You are on page 1of 7

Anatomi Kelenjar Tiroid Tiroid berarti organ berbentuk segi empat.

Kelenjar tiroid merupakan organ yang bentuknya seperti kupu-kupu dan terletak pada leher bagian bawah di sebelah anterior trakea. Kelenjar ini merupakan kelenjar endokrin yang paling banyak vaskularisasinya, dibungkus oleh suatu kapsula yang melekatkan tiroid ke laring dan trakea. Kelenjar ini terdiri atas dua buah lobus lateral yang dihubungkan oleh suatu jembatan jaringan isthmus tiroid yang tipis dibawah kartilago krikoidea di leher, dan kadang- kadang terdapat lobus piramidalis yang muncul dari isthmus di depan laring. Kelenjar tiroid terletak di leher depan setinggi vertebra cervicalis 5 sampai thoracalis 1, terdiri dari lobus kiri dan kanan yang dihubungkan oleh isthmus. Kelenjar tiroid mempunyai panjang 5 cm, lebar 3 cm, dan dalam keadaan normal kelenjar tiroid pada orang dewasa beratnya antara 10 sampai 20 gram. Aliran darah kedalam tiroid per gram jaringan kelenjar sangat tinggi ( 5 ml/menit/gram tiroid)

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid Manusia Tiroid terdiri dari nodul-nodul yang tersusun dari folikel-folikel kecil yang dipisahkan satu dengan lainnya oleh suatu jaringan ikat. Setiap folikel dibatasi oleh epitel kubus dan diisi oleh bahan proteinaseosa berwarna merah muda yang disebut koloid.

Sel-sel epitel folikel merupakan tempat sintesis hormon tiroid dan mengaktifkan pelepasannya dalam sirkulasi. Zat koloid, triglobulin, merupakan tempat hormon tiroid disintesis dan pada akhirnya disimpan. Dua hormon tiroid utama yang dihasilkan oleh folikel-folikel adalah tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Sel pensekresi hormon lain dalam kelenjar tiroid yaitu sel parafolikular yang terdapat pada dasar folikel dan berhubungan dengan membran folikel, sel ini mensekresi hormon kalsitonin, suatu hormon yang dapat merendahkan kadar kalsium serum dan dengan demikian ikut berperan dalam pengaturan homeostasis kalsium. Tiroksin (T4) mengandung empat atom iodium dan triiodotironin (T3) mengandung tiga atom iodium. T4 disekresi dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dengan T3, tetapi apabila dibandingkan milligram per milligram, T3 merupakan hormon yang lebih aktif daripada T4.

Fungsi Fungsi utama hormon tiroid T3 dan T4 adalah mengendalikan aktivitas metabolik seluler. Kedua hormon ini bekerja dengan mempercepat proses metabolisme. Efeknya pada kecepatan metabolisme sering ditimbulkan oleh peningkatan kadar enzim-enzim spesifik yang turut berperan dalam konsumsi oksigen, dan oleh perubahan sifat responsif jaringan terhadap hormon yang lain. Hormon tiroid mempengaruhi replikasi sel dan sangat penting bagi perkembangan otak. Adanya hormon tiroid dalam jumlah yang adekuat juga diperlukan untuk pertumbuhan normal. Melalui efeknya yang luas terhadap metabolisme seluler, hormon tiroid mempengaruhi setiap sistem organ yang penting. Kelenjar tiroid berfungsi untuk mempertahankan tingkat metabolisme di berbagai jaringan agar optimal sehingga mereka berfungsi normal. Hormon tiroid merangsang konsumsi O2 pada sebagian besar sel di tubuh, membantu mengatur metabolisme lemak dan karbohidrat, dan penting untuk pertumbuhan dan pematangan normal. Hormon-hormon tiroid memiliki efek pada pertumbuhan sel, perkembangan dan metabolisme energi. Efek-efek ini bersifat genomic, melalui pengaturan ekspresi gen, dan

yang tidak bersifat genomic, melalui efek langsung pada sitosol sel, membran sel, dan mitokondria. Hormon tiroid juga merangsang pertumbuhan somatis dan berperan dalam perkembangan normal sistem saraf pusat. Hormon ini tidak esensial bagi kehidupan, tetapi ketiadaannya menyebabkan perlambatan perkembangan mental dan fisik, berkurangnya daya tahan tubuh terhadap dingin, serta pada anak-anak timbul retardasi mental dan kecebolan (dwarfisme). Sebaliknya, sekresi tiroid yang berlebihan menyebabkan badan menjadi kurus, gelisah, takikardia, tremor, dan kelebihan pembentukan panas.

Graves Disease
Epidemiologi Graves Disease adalah sebagian besar penyebab tirotoksikosis. Penyakit ini biasanya terjadi diantara usia 20-50 tahun, tetapi juga dapat terjadi pada orang yang lebih tua. Patogenesis Ada beberapa hal yang berperan dalam terjadinya Graves Disease, yakni kombinasi antara faktor lingkungan dengan faktor genetik. Faktor yang mempengaruhi antara lain stress, karena stress dapat mempengaruhi efek neuroendokrin pada sistem imun. Selain itu, faktor infeksi juga dapat memicu terjadinya penyakit ini. Virus yang menginfeksi selsel tiroid manusia akan merangsang permukaan sel folikel tiroid, diduga sebagai akibat pengaruh sitokin (terutama interferon alpha) Infeksi basil gram negative seperti Yersinia enterolitica, yang menyebabkan enterokolitis kronis, diduga mempunyai reaksi silang dengan autoantigen kelenjar tiroid, yakni TSH-R. Selain itu, konsumsi iodin secara tiba-tiba dalam jumlah yang banyak juga dapat memicu terjadinya Graves Disease. Dosis terapeutik lithium untuk pengobatan dalam bidang psikiatri juga dapat mempengaruhi fungsi sel limfosit T suppressor sehingga dapat

menimbulkan penyakit ini. Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibody sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari linfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan myositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot bola mata, proptosis dan diplopia. Miksedema pretibial pada penyakit Graves terjadi akibat adanya stimulasi sitokin di dalam jaringan fibroblast yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi

glikosaminaglikan. Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin, seperti takikardia, tremor dan keringat yang banyak. Adanya

hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan kafena terjadinya peningkatan reseptor katekolamin di dalam otot jantung. Gejala dan Tanda Pada penyakit Graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. Perubahan pada mata (oftalmopati Graves) , menurut the American Thyroid Association diklasifikasikan sebagai beriku:

Kelas Uraian 0 Tidak ada gejala dan tanda

1 Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag) 2 Perubahan jaringan lunak orbita 3 Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer) 4 Keterlibatan otot-otot ekstra ocular 5 Perubahan pada kornea (keratitis) 6 Kebutaan (kerusakan nervus opticus)

Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya diobati secara adekuat. Pada Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita. Kelas 2 ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita, kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis). Kelas 3 ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel exophthalmometer. Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif terutama pada musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan bola mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran dalam menggerakkan bola mata kesamping. Kelas 5 ditandai dengan perubahan pada kornea ( terjadi keratitis). Kelas 6 ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan kebutaan. Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan. Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit graves

dapat berupa amenore atau infertilitas. Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang. Sedangkan pada penderita usia tua (>60 tahun), manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi , dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat badan.

Diagnosis 1. Anamnesis 2. Pemeriksaan Fisik 3. Pemeriksaan Penunjang Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema dibawah ini :

Autoantibodi tiroid , TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves maupun tiroiditis Hashimoto , namun TSH-R Ab lebih spesifik pada penyakit Graves.

Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T4) dan tri-iodotironin (T3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun. Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T4 bebas (FT4) Sedangkan pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk menegakkan diagnosis penyakit Graves jarang diperlukan.

AACE. American Association of Clinical Endocrinologist Medical Guidelines for Clinical Practice for The Evaluation and Treatment of Hyperthyroidism and Hypothyroidism. 2002. Diunduh tanggal 20 Mei 2013 dari : https://www.aace.com/files/hyper-guidelines-2011.pdf

Griffing, et al. Graves Disease. Maret 2013. Diunduh tanggal 28 Mei 2013 dari: https://www.emedicine.medscape.com article -overvie

You might also like