You are on page 1of 34

BEDAH KEBUDAYAAN HAJAT SASIH PADA

MASYARAKAT KAMPUNG NAGA


Oleh: Yogi Hendra Saputra

Sebagian daerah di Indonesia pada umumnya masih meninggalkan PR


berupa sinkretisme antara satu kultur budaya suatu wilayah dan keyakinan
pada agama sebelumnya. Sehingga dapat dilihat masih adanya komunitas
masyarakat muslim yang dalam kehidupan sehari-hari menggunakan multi
standar dalam mengatur kehidupan mereka. Standar itu biasanya tak lepas
dari agama (ajaran Islam), adat-istiadat, maupun agama sebelum mereka
memeluk Islam seperti Hindu dan Budha. Kondisi seperti ini dipelihara
oleh mereka sebagai bentuk terbaik dari pengalaman hidup sehari-hari
sehingga tak mudah untuk dipatahkan. Salah satunya adalah masyarakat
Kampung Naga di Jawa Barat. Masyarakat yang berhasil mengisolasi diri
dari budaya luar (meski tak sepenuhnya) ini sangat menarik untuk dikaji
baik sebagai bahan pembuatan Peta Da'wah maupun sumbangsih terhadap
sejarah kebudayaan Nusantara.

Kata Kunci: Kebudayaan, masyarakat, adat, ritual, akulturasi, animisme,


Tradisional, infiltrasi

Pendahuluan
Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar,
yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.1 Dengan kata lain,
kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan oleh
manusia, karena itu meliputi kebudayaan material dan non material.
Kebudayaan tidak diwariskan secara generatid (biologis), melainkan hanya
dengan cara belajar, selain itu kebudayaan diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat. Tanpa masyarakat maka kebudayaan sukar timbul.2
Sedangkan masyarakat dapat diartikan sebagai sejumlah manusia
dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka
anggap sama.3 Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah
sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi
terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu
1
Djoko Widagdo, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta; Bumi Aksara, 2001, Cet. 6, hal. 20
2
Ibid., hal. 21-22
3
,Departemen Pendidikan dan KebudayaanKamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 635
yang berada dalam kelompok tersebut. Lebih abstraknya, sebuah
masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas.
Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung
satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu
sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. 4
Ada tiga jenis masyarakat yang kita kenal, yaitu masyarakat
perkotaan, masyarakat pedesaan, dan masyarakat adat. Masyarakat
perkotaan sering disebut juga dengan urban community5, yaitu masyarakat
yang lebih menekankan pada sifat-sifat kehidupannya serta ciri-ciri
kehidupannya yang lebih menekankan aspek-aspek rasional.6 Masyarakat
pedesaan hampir berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat perkotaan.
Mereka lebih cenderung memiliki sifat gotong royong yang kental, memiliki
pekerjaan yang hampir seragam (umumnya agraris), banyak menyandarkan
hal-hal yang mereka anut kepada mistis (irasional), dan cenderung tertutup
dan sukar ditembus pengaruh luar.7 Hal ini disebabkan kurangnya interaksi
antara mereka dengan masyarakat luar.
Sedangkan masyarakat adat sebenarnya bisa dikatakan sebagai
masyarakat pedesaan karena umumnya mereka menempati daerah-daerah
terpencil atau desa-desa. Akan tetapi dalam masyarakat Indonesia tidak
semua masyarakat pedesaan dinamakan atau menamakan diri mereka
sebagai masyarakat adat. Sebagaimana ditetapkan dalam Kongres
Masyarakat Adat Nusantara I yang diselenggarakan pada bulan Maret 1999
lalu, disepakati bahwa Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang
memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis
tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya,
sosial dan wilayah sendiri.8 Pada umumnya masyarakat adat menduduki dan
mendiami wilayah yang sangat kaya mineral dan sumber daya alam
lainnya.9
Masyarakat adat dikenal dalam dunia internasional dengan sebutan
indigenous people. Mereka disebut indigenous karena akar turun-temurun
kehidupan mereka menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
tanah dan wilayah yang mereka huni. Mereka disebut peoples dalam artian
bahwa mereka merupakan komunitas yang unik dengan eksistensi dan
4
Masyarakat, website: http://id.wikipedia.com, 23 Maret 2007
5
Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, Cet. 3, hal. 228
6
Ibid., hal. 229-230
7
Ibid, hal. 242-246
8
Bramantyo dan Nanang Indra Kurniawan, Hukum Adat dan HAM, website:
http://www.IRE.com/ 20 Juli 2007
9
Rafael Edy Bosko, Hak-hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber
Daya Alam, Terjemah Avuva Nababan, Yogyakarta: Elsam, 2006, Cet. I, hal. 1
identitas mereka yang berkelanjutan secara turun-temurun, yang
menghubungkan mereka dengan komunitas, suku atau bangsa dari sejarah
masa lampaunya.10
Salah satu komunitas yang dapat dikategorikan masyarakat adat
adalah Kampung Naga. Secara umum, Kampung Naga terletak di lembah
yang sangat subur. Kampung ini dihuni oleh masyarakat yang sangat kuat
dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya. Lokasi Kampung
Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan
kota Tasikmalaya. Batas wilayah Kampung Naga di sebelah Barat ialah
hutan keramat (hal ini dikarenakan di dalam hutan tersebut terdapat makam
leluhur masyarakat Kampung Naga), sebelah selatan dibatasi oleh sawah-
sawah penduduk, dan disebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai
Ciwulan11 dan hutan larangan.
Tidak ada data resmi mengenai riwayat pendidikan masyarakat
Kampung Naga. Akan tetapi secara umum, masyarakat Kampung Naga
hanya mengenyam pendidikan sampai Sekolah Dasar (SD).12 Seluruh
anggota masyarakat Kampung Naga merupakan penganut agama Islam
namun ajaran-ajaran yang dianut masih dipengaruh budaya nenek moyang
mereka. Dalam kepercayaan mereka dikenal Hajat Sasih, merupakan
upacara ritual yang pelaksanaannya diselenggarakan secara tetap. Upacara
tersebut berlangsung sebanyak enam kali dalam setahun, dengan waktu
yang sudah ditetapkan dan tidak boleh diubah. Makalah ini akan mengupas
budaya Hajat Sasih yang ada dalam masyarakat Kampung Naga dalam
perspektif Islam.

Gambaran Masyarakat Kampung Naga


Wilayah Kampung Naga merupakan daerah perbukitan, permukaan
tanah di bagian barat merupakan kondisi tanah yang memiliki kontur lebih
tinggi dibandingkan dengan permukaan tanah di bagian timur. Artinya,
kondisi permukaan tanah yang memiliki kontur lebih miring ke arah timur.
Hal demikian memungkinkan penghuninya lebih sehat karena pengaruh
sinar ultraviolet di pagi hari yang memadai.13

10
Ibid., hal. 5-6
11
Sungai Ciwulan merupakan sungai yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di
daerah Garut.
12
Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus
2007
13
Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, Bandung: PT. Kiblat Buku
Utama, 2005, hal.19.
Dengan luas daerah yang tidak lebih dari 10,5 Ha.14, anggota
masyarakat Kampung Naga yang tinggal di dalam perkampungan tidaklah
banyak. Jumlah data resmi Kantor Kepala Desa Neglasari, anggota
masyarakat Kampung Naga adalah sebanyak 320 orang.15 Terdiri dari 156
jiwa penduduk laki-laki dan 164 jiwa penduduk perempuan. Kampung Naga
merupakan perkampungan kecil yang hanya terdiri dari satu Rukun
Tetangga (RT), dengan membawahi 108 kepala keluarga.16
Tidak ada rujukan yang jelas mengenai asal-usul masyarakat
Kampung Naga. Hal ini dikarenakan data-data sejarah mengenai asal-usul
Kampung Naga musnah ketika perkampungan tersebut dibakar oleh DI/TII
pada tahun 1956. Hanya saja dari cerita dan tulisan-tulisan, terdapat
beberapa versi yang berbeda mengenainya. Diantaranya:
Pertama, masyarakat Kampung Naga merupakan sebagaian kecil dari
penduduk kerajaan Pajajaran yang menganut agama Hindu. Mereka memilih
mengungsi ke daerah pinggiran manakala Islam datang.17 Akan tetapi, lama-
kelamaan mereka juga menjadi penganut agama Islam. Hanya saja ajaran-
ajaran hindu masih sangat jelas dalam setiap ritual yang mereka adakan.
Kedua, masyarakat Kampung Naga merupakan keturunan dari
kerajaan Galunggung masa Islam. Mereka adalah keturunan dari Sembah
Dalem Eyang Singaparana, anak dari Prabu Rajadipuntang, Raja
Galunggung VII. Prabu Rajadipuntang merupakan Raja Galunggung
terakhir yang menyingkir ke arah daerah Linggawangi. Menurut catatan
sejarah, runtuhnya kerajaan Galunggung di tangan Prabu Rajadipuntang
terjadi pada tahun 1520M. Hal tersebut disebabkan karena mereka diserang
oleh kerajaan Pajajaran di bawah pimpinan Prabu Surawisesa (1535-1543 M
/dalam tulisan lain disebutkan bahwa masa berkuasa Prabu Surawisesa
adalah sekitar tahun 1521-153518). Saat itu terjadi perebutan kekuasaan
antara kerajaan Islam dan kerajaan Hindu yang sebelumnya berkuasa.
Kerajaan Galunggung merupakan kerajaan yang telah memeluk agama
Islam dan berarti tidak lagi menjadikan Pajajaran (Hindu) sebagai pusat.

14
Ibid., hal.16.
15
A. Kurnia, Kepala Desa Neglasari, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007
16
Ketua RT yang ada di Kampung Naga hanya pelaksana teknis dari hasil-hasil kompromi
antara pemangku adat dengan pemerintah setempat. Setiap rencana kegiatan di kampung
atau kegiatan yang diturunkan dari desa, senantiasa dibawa terlebih dahulu ke musyawarah
kampung yang diadakan di bale kampung. Musyawarah dipimpin langsung oleh Kuncen,
sementara anggota musyawarah terdiri dari para sesepuh Kampung Naga sebagai penasehat
dan narasumber bagi Kuncen. Lihat M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat
Kampung Naga Tasikmalaya, Op. Cit., hal. 36-37
17
Agus Widianto, Keunikan Hidup di Kampung Naga, website: http://www.amanah.or.id/
23 Maret 2007
18
Pakuan Pajajaran, website: http://id.wikipedia.org/ 23 Maret 2007
Menghadapi serangan itu, Prabu Rajadipuntang menyelamatkan harta
pusaka dan menyerahkannya pada anak bungsunya yang bernama
Singaparana. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Singaparana dibekali
dengan ilmu kebodohan yang bisa membuat dirinya nyumput buni dina
caang (bersembunyi di keramaian).19
Ketiga, masyarakat Kampung Naga merupakan satu keturunan dari
Sembah Dalem Eyang Singaparana. Kampung Naga pertama kali dibangun
oleh Eyang Singaparana bersama enam saudaranya. Ketujuh bersaudara ini
juga dikenal sebagai pemberontak dari kerajaan Mataram, yang desersi
dalam tugas karena tidak berhasil merebut Batavia dari Belanda.20
Keempat, masyarakat Kampung Naga berasal dari kerajaan Galuh.
Setelah kerajaan tersebut menganut agama Islam, maka diutuslah tiga
utusan dari kalangan kerajaan untuk menyebarkan agama Islam ke daerah
lainnya. Ketiga utusan tersebut mengembara ke tiga tatar (daerah) yang
berbeda. Yang pertama menuju tatar kaler atau ke daerah utara, yang
mereka sebut sebagai daerah Cirebon sekarang. Utusan yang pertama
tersebut dibekal dengan watek kabeungharan (watak kekayaan) dengan
jalan tatanen (bertani). Utusan yang kedua menuju tatar kulon (ke daerah
Barat) yang mereka sebut sebagai Banten sekarang. Utusan kedua ini
diwarisi dengan watek kawedukan, watek kapinteran (salah satunnya tidak
mempan dengan senjata). Utusan yang ketiga menuju ke tatar tengah, yang
menurut mereka adalah tempat dimana mereka berada sekarang. Utusan
ketiga ini diwarisi watek kabodoan,watek kajujuran. Watak ini sesuai
dengan ungkapan yang selalu hidup dalam kehidupan mereka. Adapun
utusan yang ke tatar tengah menurut cerita mereka adalah Sembah Dalem
Singaparana, yang menurunkan masyarakat Kampung Naga sekarang.21
Keseluruh data sejarah tersebut tidak dibenarkan ataupun tidak
disalahkan oleh Kuncen22 Kampung Naga. Hal ini dikarenakan sudah tidak

19
Ahmad Gibson Al Busthomi, Islam Sunda Bersahaja di Kampung Naga, website:
http://www.amanah.or.id/ 23 Maret 2007
20
Sisa Romantisme Pemberontak Mataram, website: http://www.sinarharapan.com, 23
Maret 2007
21
M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat, hal. 63-65
22
Kuncen (dalam bahasa Sunda sama dengan pancen atau tugas) adalah kepala adat dalam
masyarakat Kampung Naga. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kuncen adalah juru
kunci (tempat-tempat keramat dan sebagainya) yang juga mengetahui riwayat tempat yang
dijaganya. Seorang Kuncen sama artinya dengan orang yang mengemban tugas atau
pancen. Namun, karena sebagian besar tugas Kuncen dipegang oleh kaum laki-laki, mereka
biasa disebut pula sebagai Pakuncen. Dalam masyarakat Kampung Naga, Kuncen
merupakan pemangku adat sekaligus pemimpin masyarakat. Ia memiliki wewenang untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakatnya, baik yang berhubungan dengan adat,
maupun dengan tugas-tugas dari pemerintahan setempat. Tugas lain yang dimiliki Kuncen
adalah bertanggung jawab untuk menjaga, melaksanakan dan memimpin acara-acara adat.
ada lagi catatan sejarah yang resmi milik Kampung Naga. Satu hal yang
dibenarkan olehnya adalah bahwa masyarakat Kampung Naga merupakan
keturunan dari Sembah Dalem Eyang Singaparana.23

Seluk-Beluk Tradisi Hajat Sasih


Tidak ada pengertian khusus mengenai Hajat Sasih yang dilaksanakan
di Kampung Naga. Akan tetapi jika dilihat secara bahasa, hajat (dalam
Bahasa Sunda) berarti perayaan, dan sasih berarti bulan.24 Hajat Sasih
merupakan salah satu perayaan dalam bentuk ritual khusus yang
dilaksanakan selama dua bulan sekali oleh masyarakat Kampung Naga.
Ritual ini adalah ritual terbesar dan tersakral yang mereka laksanakan
dibandingkan ritual-ritual lainnya. Ritual ini dilaksanakan dengan waktu dan
tatacara tertentu yang telah ditetapkan oleh leluhur mereka.25
Hajat Sasih merupakan titik kulminasi dari rasa tunduk dan patuh
kepada leluhur mereka. Masyarakat Kampung Naga mengaku berasal dari
cikal bakal atau nenek moyang yang sama, yaitu seorang tokoh yang dikenal
dengan nama Sembah Dalem Eyang Singaparana. Tokoh inilah yang
menurunkan tata kehidupan dan tata kelakuan yang sampai saat ini dianut
dan dilaksanakan oleh seluruh warga masyarakat Kampung Naga atau
disebut juga Seuweu Putu Naga.26
Hajat Sasih hanya boleh diikuti oleh kaum pria. Dengan dipimpin
oleh Kuncen Kampung Naga, acara ini dimulai sejak pagi hari, tepatnya
sejak pukul 09.00 WIB. dan berakhir menjelang shalat dzuhur.
1. Sejarah Pelaksanaan Ritual
Asal-usul atau sejarah masyarakat Kampung Naga khususnya ritual
Hajat Sasih sangat boleh jadi akan terkuak jika sejarah nenek moyang
mereka yang tertulis diatas daun lontar dan salah satu piagamnya yang
terbuat dari tembaga masih utuh. Lempeng yang terbuat dari tembaga
sebenarnya bukan lempeng yang asli. Lempeng asli milik masyarakat

Kuncen merupakan orang terpilih yang ditentukan oleh sesepuh masyarakat Kampung
Naga. Kuncen Kampung Naga diangkat berdasarkan keturunan dari Kuncen-kuncen
sebelumnya. Masa tugas Kuncen adalah selama hayat masih dikandung badan (seumur
hidup). Kecuali dengan beberapa alasan diantaranya sudah terlalu tua, atau tidak bisa
menetap di Kampung Naga, sehingga secara otomatis tidak secara langsung memimpin
disana. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
hal. 541, Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, Bandung, PT. Kiblat
Buku Utama, 2005, hal.35, dan M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat, hal. 36
23
Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus
2007
24
Maun, Punduh Adat Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007
25
Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus
2007
26
M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat, hal. 58.
Kampung Naga terbuat dari kuningan. Lempeng tersebut pada tahun 1922
dipinjam oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia (Jakarta) dan tidak
dikembalikan. Yang dikembalikan hanya duplikatnya yang terbuat dari
tembaga.27
Benda-benda pusaka dan keramat yang merupakan tulisan dan
gambaran sejarah dari leluhur dan asal usulnya pada tahun 1956 habis tidak
tersisa karena terbakar. Kampung Naga dibumihaguskan oleh DI/TII
pimpinan Kartosuwiryo. Pada saat itu, Tasikmalaya dan beberapa daerah
lainnya di Priangan Timur pernah dijadikan basis DI/ TII di daerah Jawa
Barat. Termasuk yang dibakar oleh DI/TII tersebut adalah Bumi Ageung.
Rumah yang notabenenya dipakai sebagai tempat penyimpanan benda-
benda pusaka juga ikut musnah. Benda-benda pusaka yang saat ini masih
ada hanyalah beberapa benda yang tidak dapat terbakar dan beberapa tulisan
yang pada waktu Kampung Naga dibumihanguskan disimpan oleh
pemangku adat sanaga. Oleh karena itulah sangat sukar mengungkap
bagaimana sejarah asli Kampung Naga khususnya sejarah pelaksanaan ritual
Hajat Sasih.28
Akan tetapi, secara garis besar ritual Hajat Sasih merupakan titah
langsung dari Sembah Dalem Eyang Singaparana. Sembah Dalem
menuliskan segala aturan mengenai ritual ini. Hal ini dimaksudkan agar
anak cucu keturunannya bisa mengingat dan senantiasa melaksanakan ritual
tersebut. Selain itu, tatacara pelaksanaan ritual dituliskan agar tidak terjadi
pelanggaran atau penyelewengan ajaran adat yang diajarkan olehnya.
Tidak diketahui sejak kapan ritual ini dilaksanakan akan tetapi
masyarakat Kampung Naga meyakini bahwa ritual ini telah berlaku selama
ratusan tahun sejak meninggalnya Sembah Dalem Eyang Singaparana.29
2. Waktu Pelaksanaan Ritual
Selain mengatur tatacara pelaksanaan ritual, Sembah Dalem Eyang
Singaparana juga mengatur waktu-waktu khusus pelaksanaan ritual ini. Hal
ini dimaksudkan agar masyarakat Kampung Naga dan Sanaga tidak
sembarangan dalam melaksanakanya. Hajat Sasih merupakan upacara ritual
yang agenda pelaksanaannya diselenggarakan secara tetap. Upacara tersebut
berlangsung sebanyak enam kali dalam setahun, dengan waktu yang sudah
ditetapkan dan tidak boleh diubah. Waktu-waktu tersebut antara lain:

• Bulan Muharam (Muharram) pada tanggal 26, 27 atau 28.

27
Her Suganda, Kampung, hal. 30
28
Ibid.
29
Ibid.
•Bulan Maulud (Rabi’ul Awwal) pada tanggal 12, 13, atau 14.
•Bulan Rewah (Sya’ban) pada tanggal 16, 17 atau 18.
•Bulan Syawal (Syawal) pada tanggal 14, 15, atau 16.
• Bulan Rayagung (Dzulhijjah) pada tanggal 10, 11, atau 12.30
Dalam satu tahun, enam kali ritual dilaksanakan. Tiga hari dalam
setiap bulan diatas dimaksudkan sebagai alternatif. Mereka dapat memilih
berdasarkan waktu yang lebih memungkinkan untuk melaksakannya. Hajat
Sasih tidak boleh dilaksanakan bersamaan dengan ritual Menyepi, pada
setiap hari selasa, rabu dan sabtu. Oleh karena itu, disediakan alternatif
sehingga masyarakat Kampung Naga melaksanakan salah satu ritual dengan
tidak melanggar ritual adat yang lainnya.
Dalam kepercayaan masyarakat Kampung Naga, nyepi merupakan
waktu yang tepat untuk melakukan introspeksi diri. Oleh sebab itu,
pelaksanaanya tidak boleh terganggu oleh ritual-ritual lain. Hal ini berlaku
bahkan untuk pelaksanaan upacara ritual yang secara tetap diselenggarakan,
termasuk didalamnya ritual Hajat Sasih. Jika waktunya bersamaan dengan
waktu melaksanakan ritual nyepi, maka pelaksanaan upacara ritual tersebut
harus dimajukan atau dimundurkan agar tidak berbenturan.
Dengan melakukan ritual ini, masyarakat Kampung Naga berusaha
mengembalikan dan memusatkan kekuatan-kekuatan yang hilang dalam
dirinya karena jiwa mereka sudah tercemar oleh anasir buruk atau pengaruh
luar. Dengan cara ini pula mereka berusaha mengeluarkan isi jiwanya yang
kotor dan berusaha mengisinya dengan kekuatan alam semesta yang baik. 31
Berbeda dengan konsep nyepi yang dimiliki oleh kaum Hindu Bali,
selama melakukan ritual nyepi, masyarakat Kampung Naga tetap
melaksanakan rutinitas keseharian mereka termasuk bekerja. Selama
menjalankan nyepi, mereka dilarang melakukan beberapa hal yang dianggap
dapat mencemari niat. Salah satu dari pantangan tersebut adalah dilarang
menceritakan sesuatu apapun yang berkenaan dengan adat istiadat mereka di
waktu itu.
3. Tatacara dan Tahapan Ritual Hajat Sasih
Sebagai tahap awal pelaksanaan ritual Hajat Sasih, secara
bergotong-royong masyarakat Kampung Naga membersihkan area
perkampungan. Setiap pojok rumah atau belokan yang memungkinkan
bertumpuknya sampah, dibuat dan dipasangkan tempat sampah yang terbuat
dari bambu. Begitu pula di sepanjang perjalanan menuju perkampungan.
Acara pembersihan kawasan perkampungan ini dilakukan sehari atau dua
30
Ibid., hal. 83
31
Ibid., hal. 23
hari menjelang Hajat Sasih dilaksanakan. Selain sebagai bentuk kesadaran
masyarakat Kampung Naga dalam menjaga kebersihan lingkungan tempat
tinggal mereka, hal ini juga menjadi sebuah bentuk ketaatan mereka kepada
aturan adat yang mengharuskan mereka menjaga lingkungan.
Secara garis besar, upacara ritual Hajat Sasih diawali dengan ritual
‘beberesih’ yang dilakukan dengan mandi bersama di Sungai Ciwulan,
kemudian dilanjutkan dengan berziarah ke makam leluhur mereka. Selesai
berziarah, acara diakhiri dengan melakukan do’a syukur bersama.
Masyarakat Kampung Naga percaya bahwa yang akan mereka ziarahi
merupakan makam leluhur mereka yaitu Sembah Dalem Eyang
Singaparana. Makam tersebut terdapat di Hutan Keramat yang tidak bisa
sembarangan dimasuki oleh siapapun, kecuali atas seizin Kuncen. Selain
makam Sembah Dalem Eyang Singaparna, di Hutan tersebut masih terdapat
dua makam lain yang dipercaya mereka sebagai makam dari pengawal setia
Sembah Dalem Eyang Singaparana.
Untuk mengunjungi leluhur mereka (dengan melaksanakan Hajat
Sasih), para peserta harus memenuhi beberapa ketentuan, diantaranya
adalah:
Pertama, mendapatkan izin terlebih dahulu dari Kuncen sebagai
pemangku adat di Kampung Naga (bagi masyarakat luar, yang bukan
masyarakat Naga dan Sanaga). Keputusan boleh atau tidaknya mengikuti
ritual ini ada di tangan Kuncen.
Kedua, ziarah hanya boleh dilakukan oleh laki-laki dewasa dan belum
pernah melaksanakan Ibadah Haji. Dalam hal ini, masyarakat Kampung
Naga memiliki pemahaman bahwa orang yang pernah melaksanakan Ibadah
Haji telah melaksanakan ziarah yang lebih utama dari segala ziarah. Oleh
karena itu, terlarang melaksanakan ziarah kepada sesuatu yang lebih rendah
dari ziarah ke Tanah Suci.
Ketiga, fisik dan hati dari peserta ziarah haruslah bersih. Oleh karena
itu, sebelum melaksanakan ziarah, para peserta diharuskan beberesih
terlebih dahulu dengan mandi di Sungai Ciwulan secara bersamaan.32
Adapun secara rinci tahapan dari pelaksanaan ritual Hajat Sasih antara
lain:
1. Beberesih
Beberesih artinya membersihkan diri dengan media mandi. Pengertian
ini mengandung makna bukan hanya membersihkan jasmani (fisik) tetapi
termasuk didalamnya juga membersihkan rohani (jiwa) dari berbagai anasir
yang menempel dan mengotori tubuh dan jiwa peserta ritual. Proses

32
Ibid, hal. 84
kegiatannya ditandai dengan isyarat melalui bunyi kentongan atau kohkol di
Masjid kampung.33
Ritual beberesih diawali oleh Kuncen yang mendahului turun ke
Sungai Ciwulan. Tangannya menggenggam sebuku bambu berisi cairan
leuleueur. Pada salah satu sisi bagian atas buku bambu tersebut terdapat
lubang kecil, tempat memasukkan dan mengeluarkan cairan leuleueur.
Leuleueur secara harfiah berarti pelicin.34 Cairan leuleueur merupakan
ramuan khusus yang terbuat dari akar pohon kapirit dan honje.35 Air ramuan
tersebut kemudian dibagikan kepada para peserta beberesih sebagai
pengganti sabun dan shampo. Jika masih tersisa, air ramuan tersebut
kemudian dibasuhkan ke tubuh masing-masing lalu dibilas dengan cara
berendam selama beberapa saat di Sungai Ciwulan.
Selesai beberesih, para peserta lalu berwudu dan kembali ke rumah
masing-masing. Tubuh yang masih basah tidak boleh dikeringkan dengan
handuk, akan tetapi harus dibiarkan mengering dengan sendirinya.
2. Memakai pakaian adat
Dalam keadaan fisik dan jiwa yang sudah bersih, para peserta ritual
kemudian menggunakan pakaian khas atau pakaian adat warga Kampung
Naga yang juga bersih. Pakaian adat yang ada di Kampung Naga terdiri dari
dua, yaitu pakaian adat yang dipakai sehari-hari dan pakaian adat yang
khusus dipakai saat ada upacara ritual. Pakaian adat ini memiliki empat
unsur yang dapat dibedakan secara jelas dibandingkan dengan masyarakat
umumnya. Diantaranya adalah baju kampret (mirip jubah) berwarna putih
atau hitam, totopong atau ikat kepala dari kain batik, sarung poleng
(pelekat) atau calana komprang (mirip dengan celana kolor panjang),
berwarna putih, biru atau hitam.
Bentuk pakaian yang dipakai ketika Hajat Sasih menyerupai jubah
berlengan panjang. Jubah tersebut mirip dengan jubah yang dipakai oleh
mayarakat Arab, hanya saja jubah Kampung Naga tidak memiliki kancing.
Untuk merapatkannya, dalam jubah tersebut terdapat seutas tali dari kain.
Sebagian besar warna pakaian tersebut adalah putih. Akan tetapi ada pula
yang berwarna biru telur asin. Selain itu, mereka juga menggunakan tutup
kepala yang disebut totopong, atau iket khas masyarakat Kampung Naga.

33
Ibid.
34
Ibid., hal. 85
35
Tidak ada penjelasan yang jelas mengenai pohon kapirit. Akan tetapi pohon honje
dalam bahasa Indonseia disebut dengan pohon kecombrang. Kecombrang merupakan
tumbuhan rumpun yang berakar rimpang (bercabang-cabang) dengan buah berbentuk bulat
seperti nanas serta memiliki nama latin Nicola Hemispaerica (lihat Kamus Besar Bahasa
Indonesia, hal. 460)
Mereka juga memakai sarung poleng tanpa celana dalam, tanpa alas kaki
dan tanpa perhiasan apapun terutama dari logam.
Setelah lengkap, mereka menuju Masjid36 dan menunggu Kuncen.
Sebelum masuk Masjid, mereka mencuci kaki terlebih dahulu dan masuk
kedalamnya sembari menganggukkan kepala dan mengangkat kedua belah
tangan. Hal ini dilakukan sebagai tanda penghormatan dan merendahkan
diri, karena Masjid merupakan tempat beribadah dan suci. Lalu masing-
masing peserta mengambil sapu lidi (nantinya akan digunakan para peserta
ritual untuk membersihkan makam) yang telah tersedia di masjid dan duduk
sambil memegangnya.37 Untuk menjaga kesakralan, sebagian besar peserta
berdiam diri tanpa berbicara. Namun jika dianggap perlu, mereka berbicara
dengan sangat perlahan.
Berbeda dengan Kuncen, Lebe38 dan Punduh adat39. Selesai
melakukan beberesih dan memakai pakaian adat, mereka tidak pergi ke
Masjid melainkan ke Bumi Ageung40. Kuncen amitan (minta restu) kepada
penghuni Bumi Ageung. Disana mereka menyiapkan lamareun (sesajen
yang telah diberi mantra) dan parupuyan (tempat membakar kemenyan)
untuk dibawa ke makam. Lamareun terdiri atas kukus (dupa, kemenyan),

36
Masjid di Kampung Naga tidak hanya memiliki fungsi sebagai tempat ibadah atau
tempat menuntut ilmu agama. Lebih dari itu, fungsi Masjid Kampung Naga juga sebagai
tempat awal dan akhir dari pelaksanaan ritual Hajat Sasih. Jadi, selain sebagai fungsi
tempat ibadah, masjid juga memiliki fungsi lain yaitu tempat pelaksanaan ritual adat.
Wawancara dengan Danudin, Ketua DKM Masjid Kampung Naga, Tasikmalaya, 30 Juli
2007
37
Upacara Adat di Kampung Naga, website: http://id.wikipedia.org/ 23 Maret 2007
38
Lebe atau amil adalah orang yang bertugas untuk mengurus orang yang sudah
meninggal. Dia bertanggung jawab untuk mengurus mulai dari awal sampai akhir yaitu
penguburan dan acara tahlilan. Selain itu, lebe juga bertugas menjadi pemimpin do’a dalam
setiap acara ritual di Kampung Naga. Hasil wawancara dengan Maun, Punduh Adat
Kampung Naga, Tasikmalaya, 30 Juli 2007
39
Punduh adat di Kampung Naga bertugas untuk ngurus laku meres gawe. Ngurus laku
berarti mengurus dan memperhatikan perilaku masyarakat. Sedangkan meres gawe berarti
bertanggung jawab memimpin pekerjaan bersama yang dilakukan masyarakat. Misalkan
membangun rumah, memperbaiki mesjid, bale dan sebagainya. Selain itu tugas punduh
adat adalah menjadi penasehat, baik kepada Kuncen maupun masyarakat. Punduh adat
mempunyai hak untuk memberi masukan atau nasehat kepada Kuncen dalam mengambi
keputusan. Bagi masyarakat punduh adat juga mempunyai wewenang untuk menasehati
atau bahkan menegur masyarakat yang melanggar adat. Ibid.
40
Bumi Ageung (rumah besar), mempunyai ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan
perumahan warga, akan tetapi memiliki fungsi dan arti yang sangat besar. Bangunan ini
memiliki sifat sakral, karena dijadikan tempat penyimpanan benda-benda pusaka dan
dijadikan tempat tinggal tokoh yang paling tua usianya diantara warga Kampung Naga
lainnya, yang dianggap keturunan paling dekat leluhur mereka. Rumah sakral ini terletak
pada teras kedua dari bawah. Bangunan ini sangat sunyi dan berpagar tinggi terbuat dari
bambu dan dirangkap dengan pagar hidup dari hanjuang. Lihat H. M. Ahman Sya dan
Awan Mutakin, Masyarakat., hal. 28
daun sirih, buah pinang, kapur, gambir, bako tampang (tembakau), dan daun
saga atau daun cae.41
Setelah semua siap, mereka kemudian keluar. Lebe membawa
lamareun dan punduh membawa parupuyan menuju makam. Para peserta
yang berada di dalam Masjid keluar dan mengikuti Kuncen, Lebe dan
Punduh satu persatu. Mereka berjalan rapi secara beriringan sambil
membawa sapu lidi.
Sesampainya di pintu gerbang makam (yang ditandai oleh batu besar),
masing-masing peserta menundukan kepala sebagai penghormatan kepada
makam Sembah Dalem Eyang Singaparana.42
3. “Unjuk-unjuk” dan membersihkan makam
Setibanya di gerbang makam, selain Kuncen tidak ada yang masuk
kedalamnya. Adapun Lebe dan Punduh setelah menyerahkan lamareun dan
parupuyan kepada Kuncen, mereka lalu keluar dan tinggal bersama para
peserta ritual yang lain. Setelah itu, Kuncen lalu membakar kemenyan untuk
unjuk-unjuk (meminta izin) kepada Sembah Dalem Eyang Singaparna. Di
depan makam, dengan suara yang halus, Kuncen melakukan unjuk-unjuk,
memberitahu bahwa Seuweu-siwi Naga (anak cucu keturunan Kampung
Naga) telah berkumpul dan menyampaikan maksud serta tujuannya
menyelenggarakan ritual Hajat Sasih.43 Unjuk-unjuk dilakukan Kuncen
sambil menghadap ke sebelah barat, ke arah makam. Arah barat artinya
menunjuk ke arah kiblat. Selain menyampaikan niat ziarah, Kuncen juga
menyampaikan sembah hormat dan permohonan maaf jika seandainya
terdapat adat istiadat yang terlupakan atau sudah dilanggar.
Selesai melakukan unjuk-unjuk, selanjutnya Kuncen mempersilahkan
para peserta ritual untuk mulai membersihkan makam dan kawasan
sekitarnya dengan menggunakan sapu lidi yang dibawa masing-masing
peserta. Bukan hanya sampah kering dedaunan yang jatuh, rumput-rumput
liar yang tumbuh bebas di kawasan makam juga ikut dibersihkan.
Selesai membersihkan makam, Kuncen dan diikuti para peserta
kemudian duduk bersila diatas tanah mengelilingi makam. Secara bergiliran,
mereka menyampaikan do’a dan niat mereka masing-masing. Do’a
disampaikan dalam hati masing-masing untuk memohon keselamatan,
kesejahteraan, berkah serta maksud dan kehendak masing-masing peserta.

41
Ibid., hal. 60
42
Ibid.
43
Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus
2007
Setelah para peserta selesai berdo’a dan menyampaikan niat masing-
masing, Kuncen lalu mempersilahkan Lebe untuk memimpin pembacaan
ayat-ayat suci Al Qur’an dan diakhiri dengan do’a bersama.
Selesai berdo’a, para peserta secara bergiliran bersalaman dengan
Kuncen. Mereka menghampiri Kuncen dengan cara berjalan ngengsod atau
ngagesor (yakni menggunakan kekuatan tangan sebagai penyangga sebagai
pengganti kekuatan kaki untuk bergerak). Setelah bersalaman para peserta
keluar dari kawasan makam, diikuti oleh Punduh, Lebe dan terakhir Kuncen.
Mereka berjalan rapi dan beriringan kembali ke perkampungan. Parupuyan
dan sapu lidi disimpan di para (langit-langit) Masjid. Sebelum disimpan,
sapu lidi tersebut dicuci oleh masing-masing peserta upacara di Sungai
Ciwulan. Sementara lamareun disimpan di Bumi Ageung.
4. Membersihkan Tempat Shalat Pertama
Setelah sebagian anggota masyarakat yang melaksanakan ritual Hajat
Sasih selesai berdo’a, secara berangsur mereka menuruni bukit dan kembali
ke perkampungan. Mereka tidak langsung pulang ke rumah masing-masing,
akan tetapi mereka langsung menuju sebuah tempat berpagar di kawasan
perumahan. Tempat ini diyakini oleh masyarakat Kampung Naga
merupakan tempat dimana pertama kali shalat dilaksanakan.44 Ritual di
tempat ini tidak dipimpin langsung oleh Kuncen. Hal ini dikarenakan
Kuncen masih melaksanakan ritual di makam keramat. Yang memimpin
ritual disini adalah wakil yang dipercaya Kuncen.
Karena pagar tinggi yang mengelilingi tempat tersebut tidak memiliki
pintu, cara masuk satu-satunya adalah dengan menggunakan tangga. Sikap
tenang dan tidak gaduh masih terjaga di tempat ini. Sesampainya di depan
batu, perwakilan Kuncen kembali melakukan unjuk-unjuk. Selesai
melakukannya, barulah acara pembersihan tempat tersebut dimulai. Yang
bisa masuk ke tempat tersebut hanya sebanyak empat atau lima orang.
Mereka membersihkan bagian dalam tempat tersebut. Sementara masyarakat
lain yang tidak masuk, mereka membersihkan bagian luar baik dari ranting-
ranting pohon yang telah kering dan patah, daun-daun kering maupun
rumput-rumput kecil yang mulai bertumbuhan.
Selesai membersihkan tempat tersebut, semua orang yang masuk
kembali keluar melalui tangga yang telah disiapkan. Terakhir, wakil Kuncen
kembali melakukan unjuk-unjuk dan berdo’a. Selesai itu, barulah dia keluar.
Karena tidak semua peserta ritual mengikuti ritual ini, mereka yang
ikut membersihkan tempat tersebut lalu menuju sungai Ciwulan dan

44
Rismana, Ketua RT Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007
membersihkan sapu lidi yang mereka bawa disana. Barulah mereka menuju
Masjid dan menunggu kehadiran Kuncen disana.
5. Ritual akhir
Setelah selesai melaksanakan shalat dzuhur berjama’ah, para wanita
Kampung Naga membawa nasi tumpeng beserta lauk pauknya ke Masjid
untuk kemudian dido’akan oleh Kuncen dalam prosesi Hajat Sasih
selanjutnya. Prosesi ini diawali dengan kedatangan wanita patunggon45.
Wanita patunggon adalah wanita yang bertugas menjadi penunggu Bumi
Ageung. Mereka berpakaian seperti para penari Bali, separuh tubuhnya
mulai dari bagian atas dada dibalut kain. Kedua wanita tersebut
mengantarkan air yang tersimpan di dalam kendi. Mereka bergerak dengan
cara ngengsod atau ngagesor menuju ke arah Kuncen.
Setibanya dihadapan Kuncen dan Sesepuh masyarakat Kampung
Naga, wanita patunggon menyampaikan sembah. Mereka pamit lalu
kembali ke tempat semula dengan cara yang sama, seusai melakukan unjuk-
unjuk kepada Kuncen.46 Setelah kedua wanita tersebut keluar, barulah
Kuncen berkumur-kumur dengan air kendi yang dibawa kedua wanita tadi.
Setelah itu Kuncen membakar kemenyan, lalu ia mengucapkan ijab kabul
sebagai pembukaan. Selanjutnya Lebe membacakan do’anya setelah ia
berkumur-kumur terlebih dahulu dengan air yang sama dari kendi.
Pembacaan do’a diakhiri dengan ucapan amin dan pembacaan surat Al
Fatihah.
6. Murak tumpeng
Suasana khidmat yang menyelimuti semua peserta di dalam Masjid
berlangsung untuk beberapa saat. Tetapi diluar, puluhan wanita telah bersiap
menunggu upacara tersebut usai. Mereka menunggu boboko (tempat
menyimpan nasi yang terbuat dari bambu) yang telah mereka simpan di
dalam Masjid. Boboko tersebut berisi tumpeng (nasi kuning) beserta lauk
pauknya yang beragam tergantung selera dan kemampuan masing-masing
keluarga. Ketika pembacaan do’a selesai, matahari telah tergelincir dari
puncaknya. Boboko berisi nasi tumpeng dan lauk pauknya segera dibagikan
kepada pemiliknya masing-masing. Setiap perempuan mengambilnya
dengan tertib dan teratur, lalu membawanya pulang. Nasi tumpeng tersebut
kemudian dijadikan santapan makan siang bersama seisi rumah. Mereka
menyebutnya murak tumpeng. Berakhirlah runtutan upacara ritual Hajat
Sasih.

45
Patunggon Bumi Ageung merupakan wanita paruh baya yang menjadi penunggu Bumi
Ageung. Wanita patunggon haruslah merupakan wanita yang sudah menapouse. Ia bertugas
menjadi penjaga dan pemelihara Bumi Ageung.
46
Her Suganda, Kampung, hal. 88
Pandangan Masyarakat Mengenai Hajat Sasih
Secara khusus, Hajat Sasih dipahami masyarakat Kampung Naga
sebagai bentuk permohonan berkah dan keselamatan kepada leluhur
Kampung Naga, serta mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan atas segala
nikmat yang telah diberikanNya kepada mereka.47 Selain itu, ritual ini juga
dilaksanakan sebagai ritual penyambut dan peraya hari-hari besar Islam
seperti Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi Muhammad Saw, Haji dan
sebagainya.48 Oleh karena itu ritual ini sampai saat ini tidak pernah terputus
atau ditinggalkan oleh masyarakat Kampung Naga dan Sanaga.
Sebagai ritual yang dilaksanakan setiap dua bulan sekali, Hajat
Sasih bagi masyarakat Kampung Naga merupakan hal yang telah menjadi
sebagian rutinitas. Dalam segi keyakinan, sebagian masyarakat beranggapan
bahwa Hajat Sasih hanya merupakan salah satu bentuk ungkapan rasa
syukur dan permohonan berkah serta penghormatan yang mendalam kepada
leluhur mereka yaitu Sembah Dalem Eyang Singaparana.49 Sebagian yang
lainnya menganggap bahwa ritual Hajat Sasih merupakan kewajiban yang
diembankan kepada masyarakat Kampung Naga untuk selalu dijaga,
dipelihara dan dilaksanakan. Jika hal tersebut tidak dilaksanakan maka
langsung atau tidak langsung pasti akan ada akibat menanti para
pelanggarnya.50
Secara rinci, masyarakat Kampung Naga memahami tradisi ritual
Hajat Sasih sebagai berikut:
1. Penyambut Hari-hari besar
Hajat Sasih dalam kepercayaan masyarakat Kampung Naga sangatlah
agung. Mereka menganggap bahwa ritual ini setara dengan hari-hari besar
Islam seperti Idul fitri dan Idul adha, Muharram, Maulid Nabi, dan
lainnya.51
2. Ungkapan rasa syukur
Selain sebagai penyambut hari-hari besar dalam Islam, Hajat Sasih
dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Naga juga merupakan bentuk
ungkapan rasa syukur mereka kepada Tuhan.52 Sebagai pemeluk Islam,
ungkapan rasa syukur ini terutama sekali disampaikan oleh mereka kepada
Allah Subhanahu Wata'ala seperti tercermin dalam do’a-doa yang mereka

47
Upacara Adat di Kampung Naga, website: http://id.wikipedia.org/ 23 Maret 2007
48
Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus
2007
49
M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat, hal. 58
50
Danudin, Pengurus Masjid Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007
51
Kampung Naga, website: http://id.wikipedia.org/ 23 Maret 2007
52
Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus
2007
sampaikan, baik oleh Kuncen maupun amil. Jadi, syukuran dilakukan bukan
hanya sebagai ungkapan kegembiraan dan rasa syukur mereka kepada
leluhurnya karena Hajat Sasih sudah berlangsung dengan lancar, aman dan
damai. 53
Do’a-do’a yang mereka panjatkan kepada Tuhan, merupakan do’a
permohonan keselamatan dan kesejahteraan bagi seluruh anggota
masyarakat Kampung Naga dan sanaga serta daerah tempat tinggal mereka.
Manusia tidaklah memiliki kekuatan apapun, kecuali dengan kehendak-Nya.
Mereka memiliki ungkapan ‘Jelema mah teu daya teu upaya. Usik malik
oge kersaning nu Maha Kawasa’ (Manusia tidaklah memiliki kekuatan
apapun. Bergerak dan hidup juga merupakan kehendak dari Tuhan).54
3. Perantara Do’a dan Permohonan Berkah
Secara rinci, do’a-do’a yang dipanjatkan dalam ritual Hajat Sasih
tidak penulis peroleh di lapangan, hal ini dikarenakan tidak semua anggota
masyarakat mengetahuinya. Selain itu, Kuncen yang mempunyai hak untuk
menjelaskannya tidak berkenan. Akan tetapi dari tulisan-tulisan yang ada,
do’a-doa yang disampaikan dalam ritual tersebut merupakan do’a-doa
syukur dan permohonan berkah.55
Dalam melaksanakan ritual Hajat Sasih, selain diyakini sebagai ritual
penyambut dan pengungkap rasa syukur, masyarakat Kampung Naga juga
memahami bahwa dengan berziarah, berdo’a dan memohon di depan
makam keramat tersebut dapat menyebabkan do’a mereka lebih didengar
oleh Tuhan.56 Sembah Dalem Eyang Singaparna merupakan perantara dari
do’a mereka (masyarakat Kampung Naga) yang dha’if yang tidak akan
mungkin langsung dapat sampai kepada Tuhan. Sembah Dalem Eyang
Singaparana-lah yang nantinya akan menyampaikan permohonan mereka
tersebut.57 Keyakinan ini tidak hanya diungkapkan oleh wakil Kuncen yang
penulis wawancara, akan tetapi oleh seluruh responden. Selain itu, dengan
melaksanakan Hajat Sasih masyarakat Kampung Naga meyakini dan
mengharapkan turunnya berkah, kesejahteraan dan keamanan dari Tuhan.
4. Hajat Sasih dan Ibadah Haji
Beredar pemahaman, bahwasanya masyarakat Kampung Naga
memahami bahwa ritual Hajat Sasih yang dilaksanakan pada bulan
Rayagung (Dzulhijjah), atau bertepatan dengan hari raya Iedul Adha dan
ibadah haji, merupakan ritual yang setara dengan ibadah Haji atau bahkan
53
Ja’i, Masyarakat Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007
54
Her Suganda, Kampung, hal . 88
55
Ibid.
56
Ujif, Masyarakat Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007
57
Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus
2007
bisa menggantinya. Mereka beranggapan tidak perlu jauh-jauh pergi ke
tanah suci Makkah, namun cukup dengan melaksanakan upacara Hajat
Sasih yang waktunya bertepatan dengan hari raya Haji yaitu setiap tanggal
10 Rayagung (Dzulhijjah). Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan
masyarakat Kampung Naga sama dengan hari raya Iedul Adha dan hari raya
Iedul Fitri.58
Masyarakat Kampung Naga memahami bahwasanya ibadah Haji
merupakan rukun Islam yang ke lima dan wajib dilaksanakan oleh setiap
muslim yang mampu termasuk mereka.59 Tidak pernah adanya masyarakat
Kampung Naga yang melaksanakan ibadah Haji hanya semata ketidak
mampuan mereka dalam melaksanakannya.60
Secara ekonomi, masyarakat Kampung Naga merupakan masyarakat
tradisional dengan keadaan ekonomi rendah (miskin). Setiap anggota
masyarakat memiliki lahan yang mereka garap tidak lebih dari 297 m2 per
KK. Hal ini dikarenakan jumlah lahan pertanian (baik lahan basah maupun
lahan kering) hanya tersedia sekitar enam hektar.61 Hasil bumi yang mereka
hasilkan tidaklah untuk dijual, akan tetapi dipakai untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari mereka. Untuk menambah penghasilan, kebanyakan
mereka menjadi buruh tani atau membuat kerajinan dari bambu bagi mereka
yang memiliki keterampilan dalam bidang tersebut.
Pemahaman masyarakat yang sebenarnya mengenai ibadah haji
tetaplah sama dengan kaum Muslimin di daerah lain. Hanya saja bagi
masyarakat Kampung Naga seseorang yang telah melaksanakan Ibadah Haji
ke tanah suci Makkah tidak diperbolehkan mengikuti upacara ritual Hajat
Sasih. Dalam pandangan mereka, makam keramat merupakan tempat suci
dan sakral akan tetapi tempat tersebut tidaklah lebih suci dibandingkan
dengan tanah suci Makkah. Melaksanakan ibadah Haji menurut masyarakat
Kampung Naga merupakan pelaksanaan ziarah ke tempat tersuci bagi kaum
Muslimin. Oleh karena itu terlarang melaksanakan ziarah kembali dalam
bentuk ritual Hajat Sasih di Kampung Naga. Merupakan suatu kemunduran
dalam pelaksanaan ibadah manakala telah melaksanakan sesuatu kepada
yang lebih utama lalu melaksanakan kembali sesuatu yang tidak utama
didalamnya.62
5. Kekhawatiran Melanggar Adat
58
Kampung Naga, website: http://id.wikipedia.com, 23 Maret 2007
59
Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus
2007
60
Danudin, Pengurus Masjid Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007
61
Her Suganda, Kampung, hal . 73
62
Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus
2007
Ritual Hajat Sasih merupakan salah satu ritual yang telah diatur oleh
adat di Kampung Naga. Ritual ini, selain dipahami sebagai bentuk ungkapan
rasa syukur mereka kepada Tuhan, dan bentuk penyambut dari hari-hari
besar keagamaan, juga dipahami masyarakat sebagai tuntutan dan keharusan
yang diembankan leluhur mereka.
Masyarakat Kampung Naga mempunyai sebuah falsafah hidup
mengenai adat dan keharusan untuk selalu merawat dan menjalankannya.
Falsafah hidup tersebut berbunyi “Amanat wasiat dan akibat. Manakala
amanat dan wasiat dilanggar, niscaya akan ada akibat yang menimpa.”63
Dalam pemahaman mereka, selalu akan ada akibat bagi setiap pelanggaran
yang mereka lakukan.
Amanat dan wasiat adalah adat, agama dan ketaatan kepada keduanya,
ditambah dengan ketaatan kepada pemimpin termasuk pemimpin
pemerintahan. Sementara akibat, masyarakat Kampung Naga membaginya
kepada dua bagian yaitu akibat langsung berupa hukuman langsung yang
diterima pelanggar adat ketika pelanggaran dilaksanakan. Dan hukuman
tidak langsung. Hukuman tidak langsung bisa terjadi dalam bentuk
hukuman dari adat yaitu berupa pengucilan oleh masyarakat maupun
hukuman yang datang dari leluhur mereka.64
Selain itu, ada falsafah lain bagi masyarakat Kampung Naga, yaitu
pamali (tabu). Kata pamali bagi masyarakat Kampung Naga merupakan
sesuatu hal yang tidak boleh dilanggar. Jika ada kata pamali, masyarakat
Kampung Naga tidak akan berani melanggarnya. Misalkan pamali
memasuki hutan larangan. Masyarakat Kampung Naga tidak ada yang
berani memasukinya. Adapun jika ada keperluan kesana (misalkan untuk
medapatkan tanaman obat-obatan yang hanya ada disana), maka satu kaki
masuk ke hutan dan satu kaki lainnya diinjakkan di sungai Ciwulan.65
Keseharian hidup masyarakat Kampung Naga diatur oleh dua hal
yaitu adat dan agama. Adat bagi masyarakat Kampung Naga merupakan
kendali dan pengatur kehidupan di sana.66 Mengenai ketaatan mereka
kepada pemerintah, mereka merujuk kepada falsafah “Tatali kumawulang
ka agama jeung darigama, saur sepuh aya tilu, panyaur gancang temonan,
parentah gancang lampahan pamundut gancang caosan, upami teu udur ti
agama jeung darigama. Pamarentah lain lawaneun tapi taateun salila teu
63
Falsafah ini selalu dikutip oleh narasumber wawancara (masyarakat Kampung Naga)
manakala ditanyakan kepada mereka mengenai adat, ketaatan masyarakat kepada adat dan
pelanggaran yang terjadi terhadapnya.
64
Ibid.
65
Maun, Punduh Adat Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007
66
Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus
2007
udur ti agama jeung darigama” (Ada tiga hal yang dikatakan oleh orang tua
dahulu mengenai aturan dalam mengabdi kepada agama dan darigama
yaitu: panggilan cepat datangi, perintah cepat laksanakan, dan permintaan
cepat penuhi. Pemerintah bukanlah sesuatu yang harus dilawan tapi sesuatu
yang harus ditaati selama tidak bertentangan dengan aturan-aturan agama
dan darigama67)
Falsafah Amanat, wasiat dan akibat, serta pamali merupakan dua hal
yang saling memberikan kekuatan. Secara general, amanat wasiat dan akibat
menyangkut seluruh aspek kehidupan yang ada kaitan atau diatur oleh adat.
Sementara pamali atau tabu merupakan aturan adat yang tidak tertulis, yang
disepakati dan dijalankan secara turun-temurun. Dia berperan secara riil
sebagai rel atau jalan yang membatasi sesuatu yang boleh dan tidak.

Hajat Sasih Dalam Tinjauan Agama


Bagi masyarakat Kampung Naga, agama dan adat merupakan
pegangan dalam menjalani kehidupan. Mereka meyakini tidak ada
pertentangan antara keduanya. Agama mengatur adat, dan adat mengatur
tata hidup dan kelakuan mereka dalam segala hal. Adat yang selama ini
dilaksanakan mereka yakini memiliki dasar dari agama. Hal ini terbukti dari
bacaan serta lafal-lafal do’a yang diucapkan dalam pelaksanaan setiap ritual.
Bagi masyarakat Kampung Naga, mengikuti adat sama saja melaksanakan
salah satu ajaran agama yaitu menjaga amanat dan wasiat.68
Akan tetapi, jika dianalisa secara seksama, Hajat Sasih memiliki
beberapa unsur yang sebenarnya bertentangan dengan Islam. Beberapa
diantaranya:
1. Hajat Sasih ditinjau dari Proses Pembentukannya
Ditinjau dari proses terjadinya, Hajat Sasih merupakan sebuah tradisi
yang timbul dari dua Agama yang memiliki perbedaan akar, yaitu Islam dan
Hindu ditambah dengan ajaran-ajaran animisme. Terjadi akulturasi antara
ajaran-ajaran tersebut. Hal ini jelas terlihat dari praktek dan keyakinan-
keyakinan mereka di dalamnya.
Di Indonesia, proses percampuran (akulturasi) antara ajaran Islam
dengan budaya pribumi (lokal), dapat dibagi menjadi tiga, yaitu proses
alami, edukasi dan organisasi.69 Dalam fase alami, agama Islam dengan
perangkat budayanya dibawa oleh para pedagang yang datang ke Kepulauan
67
Darigama merupakan aturan-aturan hidup yang dipegang oleh masyarakat Kampung
Naga selain agama. Aturan-aturan tersebut diantaranya adalah aturan-aturan adat dan
aturan-aturan yang turun dari pemerintah.
68
Danudin, Pengurus Masjid Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007
69
M. Abdul Karim, Islam Nusantara; Pengaruh Nilai Keislaman dalam Sejarah Bangsa
Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007, Cet. I, hal. 147
Indonesia. Interaksi yang terjadi lama-kelamaan menarik pengikut yang
cukup banyak dari kaum pribumi. Mulailah tersebar Islam.
Da’wah Islamiah berkembang terus dan meluas. Untuk menjaga
kelangsungannya, tidak ada jalan lain kecuali melakukan pengkaderan
muballigh-muballigh baru. Mulailah berdiri perguruan-perguruan.
Percampuran budaya yang terjadi hanyalah antara pendidikan Islam dengan
budaya pribumi.70 Tahap organisasi ditandai dengan berdirinya organisasi-
organisasi Islam. Di samping mempelajari agama Islam, organisasi-
organisasi tersebut juga mempelajari pengetahuan-pengetahuan umum,
seperti baca tulis huruf latin, ilmu hitung, ilmu bumi dan sejarah, sehingga
lebih banyak mengalami percampuran budaya dengan pendidikan barat.
Proses pembentukan organisasi ini menyebabkan terbentuknya gaya hidup
baru yang modern.
Dilihat dari sejarah berdirinya Kampung Naga (walau dalam berbagai
versi) dapat disimpulkan bahwa pada awal mulanya leluhur masyarakat
Kampung Naga merupakan penganut agama Hindu. Sembah Dalem Eyang
Singaparana yang dipercaya masyarakat Kampung Naga sebagai keturunan
terakhir dari penguasa kerajaan Galunggung diyakini masyarakat Kampung
Naga sebagai karuhun yang pertama kali membuat formulasi dari tradisi
tersebut. Akan tetapi, sosok yang dipercaya mereka sebagai leluhur pendiri
awal masyarakat Kampung Naga (Sembah Dalem Eyang Singaparana),
tidak diketahui (karena banyaknya versi) apakah sudah menganut agama
Islam manakala mendirikan Kampung Naga. Selain itu, tidak diketahui pula,
apakah Hajat Sasih diadakan sebelum atau sesudah masyarakat Kampung
Naga memeluk Islam. Hal ini dikarenakan asal-usul atau sejarah Kampung
Naga yang sudah buram.
Beberapa hal yang memungkinkan terjadi dari pelaksanaan ritual
Hajat Sasih dari data sejarah yang penulis dapatkan adalah sebagai berikut:
Pertama: Sembah Dalem Eyang Singaparana belum memeluk agama
Islam pada saat mendirikan Kampung Naga. Begitu pula ritual Hajat Sasih
dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Naga yang pada saat itu seluruhnya
belum menganut agama Islam sepeninggal Sembah Dalem Eyang
Singaparana.
Proses terjadinya percampuran budaya lokal dengan Islam terjadi
manakala da’wah dimulai. Hanya saja, da’wah yang dilaksanakan belum
sepenuhnya berhasil. Para da’i hanya mampu menyisipkan ajaran Islam
dalam ritual tersebut. Analisa ini didasarkan pada data sejarah Kampung
Naga yang masyarakatnya merupakan sebagaian kecil dari penduduk

70
Ibid., hal. 148
kerajaan Pajajaran yang menganut agama Hindu. Mereka memilih
mengungsi ke daerah pinggiran manakala Islam datang.71
Kedua: pada saat mendirikan Kampung Naga, Sembah Dalem Eyang
Singaparana merupakan pemeluk Islam. Sembah Dalem mendirikan
perkampungan tersebut bersama para pengikutnya yang masih menganut
agama keturunan mereka sebelumnya yaitu Hindu. Sembah Dalem berperan
sebagai juru da’wah yang menyampaikan ajaran Islam kepada pengikutnya.
Hajat Sasih merupakan tradisi yang telah lama dilaksanakan oleh
masyarakat yang menganut agama Hindu. Sembah Dalem pada saat itu
hanya mampu menyisipkan ajaran Islam dalam ritual tersebut. Adapun ia
menuliskan wasiat tata cara dan waktu-waktu pelaksanaan ritual tersebut
(bertepatan dengan hari-hari besar Islam) adalah dengan maksud agar ajaran
Islam tidak punah dan pengikutnya tidak lantas kembali kepada tradisi
semula. Analisa ini disandarkan pada tulisan H.M. Ahman Sya dan Awan
Mutakin sebagai berikut:
“Masyarakat Kampung Naga berasal dari kerajaan Galuh. Setelah
kerajaan tersebut menganut agama Islam, maka diutuslah dari
kalangan kerajaan tiga utusan untuk menyebarkan agama Islam ke
daerah lainnya. Ketiga utusan tersebut mengembara ke tiga tatar
(daerah) yang berbeda. Yang pertama menuju tatar kaler atau ke
daerah utara, yang mereka sebut sebagai daerah Cirebon sekarang.…
…… Utusan yang kedua menuju tatar kulon (ke daerah Barat) yang
mereka sebut sebagai Banten sekarang.………Utusan yang ketiga
menuju ke tatar tengah, yang menurut mereka adalah tempat dimana
mereka berada sekarang. …..Adapun utusan yang ke tatar tengah
menurut cerita mereka adalah Sembah Dalem Eyang Singaparana,
yang menurunkan masyarakat Kampung Naga sekarang.72
Ketiga: sejak awal berdirinya Kampung Naga, Sembah Dalem Eyang
Singaparana dan pengikutnya merupakan penganut Islam. Hanya saja,
budaya Hindu telah mengakar sebegitu kuatnya (baik dalam keyakinan
maupun dalam praktek keseharian mereka). Selain itu pemahaman yang
kurang mengenai Islam, menyebabkan percampuran budaya tidak dapat
dihindari. Hal lain yang turut mempengaruhi adalah bahwasanya kultur
da’wah pada masa awal yang menggunakan tradisi lokal (disisipi), atau
da’wah dengan media penyisipan ajaran Islam lewat tradisi, menyebabkan
tradisi lama tidak tergusur akan tetapi eksis dengan bentuk sama akan tetapi
tatacara yang berbeda. Analisa ini bersumber pada catatan yang ditulis
dalam website amanah:
71
Agus Widianto, Keunikan Hidup di Kampung Naga, website: http://www.amanah.or.id/
23 Maret 2007
72
M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat, hal. 63-65
“Masyarakat Kampung Naga merupakan keturunan dari kerajaan
Galunggung masa Islam. Mereka adalah keturunan dari Sembah
Dalem Eyang Singaparana, anak dari Prabu Rajadipuntang, Raja
Galunggung VII. Prabu Rajadipuntang merupakan Raja Galunggung
terakhir yang menyingkir ke arah daerah Linggawangi. Menurut
catatan sejarah, runtuhnya kerajaan Galunggung di tangan Prabu
Rajadipuntang terjadi pada tahun 1520M. Hal tersebut disebabkan
karena mereka diserang oleh kerajaan Pajajaran di bawah pimpinan
Prabu Surawisesa (1535-1543 M (dalam tulisan lain disebutkan bahwa
masa berkuasa Prabu Surawisesa adalah sekitar tahun 1521-1535)).
Saat itu terjadi perebutan kekuasaan antara kerajaan Islam dan
kerajaan Hindu yang sebelumnya berkuasa. Kerajan Galunggung
merupakan kerajaan yang telah memeluk agama Islam dan berarti
tidak lagi menjadikan Pajajaran (Hindu) sebagai pusat. …..”.73
Kasus ritual Hajat Sasih merupakan akulturasi ajaran Islam dengan
budaya Hindu dan ajaran-ajaran Animisme yang berlangsung secara alami.
Ajaran Islam dianut, akan tetapi budaya-budaya lokal tidak ditinggalkan.
Hampir dalam setiap hal akulturasi ini dapat terlihat. Kepercayaan
masyarakat terhadap adanya penunggu setiap tempat-tempat tertentu
(misalkan aliran sungai yang dalam, atau hutan, yang mereka sebut dengan
daerah sanget atau angker) merupakan bekas-bekas ajaran Animisme yang
masih dipegang teguh. Dalam prakteknya, untuk menangkal bahaya yang
ditimbulkan oleh tempat-tempat tersebut mereka menyimpan sesajen
sebagai bentuk penghormatan dan penangkal (supaya penunggu tempat
tersebut tidak mengganggu) dan dalam rapalan-rapalan mantra, mereka
menggunakan lafal-lafal yang dikutip dari Al Qur’an (ajaran Islam). Begitu
halnya dengan Hajat Sasih, keyakinan masyarakat bahwa roh orang yang
sudah meninggal dapat menyampaikan segala permohonan kepada Tuhan,
turunnya berkah dengan diadakannya ritual tersebut, akan turun malapetaka
manakala ritual tersebut dilanggar dan sebagainya merupakan akulturasi
antara Islam dan ajaran-ajaran lain.
2. Hajat Sasih dalam Praktek
Salah satu karakteristik Islam yang tidak diperdebatkan oleh para
ulama adalah tentang kesempurnaan Islam. Artinya, Islam mengatur seluruh
perkara yang mendekatkan diri seseorang kepada Allah dan menjauhkannya
dari dosa. Rasulullah bersabda,
َ
ْ‫قد‬ ِ ‫ن النَّا‬
َ ّ ‫ر إِل‬
َ ‫و‬ َ ‫م‬
ِ ُ‫عد‬
ِ ‫و يُبَا‬ ِ َّ ‫جن‬
َ ‫ة‬ َ ْ ‫ن ال‬
َ ‫م‬
ِ ‫ب‬
ُ ‫ر‬ َ ُ ‫يءٌ ي‬
ِّ ‫ق‬ َ ‫ي‬
ْ ‫ش‬ َ ‫ق‬ِ َ ‫ماَ ب‬
‫م‬ْ ُ ‫ن لَك‬َ ِّ ‫يُبَي‬
73
Ahmad Gibson Al Busthomi, Islam Sunda Bersahaja di Kampung Naga, website:
http://www.amanah.or.id/ 23 Maret 2007
Artinya: ”Tidak tinggal sesuatupun yang mendekatkan (kamu) ke sorga dan
menjauhkan (kamu) ke neraka melainkan sesungguhnya telah dijelaskan
kepada kamu”.74
Al Qur'an juga menyebutkan secara tegas;
         
      

Artinya; ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi
agama bagimu” (QS. Al Ma’idah: 3).
Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm menjelaskan
bahwasanya ayat diatas merupakan berita yang menegaskan tentang
”akbaru ni’amillâh ta’âlâ” (ni’mat terbesar dari Allah SWT) yang diberikan
kepada ummat-Nya, karena Allâh telah menyempurnakan dan meridhai
Islam sebagai undang-undang kehidupan (agama) bagi mereka. Kemudian
beliau berkata, ”Dan janganlah kalian menghendaki agama lain selainnya
(Islam), juga menghendaki Nabi selain dari para Nabi mereka (Muhammad),
dan untuk hal inilah Allâh menjadikannya (Muhammad) sebagai penutup
para Nabi yang diutus kepada bangsa Jin dan Manusia, maka janganlah
kamu menghalalkan kecuali beliau telah menghalalkannya, dan janganlah
mengharamkan kecuali beliau telah mengharamkannya, dan tidak ada
agama selain dari apa yang telah ditetapkannya. Segala sesuatu yang ia
bawa adalah kebenaran dan terpercaya, maka jangalah didustakan dan
jangan pula diselisishi.”75
Ibnu Katsir kemudian menceritakan kisah menarik dari riwayat Imâm
Ahmad dari sahabat Thâriq bin Syihâb ra bahwasannya sahabat Umar Ibnu
Khattab kedatangan seorang lelaki Yahudi dan berkata kepadanya, “Wahai
Amîrul Mukminîn, sesungguhnya kalian membaca di dalam kitab kalian
sebuah ayat, yang apabila ayat itu turun kepada kami, maka kami akan
jadikan hari turunnya ayat itu sebagai hari raya”. Umar berkata, “ayat yang
manakah ?”. Yahudi menjawab,
         
      

74
Hadits Shahîh Diriwayat oleh Imâm Ath-Thabrani di kitabnya al-Mu’jâm al-Kabîr, juz
II, hal.166, hadits No.1647
75
Al Imâm Al Hâfidz Abi Fidâ’ Isma’îl ibnu Katsîr, Tafîir al Qur’ân al ‘Adzîm, Beirut: Al
Maktabah al ‘Asyriyyah, 2000, jilid II, hal. 12-13
Maka berkata Umar, “Demi Allâh, sesungguhnya aku mengetahui hari
dan waktu ketika ayat tersebut diturunkan kepada Rasulullâh. Yaitu pada
hari raya ‘Arafah, hari Jum’at”.76
Hajat Sasih sebagai salah satu tradisi yang dimiliki masyarakat
Kampung Naga diakui atau tidak merupakan sebuah tradisi yang tidak
pernah berlaku atau terjadi dalam masyarakat Islam pada zaman Rasulullah.
Hal ini mengindikasikan bahwasanya telah terjadi perubahan dan
penambahan seiring berlalunya zaman. Dalam Islam, Salah satu hadits yang
mengindikasikan fenomena ini adalah,
‫ش‬
ْ ‫ع‬ ِ َ‫ن ي‬ ْ ‫م‬ َ : ‫ل الله‬ ُ ‫و‬ ْ ‫س‬ ُ ‫ل َر‬ َ ‫قا‬ َ , ,‫ريَة‬ ِ ‫س‬
َ ‫ن‬ ِ ْ‫ض ب‬ُ ‫عْربَا‬ ِ ‫ن‬ ْ ‫ع‬ َ
ِ َّ ‫سن‬
‫ة‬ ُ ‫و‬ َ ‫ستَّتِي‬ ُ ِ‫م ب‬ ْ ُ ‫علَيْك‬ َ ‫ف‬ َ ,‫فا كَثِيًْرا‬ ً ‫خنَِل‬ ْ ِ ‫سيََرى إ‬ َ ‫ف‬ َ ‫م‬ ْ ُ ‫منْك‬ ِ
‫ها‬ َ
َ ْ ‫علي‬ َ ‫وا‬ ُ
ْ ‫ض‬ ّ ‫ع‬ َ ‫و‬ َ ‫ها‬ َ ِ ‫وا ب‬ ُ
ْ ‫سك‬ َّ ‫م‬ َ َ ‫ ت‬,‫ن‬
َ ِّ ‫دي‬
ِ ‫ه‬
ْ ‫م‬ ْ َ
َ ‫ديْن ال‬ ِ ‫ش‬ِ ‫ء الَّرا‬ ِ ‫فا‬َ ‫خل‬ َ ْ
ُ ‫ال‬
َّ ُ ‫ن ك‬ ُ
‫ة‬
ٌ ‫ع‬
َ ْ‫ة بِد‬ ٍ َ ‫حدَث‬ ْ ‫م‬ ُ ‫ل‬ َّ ِ ‫فإ‬
َ ‫ر‬ ِ ‫و‬ ْ ‫م‬ ُ ‫ت اْل‬ ِ ‫حدَثَا‬ ْ ‫م‬ ُ ‫و‬ َ ‫م‬ ْ ُ ‫وإِيَّاك‬
َ ,‫ذ‬ ِ ‫ج‬ ِ ‫وا‬ َ َّ ‫بِاالن‬
ٌ َ ‫ضَلل‬
‫ة‬ َ ‫عة‬ َ ‫د‬ ْ ِ‫ل ب‬ ّ ُ‫و ك‬ َ
Dari ‘Irbadh bin Sariyah, bersabda Rasulullah: “Barangsiapa yang
hidup sepeninggalku nanti, akan melihat perselisihan yang banyak, maka
peganglah sunnahku dan sunnah Khalifah yang lurus dan mendapatkan
petunjuk, genggamlah dengan kuat dan gigitlah dengan gerahammu,
jauhilah olehmu perkara yang muhdats (mengada-ada), karena tiap
muhdats itu bid’ah dan tiap bid’ah itu sesat”.77
Imam Malik, sebagaimana dinukil oleh Imam Syathibi dalam
I’tisham78, menyatakan:

َ‫ع ًة وَ يَرَاهَا حَ سَنَة َفقَدْ زَعَ َم أَنّ النّبِي صَلَّى الُ عَلَيْ ِه وَ سَّلم‬ َ ْ‫لمِ بِد‬
َ ْ‫ن ابْتَدَ عَ فِي الِْ س‬ ِ َ‫م‬
‫ اَلْ َيوْمَم َأ ْكمَلْتمُ َلكُممْ دِيْ َنكُمْم َوأَ ْت َممْتمُ عَلَ ْيكُممْ ِن ْعمَتِي‬: ُ‫ لَِنّ الَ َتعَالَى َي ُق ْول‬,‫خَانمَ رِسمَالَة‬
.‫ ) َفمَا َلمْ َيكُنْ َي ْومَئِذٍ دِيْنًا فَلَ َي ُكوْنُ الْ َي ْومَ دِيْنًا‬3: ‫لمَ دِيْنا (المائدة‬ َ ْ‫وَرَضِيْتُ َل ُكمُ ا ِلْس‬
Artinya: “Barangsiapa yang mengada-adakan bid’ah di dalam Islam dan
menganggapnya sebagai suatu hal yang hasanah, sungguh ia telah
menuduh Rasulullah mengkhianati risalahnya, karena Allah telah
berfirman : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi

76
Riwayat ini juga dapat ditemui dalam Shahîh Al Bukhâri, hadits no: 45, 4407, dan
7268, Imâm Muslim hadits, No. 3017 dan Imâm An Nasâ’I didalam sunannnya jilid V, hal.
251, dan jilid VIII, hal. 114.
77
Dikeluarkan oleh Abu Dawud 5/4607 dan Tirmidzi 5/2676 dan Dia berkata hadits ini
hasan shahih; juga oleh Imam Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Majah 1/43
78
Abu Ishaq Ibrahim As Syatibi, Al-I’tishâm, (tahqiq Salim bin Ied Al Hilali), Makkah:
Dâr Ibn 'Affân, 1995, Cet. 4, Jilid I, hal. 64-65
agama bagimu. Maka apa-apa yang bukan bagian agama pada hari itu
(ayat ini diturunkan) maka bukanlah pula termasuk agama pada hari ini”.79
Hajat Sasih dari segi praktek dapat dikatakan bid’ah. Bid’ah diartikan
oleh Syeikh Aly Mahfudh dalam Al-Ibâ fî Madhâri al-Ibtida, secara bahasa
berarti segala sesuatu yang diciptakan tanpa didahului contoh-contoh.
Bid’ah secara istilah adalah suatu ibarat (gerak dan tingkah laku lahir batin)
yang berkisar pada masalah-masalah agama (syari’at Islamiyah).
Dilakukannya menyerupai syari’at dengan cara yang berlebihan dalam
pengabdian kepada Allah.80
Membuat sesuatu yang baru (bid’ah) terbagi kepada dua macam,
Pertama, membuat sesuatu yang baru dalam hal adat (urusan keduniaan),
seperti penemuan-penemuan modern. Hal ini diperbolehkan karena hukum
asal dalam adat adalah diperbolehkan (mubah). Kedua, membuat sesuatu
yang baru dalam hal agama, hal ini adalah haram. Hukum asal dari masalah
keagamaan adalah tauqif (terbatas pada apa yang diajarkan oleh syari’at).
Bid’ah dalam agama terbagi kepada dua macam, pertama: bid’ah qauliyah
i’tiqadiyah (bid’ah pandangan dalam keyakinan). Kedua, bid’ah dalam
ibadah, seperti beribadah kepada Allah SWT dengan bentuk ibadah yang
tidak diajarkan.81
Bagi masyarakat Kampung Naga, Hajat Sasih tidaklah termasuk
kepada ibadah. Akan tetapi dalam prakteknya mereka menambahkan embel-
embel keyakinan bahwa akan berdosa (disertai perasaan menyesal serta
bersalah) manakala ritual tersebut luput dan tidak mereka kerjakan.82
3. Hajat Sasih dari segi Keyakinan
Hajat Sasih yang rutin dilaksanakan di Kampung Naga merupakan
sebuah ritual yang sebenarnya memiliki beberapa hal yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Beberapa diantaranya adalah:
1. Tawassul
Islam tidak melarang seseorang untuk berziarah selama tidak
bertentangan dengan syari'at seperti mengkhususkan waktu, perjalanan
(safar) untuk berziarah, meminta-minta kepada mayit (tawassul), dan lain-
lain.
Terdapat perbedaan makna antara tawassul (dengan menggunakan
huruf sin) dan tawashshul (dengan menggunakan huruf shad). Badruddin
79
‘Ilmu Ushl al-Bida’ hal. 20
80
Badruddin Hsubky, Bid’ah-bid’ah di Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 2006, Cet.
XI, hal. 28
81
Shalih bin Fauzan bi Abdullah Al Fauzan, Kitab Tauhid 3, (Terj. Ainul Haris Umar
Arifin Thayib dan Agus Hasan Bashori), Jakarta: Darul Haq, 1996, Cet. I, hal. 134-135
82
Danudin, Pengurus Masjid Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007
Syekh Nawawi al-Bantani mengatakan, kata al-wasîlah atau tawassul
berasal dari akar kata wasala yasilu wasîlatan watawassulan.83 Kata ini
memiliki dua makna yaitu al-zulfa yang berarti “berbuat sesuatu yang dapat
mendekatkan diri kepada Allah”. Dan yang kedua berarti al-‘ibâdah wa al-
thâ’ah, yaitu “melaksanakan segala titah Allah dan menjauhi segala
laranganNya.” Dari kedua makna ini, maka tawassul hukumnya dibolehkan
bahkan diwajibkan. Allah SWT berfirman:
                
         

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan


carilah jalan yang mendekatkan diri kepadaNya, dan berjihadlah pada
jalanNya, supaya kamu mendapatkan keberuntungan” (QS. Al Ma’idah:
35).
Di dalam kitab Tafsir Al-Sa'di, jalan untuk mendekatkan diri kepada
Allah (tawashshul) dalam ayat ini bermakna fi'il al-thâ'ah (pekerjaan
ketaatan). Diantara pekerjaan ketaatan tersebut adalah taqarrub ilallah,
meminta kedudukan disisi-Nya, dan Mencintai-Nya. Termasuk didalamnya
adalah mengerjakan amalan-amalan hati dan jasmani yang disyaria'atkan.84
Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara
tertentu) terbagi kepada tiga macam yaitu:
Pertama: masyru’, yaitu tawassul kepada Allah dengan asma’ dan
sifat-sifatnya, dengan amal shalih yang dikerjakannya, tawassul dengan
pengakuan dosa-dosa diri, atau dengan melalui do’a orang yang shalih dan
masih hidup.85
Kedua: bid’ah, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang
tidak disebutkan dalam syari’at, seperti tawassul dengan pribadi para Nabi
dan orang-orang shalih, dengan kedudukan mereka, kehormatan mereka dan
sebagainya. 86
Ketiga: syirik, bila menjadikan orang-orang yang sudah meninggal
sebagai perantara dalam ibadah, termasuk berdo’a kepada mereka, meminta

83
Badruddin Hsubky, Bid’ah-bid’ah, hal. 184
84
Syaikh Abi ‘Abdillâh Abdi ar Rahmân bin Nâshir bin Abdullâh bin Nâshir âli Sa’di,
Taysîr al Karîm ar Rahmân fî Tafsîr Kalâm al Mannân, Beirut: Dâr Ihyâ’ Al Turâts al
‘Arabî, 1999, Cet. 1, hal. 249
85
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan, 'Aqîdah at Tauhîd, Riyadh:
Mu'assasah al haramain al Khairiyah, t.thn., hal. 141-142
86
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, Bogor:
Pustaka At Taqwa, 2004, Cet. I, hal. 277-278
hajat dan memohon pertolongan kepada mereka. Ini termasuk dalam
katagori syirik fî anniyah, al-qasdu, wa al-irâdah.87
Konsep tawassul yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Naga
merupakan konsep tawassul dengan kategori bid'ah dan syirik. Hal ini
dikarenakan mereka mengambil Sembah Dalem Eyang Singaparana (leluhur
mereka yang ada di makam keramat) sebagai tempat perantara do’a-do’a
yang mereka panjatkan kepada Allah. Hal ini ditambah dengan keyakinan
mereka bahwa do’a tersebut akan sampai kepada Allah dengan perantara
leluhur mereka.88 Ibnu Taimiyah di dalam kitab Al-Iqtidha' bab al-
musyrikûn yudhifûna al-ijâbah ila al-Qabr wa shahibih jelas-jelas
menyebutkan fenomena di atas sebagai bentuk amalan orang-orang musyrik.
Sedangkan generasi salaf sebagai generasi yang menyertai nabi tidak pernah
mencontohkannya.89
2. Tabarruk
Tabarruk artinya adalah memohon berkah. Berkah berarti tetapnya
dan bertambahnya kebaikan yang ada pada sesuatu.90 Berkah juga dapat
diartikan sebagai ’kebaikan yang banyak atau kebaikan yang tetap dan tidak
hilang’.91 Islam membolehkan tabarruk dengan dua syarat92,
1. Tabarruk harus dilakukan dengan hal –hal syar'i yang telah diketahui
(kebolehannya). Seperti melalui al-Qur'an (QS. Shadd: 29) dimana
membacanya akan mendapatkan pahala, ketenangan, hidayah dan
kebaikan lainnya dari Allah.
2. Juga dilakukan dengan perkara inderawi (hissi) yang telah diketahui
(kebolehannya). Seperti belajar, berolah raga, berdo'a, dan semisalnya.
Dimana seseorang belajar dan berdo'a agar memperoleh kabaikan dari
Allah atas apa yang ia kerjakan.
Hajat Sasih selain diyakini masyarakat Kampung Naga sebagai
perantara do’a yang mereka sampaikan kepada Allah, juga mereka yakini
sebagai perantara turunnya berkah kepada mereka. Dengan melaksanakan
Hajat Sasih, mereka meyakini bahwa berkah, keselamatan dan kemakmuran

87
Muhammad bin Abdullah bin 'Ali al Wuhaiby, Nawâqidh al-Imân al-I'tiqâdiyyah wa
Dhawâbith al-Takfîr 'inda al-Salâf, Makkah: Dâr al Muslim, 2001, Cet. 2, hal. 197, 198,
202
88
Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus
2007
89
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Iqtidhâ' al-Shirat al-Mustaqîm Mukhâlafah ashhâb al-
Jahîm, Beirut: Dâr al Jîl, 1993, Cet. 1, hal. 381
90
Shalih bin Fauzan bi Abdullah Al Fauzan, Kitab Tauhid 3, hal. 154
91
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah, hal. 278
92
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, Al-Qaul al-Mûfîd 'ala Kitâb al-Tawhîd,
Makkah: Dâr Ibn Jauzy, 1999, Cet. 3, hal. 194
akan turun kepada mereka. Selain itu, mereka juga meyakini bahwa
kemakmuran dan ketentraman kampung mereka aka selalu terjaga.93
Berkah hanyalah milik Allah dan Dialah yang menurunkan serta
mengekalkanya. Praktek tabarruk dari tempat-tempat tertentu, barang-
barang peninggalan dan orang-orang baik, baik yang masih hidup maupun
yang sudah meninggal tidak boleh dilakukan karena praktek tersebut bisa
termasuk syirik apabila terdapat keyakinan bahwa barang-barang tersebut
dapat memberikan berkah, atau termasuk media menuju syirik bila terdapat
keyakinan bahwa dengan menziarahi, memegang dan mengusapnya
merupakan penyebab untuk mendapatkan berkah dari Allah.94

Da’wah Kampung Naga


Sebagai kampung yang menjadikan adat sebagai pegangan tetap
mereka, masyarakat Kampung Naga ternyata menjanjikan peluang bagi
mereka yang akan melaksanakan da’wah. Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan antara lain:
a. Keterbukaan masyarakat menerima da’wah
Sebagai masyarakat adat yang ‘tertutup’, masyarakat Kampung Naga
ternyata terbuka dalam menerima mereka yang berkeinginan melaksanakan
da’wah disana. Beberapa persyaratan yang disampaikan oleh para sesepuh
adat antara lain,
Pertama: tidak mengatas namakan Organisasi Kemasyarakatan
(Ormas Islam) manapun. Hal ini dikarenakan masyarakat Kampung Naga
tidak bersedia dimasukkan kepada salah satu golongan. Dalam pemahaman
mereka, mereka adalah Islam, bukan NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam
atau yang lainnya. Islam yang mereka anut merupakan warisan leluhur
mereka.
Kedua: berkonsultasi dan mendapatkan izin dari para pemangku
adat.95 Hal ini dimaksudkan agar pihak pemangku adat dapat mengetahui
bagaimana jalannya da’wah di Kampung Naga. Selain itu, hal ini juga
dilaksanakan sebagai tindakan preventif dari masuknya ajaran luar yang
tidak dikehendaki.
Selain dua hal diatas, kesempatan da’wah sangat terbuka karena pada
saat ini masyarakat Kampung Naga sangat membutuhkannya. Keadaan ini
salah satunya dikarenakan sudah jarang hadirnya utusan-utusan dari

93
Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus
2007
94
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, Al- Qaul al-Mufîd, hal. 195-196
95
Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus
2007
Departemen Agama Kabupaten Tasikmalaya dalam rangka penyampaian
da’wah disana, sementara dalam anggota masyarakat sendiri tidak ada yang
benar-benar mampu untuk melakukannya.96
Dalam tubuh masyarakat kampung Naga sendiri sedang tumbuh geliat
Kaum muda yang lebih rasional, dan menjanjikan sebuah peluang besar bagi
jalannya da’wah. Respon masyarakat Kampung Naga terhadap unsur-unsur
pembaharuan adalah positif tanggapannya dari kaum muda.97 Hal ini
disebabkan oleh peranan pendidikan di kalangan generasi muda yang relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan pengalaman pendidikan para tokoh dan
anggota masyarakat lainnya. Dengan pengalaman pendidikan ini, di
kalangan generasi muda sedang terjadi proses pergeseran sikap dan respons,
baik terhadap bentuk-bentuk adat yang lama maupun bentuk-bentuk baru
yang mereka dapatkan dari luar. Mengenai hal ini dijelaskan:
“Meskipun respons generasi muda positif terhadap unsur-unsur baru,
tetapi perilakunya masih dalam taraf covert-action, artinya belum
mampu berperilaku nyata sesuai dengan apa yang berarti dan berharga
menurut bentuk-bentuk baru. Generasi muda Kampung Naga sedang
menghadapi dilema. Pada satu sisi, generasi muda Kampung Naga
telah menggeser belenggu adat dan berorientasi menuju cakrawala
penuh dinamika, yakni bentuk-bentuk baru yang telah mendapat
respek dan tempat dalam dunia psikologisnya. Disisi lain, mereka
terpaut ketat di dalam sistem kekerabatan yang disebut Seuweu Putu
Naga atau Sa-Adat Naga, dimana nilai kekeluargaan ini sulit mereka
ingkari.” 98
Dilema yang dihadapi generasi muda Kampung Naga pada dasarnya
sebagai refleksi dari adanya tatanan dan proses sosial yang wajar. Yang
menyangkut tatanan sosial yang berlaku dalam masyarakat Kampung Naga
adalah, bahwa sistem hubungan antara individu dalam kelompok
kekerabatan Seweu Putu Naga bertumpu pada asas hierarkis dan senioritas.
Kriteria senioritas itu bisa atas dasar pertimbangan usia dan atau
pertimbangan pengalaman ihwal adat. Tatanan ini sangat mengikat,
sehingga membuat status tokoh masyarakat atau tokoh adat cukup disegani
dan sulit ditentang oleh anggota kelompoknya.99
Proses sosial yang wajar terjadi di dalam kelompok masyarakat adalah
terjadinya benturan nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai baru yang
berhasil menerobos tatanan lama yang masih mendominasi kehidupan
masyarakat yang bersangkutan. Benturan tersebut cenderung menimbulkan
96
Danudin, Pengurus Masjid Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007
97
M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat, hal. 91
98
Ibid., hal. 93
99
Ibid., hal. 94
pertentangan antara generasi muda dengan generasi sebelumnya yang pada
gilirannya menimbulkan perbedaan sistem nilai dan pandangan antara kedua
generasi.
Lebih jauh lagi, dijelaskan bahwa:
“Pertentangan antara generasi muda dengan generasi-generasi
sebelumnya yang terjadi dalam kasus masyarakat Kampung Naga,
belum sampai muncul ke permukaan. Artinya masih dalam taraf
covert action. Generasi muda Kampung Naga tampaknya masih
cemas untuk melangkahi sangsi-sangsi sosial, atau mereka belum
mampu melepaskan diri dari social preasure yang bersumber dari
mekanisme organisasi dan kepemimpinan sosial yang dikendalikan
oleh sifat-sifat tradisionalisme, particularisme values dan orientasi
paternalistic.” 100
b. Ketertutupan masyarakat menerima anasir-anasir dari luar
Selain dua persyaratan diatas, terdapat pula tantangan yang akan
dihadapi manakala melaksanakan da’wah di Kampung Naga. Hal tersebut
antara lain,
Pertama: sebagai masyarakat yang tradisional, pemikiran yang
dimiliki masyarakat Kampung Naga sangatlah tradisional dan terkesan
irasional. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah, dan
menyebabkan fanatisme berlebihan terhadap keyakinan yang mereka anut.
Kedua: sebagai masyarakat adat, adat istiadat di Kampung Naga
merupakan sebuah pedoman hidup yang tidak dapat digantikan. Pemahaman
da’i mengenai adat adalah mutlak dilakukan, sebagai dasar dalam
menetapkan materi dan program da’wah. Selain itu masyarakat Kampung
Naga sedikit banyak masih memahami bahwa segala sesuatu yang bukan
berasal dari leluhur mereka merupakan hal yang tabu untuk dilaksanakan.
Ketiga: keberadaan para pemangku adat yang bersifat eksklusif. Bagi
masyarakat Kampung Naga, apapun yang disampaikan oleh pemangku adat
merupakan sesuatu yang wajib dilaksanakan. Mereka hanya mendasarkan
diri pada argumentasi dan orientasi pada paket budaya yang diperoleh dari
proses sosialisasi semata dengan memberikan konsep tradisionalism,
particularism values dan mengupayakan diri agar significant dan
generalized dengan tokoh-tokoh pemangku adat leluhurnya.101
Keempat: tradisi dalam masyarakat Kampung Naga merupakan tradisi
yang dilindungi dan dilestarikan oleh pemerintah khususnya Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu hambatan da’wah yang
dihadapi salah satunya adalah dari pemerintah.
100
Ibid., hal. 95
101
Ibid., hal. 89
Penutup
Sebagai unsur terpenting dalam da’wah (yaitu sebagai obyek/
penerima), masyarakat Kampung Naga merupakan masyarakat pedesaan
dan masyarakat adat dengan berbagai macam aturan dan tipologi mereka.
Sebagai masyarakat pedesaan, Kampung Naga merupakan sebuah kampung
kecil berada di lembah dengan penduduk yang relatif sedikit.
Masyarakat Kampung Naga merupakan masyarakat suku bangsa
Sunda. Suku bangsa Sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun
menggunakan bahasa-ibu bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan
sehari-hari, dan berasal dan bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah
yang juga sering disebut dengan Tanah Pasundan atau Tatar Sunda.
Secara sosiologis, masyarakat Kampung Naga sebenarnya tidak
tergolong masyarakat terisolasi, baik dari segi teritorial maupun dari aspek
proses komunikasi antara mereka dengan masyarakat luar. Hal ini
dikarenakan selain letaknya yang berdekatan dengan masyarakat sekitar,
mereka juga terbiasa berkomunikasi langsung atau tidak langsung dengan
wisatawan lokal maupun wisatawan asing. Secara teori, kondisi masyarakat
seperti ini akan mudah diterobos oleh berbagai anasir (nilai inovatif) yang
berasal dari luar. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Masyarakat
Kampung Naga sampai saat ini masih dalam kondisi mereka yang masih
utuh dengan segala kesederhanaan hidup dan kehidupan dengan belaian
nilai-nilai tradisional yang akrab sebagai warisan leluhur yang keramat dan
magis.
Masyarakat luar tidak pernah menginfiltrasi adat orang Naga dengan
jalan memperkenalkan bentuk-bentuk lain dari luar. Sikap masyarakat luar
seperti ini cukup besar memberikan pengaruh bagi masyarakat Kampung
Naga. Bagi mereka, sekurang-kurangnya dapat menambah keyakinan
bahwasanya adat leluhur mereka merupakan pilihan terbaik atau berarti dan
berharga bagi mereka dan dihormati oleh pihak lain. Persepsi demikian
kurang memberikan kesempatan (khususnya bagi masyarakat Kampung
Naga sendiri) untuk mengoreksi nilai-nilai yang dianutnya, dan sekaligus
tidak juga memberikan kesempatan pada nilai-nilai lain (dari luar) untuk
memasuki dunia yang mereka anut.
Tidak tercatat sejak kapan masyarakat Kampung Naga memeluk
Islam. Hanya saja hal tersebut diyakini telah berlaku semenjak Kerajaan
Galunggung memeluk agama Islam. Selain itu tidak diketahui pula siapa
yang melaksanakan da’wah pertama kali disana. Dalam keyakinan
masyarakat kampung Naga, Sembah Dalem Eyang Singaparana-lah yang
merupakan pendiri kampung naga dan leluhur mereka yang mewariskan
ajaran agama Islam kepada mereka, beserta dengan ajaran adat sekaligus.
Data yang penulis dapatkan, proses da’wah di Kampung Naga dirintis
oleh Departemen Agama sejak tahun 1985. Pada saat itu, masyarakat
Kampung Naga merupakan masyarakat yang tertutup. Mereka mencurigai
setiap orang yang datang ke kampung mereka termasuk para da’i. Hal ini
disandarkan pada kekhawatiran mereka akan adanya pihak-pihak luar yang
ingin merubah tradisi yang selama ini mereka jalankan.
Kegiatan da’wah yang dilakukan pada masa tersebut dalam bentuk
pengajian dan pemberian bantuan berupa Al Qur’an dan Juz ‘Amma. Selain
dua hal tersebut, masyarakat Kampung Naga menolaknya. Hal lain yang
dilaksanakan adalah pemberian beasiswa bagi anak-anak Kampung Naga
untuk melanjutkan pendidikan. Dana untuk itu didapatkan dari Badan Amil
Zakat.
Pada saat penelitian dilaksanakan, kegiatan da’wah di Kampung Naga
masih berjalan walau dengan kondisi yang tidak teratur. Para pengajar hanya
berasal dari masyarakat Kampung Naga yang dianggap memiliki
kemampuan agama melebihi yang lainnya. Adapun para penyampai da’wah
(da’i) dari Departemen Agama sudah jarang datang dan mengajarkan agama
disana. Tidak banyak dijelaskan oleh Depag mengenai penyebab dari hal
tersebut, akan tetapi sedikit disinggung bahwa hal tersebut terjadi karena
kurangnya tenaga da’i dan kerjasama antar Ormas Islam serta Kampung
Naga tidak lagi menjadi prioritas.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.


Abu Ishaq Ibrahim As Syatibi, Al-I’tishâm, (Tahqiq Salim bin Ied Al-Hilali),
Makkah: Dâr Ibn 'Affân, 1995.
Al Imâm Al Hâfidz Abi Fidâ’ Isma’îl ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Adzîm, Beirut: Al Maktabah al ‘Asyriyyah, 2000, jilid II.
A. W. Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997.
Badruddin Hsubky, Bid’ah-Bid’ah di Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press,
2006.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
Djoko Widagdo, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta; Bumi Aksara, 2001.
Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, Bandung: PT.
Kiblat Buku Utama, 2005.
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial; Suatu Teknik Penelitian
Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: Rosda
Karya, 2002.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT
Rosdakarya, 2004.
Lorens Bagus, Kamus Filasafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Maryaeni, Metode Penelitian Kebudayaan, Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
M. Abdul Karim, Islam Nusantara; Pengaruh Nilai Keislaman dalam
Sejarah Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Muhammad bin Abdullah bin 'Ali al Wuhaiby, Nawâqidh al-Imân al-
I'tiqâdiyyah wa Dhawabith al-Takfîr 'inda al-Salâf, Makkah: Dâr al
Muslim, 2001.
Rafael Edy Bosko, Hak-hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan
Sumber Daya Alam, Terjemah Avuva Nababan, Yogyakarta: Elsam, 2006.
Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: Rajawali Press,
2001.
Shalih bin Fauzan bi Abdullah Al Fauzan, Kitab Tauhid 3, Terjemah Ainul
Haris Umar Arifin Thayib dan Agus Hasan Bashori, Jakarta: Darul Haq,
1996.
Soerjono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo,
2001.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek,
Jakarta: Penerbit Renika Cipta, 2002.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Bandung:
penerbit Alfa Beta, 2008.
Syaikh Abi ‘Abdillâh Abdi ar Rahmân bin Nâshir bin Abdullâh bin Nâshir
âli Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, Beirut:
Dâr Ihyâ’ Al Turâts al ‘Arabî, 1999.
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan, 'Aqîdah at Tauhîd,
Riyadh: Mu'assasah al haramain al Khairiyah, t.thn.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Iqtidhâ' al-Shirât al-Mustaqîm Mukhâlafati
ashhâb al-Jahîm, Beirut: Dâr al Jîl, 1993.
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, Al-Qawl al-Mufîd 'ala Kitâb al-
Tawhîd, Makkah: Dâr Ibn Jauzy, 1999.
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah,
Bogor: Pustaka At Taqwa, 2004.
http://id.wikipedia.com
http://www.IRE.com/
http://www.amanah.or.id/
http://www.sinarharapan.com

You might also like