You are on page 1of 52

Universitas Kristen Krida Wacana

Reaksi Kusta Tipe 1 (Reaksi Reversal)

Oleh : Siti Massita binti Misbari (11-2011-162) Wan Noor Asmarina binti Wan Mahmood (11-2011-153) Fatin Aina binti Mohamad Asri (11-2011-156) Nurul Aini binti Abdul Rahman (11-2011-159)

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta, Mei 2013

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN ..... BAB II : TINJAUAN PUSTAKA i. ii. iii. iv. v. vi. vii. viii. ix. x. xi. Diagnosis Epidemiologi .. Etiologi Patogenesis . Gejala klinis Diagnosis Kerja .. Diagnosis Banding . Penatalaksanaan .. Komplikasi ..

5 11 11 12 14 19 22 24 32

Pencegahan .. 36 Prognosis .. 47

BAB III : PENUTUP . 48 DAFTAR PUSTAKA 49 LAMPIRAN 51

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Modified MRC grading untuk kekuatan otot 7 Tabel 2. Indeks bakteri menurut RIDLEY . 9 Tabel 3. Karakteristik berbagai tipe kusta menurut klasifikasi RIDLEY-JOPLING.. 10 Tabel 4. Gejala tanda reaksi tipe 1 . 17 Tabel 5. Berat ringannya Reaksi tipe 1 pada organ terkena 17 Tabel 6. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995) ... 18 Tabel 7. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta spectrum borderline ... 19 Tabel 8. Diagnosis banding reaksi tipe 1 dengan relaps . 22 Tabel 9. Diagnosis banding bercak merah .. 24 Tabel 10. Pedoman dosis MDT Tipe PB 28 Tabel 11. Pedoman dosis MDT Tipe MB ... 29 Tabel 12. Efek samping obat-obat MDT dan penanganannya 31 Tabel 13. Kelainan yang timbul akibat gangguan fungsi saraf ... 34 Tabel 14. Klasifikasi cacat pada tangan dan kaki 35 Tabel 15. Klasifikasi cacat mata . 35

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 . Regimen pengobatan MDT Gambar 2. Perawatan mata di rumah Gambar 3. Perlindungan pada tangan yang mati rasa

28 38 39

Gambar 4. Merawat tangan untuk kulit yang kering . 40 Gambar 5. Meluruskan dan bengkokkan jari berulang kali di atas paha 41

Gambar 6. Memegang ibu jari dengan tangan lain dan gerakkan sendi supaya tidak kaku.. 41 Gambar 7. Mengikat jari dengan 2-3 karet gelang, lalu memisahkan dan merapatkan jari berulang kali .. 41

Gambar 8. Menyangkut pada bagian depan kaki itu dan tarik ke arah tubuh dengan kain panjang atau sarung.. 42

Gambar 9. Latihan menarik tali karet dengan punggung kaki. 43 Gambar 10. Perawatan kaki untuk kulit tebal dan kering. 44 Gambar 11. perawatan kaki yang mati rasa.. 45 Gambar 12. Mengistirehatkan kaki yang luka.. 45 Gambar 13. Berjalan menggunakan tongkat. 46

DAFTAR BAGAN Bagan 1. Proses terjadinya kecacatan 33

BAB I PENDAHULUAN

Kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh M. leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan beberapa negara di dunia. Penyakit kusta masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga maupun petugas kesehatan sendiri. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya pemahaman dan kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta dan kecacatan yang ditimbulkannya.1

Pada tahun 2009, tercatat 17.260 kasus baru kusta di Indonesia (rate: 7,49/100.000) dan jumlah kasus terdaftar sebanyak 21.026 orang dengan angka prevalensi: 0,91 per 10.000 penduduk. Sedangkan tahun 2010, jumlah kasus baru tercatat 10.706 (Angka Penemuan kasus baru/CDR: 4.6/100.000) dan jumlah kasus terdaftar sebanyak 20.329 orang dengan prevalensi: 0.86 per 10.000 penduduk.2 Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta yang merupakan episode akut hipersensitifitas terhadap M. Leprae yang menyebabkan gangguan dalam keseimbangan sistem imunologi.1 Istilah reaksi digunakan untuk mendeskripsi adanya simptom dan tanda lesi inflamasi akut pada pasien lepra. Reaksi merupakan penyebab pasien datang untuk berobat untuk pertama kali.3

Reaksi kusta dibagi menjadi dua yaitu reaksi kusta tipe I atau reaksi reversal dan reaksi kusta tipe II atau erythema nodosum leprosum (ENL). Reaksi tipe I (type I reaction/T1R) sering berlaku pada pasien tipe borderline dan dianggap sebagai respons hipersensitivitas tipe IV manakala reaksi tipe II merupakan respons hipersensitivitas tipe III.
3

Reaksi kusta tipe I

disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler secara cepat, ditandai adanya lesi kulit yang memerah, bengkak, nyeri, panas, neuritis, gangguan fungsi saraf dan kadang disertai demam. Sedangkan reaksi kusta tipe II merupakan reaksi humoral yang ditandai dengan timbulnya nodul kemerahan, neuritis, gangguan saraf tepi, gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ tubuh lainnya.1
4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. DIAGNOSIS A. ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK Deteksi sini T1R sangan penting untuk mencegah disabilitas permanen. Anamnesa dan pemeriksaan yang teliti sangan penting untuk menegakkan diagnosa dengan cepat. Pada pasien dengan T1R, harus dicari atau ditanyakan tanda-tanda klinis seperti Tanda inflamasi pada lesi kulit yang ada (bengkak, kemerahan atau nyeri) Nyeri dan bengkak pada saraf perifer Tanda-tanda kerusakan saraf (gangguan sensasi atau kelemahan otot) Gejala pada mata (lemas untuk menutup mata , mata merah akibat keratitis terbuka) Tangan dan kaki bengkak Lesi kulit yang baru. Timbulnya lesi kulit yang baru pada pasien yang dalam pengobatan MDT atau baru selesai pengobatan MDT harus dianggap sebagai tanda reaksi daripada relaps.4 Pertanyaan yang bisa ditanyakan untuk menegakkan diagnosa T1R adalah seperti : Adakah rasa nyeri, bengkak atau ulserasi pada lesi kulit Adakah sebarang kesulitan dalam menutup mata Adakah merasa lemah pada kedua tungkai Adakah ada merasa lemas apabila coba untuk melakukan aktivitas harian mengunakan kaki dan tangan Adakah ada area yang terasa baal atau mati rasa.4

Diagnosis reaksi tipe I Diagnosis biasanya dibuat secara klinis namun kadang-kadang biopsi kulit membantu untuk medukung diagnosis. Menariknya, ahli patologi yang berpengalaman juga bisa under diganose reaksi pada segmen kulit dari pasien dengan klinis reaksi tipe I. Gambaran diagnostik yang penting adalah adanya edema epitheliod cell granuloma,
5

edema dermal, adanya sel plasma dan fraksi granuloma. Namun, kriteria yang standard untuk diagnosis histopatologi untuk reaksi tipe I diperlukan.5

Neuritis timbul sekiranya seseorang mempunyai gejala seperti nyeri saraf spontan, paraestesia, nyeri atau gangguan sensorik atau motorik. Nyeri saraf, paraestesia dan nyeri bisa muncul sebelum adanya gangguan fungsi saraf (nerve function

impairment/NFI), yang mana sekiranya tidak diterapi dengan cepat dan adekuat akan menjadi kelainan permanen. NFI bisa timbul tapa gejala yang lain dan sembuh sendiri tanpa diketahui oleh pasien silent neuropathy.

Deteksi NFI dilakukan secara klinis.

Untuk mendeteksi gangguan sensorik

digunakan tes monofilamen Semmes-Weinsten (atau pena ballpoint). Tes otot volunter (Voluntary muscle testing) digunakan untuk mengetahui fungsi saraf motorik.5

a. Tes gangguan sensorik 1. Letakkan tangan di atas meja dengan telapak tangan menghadap ke atas. 2. Menjelaskan kepada pasien tentang pemeriksaan yang akan dilakukan. 3. Menyuruh pasien menutup mata. 4. Dengan menggunakan ballpoint pen atau tusuk gigi, sentuh di 4 tempat yang ditunjukkan pada telapak tangan. Tekan dengan lembut, hanya cukup untuk melakukan tekanan pada kulit. Jangan tekan terlalu kuat. 5. Menyuruh pasien menunjukkan temapt yang ditekan menggunakan jari telunjuk (index finger) tangan sebelahnya. 6. Kedua-dua belah tangan diuji. 7. Ulang proses yang sama pada telapak kaki. 8. Hasil dari pemeriksaan dicatat.

Sekiranya pasien tidak dapat merasa ballpoint pen atau tusuk gigi, kita bisa mengatakan bahwa pasien mengalami gangguan sensorik.4

b. Tes otot volunter (Voluntary muscle testing) Tes ini dilakukan pada bagian saraf facial, saraf ulnar, saraf radial, saraf median dan saraf popliteal lateralis. kekuatan otot. Saraf facialis : menutup mata secara normal dan pasif (m. orbikularis okuli) Saraf median : abduksi ibu jari (m. Abduktor pollicis brevis), abduksi jari tengah Saraf ulnar : abduksi jari ke V (m. Abduktor digiti minimi) Saraf radial : ekstensi pergelangan tangan (otot ekstensor) Saraf popliteal lateral : dorsofleksi kaki (m.tibialis anterior, peroneus longus dan brevis).4 Tes ini menggunakan modified MRC grading untuk

Tabel 1. Modified MRC grading untuk kekuatan otot

Penelitian yang dilakukan oleh van Brakel et al., menggunakan studi konduksi saraf dan tes sensorik kuantitatif, menunjukkan bahwa individu yang mengalami neuritis, NFI atau episode reaksi baik sendiri maupun kombinasi menunjukkan adanya bukti mengalami neuropati subklinis sampai 12 minggu sebelum perubahan dapat dideteksi secara klinis. Individu yang memiliki disabilitas tingkat 1 dan 2 saat didiagnosis

berdasarkan kriteria WHO, secara signifikan lebih besar kemungkinannya mengalami T1R parah. T1R sering rekuren dan ini bisa mengarah kepada kerusakan saraf yang lebih lanjut.5

B. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan bakterioskopik Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan membuat pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan perwarnaan terhadap basil tahan asam, antar lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Bakterioskopik negatif pada seseorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengadung bakteri M. Leprae. Pertamatama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil, setelah yerlebih dulu menetukan jumlah tempat yang akan diambil. Jumlah lesi untuk

pemeriksaan rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telingan tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharap mengandung basil paling banyak.6 M.leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Penting untuk membedakan antara bentuk solid dan non sloid karena bentuk solid lebih berbahaya karena dapat berkembang biak dan dapat menularkan ke orang lain. Namun, dalam praktek, sukar untuk membedakan solid dan non sloid karena dipengaruhi oleh banyak macam faktor. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non sloid pada sebuah sediaan dinyakatan dalam bentuk indeks bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut RIDLEY.6

Tabel 2. Indeks bakteri menurut RIDLEY 0 1+ 2+ 3+ 4+ 5+ 6+ Tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang 1-10 BTA dalam 100 lapang pandang 1-10 BTA dalam 10 lapang pandang 1-10 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang 11-100 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang 101-1000 rata-rata dalam 1 lapang pandang

>1000 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang

Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskopik cahaya dengan minyak emersi pada pembesaran lensa objektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat pada sediaan. Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibanding dengan jumlah solid dan non solid.6

2. Pemeriksaan histopatologi Adanya kuman M.lepre masuk, akibatnya akan bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) orang itu. Apabila imunitas selulernya tinggi, makrofag akan mampu

memfagosit M.leprae. datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunoligik dengan adanya faktir kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloidyang berlebihan dikelilingi oleh lomfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada panderita dengan imunitas seluler rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapar menghancurkan M.leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembangbiak dan disebut sel Virchow/sel

lepra/sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Karakteristik tipe kusta berdasarkan klasifikasi RIDLEY-JOPLING dapat dilihat seperti tabel dibawah. Tabel 3. Karakteristik berbagai tipe kusta menurut klasifikasi RIDLEY-JOPLING Tipe BB BB + 0 - 1+ + ++ +++ + 1+ - 3+ + + ++ +/++ 3 4+ + + + + + 4 5+ + + + ++ 5 6+ + ++ +/ -

TT Reaksi lepromin Stabilitas imunologik Reaksi borderline E.N.L Basil dalam hidung Basil dalam granuloma Sel epiteloid Sel datia Langhans Globi Sel Virchow Limfosit Infiltasi zona sub epidermal Kerusakan saraf TT 3+ ++ 0 + +++ +++ + Ti 2+ +

BT BT 1+

BL BL -

LL Li + LL ++ + ++ 5 6+ + +++ -

++

+++

++

3. Pemeriksaan serologi

Pemeriksaan serologi lepra didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi M. Leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35kD. antibodi anti-lipoarabinomanan M.tuberkulosis.6 Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain (LAM), yang juga dihasilakn oleh kuman

10

Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosa lepra yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping itu dapat

membantu menentukan lepra subklinis, karena tidak didapatkan lesi kulit, misalnya pada nonkontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik lepra ialah: a. uji MLPA (Mycobacterium leprae Particle Aglutination) b. uji ELISA (Enzyme Linked ImmunoSorbent Assay) c. ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick).6 2. EPIDEMIOLOGI

Adanya variasi epidemiologi bergantung teknik metodologi yang berbeda dan perubahan definisi kategori paucibacillar dan multibacillar. 30.1% penderita borderline leprosy di Nepal mengalami TIR. Setengah daripadanya menunjukkan adanya nerve function impairment(NFI) atau kerusakan saraf. Hasil ini didapatkan dari studi retrospektif oleh leprosy referral centre dan studi yang sama dilakukan di India yang melaporkan angka TIR sebanyak 8.9% pada studi kohort Hyderabad yang mewakili 1 tahun (1987) dan diikuti selma kurang lebih 6 tahun, 10.7% di Orissa( 1992 dan 2002) dan 24.1% di Chadigarh lebih dari 15 tahun. Angka kumulatif di Hyderabad adalah 24% paucibacillar( tuberkuloid dan borderline tuberkuloid) penderita dari ahun 1982 1987.7 35.7% penderita MB pada studi kohort di Melawi mengalami TIR dan gangguan fungsi saraf. 19.9% penderita dalam studi prospektif di Thailand mengalami TIR, dimana setiap penderita difollow up minimum 3 tahun setelah didagnosa kusta. Studi prospektif di Rumah Sakit Vietnam menunjukkan prevalensi TIR adalah 29.1% dari 237 penderita. Studi prospektif di Bangladesh menemukan insidens rate TIR sebanyak 17% pada tipe MB setelah di follow up selama 5 tahun, dan menyarankan bahwa kerusakan saraf dan TIR berlaku 1.7 kali ganda pada laki-laki berbanding perempuan. Penemuan ini memerlukan penelitian lebih lanjut. 7

3.

ETIOLOGI Mycobacterium leprae merupakan penyebab dari kusta, tidak dapat dikultur, gram positif,

obligat, intraselluler dan basil tahan asam. Genomenya lebih pendek dari Mycobacterium tuberculosa. M.leprae mengkode sebanyak 1600 gene, dan berkongsi 1439 gene yang sama. M
11

leprae sama seperti Triponema pallidum yang mana tidak bersifat toksik, gejala klinis yang timbul seperti penyakit kusta ini biasanya adalah respons host terhadap bakteri M.leprae atau antara lain, akumulasi dengan jumlah bakteri yang tinggi yang kelihatan seperti infiltrasi.8

4.

PATOGENESIS

Reaksi kusta: Definisi reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (seluler respons) atau reaksi antigen antibodi( humoral respons) dengan akibat merugikan penderita terutama pada saraf tepi yang bisa menyebabkan gangguan fungsi (cacat ) yang ditandai dengan peradangan akut baik dikulit atau di saraf tepi. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan,selama pengobatan dan sesudah pengobatan. Hal yang mempermudah( pencetus) terjadinya reaksi kusta misalnya:9 Penderita dalam kondisi lemah Kehamilan dan setelah melahirkan(masa nifas) Sesudah mendapat imunisasi Infeksi(seperti malaria, infeksi pada gigi, bisul, dll) Stress fisik dan mental Kurang gizi Reaksi Kusta

Reaksi Tipe I = Reaksi Reversal = Reaksi Upgrading = Reaksi Borderline

Reaksi Tipe II = Eritema Nodusum Leprosum( E.N.L)

Reaksi Tipe I( T.I.R) = Reaksi Reversal = Reaksi Upgrading = Reaksi Borderline

12

Klasifikasi Ridley-Jopling membagi penderita kusta menjadi spectrum tipe tuberkuloid polar dan lepromatosa polar dan tipe pertengahan yaitu Borderline tuberkuloid(BT), Mid Borderline(BT) dan Borderline lepromatosa(Bl). Penderita dengan tipe penyakit yang berlainan akan menunjukkan respons immunologi yang berbeda terhadap Micobakterium leprae. Karakterisitik TIR adalah dengan adanya inflamasi pada lesi kulit atau nerves atau keduanya. TIR secara dominananya terjadi pada tipe Borderline. Penyakit tipe borderline

merupakan faktor resiko terbesar untuk terjadinya TIR, tetapi sebagian kecil penderita dengan tipe polar juga ada yang mengalami TIR. Lesi kulit menjadi eritema dan atau udem dan mungkin ulserasi. Udem di tangan, kaki dan muka juga merupakan tanda reaksi namun untuk gejala sistemik jarang berlaku.7 Yang memegang peranan peranan utama dalam hal ini adalah sistim imunitas selluler(SIS) , yaitu terjadi peningkatan peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan adanya hubungan dengan reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil Micobacterium leprae berada,yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera memadai.6 TIR merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Gejala dermatopathological untuk serangan TIR akut adalah udem, meningkatnya jumlah limfosit dalam lapisan dermis dan hilangnya organisasi granuloma yang normal. Lama kelamaan, sel giant langerhans bertambah jumlahnya. Studi yang terbaru menyatakan bahwa empat spesimen histopatologi menunjukkan adanya udem dan giant sel sangat sensitif dalam indikator TIR.10 Antigen Micobakterium leprae telah ditemukan pada nerves dan kulit penderita TIR, berlokasi di sel Schwann dan makrofag. Sel Schwann mengekspresikan toll-like receptor(TLR). Infeksi Micobacterium leprae dapat menimbulkan ekspresi MHC II pada permukaan sel dan dapat meningkatkan jumlah presentasi antigen yang dapat memicu limfosit CD4 membunuh sel yang dimediasi oleh sitokin seperti TNF.7 Jumlah protein TNF yang tinggi dideteksi menggunakan teknik immunohistochemical pada kulit dan nerves semasa TIR. TIR muncul dengan adanya mediasi melalui sel tipe Th 1 dan
13

lesi yang mengandung reaksi yang mengekspresikan pro-inflamasi seperti IFN-, IL-12 dan oksigen sebagai radikal bebas yang memicu sintesis nitric oxide. Sitokin yang dihasilkan semasa inflamasi TIR akan memberi kesan lokal yaitu dengan adanya konversi dari kortikosteroid endogen( shuttle kortisol-kortisone) pada lesi kulit penderita TIR. Gen akan mengekspresikan enzim tipe 2 11b-hydroxysteroid dehydrogenase yang mana mengkonversi kortisol yang aktif manjadi cortisone yang tidak aktif berkurang pada lesi kulit penderita TIR berbanding dengan kontrol. Ini mendukung hipotesis bahwa tingkat steroid aktif endogen lokal meningkat selama T1R dalam menanggapi peradangan ditandai yang telah memicunya tetapi tidak mencukupi untuk menekannya.7

5.

GEJALA KLINIS i. Gejala klinis penyakit kusta adalah:6 Anestesi (mati rasa) o Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas pula dengan kedua cara tersebut barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi. Alopesia (tidak ada rambut) o Diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar menentukannnya. o Kerusakan mata primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lauinnya. Anhidrasi (tidak ada keringat) o Diperhatikan ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi kearah kulit normal. Akromia (hipopigmentasi atau eritema) o Efloresensi : makula hipopigmentasi, hiperpigmentasi, eritematosa Atrofi

14

Deformitas (cacat) o Deformitas primer : Akibat langsung dari granuloma yang terbentuk sebagai

reaksi terhadap kerusakan saraf, umumnya deformitas M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari dan wajah. o Deformitas sekunder : Terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf perifer o Perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak. o Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu:o N. ulnaris Anesthesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis Clawing kelingking dan jari manis Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial

o N. medianus Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah Tidak mampu aduksi ibu jari Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah Ibu jari kontraktur Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

o N. radialis Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk Tangan gantung (wrist drop) Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.

o N. poplitea lateralis Anestesis tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis Kaki gantung (foot drop) Kelemahan otot peroneus

o N. tibialis posterior Anestesia telapak kaki Claw toes


15

Paralisis otot intrinsic kaki dan kolaps arkus pedis

o N. fasialis Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagofthalmus Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatup bibir o N. trigeminus Anestasia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata

ii. Gejala klinis reaksi reversal Umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas.6 Timbul lesi baru makulopapular satelit yang kecil dan multiple.12 Lesi menjadi inflamasi akut disertai edema dan nyeri, bisa menjadi ulseratif. Kebayakan edema di bagian muka, tangan dan kaki. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.6 Pada saraf terjadi neuritis akut, berupa nyeri pada saraf (nyeri tekan atau spontan) dan atau gangguan fungsi saraf.11 Adanya neuritis akut yang dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak penting diperhatikan, karena sangat menentukan pemberian pengobatan kortikosteriod, sebab tanpa gejala neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah fakultatif.6 Kadang-kadang dapat terjadi gangguan keadaan umum11, seperti demam12 Lesi reaksi reversal tanpa nodus berarti reaksi non-nodular.

16

Tabel 4. Gejala tanda reaksi tipe 111 Gejala Tanda Tipe kusta Waktu timbul Keadaan umum Reaksi tipe 1 Dapat terjadi pada kusta tipe PB maupun MB Biasanya segera seteah pengobatan Umumnya baik, demam ringan (subfebris) atau tanpa demam Peradangan di kulit Bercak kulit lama menjadi lebih meradang (merah), bengkak, berkilat, hangat. Kadangkadang hanya pada sebagian lesi. Dapat timbul bercak baru. Saraf Sering terjadi, umumnya berupa nyeri saraf dan atau gangguan fungsi saraf Silent Neuritis (+) Udem pada ekstremitas Peradangan pada mata (+) Anestesi kornea dan lagoftalmus karena keterlibatan N. V dan N. VII Peradangan pada organ lain Hampir tidak ada

Tabel 5. Berat ringannya Reaksi tipe 1 pada organ terkena11 Organ yang terkena Ringan Kulit Bercak putih menjadi merah, yang merah jadi lebih merah. Bercak meninggi Reaksi Tipe 1 Berat Bercak putih menjadi merah, yang merah jadi lebih merah. Timbul bercak baru, kadangkadang disertai panas dan malaise Ulserasi (-) Edema tangan dan kaki (-) Saraf tepi Membesar, tidak nyeri. Ulserasi (+) Edema tangan dan kaki (+) Membesar, nyeri.
17

Fungsi saraf tidak terganggu Gejala konstitusi Gangguan pada organ lain Demam (-) Tidak ada

Fungsi saraf terganggu. Demam () Tidak ada

Hubungan tipe reaksi dengan klasifikasi Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksudkan dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negative pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I,TT, dan BT menurut kalsifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB. Hal ini tercantum pada tabel 5.6 Tabel 6. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995) Sifat Lesi Kulit Makula datar, papul yang meninggi, nodus Kusta Pausibasiler (PB) 1-5 lesi Hipopigmentasi/eritema Distribusi tidak simetris Hilangnya sensasi yang jelas Kerusakan saraf Menyebabkan hilangnya sessasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf Kusta Multibasilar (MB) >5 lesi Distribusi lebih simetris Hilangnya sensasi kurang jelas

Reaksi reversal (reaksi tipe 1) lebih banyak terjadi pada pasien yang berada di spektrum borderline (Borderline lepramatous, Mid Borderline, Borderline tuberculoid) karena tipe borderline ini merupakan tipe tidak stabil. 11Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta spectrum borderline adalah seperti tabel 7:

18

Tabel 7. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta spectrum borderline6 Tipe Sifat Borderline Lepromatosa (BL) Lesi Bentuk Makula Plakat Papul Jumlah Distribusi Permukaan Batas Anestesia BTA Lesi kulit Sekret hidung Tes lepromin Banyak Biasanya negative Negatif Agak banyak Negatif Biasanya negatif Positif lemah Negatif atau hanya 1+ Sukar dihitung Masih ada kulit sehat Hampir simetris Halus berkilat Agak jelas Tidak jelas Plakat Makula dibatasi MB Mid Borderline (BB) PB Bordeline Tuberculoid (BT)

Dome-shaped (kubah) infiltrat Punched-out Dapat dihitung Kulit sehat jelas ada Asimetris Agak kasar,agak berkilat Agak jelas Lebih jelas Beberapa atau satu dengan satelit Masih simetris Kering bersisik Jelas Jelas Infiltrat saja

6.

DIAGNOSA KERJA Kusta dengan reaksi reversal atau reaksi upgrading (Lepra reaksi tipe 1) adalah reaksi

reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline12 (Lepramatosa indefinite, Borderline lepramatous, Mid Borderline, Borderline tuberculoid, Tuberkuloid indefinite) karena tipe borderline ini merupakan tipe tidak stabil,11 sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang memegang peran utama dalam hal ini adalah sistem imunitas selular (SIS), yaitu terjadi peningkatan mendadak SIS. Pada reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat. Reaksi reversal

19

diperkirakan ada hubungannnya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama.6 Dalam arti kata lain, reaksi reversal terjadi akibat respon terhadap pengobatan.12 Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda cardinal (cardinal sign), yaitu:11 1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa. Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritema) yang mati rasa (anestesi). 2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi (neuritis perifer) kronis. Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa: a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan (paresis) atau kelumpuhan (paralisis) otot c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak. 3. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear). Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda utama di atas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat di diagnosis dengan pemeriksaan klinis. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua, perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta. Jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai (suspek). Tanda-tanda tersangka kusta:11 1. Tanda-tanda pada kulit a. Bercak kulit yang merah atau putih (gambran yang paling sering ditemukan) dan/atau plakat pada kulit, terutama di wajah dan telinga b. Bercak kurang/mati rasa c. Bercak yang tidak gatal d. Kulit mengkilap atau kering bersisik e. Adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat dan/atau tidak berambut.
20

f. Lepuh tidak nyeri

2. Tanda-tanda pada saraf a. Nyeri tekan dan/atau spontan pada saraf b. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak c. Kelemahan anggota gerak dan/atau wajah d. Adanya cacat (deformitas) e. Luka (ulkus) yang sulit sembuh

3. Lahir dan tinggal di daerah endemik kusta dan mempunyai kelainan kulit yang tidak sembuh dengan pengobatan rutin, terutama bila terdapat keterlibatan saraf tepi Tanda-tanda tersebut merupakan tanda-tanda tersangka kusta dan belum dapat digunakan sebagai dasar diagnosis penyakit kusta. Jika diagnosis kusta masih belum dapat ditegakkan, tindakan yang dapat dilakukan adalah:11 Pikirkan kemungkinan penyakit kulit lain (seperti panu, kurap, kudis, psoriasis, vitiligo) Pengambilan kerokan jaringan kulit Bila tidak ada petugas terlatih dan tidak tersedia sarana pemeriksaan kerokan jaringan kulit, tunggu 3-6 bulan dan periksa kembali adanya tanda utama. Jika ditemukan tanda utama, diagnosis kusta dapat ditegakkan. Bila masih meragukan suspek harus dirujuk. Perlu diingat bahwa tanda-tanda utama tersebut dapat tetap ditemukan pada pasien yang sudah sembuh atau release from treatment (RFT). Anamnesis yang teliti perlu dilakukan untuk menghindari pengobatan ulang yang tidak perlu. Kusta reaksi reversal ditegakkan apabila ditemukan gejala klinis yaitu:6 Umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas.

21

Timbul lesi baru makulopapular satelit yang kecil dan multiple.12 Lesi menjadi inflamasi akut disertai edema dan nyeri, bisa menjadi ulseratif. Kebayakan edema di bagian muka, tangan dan kaki. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.6 Ada atau tidaknya gejala neuritis akut. Kadang-kadang bisa disertai demam.12 Lesi reaksi reversal tanpa nodus berarti reaksi non-nodular.6

7.

DIAGNOSA BANDING

i. Relaps11 a. Untuk kusta PB, reaksi reversal seringkali dikelirukan sebagai relaps. Kebanyakan pasien yang dicatat sebagai relaps sebenarnya adalah reaksi reversal terlambat.Ini disebabkan karena tidak adanya standard baku (gold standard) sebagai pembanding oleh karena hasil pemeriksaan BTA-nya sejak awal negatif. b. Pada pasien MB, reaksi reversal kadang masih juga dikelirukan dengan relaps, tetapi kemungkinan untuk mengkonfirmasi relaps secara bakteriologi lebih memungkinkan, melalui kerokan jaringna kulit yang menunjukkan peningkatan indeks bakteri dan atau indeks morfologi yang positif. Tetapi tidak semua pasien mempunyai data awal pemeriksaan kerokan jaringan kulit tersebut untuk dapat dibandingkan. Tabel 8. Diagnosis banding reaksi tipe 1 dengan relaps11 Gejala Interval/onset Reaksi tipe 1 Umunya dalam 4 minggu-6 bulan pengobatan atau dalam 6 bulan setelah RFT Pada reaksi berulang sampai 2 tahun setelah RFT Timbulnya gejala Tipe kusta Mendadak, cepat BT, BB, BL Relaps 1 tahun atau lebih setelah RFT PB : 3 tahun pada nonlepromatosa Borderline : 5 tahun MB : 9 tahun Lambat, bertahap Semua tipe

22

Lesi lama

Beberapa atau seluruh lesi menjadi berkilap, eritematosa dan bengkak ; nyeri tekan (+); konsistensi lunak. Terjadi perubahan tipe ke arah yang lebih baik, edema tangan dan kaki (+)

Eritem dan plak di tepi lesi Lesi bertambah dan meluas.

Lesi baru Ulserasi Keterlibatan saraf

Jumlah beberapa, morfologi sama (+) pada reaksi berat Neuritis akut yang nyeri; ada nyeri spontan; abses saraf; tiba-tiba ada paralisis otot disertai meluasnya gangguan sensoris

Jumlahnya banyak (-) Terjadi keterlibatan saraf baru; tanpa nyeri spontan; nyeri tekan positif; gangguan motoris dan sensoris terjadi lambat/perlahan Mungkin (-) BI mungkin positif pada pasien dengan BI yang sebelumnya negative

Gangguan sistemik BTA

Mungkin (+) Terjadi penurunan BI Peningkatan bentuk granuler

Tes lepromin

Reaksi Fernandez positif pada tipe BL dan BB yang secara berurutan menjadi BB dan BT

Hasil tes tergantung tipe saat relaps

Respons terhadap pemberian steroid

Bagus. Lesi membaik dalam 2-4 minggu; tetap membaik dengan pengobatan 2 bulan

Respons tidak ada atau sedikit

ii. Berbagai kelainan kulit11 a. Lesi kulit berbentuk plakat merah pada urtikaria akut, erisepelas, selulitis, erupsi obat dan gigitan serangga. b. Lesi kulit bercak merah adalah seperti tabel 9.

23

Tabel 9. Diagnosis banding bercak merah Diagnosis banding Bercak Merah Psoriasis Tinea Circinata Dermatitis seboroik

Bercak merah berbatas Efloresensi tegas, dengan sisik berlapis-lapis

Bercak meninggi, sering meradang, mengandung vesikel/krusta

Lesi di daerah sebore (berminyak) dengan sisik kuning berminyak gatal, kronis, residif, tidak ada rasa baal

Gambar

8.

PENATALAKSANAAN

A. MEDIKA MENTOSA

Kemoterapi kusta dimuali tahun 1949 dengan DDS sebagai obat tunggal. DDS harus diminum selama 3-5 tahun untuk PB, sedangkan untuk MB 5-10 tahun, bahkan seumur hidup. Kekurangan monoterapi DDS adalah terjadinya resistensi, timbulnya kuman persisters serta terjadinya pasien defaulter. Pada tahun 1964 ditemukan resistensi

24

terhadap DDS. Oleh sebab itu, pada tahun 1982 WHO merekomendasiikan pengobatan kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe PB maupun MB.11 Tujuan pengobatan MDT adalah: 1. Memutuskan mata rantai penularan 2. Mencegah resistensi obat 3. Memperpendek masa pengobatan 4. Meningkatkan keteraturan berobat 5. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan Dengan matinya kuman maka sumber penularan dari pasien, terutama tipe MB ke orang lain terputus. Cacat yang sudah terjadi sebelum pengobatan tidak dapat diperbaiki dengan MDT. Bila pasien kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi resisten/kebal terhadap MDT, sehingga gejala penyakit menetap bahkan memburuk. Gejala baru dapat timbul pada kulit dan saraf. Regimen Pengobatan MDT Multi drug therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat antikusta, salah satunya rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti kusta lain bersifat bakteriostatik.11 Berikut ini merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT: 1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT. 2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di bawah ini: a. Relaps b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB) c. Pindahan (pindah masuk) d. Ganti klasifikasi/tipe.

25

Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut:11 1. Pasien pausibasiler (PB) Dewasa Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas) 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600mg) 1 tablet dapson/DDS 100mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28 1 tablet dapson/DDS 100mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan. 2. Pasien multibasiler (MB) Dewasa Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas) 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600mg) 3 tablet lampren @ 100mg (300mg) 1 tablet dapson/DDS 100mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28 1 tablet lampren 50mg 1 tablet dapson/DDS 100mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18 bulan. 3. Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-15 tahun) Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas) 2 kapsul rifampisin @ 150mg dan 300mg 1 tablet dapson/DDS 50mg

26

Pengobatan harian : hari ke 2-28 1 tablet dapson/DDS 50mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan.

4. Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun) Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas) 2 kapsul rifampisin @ 150mg dan 300mg 3 tablet lampren @ 50mg (150mg) 1 tablet dapson/DDS 50mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28 1 tablet lampren 50mg selang sehari 1 tablet dapson/DDS 50mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18 bulan. Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister. Dosis anak disesuaikan dengan berat badan: Rifampisin : 10-15 mg/kgBB Dapson : 1-2 mg/kgBB

Lampren : 1mg/kgBB

27

Gambar 1 . Regimen pengobatan MDT

Pedoman praktis untuk dosis MDT bagi pasien kusta digunakan seperti tabel 10 dan 11. Tabel 10. Pedoman dosis MDT Tipe PB11 Jenis Obat Rifampisin <5 tahun 5-9 tahun 10-15 ahun >15 tahun Keterangan

Berdasarkan 300mg/bulan 450mg/bulan berat badan

600mg/bulan Minum di depan petugas

DDS

25mg/bulan

50mg/bulan

100mg/bulan Minum di depan petugas

25mg/hari

50mg/hari

100mg/hari

Minum di rumah

28

Tabel 11. Pedoman dosis MDT Tipe MB11 Jenis Obat Rifampisin <5 tahun Berdasarkan berat badan 5-9 tahun 10-15 tahun >15 tahun Keterangan

300mg/bulan 450mg/bulan 600mg/bulan Minum di depan petugas

Dapson

25mg/bulan

50mg/bulan

100mg/bulan Minum di depan petugas

25mg/bulan

50mg/bulan

100mg/bulan Minum di rumah

Lampren

100mg/bulan 150mg/bulan 300mg/bulan Minum di depan petugas 50mg 2x seminggu 50mg setiap 2 hari 50 mg per hari Minum di rumah

Sediaan dan Sifat Obat MDT tersedia dalam bentuk blister. Ada 4 macam blister untuk PB dan MB dewasa serta PB dan MB anak. 11 Obat MDT terdiri atas : 1) DDS (dapson) a) Singkatan dari Diamino Diphenyl Sulphone. b) Sediaan berbentuk tablet warna putih 50mg dan 100mg. c) Bersifat bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta. d) Dosis dewasa 100mg/hari, anak 50mg/hari (umur 10-15 tahun).

2) Lampren (B663) juga disebut klofazimin a) Sediaan berbentuk kapsul lunak 50mg dan 100mg, warna coklat. b) Bersifat bakteriostatik, bakterisidal lemah, dan antiinflamasi.
29

c) Cara pemberian secara oral, diminum sesudah makan untuk menghindari gangguan gastrointestinal.

3) Rifampisin a) Sediaan berbentuk kapsul 150mg, 300mg, 450mg dan 600mg. b) Bersifat bakterisidal; 99% kuman kusta mati dalam satu kali pemberian. c) Cara pemberian secara oral, diminum setengah jam sebelum makan agar penyerapan lebih baik. Obat penunjang (vitamin/roboransia) Obat neurotropik seperti vitamin B1, B6 dan B12 dapat diberikan.

Pasien dengan keadaan khusus 1) Hamil dan menyusui : regimen MDT aman untuk ibu hamil dan anaknya. 2) Tuberkulosis : bila seseorang menderita tuberkulosis (TB) dan kusta, maka pengobatan antituberkulosis dan MDT dapat diberikan bersamaan, dengan dosis rifampisin sesuai dosis untuk tuberkulosis. a) Untuk pasien TB yang menderita kusta tipe PB i) Untuk pengobatan kusta cukup ditambahkan dapson 100mg, karena rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap sesuai dengan jangka waktu pengobatan PB.

b) Untuk pasien TB yang menderita kusta tipe MB i) Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan lampren karena rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap disesuaikan dengan jangka waktu pengobatan MB. Jika pengobatan TB sudah selesai maka pengobatan kusta kembali sesuai blister MDT.

3) Untuk pasien PB yang alergi terhadap dapson, dapson dapat diganti dengan lampren.

30

4) Untuk pasien MB yang alergi terhadap dapson, pengobatan hanya dengan 2 macam obat saja, yaitu rifampisin dan lampren sesuai dosis dan jangka waktu pengobatan MB. Efek Samping dan Penanganannya Tabel 12. Efek samping obat-obat MDT dan penanganannya11 Masalah Ringan Air seni berwarna merah Rifampisin Reassurance (menenangkan penderita dengan penjelasan yang benar) Konseling Perubahan warna kulit menjadi coklat Masalah gastrointestinal Semua obat (3 obat dalam MDT) Anemia Dapson Obat diminum bersama makanan (atau setelah makan) Berikan tablet Fe dan Asam folat Serius Ruam kulit yang gatal Alergi urtikaria Ikterus (kuning) Shock, purpura, gagal ginjal Dapson Dapson atau Rifampisin Rifampisin Rifampisin Hentikan dapson, Rujuk Hentikan keduanya, Rujuk Hentikan Rifampisin, Rujuk Hentikan Rifampisin, Rujuk Klofazimin Konseling Nama Obat Penanganan

Pengobatan Kusta Reaksi Reversal (Tipe 1) Tujuan7 1) Mengendalikan peradangan akut 2) Mengurangi rasa sakit 3) Membalikkan kerusakan saraf

31

Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dulu lakukan identifikasi tipe reaksi yang dialami serta derajat reaksinya. Hal ini dapat dinilai dari hasil kesimpulan pemeriksaan pada formulir pencatatan pencegahan cacat (POD), seperti :11 1) Adanya lagoftalmus baru terjadi dalam 6 bulan terakhir. 2) Adanya nyeri raba saraf tepi. 3) Adanya kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan terakhir. 4) Adanya rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir. 5) Adanya bercak pecah atau nodul pecah. 6) Adanya bercak aktif (meradang) di atas lokasi saraf tepi.

B. NON MEDIKA MENTOSA Menghindari/menghilangkan faktor pencetus11 Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan.

9.

KOMPLIKASI Jika mendengar kata kusta maka yang dibayangkan adalah penyakit kulit yang akhirnya

akan menimbulkan mutilasi yang menakutkan. Bahwa penyakit ini dapat menyebabkan kecacatan memang sudah diketahui, namun proses terjadinya tidak sepenuhnya diketahui. Ada 2 jenis cacat kusta, yaitu cacat primer dan cacat sekunder. Cacat primer adalah yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae, seperti anestesi, claw hand dan kulit kering. Cacat sekunder adalah terjadi akibat cacat primer, terutamanya akibat adanya kerusakan saraf, seperti ulkus dan kontraktur.11 1. Proses terjadinya cacat kusta

Terjadinya cacat tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak. Diduga kecacatan akibat penyakit kusta dapat terjadi lewat 2 proses : a. Infiltrasi langsung M. leprae ke susunan saraf tepi dan oran (misalnya mata) b. Melalui reaksi kusta
32

Secara umum fungsi saraf ada 3 macam, yaitu fungsi motorik memberikan kekuatan pada otot, fungsi sensorik memberi sensasi raba, nyeri dan suhu serta fungsi otonom mengurus kelenjar keringat dan kelenjar minyak. Kecacatan yang terjadi tergantung pada komponen saraf yang terkena, dapat sensoris, motoris, otonom, maupun kombinasi antara ketiganya. Berikut adalah skema yang menggambarkan proses terjadinya kecacatan akibat kerusakan dari fungsi saraf. Bagan 1. Proses terjadinya kecacatan11

33

Sesuai patogenesisnya, susunan saraf yang terkena akibat penyakit ini adalah susunan saraf perifer, terutama beberapa saraf seperti saraf fasialis, radialis, ulnaris, medianus, poplitea lateralis (peroneus communis) dan tibialis posterior. Kerusakan fungsi sensoris, motoris, maupun otonom dari saraf-saraf tersebut secara spesifik memperlihatkan gambaran kecacatan yang khas. Berikut adalah tabel yang memperlihatkan kecacatan karena terganggunya saraf-saraf tersebut. Tabel 13. Kelainan yang timbul akibat gangguan fungsi saraf11 Saraf Motorik Facialis Kelopak mata tidak menutup Ulnaris Jari manis dan Mati lemah/ tangan rasa telapak Kekeringan dan kulit jari retak kerusakan akibat kelenjar Fungsi Sensorik Otonom

kelingking lumpuh/ kiting Medianus

bagian

manis dan kelingking rasa

Ibu jari, telunjuk dan Mati jari tengah lemah, tangan

telapak keringat, minyak dan ibu aliran darah

bagian

lumpuh/ kiting

jari, jari telunjuk dan jari tengah

Radialis Peroneus Tibialis posterior

Tangan lunglai Kaki semper Jari kaki kiting Mati kaki rasa telapak

2. Klasifikasi cacat

Kecacatan merupakan istilah yang luas yang maknanya mencakup setiap kerusakan, pembatasan aktivitas yang mengenai seseorang. Tiap pasien baru yang ditemukan harus dicatat tingkat cacatnya. Tiap organ (mata, tangan dan kaki) diberi tingkat cacat sendiri. 11
34

Tabel 14. Klasifikasi cacat pada tangan dan kaki6

Tingkat 0

Kriteria cacat Tidak ada gangguan sensisbilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat

Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat

Terdapat kerusakan atau deformitas

Tabel 15. Klasifikasi cacat mata6

Tingkat 0

Kriteria cacat Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan penglihatan

Ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan yang berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6 meter)

Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 meter)

Catatan : Kerusakan atau deformitas pada tangan dan kaki termasuk ulserasi, absorbsi, mutilasi, kontraktur; sedangkan pada mata termasuk anestesi kornea, iridosiklitis dan lagoftalmus. 6

35

10.

PENCEGAHAN

1. Pencegahan Penyakit Kusta

Menghindari kontak droplet dari hidung dan sekret lain dari pasien yang mempunyai infeksi M. leprae yang tidak mendapat pengobatan merupakan salah satu cara yang direkomendasikan untuk mencegah penyakit ini. Pengobatan dengan antibiotik yang bersesuaian akan menghentikan penyebaran penyakit ini. Mereka yang tinggal dengan individu yang menghidap kusta yang tidak diobati mempunyai risiko 8 kali lebih besar untuk terkena penyakit kusta karena mereka lebih dekat terhadap droplet yang terinfeksi. 13

2. Pencegahan Cacat Akibat Penyakit Kusta Komponen pencegahan cacat adalah seperti berikut : 11 i. ii. iii. iv. v. vi. Penemuan dini pasien sebelum cacat Pengobatan pasien dengan MDT-WHO sampai RFT Deteksi dini adanya reaksi ksta dengan pemeriksaan fungsi saraf secara rutin Penanganan reaksi Penyuluhan Perawatan diri

vii. Penggunaan alat bantu viii. Rehabilitasi medis (antara lain operasi rekonstrusi)

Upaya pencegahan-pencegahan cacat sendiri oleh pasien di rumah. Petugas kusta harus memperhatikan pasien dengan cacat menetap dan menentukan tindakan perawatan diri apa yang perlu dilakukan pasien itu dengan mengupayakan penggunaan material yang mudah diperoleh disekitar lingkungan pasien.

Prinsip pencegahan cacat dan bertambah beratnya cacat pada dasarnya adalah 3M yaitu : memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur
36

melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik merawat diri

Berbagai tanda cacat pada mata, tangan dan kaki, dan cara pencehannya. 11 1. Mata

a. Untuk mata yang tidak dapat ditutup rapat (lagoftalmos) Goresan kain baju, sarung bantal, tangan, daun, debu, rambut, asap dan lain-lain dapat merusak mata. Akibatnya, mata akan merah, meradang dan terjadi infeksi yang bisa mengkibatkan kebutaan. Untuk mencegah kerusakan mata dengan :

Memeriksa Sering bercermin untuk melihat apakah ada kemerahan atau benda yang masuk ke mata

Melindungi Melindungi mata dari debu dan angin yang dapat melukai

mata/mengeringkan mata dengan cara : memakai kaca mata menghindari tugas-tugas di mana ada debu

Merawat diri tetes mata mengandungi saline, jika mata sangat kering waktu istirehat, tutup mata dengan sepotong kain basah

37

Gambar 2. Perawatan mata di rumah

2.

Tangan

a. Untuk tangan yang mati rasa Tangan yang mati rasa dapat terluka oleh : Benda panas Benda tajam Gesekan dari alat kerja Pegangan yang terlalu kuat pada alat kerja

Untuk mencegah luka pada tangan yang mati rasa dengan cara : Memeriksa Seringlah berhenti dan periksa tangan dengan teliti apakah ada luka atau lecet yang sekecil apapun.

Melindungi Lindungi tangan dari benda yang panas, kasar atau pun tajam, dengan memakai kaos tangan tebal atau alas kain dan mencegah luka dengan mambagi tugas supaya orang lain mengerjakan bagian berbahaya bagi tangan yang mati rasa.

38

Merawat luka Jika ada luka, memar atau lecet sekecil apapun, rawatlah dan isitrehatkan bagian tangan itu sampai sembuh.

Gambar 3. Perlindungan pada tangan yang mati rasa

b. Untuk kulit yang kering Kekeringan akan mengakibatkan luka-luka kecil yang kemudian terinfeksi.

Mencegah kekeringan dengan cara :

Memeriksa Umumnya jika kulit tangan kering sudah disertai dengan mati rasa. Oleh karena itu selalu periksa kemungkinan adanya kekeringan, retak dan kulit pecah-pecah yang tidak terasa.

Melindungi Melindungi kulit tangan dari benda-benda yang mudah menimbulkan luka seperti benda tajam atau panas.

Merawat Merendam selama 20 menit setiap hari dalam air, menggosok bagian kulit yang tebal kemudian langsung (tanpa dikeringkan terlebih dahulu) mengolesi dengan minyak kelapa atau minyak lain untuk menjaga kelembapan kulit.

39

Gambar 4. Merawat tangan untuk kulit yang kering

c. Untuk jari yang bengkok Kalau dibiarkan bengkok, sendi akan menjadi kaku dan otot akan memendek sehingga hari akan menjadi lebih kaku dan tidak dapat digunakan, serta menyebabkan luka.

Untuk mencegahnya dengan cara :

Memeriksa Tangan secara rutin untuk luka yang mungkin terjadi akibat penggunaan tangan dengan jari yang bengkok.

Melindungi Menggunakan alat bantu untuk akitivitas sehari-hari yang dimodifikasi unutk digunakan oleh jari bengkok

Merawat Sesering mungkin setiap hari memakai tangan lain untuk meluruskan sendi-sendinya dan mencegah supaya jangan sampai terjadi kekakuan lebih berat dengan cara : Taruh tangan diatas paha seperti dalam gambar, luruskan dan bengkokkan jari berulang kali

40

Gambar 5. Meluruskan dan bengkokkan jari berulang kali di atas paha

Pegang ibu jari dengan tangan lain dan gerakkan sendi supaya tidak kaku

Gambar 6. Memegang ibu jari dengan tangan lain dan gerakkan sendi supaya tidak kaku

Atau jika ada kelemahan pada jari, kuatkan dengan cara taruh tangan di meja atau paha, pisahkan dan rapatkan jari berulang kali. Ikat jari dengan 2-3 karet gelang, lalu pisahkan dan rapatkan jari berulang kali (jari ke 2 s/d 5)

Gambar 7. Mengikat jari dengan 2-3 karet gelang, lalu memisahkan dan merapatkan jari berulang kali

41

3.

Kaki

a. Untuk kaki yang semper Kalau kaki semper dibiarkan tergantung, otot pergelangan kaki bagian belakang (archilles) akan memendek sehingga kaki itu tidak bisa diangkat. Jari-jari kaki akan terseret dan luka. Dan oleh karena itu miring waktu melangkah akan mudah terjadi ulkus dibelakang jari kaki ke 4 dan 5.

Untuk mencegahnya dengan cara :

Memeriksa Apakah ada luka atau tidak?

Melindungi Unutk mencegah agar kaki yang semper (lumpuh) tidak bertambah cacat maka dianjurkan Selalu memakai sepatu supaya jari-jari tidak terseret dan luka Angkat lutut lebih tinggi waktu berjalan Pakai tali karet antara lutut dan sepatu guna mengangkat kaki bagian depan waktu berjalan

Merawat Duduk dengan kaki lurus ke depan. Pakailah kain panjang atau sarung yang disangkutkan pada bagian depan kaki itu dan tarik ke arah tubuh.

Gambar 8. Menyangkut pada bagian depan kaki itu dan tarik ke arah tubuh dengan kain panjang atau sarung

42

Jika kelemahan saja yang terjadi, kerjakan latihan seperti gambar berikut Ikatlah karet (dari ban dalam) pada tiang atau kaki meja dan tarik tali karet itu dengan punggung kaki, lalu tahan beberapa saat dan kemudian ulangi beberapa kali

Gambar 9. Latihan menarik tali karet dengan punggung kaki

b. Untuk kulit yang tebal dan kering Kulit yang kering akan mengakibatkan luka-luka kecil yang kemudian terinfeksi.

Untuk mencegahnya dengan cara :

Memeriksa Secara rutin apakah ada bagian kaki yang kering mengalami retak dan luka

Melindungi dan merawat Mencegah kulit kering dengan cara : Merendam kaki selama 20 menit setiap hari dalam air biasa Menggosok bagian yang menebal dengan batu gosok Kemudian langsung mengolesi (tanpa dikeringkan terlebih dahulu) dengan minyak kelapa untuk menjaga kelembapan kulit.

43

Gambar 10. Perawatan kaki untuk kulit tebal dan kering

c. Untuk kaki yang mati rasa Kaki bisa terluka oleh : Benda tajam Gesekan dari sepatu/sandal yang terlalu besar ataupun kecil, batu dalam sepatu dan lain-lain Tekanan tinggi pada telapak kaki antara lain karena terlalu lama berdiri, terlalu lama tanpa gerak, berjalan terjalu jauh atau terlalu cepat, jongkok yang lama dan sebagainya Untuk mencegahnya dengan cara : Memeriksa Sering berhenti dan memeriksa kaki dengan teliti apakah ada luka atau memar atau lecet yang kecil sekalipun

Melindungi Lindungi kaki dengan selalu memakai alas kaki Membagi tugas rumah tangga supaya orang lain mengerjakan bagian yang berbahaya bagi kaki yang mati rasa Memilih alas kaki yang tepat. Alas kaki yang cocok adalah : Empuk di dalam Keras di bagian bawah supaya benda tajam tidak dapat tembus Tidak mudah terlepas (ada tali di belakang) Tidak perlu sepatu khusus, tetapi hati-hati kalu perlu memilih sepatu/sandal di pasar, modifikasi jika perlu
44

Merawat Kalau adanya luka, memar atau lecet kecil, langsung rawat dan istirehatkan bagian kaki itu sampai sembuh, yaitu istirehatkan kaki (jangan sekali-kali diinjakkan)

Gambar 11. perawatan kaki yang mati rasa

d. Untuk luka borok/ulkus Luka borok atau ulkus terjadi karena menginjak benda tajam, panas, atau kasar, atau ada memar yang tidak dihiraukan karena pasien tidak merasa sakit/mati rasa. Kaki tetap dipakai untuk berjalan, sementara kaki menampung beban berat badan. Akibatnya luka tersebut semakin rusak/hancur. Sebenarnya luka dapat sembuh sendiri bila diistirehatkan selama beberapa minggu.

Perawatan yang tepat ialah bersihkan luka dengan air sabun kemudian rendam kaki dalam air selama 20-30 menit, gosok bagian pinggiran luka yang menebal dengan batu apung. Setelah dikeluargkan dari air, beri minyak bagian kaki yang tidak luka, balut, lalu istirehatkan bagian kaki itu (jangan diinjakkan pada waktu berjalan, berjalanlah pincang, pakai tongkat, kruk atau sepeda).

Gambar 12. Mengistirehatkan kaki yang luka

45

Gambar 13. Berjalan menggunakan tongkat

Jika ada pasien yang sudah menyelesaikan pengobatan (RFT) kemudian mendapat luka atau borok pada telapak kakinya seringkali akan berfikir bahwa penyakit kustanya kambuh. Hal itu tidak benar. Luka pada kaki yang mati rasa bukan disebabkan oleh Mycobaterium leprae jadi pemberian MDT tidak perlu diulang. 11

Jika pada ulkus tidak ada tanda infeksi (merah, bengkak, panas, sakit), berarti tidak ada infeksi sekunder oleh bakteri lain sehingga antibiotik tidak diperlu diberikan.

11.

PROGNOSIS Prognosis tergantung pada stadium penyakit. Kusta Borderline tuberkuloid (BT) biasanya

melibatkan kerusakan saraf yang cepat dan parah. Reaksi reversal jarang terjadi dengan penyakit lepromatosa, justeru kusta lepromatosa adalah keadaan kronis dengan komplikasi jangka panjang. Bahkan dengan MDT, pasien mengalami kerusakan saraf jangka panjang dan cacat. Prognosis juga tergantung pada akses pasien terhadap terapi, kepatuhan pasien, dan inisiasi awal pengobatan. Relapse (penyakit baru setelah MDT memadai selesai) terjadi pada 0,01-0,14% pasien per tahun dalam 10 tahun pertama. Resistensi dapson dan / atau rifampisin harus dipertimbangkan. 14
46

Sekitar 5-10% pasien memiliki tipe reaksi reversal I pada tahun pertama setelah menyelesaikan MDT. Karena mengurangi imunitas seluler, kehamilan dapat memicu kekambuhan atau reaksi penyakit, terutama jenis reaksi II pada wanita hamil muda dari 40 tahun. Dapson umumnya dianggap aman pada kehamilan, keselamatan klofazimin dan rifampisin yang kontroversial, dan thalidomide (digunakan dalam reaksi tipe II) merupakan kontraindikasi selama kehamilan. Tipe I dan reaksi tipe II dapat memicu kekambuhan penyakit.14 Kusta pada reaksi tipe 1 bertahan selama 2 hingga 4 bulan pada individu dengan BT dan sehingga 9 bulan pada individu dengan BL.12

47

BAB III

PENUTUP Penyakit kusta atau juga dikenali sebagai penyakit Hansen, merupakan penyakit berjangkit yang disebabkan oleh jangkitan Mycobacterium leprae. Penyakit ini menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit kusta masih merupakan

masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan beberapa negara di dunia. Pada referat ini telah dibahas mengenai penyakit kusta dengan reaksi reversal di mana gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesiyang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritem, lesi eritem menjadi makin eritomatosa, lesi macula menjadi infiltrate, lesi infiltrate menjadi makin infiltrate dan lesi lama menjadi lebih luas. Dengan diagnosa yang dini dan pengobatan yang tepat, komplikasi-komplikasi dari penyakit kusta dapat dicegah dan dengan perawatan yang benar akan dapat membantu mencegah komplikasi atau kecacatan yang sudah ada daripada menjadi lebih parah. Justeru, penyakit kusta ini tidak boleh dipandang ringan karena merupakan salah satu penyakit menular yang menimbul masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksudkan bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.

48

DAFTAR PUSTAKA :

1. Prawoto, Kabulrachman, Udiyono A, Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya reaksi kusta, http://eprints.undip.ac.id/6325/1/Prawoto.pdf 2. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1421-prevalensi-kusta-berhasilditurunkan-81-persen-.html 3. Sharma N, Koranne R.V, Mendiratta V, Sharma R.C, A study of leprosy reaction in a tertiary Hospital in delhi, The Journal of Dermatology 2004;31:898-903 4. Kahawita I.P, Sirimanna G.M, Satgurunathan K, Athukorala D.N, Sri Lanka College of Dermatologist : Guidelines on the management of leprosy reaction: 3-5 5. Walker S.L, Lockwood D.N.J, leprosy type 1 (reversal) reactions and their management, diunduh dari http://www.leprahealthinaction.org/lr/Dec08/Lep372-386.pdf 6. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Penerbit FKUI Jakarta 2007; 73-88. 7. Stephen L.W, Diana N.J.L. Leprosy Type 1(reversal) reactions and their management. Department of Infection and Tropical Disease, London School of Hygiene and Tropical Medicine, Keppel St, London WC1E 7HT, UK. 2 December 2008. 8. Thomas H.R, Robert L.M, Chapter 186: Leptosy in Klaus W, Lowell A.G, Stephen I.K, Barbara A.G, Amy S.P, David J.L. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 7th Edition McGraw Hill comp. USA, 2008, page: 1786-96. 9. Modul pelatihan program P2 kusta.Sub Direktorat Kusta dan Frambusia , diperbanyak oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat 10. Indira P.K, Stephen I.W, Diana N.J.L. leprosy type 1 and erythmma nodosum leprosum. Department of Infection and Tropical Disease, London School of Hygiene and Tropical Medicine, Keppel St, London WC1E 7HT, UK. 28 Dicember 2007. 11. Mr. M.O. Regan, Dr. J. Keja. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. Kementerian Kesehatan RI. Direktor Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2012; 67-71, 99-104, 112-21, 123-25, 127-37. 12. Klaus Wolff, A.J. Richard, S. Dick. Lepra. Fitzpatricks Atlas Berwarna dan Sinopsis Dermatologi Klinikal. Edisi kelima. Penerbit McGraw-Hill Medical.2005; 655-661.

49

13. MedicineNet.com. Leprosy. How is Leprosy Prevented? Diunduh dari http://www.medicinenet.com/leprosy/page7.htm#what_are_the_complications_of_lepros y. 24 Mei 2013. 14. Medscape. Dermatologic Manifestation of Leprosy Follow-up. Prognosis. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1104977-followup#a2650. 24 Mei 2013.

50

LAMPIRAN

Kusta reaksi reversal

51

You might also like