You are on page 1of 23

MYASTHENIA GRAVIS

Pembimbing: dr. Alfansuri Kadri, Sp.S Oleh: Shalini Shanmugalingam 080100402

DEPARTEMEN NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN

2013

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan atas karunia dan rahmatnya sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang pengertian myasthenia gravis, cara mendiagnosa, serta tatalaksana pasien dengan menurut hasil penelitian yang terbaru agar didapatkan hasil yang optimal bagi para penderita. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staff pengajar dan PPDS Departemen Neurologi terutamanya dr.Alfansuri Kadri, Sp.S atas segala bantuan yang telah diterima selama penyusunan makalah ini. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih memiliki kekurangan dan jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karenanya, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan laporan kasus ini.

Medan, 25 Januari 2012 Penulis,

ii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii DAFTAR ISI...................................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................4

1.1. Latar Belakang......................................................................................4 1.2. Tujuan Penulisan...................................................................................5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................6

2.1. Myasthenia gravis.................................................................................6 2.1.1. Definisi..............................................................................................6 2.1.2. Epidemiologi....................................................................................6 2.1.3. Etiologi..............................................................................................6 2.1.4. Patogenesis.......................................................................................8 2.1.5. Gambaran Klinis..............................................................................9 2.1.6. Diagnosa Diferensial.....................................................................10 2.1.7 Diagnosa ......... ........... 11 2.1.8. Terapi..............................................................................................12
BAB 3 KESIMPULAN & SARAN................................................................................14

3.1. Kesimpulan.........................................................................................14 3.2. Saran....................................................................................................15


iii

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................16

iv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Myasthenia gravis merupakan defek transmisi di neuromuskular junction akibat penyakit autoimun yang dikarekteristik dengan fluktuasi kelemahan yang patologis dengan remisi dan eksaserbasi melibatkan satu atau beberapa kelompok otot skeletal, terutama disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor acetylcholine (AChR) pada neuromuskular junction.1 Myasthenia gravis mempunyai prevalensi 85-125 per juta, dan insidensi per tahun 2-4 per juta.2 Puncak insidensi penyakit ini dijumpai pada usia 20 tahun hingga 40 tahun yang didominasi oleh wanita; dan pada usia 60 tahun hingga 80 tahun yang sama antara wanita dan pria.3Myasthenia gravis merupakan penyakit yang jarang, namun prevelansi telah meningkat mengikut waktu dengan estimasi terbaru mencapai 20 per 100000 orang di populasi Amerika.2,3,4 Peningkatan prevalensi ini kemungkinan disebabkan perbaikan dari diagnosis dan penatalaksanaan myasthenia gravis serta peningkatan usia rata-rata yang hidup di populasi secara umum.4,5 Insidensi bervariasi secara besar dari 1,7 ke 10,4 per juta, bergantung terhadap lokasi studi,6 telah dilaporkan di Barcelona, Spain terdapat 21orang per 1 juta populasi yang telah diagnosa sebagai myasthenia gravis.6,7 Kejadian myasthenia gravis dipengaruhi oleh jenis kelamin dan umur: dimana kejadian myasthenia gravis pada wanita 3 kali lipat lebih banyak dibandingkan pria sewaktu usia awal dewasa yaitu umur kurang dari 40 tahun. 3,7,8 Manakala insidensi adalah hampir sama sewaktu pubertas dan setelah usia 40 tahun.3,6,7,9 Myasthenia gravis pada anak-anak adalah jarang di Eropah dan Amerika Utara, kira-kira 10-15% dari kasus myasthenia gravis,7,8,10 namun kasus myasthenia gravis pada anak adalah lebih sering di negara-negara Asia seperti

China, dimana 50 % pasien mempunyai onset penyakit myasthenia gravis dibawah umur 15 tahun, kebanyakan dengan manifestasi ocular.7,8,10 Mengikut laporan RISKESDAS 2010, insidensi myasthenia gravis di Indonesia diperkirakan 1 kasus dari 100000.11 Data yang didapatkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta terdapat 94 kasus dengan diagnosa myasthenia gravis pada periode tahun 2010-2011.12 Gejala klinis khas pada myasthenia gravis adalah kelemahan yang melelahkan, dan sering berkait dengan kelompok otot yang rentan dan spesifik.1,2,4,7,13 Pasien sering mengeluhkan kelemahan otot mereka fluktuasi dari hari ke hari atau dari jam ke jam, memburuk dengan aktivitas, dan membaik dengan istirehat.1,2,7,13 Pasien dapat mempunyai gejala seperti ptosis, diplopia, disarthria, disfagia, dispnea, kelemahan otot wajah, atau tungkai yang lelah atau kelemahan aksial dengan berbeda-beda tingkat keparahan bergantung terhadap kuantitas neuromuskular yang terlibat.13,14 Kelemahan otot okular menyebabkan ptosis dan ini merupakan gejala paling sering dan paling awal terjadi pada pasien myasthenia gravis, kelemahan otot okular ini berfluktuasi dan penyakit biasanya berkembang menjadi kelemahan seluruh tubuh dalam waktu 2 tahun setelah onset penyakit.13,15 Penyebabnya diduga karena serangan autoimun terhadap reseptor asetilkolin pada neuro-muscular junction. Antibodi terhadap reseptor asetilkolin atau receptor-decamethonium complex (anti-AchR) ditemukan dalam serum dari tigaperempat penderita myasthenia gravis (MG).16,17 Abnormalitas thymus juga ditemukan pada sebagian besar penderita MG, sekitar 75% dengan hiperplasia folikel kelenjar dan 10-15% dengan tumor thymic jenis lymphoblastic atau epithelial.18 Tindakan thymectomy menyebabkan remisi dan perbaikan pada masing-masing 35% dan 50% penderita sehingga diduga MG berhubungan dengan serangan autoimun terhadap antigen pada thymus dan motor endplate atau abnormal clone dari sel-sel imun di thymus.18

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis dan prosedur konfirmasi diagnostik, dengan pemberian antikolinesterase kerja pendek (endrophonium) 210 mg intravena maka kekuatan otot secara dramatis dapat dipulihkan. Tes lain yang lebih canggih dengan elektromyografi serabut tunggal dan pemeriksaan rangsangan saraf berulang.18

Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan di dalam Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan. Selain itu, makalah ini juga dapat digunakan sebagai panduan klinisi dalam mengidentifikasi, mendiagnosa, serta merawat pasien yang didiagnosa dengan myasthenia gravis.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1Definisi Myasthenia gravis adalah penyakit neuromuskular junction yang disebabkan oleh penyakit autoimun yang didapat dan dikarekteristik dengan fluktuasi kelemahan patologis dengan remisi dan eksaserbasi berkait dengan satu atau beberap kelompok otot, terutamnya disebabkan oleh antibodi terhdapa reseptor asetilkolin (AChR) pada post sinaps neuromuscular junction.1,2,3,5,7 2.1.2 Epidemiologi Prevelansi MG adalah 14 per 100000 populasi ( kira-kira 17,000 kasus) di Amerika.3,4 Sebelum umur 40 tahun, penyakit ini adalah 3 kali lipat lebih banyak di wanita dibandingkan pria, namun pada usia lebih tua kedua-dua jenis kelamin bisa terkena MG.7,8,13 2.1.3 Etiologi Terdapat predisposisi genetik untuk MG.19,.20 Namun, MG tidak hanya diwarisi karena genetik
19, 20

, 30% pasien MG mempunyai satu saudara kandung dengan


1,3,11,20

diagnosa MG juga atau gangguan autoimun yang lain, dan kejadian penyakit autoimun yang lain di MG pasien sangat tinggi. berat dan ringan dan gen TCR.21 Walaupun infeksi dapat menginisiasi kebanyakkan penyakit autoimun dengan meengakibatkan kerusakkan jaringan, pemamparan antigen tubuh sendiri, dan aktivasi sel T yang mengenali urutan homologous microorganism melalui mimikri molekul.22 Predisposisi genetik untuk pasien MG termasuk region MHC kelas I dan II, subunit- AChR, rantai IgG yang

Reaksi silang antibodi dengan bakteri dan virus herpes simplex dapat menginduksi penyakit MG.22 Pada kasus MG yang diassosiasi dengan timoma, terdapat neurofilament yang bersaiz sederhana NF-M yang mempunyai AChR-like epitope yang disangka merupakan etiologi terjadinya MG.22 Terdapat peningkatan jumlah reseptor NF-M pada sel T di pasien MG dengan timoma.22 2.1.4 Patogenesis Patogenesis MG berkaitan dengan efek destruksi dari autoantibodi terhadap AChR.1,2,3,7,11,16,23 Respon autoimun seluler adalah tahap awal terjadinya MG. 23 AChR merupakan target utama untuk reaksi autoimun di MG.1,7,11 Respon autoimun seluler yang terjadi yaitu respon autoimun humoral yang melibatkan antibodi AChR dan antibodi bukan AChR.23 Miopati inflammatory dapat terjadi pada pasien MG dan diassumsi disebabkan oleh polimiositis.23 Antibodi poliklonal IgG terhadap AChR diproduksi oleh sel plasma di organ limfoid perifer, sum-sum tulang dan timus. 11,23,24 Sel ini berasal dari sel B yang telah diaktivasi oleh sel T yang antigen spesifik. 24 Sel T juga telah diaktivasikan, pada kasus ini dengan berikatan dengan urutan peptide antigen AChR (epitop) yang terdapat di dalam histocompatibility antigen pada permukaan sel antigen-presenting.24 AChR merupakan glikoprotein transmembran yang lokasinya pada postsinaps neuromuscular junction, melibatkan 5 subunit (-).24 Region immunogenic yang utama adalah antibodi AChR yang dilokasi pada subunit . 24 Antibodi AChR menggangu transmisi neuromuscular dengan kerusakan membrane otot fokal yang disebabkan oleh komplemen, terjadi peningkatan akselerasi degradasi AChR, dan terjadi blockade ikatan ligand AChR secara direk.24 Konsentrasi serum komponen complement C3 dan C4 adalah rendah pada pasien MG dengan konsentrasi antibodi AChR tinggi.24 Antibodi AChR terdapat lebih dari 85% pasien MG yang generalisata dan 70% pada pasien MG okular.24 Antibodi AChR adalah poliklonal yaitu paling

banyak IgG dengan subkelas IgG1 dan IgG3 berkolerasi terhadap tingkat keparahan MG.24

24

. Konsentrasi antibodi AChR tidak

Titin merupakan protein yang sangat besar (3000kDa) dan merupakan protein paling banyak di otot skeletal dan sacromere jantung. 25 Region immunogenik yang utama pada MG adalah myasthenia gravis titin-30 (MGT-30) dan protein ini terletak dekat A/I band junction.25 Manakala, RyR adalah kanal yang membebaskan kalsium yang dilokasi di sarcoplasmic reticulum.25 Terdapat dua jenis RyR, skeletal (RyR1) dan jantung (RyR2).25 Antibodi RyR dari pasien MG bereaksi terhadap kedua-dua jenis protein RyR ini.25 Antibodi Titin dan RyR lebih sering pada MG berat dan dapat mengaktivasi komplemen in vitro.25 Antibodi kinase spesifik otot diekspresi pada neuromuscular junction.25 Kira-kira 41% antibodi AChR negatif pada MG generalisata mempunyai antibodi serum terhadap kinase spesifik otot MG.25 Antibodi AChR bereaksi dengan determinant yang multiple, dan antibodi yang cukup banyak bersirkulasi sehingga mencapai saturasi hingga 80 % dari semua AChR pada otot.23,24,25 Persentase yang kecil molekul anti AChR mengganggu ikatan dengan Ach secara direk, namun kerusakkan yang mayor pada end plates menyebabkan reseptor berkurang pada neuromuscular junction di otot.24,25 Lisis komplemen mediasi membrane dan proses degradasi yang cepat (internalisasi, endositosis, hidrolisis lisosom) dengan penggantiaan sintesa baru yang tidak adekuat.24,25 Akibat pengurangan AChR dan erosin serta potensial simplication end plate, pasien biasanya menjadi tidak sensitif lagi terhadap curare antagonist yang kompetitif.25 Selain itu, terjadi juga penurunan respon stimulasi berulang-ulang saraf motorik karena kegagalan potensial end plate untuk mencapai threshold sehingga secara progressif lebih sedikit serat otot yang respon terhadap impuls saraf.23,24,25 dan dan adanya antibodi kinase spesifik otot dapat berkolerasi terhadap tingkat keparahan

10

Bagaimana penyakit autoimun terjadi masih belum diketahui namun mengikut penelitian yang terbaru, autoimun terjadi diawali dari infeksi. 22 MG adalah penyakit heterogeneous, diklasifikasi pada beberapa tipe subgroup.26 Subgroup okular MG termasuk antibodi AChR positif, pada subgroup ini tidak terdapat timoma dengan gejala pada okular (tidak generalisata). 26 MG okular bisa terjadi pada setiap umur namun lebih sering pada anak dan pria onset lambat. 26 HLA-DQ6 menunjukkan assosiasi dengan MG okular pada anak balita di Asia.26 Subgroup MG onset awal termasuk antibodi AChR positif, dan subgroup tidak ada timoma serta MG generalisata dengan onset MG sebelum umur 50 tahun. 26 Hiperplasia timus sering pada subgroup ini dan merupakan subgroup terbesar terdiri dari 65% semua pasien MG.26 Subgroup ini pasien lebih banyak wanita dengan rasio wanita ke pria 1:4 dan biasanya usia 20 tahun hingga 30 tahun. 26 Konsentrasi serum antibodi AChR biasanya tinggi. Subgroup MG dengan onset lambat termasuk antibodi AChR positif, juga tidak ada timoma serta pada subgroup ini adalah generalisata MG dengan onset pada umur 50 tahun atau lebih.26 Atrofi timus lebih sering pada subgroup ini. 26 Kejadian MG onset lambat adalah sama di wanita dan pria dan biasanya di usia 70 tahun hingga 80 tahun.26 Konsentrasi antibodi AChR biasanya rendah pada subgroup ini. 26 Satu setengah pasien MG subgroup mempunyai antibodi titin dan RyR.26 Subgroup MG dengan timoma biasanya mempunyai antibodi AChR dan biasanya subgroup ini banyak pada tipe kortikal. 26 MG timoma terjadi pada setiap umur dan paling sering onset pada usia 50 tahun, subgroup sama banyak pada wanita dan pria serta adanya antibodi titin dan RyR pada pasien MG dengan timoma.26 Adanya timoma tidak memperburukan kondisi MG.26 Menurut penelitian Romi F (2005), pasien MG dengan timoma dan tanpa timoma dibandingkan prognosis jangka panjang dan didapati prognosisnya adalah hampir sama.26

11

Mengikut laporan terdapat perbedaan patogenesis diantara antibodi AChR positif dan negatif tanpa bukti timoma, termasuk adanya antibodi kinase spesifik otot pada 10-40% pasien MG dengan antibodi AChR negatif. 26 Pasien seronegatif yaitu pasien antibodi AChR negatif tanpa bukti adanya timoma yang tidak mempunyai antibodi kinase spesifik otot mempunyai gejala klinis MG yang lebih ringan dibandingkan pasien MG seropositif.
26

Pasien MG seronegatif yang tidak

mempunyai antibodi kinase spesifik otot namun mempunyai antibodi patogenik terhadap otot yang bersirkulasi dan antibodi ini masih belum diidentifikasi.26 2.1.5 Gambaran klinis Gambaran klinis MG mempunyai 3 karekteristik utama yang dapat menegakkan diagnosa.27 Diagnosis yang dilakukan untuk pasien MG bergantung terhadapa demonstrasi respon terhadap obat kolinergik, ada bukti kelainan trasmisi neuromuscular elektrofisiologi dan demonstrasi antibodi AChR yang bersirkulasi.27 Kelemahan pada myasthenia yang berfluktuasi adalah khas karena penyakit lain tidak mempunyai kelemahan berfluktuasi.27 Kelemahan ini bervariasi dalam seharian, terkadang kelemahan terjadi dalam beberapa menit dan bervariasi dari hari ke hari atau period yang lebih panjang. 27 Variasi yang berpanjangan dikenali sebagai remisi atau eksaserbasi; eksaserbasi melibatkan otot pernafasan sehingga menyebabkan ventilasi yang tidak adekuat yang merupakan krisis.27 Variasi terkadang dikaitkan dengan olahraga, kelainan fisiologi ini disebutkan sebagai kelelahan yang berlebihan, excessive fatigability.27 Simptom MG adalah kelemahan namun tidak menyebabkan kelelahan yang sangat cepat.27 Karekteristik kedua MG adalah distribusi kelemahan.27 Otot okular biasanya yang paling pertama terkena dan menyebabkan gejala ptosis dan diplopia.27 Simptom lain yang sering juga melibatkan otot facial dan orofaringel sehingga menyebabkan disartia, disgfagia, dan limitasi pergerakan otot facial. 27 Kelemahan leher dan

12

ekstremitas adalah sering dan biasanya disertai kelemahan nervus kranial. 27 Hampir tidak pernah ada kasus MG dengan kelemahan tungkai sahaja.27 Krisis MG sering terjadi pada pasien pasien dengan kelemahan orofaringeal atau otot pernafasan.27,28 Stress emosional dan penyakit sistemik dapat memperberatkan kelemahan pada myasthenia untuk sebab yang tidak jelas; pada pasien dengan kelemahan orofaringeal, aspirasi sekresi dapat menyumbat saluran paru sehingga menyebabkan kesulitan bernapas.27,28 Kelemahan respiratori dapat terjadi setelah operasi yang mayor tanpa aspirasi.27,28 Krisis yang terjadi secara spontan adalah jarang terjadi pada waktu sekarang dibandingkan dulu.27,28 Karekteristik ketiga kelemahan myasthenia adalah respon klinis terhadap obatan kolinergik.27,28 Progresifitas penyakit MG biasanya terjadi setelah beberapa minggu atau beberapa bulan dari gejala pertama.27,28 Jika gejala myasthenia cuman direstriksi pada otot okular untuk 2 tahun, maka gejalanya cuman pada otot okular dan sangat jarang menjadi generalisata.27,28 MG okular mempunyai antibodi AChR lebih rendah.27,28 MG generalisata dikatakan dapat dicegah dengan pemberian immunosuppresi awal namun belum ada laporan menyatakan adanya remisi komplit.27,28 Remisi spontan terjadi kira-kira pada 25% pasien MG dan sering remisi spontan ini terjadi pada 2 tahun pertama setelah muncul gejala MG yang pertama.27,28 Tanda vital dan pemeriksaan fisik biasanya dalam kondisi normal, kecuali pasien adalah dalam kondisi krisis.28 Pada pemeriksaan neurologis tergantung pada distribusi kelemahan yang disebabkan oleh MG.28 Kelemahan pada otot facial dan otot levator palpebrae menyebabkan muka tanpa mimik dan palpebra yang jatuh. 28 Kelemahan pada otot okular dapat menyebabkan paralisis atau kelemahan otot yang diisolasi, ophtalmoplegia pada satu atau dua mata menyerupai ophtalmoplegia internuklear.28 Kelemahan orofaringeal atau otot tungkai dapat dideteksi dengan beberapa tes.28 Kelemahan otot respiratori dapat dideteksi dengan pemeriksaan faal paru yaitu kapaitas vital, tekanan inspirasi dan tekanan ekspirasi sehingga dapat

13

mendeteksi kelainan sebelum timbul gejala. 28 Atrofi otot dijumpai pada 10% pasien MG dengan malnutrisi akibat disfagia berat.28 Fasikulasi lidah tidak pernah terjadi kecuali dosis obat kolinergik berlebihan.28 Sensasi dan refleks adalah normal pada pasien MG walaupun dengan kondisi ototnya yang lemah. 28 Terdapat klasifikasi baru untuk tingkat keparahan dan respon terhadap terapi mengikut Medical Advisory Board of Myasthenia Gravis Foundation.28 2.1.6 Diagnosa banding Diagnosa banding termasuk semua penyakit termasuk yang disertai kelemahan orofaringeal, atau kelemahan tungkai seperti distrofi muskular, bulbar palsy yang progresif, ophtalmopelgia.29 Biasanya tidak ada kesulitan dalam membedakan kondisi penyakit-penyakit ini dari MG dengan temuan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan saraf dan kegagalan simptom pada kondisi ini untuk memperbaiki setelah injeksi parenteral neostigmin atau edrophonium.29 Kadangkadang, blepharospasm disangka mirip myasthenia okular, namun pada penutupan mata secara kuat di blepharospasm yang melibatkan palpebra atas dan bawah; fissura palpebra yang sempit menunjukkan aktivitas otot yang aktif .29 Pada kondisi lain yang mempunyai perbaikan klinis yang telah didokumentasi setelah penggunaan edrophonium adalah gangguan transmisi neuromuscular yang lain seperti botulinum intoksikasi , gigitan ular, intoksikasi organofosfat dan sindroma Lambert-Eaton.29 2.1.7 Diagnosa Diagnosis MG dapat ditegakkan tanpa kesulitan pada kebanyakan pasien dari riwayat karekteristik dan pemeriksaan fisik.
27,28

Perbaikan yang dramatis setelah

injeksi neostigmine bromide (Prostigmin) atau edrophonium (Tensilon) membuat administrasi obat ini penting untuk MG. 15,27,29 Kekuatan otot kembali setelah adminstrasi neostigmine atau edrophonium; jika tidak ada respon berlaku, diagnosis

14

MG dapat diragukan.27,29 Demonstrasi respon farmakologi terkadang susah namun jika gejala klinis mengarahkan ke MG, harus dilakukan tes ulang dengan dosis berbeda atau cara adminstrasi.27,29 Pemberian obat antikolinesterase semalaman dapat membantu menegakkan diagnosis.27,29 Respon negatif palsu terhadap edrophonium adalah terkecualikan jika ada lesi structural, seperti tumor batang otak.27,29 (MG dapat disertai penyakit lain seperti Graves ophtalmopati atau sindroma Lambert-Eaton.27,29 Diagnosis MG dapat juga ditegakkan dengan titer tinggi antibodi terhadap AChR namun titer yang normal tidak mengeksklusikan diagnosis MG. 28 Respon terhadap stimulasi yang berulang-ulang dan EMG serabut tunggal juga dapat menegakkan diagnosis.11,18,28, Jika ada timoma , diagnosis MG adalah lebih mungkin dibandingkan penyakit neuromuscular yang lain.29 Pada tes neostigmin, dosis obat adalah 1.5 mg hingga 2.0 mg dan atrofin sulfat 0.4 mg diberikan secara intramuskular.30 Perbaikan objektif pada tenaga otot telah tercatat pada interval 20 menit hingga 2 jam setelah adminstrasi obat tersebut.
30

Adminstrasi edrophonium pada dosis 1 mg hingga 10 mg. 30 Dosis insial adalah 2 mg diikuti dengan 2 mg setelah 30saat jika perlu dan tambahan dosis 5 mg dalam 15 hingga 30 saat hingga dosis maksimum 10 mg. 30 Perbaikan diperhatikan dalam 30 saat dan bertahan untuk beberapa menit.30 Kebanyakkan respon diperhatikan pada dosis kurang dari 5.0 mg.30 Respon yang sangat cepat dan dramatik, edrophonium adalah lebih disukai untuk evaluasi kelemahan otot okular dan otot kranial. 30 Neostigmin umumnya digunakan untuk evaluasi untuk otot tungkai atau otot pernafasan, yang membutuhkan lebih banyak waktu.30 Pemeriksaan laboratorium pada pasien MG adalah berguna untuk konfirmasi diagnosis gawat darurat myasthenia gravis (MG).27,28 Pemeriksaan analisa gas darah dapat membantu penanganan respiratori.27,28 Elevasi PaCO2 dapat menunjukkan kegagalan respiratori yang progresif dan merupakan indikasi manajemen saluran napas kegawat daruratan.27,28

15

Pencitraan diindikasi untuk determinasi apakah adanya pneumonia aspirasi atau pneumonia tipe lain yang terjadi pada pasien MG.27,28 MRI atau CT scan dada adalah sangat akurat untuk mendeteksi timoma dan harus dilakukan pada setiap kasus baru MG.27,28 Foto toraks adalah tidak sensitif untuk skreening timoma.27,28 Ice pack test adalah salah satu pemeriksaan mudah yang dapat dilakukan karena dengan mendinginkan otot terutama otot okular dapat memperbaiki transmisi neuromuskular.27 Es batu dimasukkan ke dalam sarung tangan bedah atau dibungkus dalam kain dan diletakkan di atas kelopak mata untuk 2 menit. 27 Tes ini positif apabila terjadi perbaikan dari ptosis namun tes adalah kurang sensitif dan jarang dilakukan.27 Elektromiografi serabut otot tunggal dan assay untuk antibodi reseptor asetilkolinerase digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis MG, namun tes ini jarang dapat dilakukan dalam kondisi gawat darurat.27,28 Pemeriksaan EMG menunjukkan karekteristik yang mirip dengan subyek normal yang diberikan relaxant otot dosis kecil sewaktu dianastesi. 27,28 Terjadinya penurunan aksi potensial kompound otot.27,28 2.1.8 Terapi Terapi MG terdapat 5 tipe yaitu obat antikolinesterase dan plasmaperesis dimana merupakan terapi simptomatik, manakala timektomi, steroid dan obat imunosuppresif yang lain dapat mengubah haluan penyakit.7,11,31 Pengobatan antikolinesterase biasanya diberikan setelah diagnosa ditegakkan.27,28,31 Terdapat 3 tipe obat antikolinesterase yang paling sering digunakan yaitu neostigmine, pyridostigmine bromide dan ambenonium (Mytelase).
31

Pyridostigmine bromide adalah obat paling popular antara 3 tipe obat namun belum pernah dinilai dan dibandingkan secara terkontrol dengan obat-obatan lain. 31 Efek

16

samping muskarinik adalah kram abdominal dan diare, pyridostigmine bromide mempunyai efek samping muskarinik yang paling kurang dibandingkan dengan lain.31 Pyridostigmine diawali dengan dosis 60 mg secara oral setiap 4 jam sewaktu pasien sadar.31 Dosis dinaikkan tergantung pada dosis klinis namun peningkatan manfaat tidak diharapkan pada jumlah lebih dari 120mg setiap 2 jam. Jika pasien mempunyai kesulitan untuk makan, obat dapat diminum 30 menit sebelum makan.31 Simptom muskarinik dapat diperbaiki dengan preparasi atropine (0.4 mg) dengan setiap dosis pyridostigmine. 31 Dosis atropine yang berlebihan dapat menyebabkan psikosis tapi jumlah yang diminum pada regimen ini tidak mempunyai efek psikotik.31 Walaupun terapi kolinergik memberikan efek yang impresif namun terapi mempunyai limitasi.31 Pada pasien MG generalisata, gejala pasien dapat menghilang namun terdapat simptom yang masih menetap dan resiko krisis menetap karena penyakit tidak disembuhkan dengan pemberian obat ini.31 Timektomi dulunya hanya dilakukan pada pasien dengan disablitias yang serious karena timektomi dapat menyebabkan mortalitas tinggi.
31

Namun dengan

kemajuan pada pembedahan dan anestesi , mortalitas sudah berkurang pada timektomi.31 Kira-kira 80% pasien tanpa timoma menjadi asimptomatik atau menjadi remisi komplit setelah timektomi.31 Makanya timektomi telah direkomendasi untuk kebanyakkan pasien dengan MG generalisata.31 Walaupun timektomi adalah operasi mayor dan tidak direkomendasi untuk pasien dengan myasthenia okular kecuali pasien mempunyai timoma.31 Terapi prednisone digunakan untuk persiapan pasien melakukan timektomi atau menggunakan plasmapheresis atau terapi IVIG.31 Penukaran dengan plasmapheresis kira-kira 5% volume darah dapat diberikan beberapa kali sebelum hari pembedahan yang bertujuan untuk memperbaiki krisis respiratori atau mencegah

17

krisis pernafasan pasca operasi.31 Plasmapheresis digunakan untuk eksaserbasi lain yang dapat menyebabkan perbaikan pada kebanyakan pasien.31 Plasmapheresis adalah aman namun mahal dan tidak mudah plasmapheresis dan IVIG adalah lebih disukai untuk kebanyakkan pasien. 31 dibandingkan plasmapheresis Adminstrasi IVIG adalah lebih mudah namun adalah lebih mahal dibandingkan terutama pada pasien akses vena yang jelek, termasuk pada anak.31 Terapi IVIG biasanya diberikan dosis 5 kali dengan jumlah 2g/kg BB. Efek sampingnya termasuk nyeri kepala, meningitis aseptic.31 Terapi IVIG dan plasmapheresis dapat digunakan untuk pasien MG dengan eksaserbasi.31 Jika pasien pasca timektomi masih mengalami disablitas, prednisone 60 hingga 100 mg diberikan setiap hari untuk mencapai respon dalam beberapa hari atau minggu. 31 Setelah sudah ada perbaikan, dosis harus diturunkan 20 hingga 35 mg setiap hari.
31

Jika pasien tidak sembuh dalam waktu 6 bulan, azathioprine atau siklofosfamid diberikan dengan dosis 2.5 mg/kgBB setiap hari untuk orang dewasa. 31 Dosis harus dinaikkan secara gradual dan harus diminum setelah makan untuk mencegah terasa mual. Prednison 20 hingga 35 mg dapat diberikan selang hari myasthenia okular.31 Pasien dengan timoma sering mempunyai MG lebih parah dan kurang bisa didefinisikan sebagai kebutuhan ventilasi yang dibantu, dimana ia merupakan kondisi yang terjadi pada kira-kira 10% pasien MG dengan disarthria, disfagia, dan kelemahan otot pernafasan yang telah didokumentasi.31 Pengobatan kolinergik diberhentikan setelah intubasi dilakukan.31 Prinsip terapi adalah memerlihara fungsi vitaldan mengelakkan atau mengobatiinfeksi sehingga pasien pulih dari krisis tersebut.31 Terapi kolinergik tidak perlu dimulai sehingga tanda infeksi telah hilang dan tidak ada komplikasi paru yang yang lain, pasien dapat bernapas sendiri tanpa bantuan.31

18

DAFTAR PUSTAKA 1. Drachman DB. Myasthenia gravis. N Engl J Med 2001; 330: 1797-810.

19

2. Khadilkar S.V., Sahni A.O., Patil S.G., Myasthenia Gravis. JAPI 2004 November; 52:897-903. 3. Romi F., Gilhus N.E., Aarli J.A., Myasthenia gravis: clinical, immunological, and therapeutic advances. Acta Neurol Scand 2005 January; 111: 134-141. 4. Beekman R., Kuks J.B.M., Oostherhius HJGH. Myasthenia gravis: diagnosis and follow-up of 100 consecutive patients. J Neurol 2007 August; 244: 1128. 5. Willcox N., Myasthenia gravis. Curr Opin Immunol 2003 April; 5:910-7. 6. Christensen P.B., Jensen T.S., Tsirropoulus I., et.al., Mortality and survival in myasthenia gravis: a Danish population based study. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2003; 64: 78-63. 7. Sanders D.B., Generalized myasthenia gravis: clinical presentation and diagnosis. 56th Annual Meeting. San Francisco, CA: American Academy of Neurology, 2004. 8. Brainin M., Barnes M., Baron J.C., et al. Guidance for the preparation of neurological management guidelines by EFNS scientific task forces-revised recommendations 2004. Eur J Neurol 2004 October; 11:577-581. 9. Vincent A., Unravelling the pathogenesis of myasthenia gravis. Nat Rev Immunol 2002; 2: 797-804. 10. Hoch W, McConville J., Helms S., Newsom-Davis J., Melms A., Vincent A., Auto-antibodies to the reseptor tyrosine kinase MuSK in patients with myasthenia gravis without acethylcholine receptor antibodies. Nat Med 2001; 7: 365-368. 11. Vernino S., Lennon V.A., Autoantibody profiles and neurological correlations of thymoma. Clin Cancer Res 2004 May; 18: 678-80. 12. Berrih S., Morel E., Gaud C., Raimond F., LeBrigand H., Bach J.F., AntiAChR antibodies,thymic histology, and T cell subsets in myasthenia gravis. Neurology 2001 March;34:66-71.

20

13. Grob D, Brunner N., Namba T., Pagala M., Lifetime course of myasthenia gravis. Muscle Nerve 2008 June;37:141-49. 14. Nations S.P., Wolfe G.I., Amato A.A., Jackson C.E., Bryan W.W., Barohn R.J., Distal myasthenia gravis. Neurology 1999 July;52:632-34. 15. Sanders 89. 16. Chan J.W., Orrison W.W., Ocular myasthenia: a rare presentation with MuSK antibody and bilateral extraocular muscle atropy. Br J Ophthalmol 2007 February ;91:842-43. 17. Caress J.B., Hunt C.H., Batish S.D., Anti-MuSK myasthenia gravis presenting with purely ocular findings. Arch Neurol 2005 December; 62:1002-03. 18. Meriggioli M.N., ED., Myasthenia disorder and ALS. Continuum: Lifelong Learning in Neurology 2009 May:15:35-62. 19. Vincent A., McConville J., Farrugia M.E., Newsom-Davis J., Seronegative myasthenia gravis. Semim Neurol 2004 May; 24: 125-33. 20. Fink J.N., Wallis W.E., Haydock D.A., Myasthenia gravis with thymoma is more common in the Maori and Pacific Island populations in New Zealand. Intern Med J 2001;31:206-10. 21. Notash A.Y., Salimi J., Ramezanali F., Sheikhvatan M., and Habibi G., Clinical Features, Diagnostic Approach , and Therapeutic Outcome in Myasthenia Gravis Patients with Thymectomy. Acta Neurologica Taiwanica. 2009 March:18;21-25. 22. Somnier E., Engel P.J.H., The occurrence of anti-titin antibodies and thymomas. Neurology 2002;59:92-8. 23. Fine B.M., Milani M., Kaminski H.J., Myasthenia gravis: past, present, and future. Science in medicine. J. Clin. Invent 2006 December;116: 2843-2854. D.B., Juel V.C., MuSK-antibody positive myasthenia gravis:questions from clinic. J Neuroimmunol 2008 November; 201-202:85-

21

24. Bromberg M.B., 2005. Myasthenia gravis and myasthenia syndromes. In Motor disorders. D.S. Younger, editor. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, Pennsylvania, USA.231-246. 25. Brenner T., et.al., The role of readthrough acetylcholinesterase in the pathophysiology of myasthenia gravus. FASEB J. 2003 December;17:214222. 26. Bradley W.G., Neurology in Clinical Practice. Elsevier Science and and Technology Books; 4th Edition Volume 2:2441-60. 27. Almeida D.F., Radaeli R.F., Melo A.C., Ice pack test in the diagnosis of Myasthenia Gravis. Arq Neuropsiquitr. 2008 May; 66:96-98. 28. Skeie G.O., Apostolski A., Evoli A., Gilhus E., Illa I., Harms L., Melms A., Horge H.W., Verschuuren J., Guidelines for treatment of autoimmune neuromuscular transmission disorders. European Journal of Neurology. 2010 February:10; 1-7. 29. Meriggiolo M.N., Sanders D.B., Autoimmune myasthenia gravis: emerging clinical and biological heterogeneity.The lancet Neurology. 2009 May;8: 475-486. 30. Richman D.P., Agius M.A., Treatment of myasthenia gravis. Neurology. 2003 December; 61: 1652-1659. 31. Ronager J., Ravnborg M., Hermansen I., Vorstrup S., Immunoglobulin treatment versus plasma exchange in patients with chronic moderate to severe myasthenia gravis. Artif Organs 2001 March;25:967-973.

22

You might also like