini nantinya kan berdampak pada morvbiditas bahkan mortaliats bila tidak diberi terapi deengan tepat. Komplikasi yang disebabkan oleh rinosinusitis kronis dapat berupa komplikasi lokal, komplikasi orbita, komplikasi intrakranial, dan komplikasi sistemik. Komplikasi lokal yang terjadi berupa terbentuknya mukosil pada sinus dan osteomielitis (Potts puffy tumor), komplikasi orbita menurut klasifikasi Chandler yaitu selulitas periorbita/preseptal, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan trombosis sinus kavernosus, dan komplikasi intrakranial meliputi meningitis, abses

epidural, abeses subdural, abses intraserebral, trombosis sinus dura. Selain itu, juga terdapat komplikasi sistemik berupa sepsis dan syok toksik. 1,3 10. Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronis Tujuan dari penatalaksanna rinosinusitis kronis adalah; mengurangi inflamasi sinus, menjaga drainase sinus paranasal, mengeliminasi penyebab, dan mengurangi jumlah sinus yang terinfeksi. Terapinya bisa merupakan kombinasi dari topical atau oral kortikosteroid, antibiotic, dekongestan, dan irigasi nasal. Jika gagal dengan terapi medikamentosa diatas maka perlu dilakukan pembedahan sinus. 10 Dikarenakan rinosinusitis kronis memiliki banyak factor risiko dan etiologi, sehingga perlu dilakukan pengontrolan pada factor-faktor tersebut. 10 a. Infeksi Virus Saluran Nafas Atas b. Faktor Lingkungan dan Alergi c. Penyakit Gastroesofageal Refluks d. Imunodefisiensi e. Asma Gejala-gejala simptomatik dapat berkurang dengan pemberian

dekongestan topical, steroid topical, antibiotic, nasal salin, ataupun mukolitik. Inhalasi uap dan irigasi nasal salin dapat membantu mendrainase secret, mengurangi mukosa edem, dan mengurangi kekentalan mucus. Terapi inisial dengan steroid oral yang dilanjutkan dengan steroid topical memberikan hasil

yang lebih efektif daripada terapi topical steroid saja dalam hal mengurangi ukuran edem pada pasien ini. Terapi antibiotic digunakan selama 3-4 minggu. Biasanya diberikan antibiotic oral sebagai terapi umum kasus ini. Untuk kasus-kasus yang menetap perlu dipertiumbangkan terapi antibiotic intravena. Regimen terapi termasuk kombinasi penisilin (cth. Amoksisilin) dengan penghambat betalaktam (cth. Asam clavulanic), klindamisin, kombinasi metrinidazole dengan makrolit atau sefalosporin generasi dua atau tiga dan yang terbaru quinolon (cth. Moksifloksasin). Semua agen antibiotic diatas dapat diberiakn oral maupun parenteral. Jika penyebabnya bakteri gram negative maka digunakan aminoglikosidaparenteral generasi ke empat. 10 Terapi rinosinusitis dengan jalur pembedahan dapat dilakukan dengan berbagai cara salh-satunya dengan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF). BSEF ini digunakan sebagai terapi jika tidak terjadi perbaikan dengan terapi medikamentosa atau pasien dengan obstruksi anatomi. Tujuan pembedahan ini adalah untuk melancarkan kembali ventilasi sinus dan mengoreksi kerusakan silia dan system klirens di silia tersebut. BSEF mampu mengembalikan patensi sinus terutama Kompleks osteomeatal dan (cth. Cefotixin), fluroquinolone, sefalosporin

mengadekuatkan aliran udara disana. Dengan penggunaan BSEF maka mampu menringankan gejala pada 80-90% pasien. 10

11. Prognosis Rinosinusitis Kronis Apabila rinosinusitis kronis ini menetap maka morbiditasnya menjadi signifikan, dan dapat mengurangi kualitas kehidupan dan produktivitas pasien. Rinosinusitis kronis sering dihubungkan dengan eksaserbasi asma dan komplikasi-komplikasi serius seperti abses otak dan meningitis. Terapi yang berkembang sekarang seperti BSEF mamou menringankan 80-90% gejala pada pasien. BSEF dapat

dipertimbangkan apabila dengan pemebrian medikamentosa tidak mengalami perbaikan. Rinosinusitis kronis jarang mengancam kehidupan walupun komplikasinya dapat menjalar ke orongga orbita dan intra cranial. Diperkirakan 75% infeksi orbita secara langsung berhubungan dengan rinosinusitis. Komplikasi intrakranialnya hanya bekrkisar 3,7-10%. 10

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Rinosinusitis kronis merupakan peradangan mukosa nasal dan sinus paranasal yang berlangsung paling sedikit 2 minggu. Rinosinusitis merupakan inflamasi yang sering ditemukan dan akan terus meningkat prevalensinya. Banyak faktor berperan dalam patogenesis rinosinusitis kronis, yaitu faktor lokal (variasi anatomi), faktor indivudu, dan faktor non individu. Gejala rinosinusitis berbeda-beda, dari sangat ringan hingga berat. Gejala bisa dikelompokkan menjadi gejala objektif dan subjektif. Gejala subjektif meliputi gejala nasal dan nasofaringeal, faring, dan nyeri wajah. Diagnosis rinosinusitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik THT dengan rinoskopi anterior dan posterior, nasoendoskiopi kaku atau fleksibel, pemeriksaan radiologi dan, pemeriksaan mikrobiologi Penyakit inflamasi sinus membutuhkan diagnosis yang akurat sebagai kunci manajemen terapi termasuk untuk menetapkan etiologi dan faktor predisposisisi. Pemeriksaan radiologi diharapkan dapat menggambarkan secara akurat morfologi regional dan menunjukkan obstruksi osteomeatal. Salah satu pemeriksaan penunjang radiologinya adalah foto polos atau radiografi standar dan CT scan. Komplikasi yang disebabkan oleh rinosinusitis kronis dapat berupa komplikasi lokal, komplikasi orbita, komplikasi intrakranial, dan komplikasi sistemik. Tujuan dari penatalaksanaan rinosinusitis kronis adalah : mengurangi inflamasi sinus, menjaga drainase sinus paranasal, mengeliminasi penyebab, dan mengurangi jumlah sinus yang terinfeksi.

Apabila rinosinusitis kronis ini menetap maka morbiditasnya menjadi signifikan, dan dapat mengurangi kualitas kehidupan dan produktivitas pasien.

DAFTAR PUSTAKA 1. Huriyati Effy, Bestrai JB, Heru KA. Lapus: Rinosinusitis kronis Dengan Variasi Anatomi Kavum Nasi. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakukltas Kedokteran Universaitas Andalas. Padang. 1-7 2. Acala Vimala, Kartano Sudarman, Anton Christanto, Slamet Widodo. Hasil Penelitian: Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis kronik. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Cermin Dunia Kedokteran Edisi 179. 2010. 409-412 3. Budiman BJ, Rossy Rosalinda. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional revisi Pada Rinosinusitis Kronis. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakukltas Kedokteran Universaitas Andalas. Padang. 1-7 4. Budiman BJ, Surya Azani. Rinosinusitis Kronis. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakukltas Kedokteran Universaitas Andalas. Padang. 1-7 5. Mardiraharjo Nanang. Perbedaan tekanan Telinag Tengah Penderita Rinosinusitis Kronis dibadning Orang Normal. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang. Malang. 51-53 6. Munir Delfitri. Artikel Penelitian: Waktu Bersihn Mukosiliar pada PAsien Rinosinusitis Kronis. Majalah kedokteran Indonesia. Departemen kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kelapa Leher. Fakultas kedokterAN Universitas Sumatera Utara. Medan. 2010; 60 (11); 517-520 7. Harowi, MR, Soepomo Soekardono, Bambang UDR, Anton Christanto. Hasil Penelitian: Kualitas Hidup Rinosinusitis Kronik Pasca Bedah.

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok dan Bedah kepala Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Cermin Dunia Kedokteran Edisi 187. 2011. 429-430 8. Arivalagan, Privina, Andrina Rambe. Gambaran Rinusinitis Kronis di RSUP haji Adam Malik pada Tahun 2011. E-Jurnal FK USU. 2013; 1 (1); 1-4 9. Anggraini, DR. Anatomi dan Fungsi Sinus Paranasal. Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara. USU Repository. 2006; 2-8 10. MedScape. http://emedicine.medscape.com/article/232791-overview. Diakses pada Selasa 4-30-2013 18.30

You might also like