You are on page 1of 12

Kesantunan dalam Perspektif: Suatu Telaah Sosiopragmatik Penggunaan Bahasa di BDK Surabaya

Oleh: Jamal *)

Abstract Even more people, include us, without any pretending some time express something idea indicated as face threathening act and breaks good relativeness. How should we speech politely, recively, make others happy, and saving face? This article discuss about politeness from many perspective: social norms, speech contract, maxim of speech, saving face, and Javanesse ettiquite. The data were collected by observation in language used at relegious training centre of Surabaya in recently several years. Every social community has it own norm set contain an explicite role for determinate its politeness. This role was determinated by special action, milliu, and the way of think of the social community. Something of speech act is indicated as politeness whenever it is go with the social norms. In contrary, something speech act is indicated as an impolite thing if it breaks the social norms. As eastern community, Javanesse has it own ettiquites. They were prinsip rukun, prinsip hormat, empan papan, and andhap ashor. The realization of politeness in Jawanesse community is considerating of two important things: pangucap and patrap. Pangucap is speaking and patrap is attitude that is andhap asor. Andhap asor mean downself in front the other. Skill of andhap asor, ethok-ethok, and speak considerating empan papan were part of speech politeness in Javanesse community. Keyword: kesantunan, norma sosial, kontrak percakapan, maksim percakapan. Pengantar Secara dikotomis fungsi utama bahasa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi transaksional dan fungsi interaksional (Brwon dan Yule, 1996). Berdasarkan fungsi utama itu kemudian kita mengenal bahasa transaksional dan bahasa interaksional. Bahasa transaksional digunakan untuk menyampaikan informasi faktual atau proposional, sedangkan bahasa interaksional digunakan untuk membentuk, memupuk, dan memelihara hubungan sosial dan sikap individual. Para 1

ahli filsafat dan ahli psikolinguistik pada umumnya tertarik pada bahasa transaksional, sedangkan para ahli sosiologi dan para ahli sosiolinguistik lebih tertarik pada bahasa interaksional. Dahulu, keterampilan seseorang dalam ber-madu basa (berbahasa dengan santun), ber-madu rasa (berbahasa dengan perasaan), serta ber-madu brata (tekun beribadah kepada Tuhan), menjadi tolok ukur kedewasaan seseorang. Kini, masyarakat kita mulai mempertanyakannya karena banyak pejabat dan para elite politik yang kita anggap dewasa yang mestinya menunjukkan madu basa, madu rasa, dan madu brata-nya dan dapat memberi contoh penggunaan bahasa yang santun, malah berperilaku bahasa yang sebaliknya. Pernyataan Said Agiel Siradj, Rais Suriah PB NU, Jangan ngajari omong kasar! ( Siradj, 2000:2) yang ditujukan kepada para elite politik menunjukkan makin berkurangnya pemahaman masyarakat kita terhadap unggah-ungguh atau adab sopan santun berbahasa. Banyaknya orang yang mengumbar kata-kata kotor di banyak tempat (Gatra, 3 Agustus 2006: 6) juga menunjukkan hal demikian. Banyak orang, termasuk kita, kadang-kadang tanpa disadari mengeluarkan kata-kata yang dapat diindikasikan sebagai tindakan menyerang muka orang lain atau bahkan muka sendiri, menyisakan luka mengaga yang tak terobati hingga kini. Bagaimana seharusnya kita berbahasa yang santun, berterima, menentramkan hati, dan menyelamatkan muka semua? Tulisan sederhana berikut ini mudahmudahan dapat menguraikan benang kusut problema berbahasa kita. Even more people, include us, without any pretending express something idea indicated as act threathening face and breaks good relativeness. How should we speech politely, recively, make others happy, and saving face? This article discuss about politeness from many perspective.

Kesantunan Berbahasa dalam Perspektif Kesantunan berbahasa memiliki dua dimensi, yaitu dimensi bentuk dan dimensi nilai. Dimensi bentuk menyangkut formulasi tuturan yang secara kasat mata dapat diamati dari satuan gramatikanya, sedangkan dimensi nilai menyangkut pandangan seseorang/masyarakat terhadap tindak-tindak yang merealisasikan kesantunan. Kita semua mengetahui bahwa bertutur secara santun itu berkaitan erat dengan keinginan masyarakat untuk mempertahankan eksistensinya sebagai kelompok masyarakat yang ingin selalu dianggap berbudi luhur, memiliki kebudayaan yang tinggi, serta menjunjung tinggi etika dan moral. Kesantunan berbahasa memegang kedudukan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Bagi masyarakat Jawa, misalnya, kesantunan berbahasa bukan hanya semata-mata piranti pelumas interaksi seperti halnya yang terjadi di masyarakat Barat, tetapi merupakan salah satu wewaler atau pedoman hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, melanggar kesantunan sama halnya dengan melanggar pedoman hidup bermasyarakat, yang dalam bahasa Jawa disebut nerak wewatoning urip. Dan sanksi yang diberikan kepada para pelanggar pedoman hidup itu adalah sebutan ora Jowo, bukan orang Jawa atau durung Jawa belum menjadi orang Jawa. Sebagai contoh, bila seseorang diberi sesuatu oleh orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya dan tidak mengatakan matur nuwun terima kasih kepada orang yang memberi, maka dikatakan ora Jowo, kodo atau kata-kata lain sejenisnya. Bagi orang Jawa yang baik, sebutan ini sungguh menyakitkan hati sekaligus memalukan karena secara tidak langsung kata itu berarti mengusir seseorang keluar dari kelompok etnis Jawa. Berikut ini dipaparkan kesantunan dipandang dari berbagai perspektif; perspektif norma sosial, kontrak percakapan, maksim percakapan, penyelamatan muka, dan etika orang Jawa.

Santun dalam Perspektif Norma Sosial Setiap masyarakat mempunyai seperangkat norma yang terdiri atas sejumlah kaidah eksplisit. Kaidah itu ditentukan oleh perilaku tertentu, lingkungan, dan cara berpikir masyarakat tersebut. Suatu bentuk tindak berbahasa dianggap santun apabila cocok (congruence) dengan norma. Sebaliknya, suatu tindak berbahasa tergolong tidak santun apabila berlawanan dengan norma. Pandangan norma sosial dikembangkan mulai tahun 1872 oleh John S. Locke dalam tulisannya yang berjudul Ladies Book of Etiquette and Manual of Politeness. Dalam buku itu dikatakan bahwa kesantunan berkaitan dengan gaya berbicara. Makin formal gaya berbicara seseorang makin dianggap santun; sebaliknya, gaya berbicara tidak formal dianggap tidak santun dan kasar. Santun dalam Perspektif Kontrak Percakapan Percakapan adalah tindak yang mengikat partisipan. Tindak yang mengikat itu berisi kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang harus dipatuhi oleh setiap partisipan. Masing-masing partisipan membawa pemahaman tentang seperangkat kebenaran dan kewajiban menentukan apa yang diharapkan oleh partisipan lain. Dalam pada itu, selama percakapan selalu ada kemungkinan untuk melakukan negosiasi kembali kontrak percakapan di antara partisipan percakapan. Dua orang yang sedang bercakap-cakap mungkin akan mengatur kembali apa yang benar dan apa yang wajib mereka pertahankan pada waktu melakukan percakapan. Prinsip kerja kontrak percakapan ini didasarkan pada nosi kewajiban dan kebenaran. Penutur dianggap santun apabila memenuhi kewajiban dan tidak melampaui hak-hak mitra tutur. Misalnya, penutur diharapkan mengambil giliran bicara (turn taking), menggunakan bahasa yang jelas dan tidak taksa, dan berbicara cukup keras, sehingga mitra tutur mendengar dengan jelas serta berbicara serius. Berdasarkan kontrak percakapan, berbicara santun itu memiliki tiga kriteria. Pertama, berbicara santun itu tidak hanya berkaitan dengan perkataan, tetapi juga 4

berkaitan dengan perbuatan. Perkataan yang menurut pilihan katanya tergolong santun, tetapi apabila diiringi dengan perbuatan dan cara mengungkapan yang tidak santun, maka perkataan itu dikatakan tidak santun. Kedua, perkataan santun atau tidak santun itu bergantung pada kondisi. Suatu perkataan diucapkan pada kondisi tertentu mungkin dipandang santun, tetapi jika diucapkan pada kondisi yang lain mungkin malah dipandang tidak santun. Ketiga, aspek santun atau tidak santun itu bergantung sepenuhnya pada mitra tutur. Sebagai contoh, suami benar-benar bermaksud santun memuji masakan istri dengan mengatakan Masakan mama enak, ya! tidak digolongkan santun oleh istrinya apabila si istri menginterpretasikan hanya sebagai sindiran, misalnya dalam konteks suami menyindir istrinya yang tidak pandai memasak. Santun dalam Perspektif Maksim Percakapan Maksim Percakapan adalah sejumlah aturan dalam percakapan. Maksim Percakapan ini menyangkut prinsip apa yang akan dan harus dikatakan, kapan harus mengatakan, dan bagaimana harus mengatakannya. Menurut Maksim Percakapan berbicara santun itu memiliki tiga prinsip, yaitu (a) tidak mengganggu (dont impose), (b) memberi pilihan (give options), dan (c) membuat hati enak (make feel good). Prinsip tidak mengganggu digunakan dalam situasi formal atau resmi, misalnya Kalau tidak mengganggu Bapak, saya bisa mendampingi Bapak ke tujuan (sopan) Saya ikut Pak.! (kurang sopan). Prinsip memberi pilihan digunakan dalam situasi nonformal, misalnya Bapak mau minum yang panas, dingin, atau .... (sopan) Bapak minum teh hangat saja, ya.! (kurang sopan). Prinsip membuat enak hati digunakan dalam situasi intim, sangat akrab, misalnya Ayo, lihat Ayah bawa apa ini (=hadiah). (sopan) Ini kubawakan yang kaumau! (kurang sopan). Penerapan ketiga prinsip tersebut masing-masing tentu saja bergantung pada situasi tutur yang dipahami penutur. Kemampuan penutur untuk memilih salah satu prinsip ini sesuai dengan situasi tutur disebut kemampuan berbahasa yang santun. Jika seorang istri bertanya pada suami, Bagaimana masakanku, Mas? kalau suami

meyadari situasinya akrab atau intim, maka bisa saja ia memberikan jawaban, Mmm, uennak, mak nyuus! dengan maksud sebenarnya, masakanmu tidak seberapa enak. Suami menyadari kalau dijawab dengan sebenarnya, nanti istrinya marah. Teori Maksim Percakapan selanjutnya disempurnakan oleh Leech (1993). PK diterapkan oleh Leech dengan memusatkan diri pada ranah pragmatik retorik, yaitu tujuan perilaku linguistik. Ia membedakan tujuan tuturan, yaitu apa yang dimaksudkan penutur untuk disampaikan melalui tuturan dan tujuan sosial penutur, yaitu posisi yang membuat penutur harus bersikap jujur, santun, ironis, dan semacamnya dalam berbicara. Menurut Maksim Percakapan Leech, prinsip sopan didasarkan atas maksimmaksim, yaitu (1) kearifan (tact), (2) kederamawanan (generosity), (3) pujian (approbation), (4) kerendahan hati (modesty), (5) kesepakatan (agreement ), (6) simpati (sympathy). Maksim kearifan menyangkut tindak meminimkan biaya (cost) dan memaksimalkan keuntungan (benefit) kepada mitra tutur, misalnya: Yang TIDAK berkepentingan DILARANG masuk! (tidak santun) Yang berkepentingan SILAKAN masuk! (santun). Maksim kedermawanan menyangkut tindak meminimalkan keuntungan penutur dan memaksimalkan keuntungan pada mitra tutur, misalnya: Bu Ana, sekali-kali saya harus mencicipi MASAKAN BU ANA. (tidak santun) Bu Ana sekali-sekali harus mencicipi MASAKAN SAYA! (santun). Maksim pujian menyangkut tindak meminimalkan kecaman (dispraise) kepada mitra tutur dan memaksimalkan kecaman pada penutur, misalnya: Gara-gara KAMU saya jadi salah. (tidak santun) Kamu tidak salah, SAYA kok yang salah. (santun). Maksim kerendahan hati menyangkut tindak meminimalkan pujian (praise) dan memaksimalkan kecaman kepada penutur, misalnya: Silahkan minum, TEH MAHAL LHO INI?! (tidak santun) 6

Silakan diminum, HANYA TEH, KOK! (santun ) Maksim kesepakatan mengecilkan ketaksetujuan (disagreement) dan memaksimalkan kesepakatan antara penutur dan orang lain (others), misalnya: Apa yang dikatakan Pak Kepala Balai itu TIDAK BENAR. (tidak santun) Bandingkan dengan tuturan yang maksudnya sama berikut ini; Apa yang dikatakan Pak Kepala Balai itu ADA BENARNYA. (santun) Apa yang dikatakan Pak Bos TIDAK TERLALU SALAH. (santun) Apa yang dikatakan Pak Bos MENDEKATI BENAR. (santun) Maksim simpati meminimalkan antipati dan memaksimalkan simpati penutur dengan yang lain, misalnya: Saya BENCI dia. (tidak santun) Saya KURANG BEGITU SUKA CARA dia. (santun). Santun dalam Perspektif Penyelamatan Muka Pernahkah mendengar orang berkata, Mau saya taruh di mana muka saya? Nah, percakapan yang santun itu pada hakikatnya adalah tindak menyelamatkan muka (face-saving), baik muka sendiri maupun muka orang lain, mitra tutur. Banyak ahli yang menyatakan bahwa teori kesantunan ini cukup komprehensif dalam menelaah fenomena kesantunan, karena menyangkut baik perilaku verbal maupun nonverbal. Bahwa kesantunan berbahasa dikomunikasikan sebagai pesan dalam implikatur percakapan sebagaimana diusulkan Grice. Implikatur percakapan adalah implikasi pragmatis yang terkandung dalam suatu bentuk lingual yang diujarkan oleh penutur kepada mitra tutur dalam suatu percakapan. Sementara itu, implikasi pragmatis adalah unit pragmatis terselubung dari suatu satuan pragmatis yang dituturkan secara langsung oleh penutur. Menurut Brawn dan Levinson, tuturan (7) dan (8) berikut misalnya, tidak semata-mata pujian (penutur hanya ingin agar mitra tuturnya senang) tetapi mengandung juga implikasi pragmatik yang merepresentasikan maksud santun. Sebaliknya, tuturan (9) terdengar kurang memiliki maksud santun. 7

(7) Lama tidak bertemu Mbak Zub, sekarang Mbak Zub tambah makmur, ya. (santun, makmur = gemuk) (8) Lama tidak bertemu Mbak Zub, sekarang Mbak Zub tambah subur, ya. (santun, subur = gemuk) (9) Lama tidak bertemu Mbak Zub, sekarang Mbak Zub kok gembrot begini? (kurang santun, gembrot = gemuk)

Santun dalam Perspektif Etika Orang Jawa Kajian tentang kesantunan berbahasa dalam masyarakat Jawa tidak bisa lepas dari kajian tentang etika Jawa karena kesantunan hakikatnya merupakan sebagian dari realisasi pelaksanaan etika. Realisasi pelaksanaan etika Jawa dimotivasi oleh dua prinsip, yaitu Prinsip Rukun dan Prinsip Hormat. Prinsip Rukun menuntut agar masyarakat jawa bertindak sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan konflik, sedangkan Prinsip Hormat menuntut agar anggota masytakat Jawa berbicara sedemikian rupa sehingga selalu menunjukkan sikap hormat kepada orang lain, sesuai dengan jabatan dan kedudukannya. Kedua prinsip tersebut menentukan apakah seorang anggota masyarakat Jawa dapat diberi predikat Jawa ataukah ora Jawa (Mulder, 1985). Dalam berbahasa, penerapan Prinsip Hormat diwujudkan dalam bentuk bertindak dan berbahasa dengan hati-hati. Bila dalam penuturan itu ada kepentingankepentingan berlawanan yang saling berhadapan, orang Jawa akan berusaha agar kepentingan-kepentingan itu tidak menimbulkan konflik. Orang Jawa tidak akan langsung menolak suatu permintaan atau tawaran dengan kata mboten tidak, melainkan menjawab dengan inggih ya yang santun. Selanjutnya, lawan bicara dibiarkan untuk menginterpretasikan sendiri apakah inggih yang dimaksud penutur itu merupakan penerimaan ataukah penolakan. Dalam bahasa Jawa dapat dicontohkan dialog antara atasan (10) dengan bawahan/pesuruh (11) dan (12) sebagai berikut: (10) Rul.. Rul ..! Mari iku nango Bu Is, yo! (Rul Rul habis itu kamu pergi ke Bu Is, ya!). (11) mBoten. (mboten = tidak mau. Cara tidak sopan) 8

(12) Inggih, Pak! (intonasi sinis). (inggih = tidak mau. Cara sopan) Selain menggunakan inggih untuk menyatakan tidak ditemukan cara lain untuk menolak, misalnya, dengan menjelek-jelekkan diri sendiri seolah-olah demi keuntungan mitra tutur dan berpura-pura atau tidak mengutarakan maksud yang sebenarnya. Sebagai contoh, untuk menolak lamaran seorang pria, ayah si gadis mungkin akan mengatakan bahwa putrinya masih kekanak-kanakan, bahwa putrinya jelek, tidak bisa apa-apa dan sebagainya sehingga akan merugikan si pria pelamar. Apa yang dimaksudkan si ayah dengan menjelek-jelekkan putrinya itu dimaksudkan agar si pria dan keluarganya tidak merasa ditolak lamarannya. Bila kemudian lamaran batal, orang tua si gadis berkeinginan agar pembatalan itu tidak dinilai sebagai penolakan melainkan semata-mata karena si pria dan keluarganya mulai ragu-ragu. Dengan cara itu orang tua si gadis berupaya menghindari konflik antara kepentingan melamar dari pihak si pria dan kepentingan menolak lamaran dari pihak si gadis. Jelaslah bahwa Prinsip Hormat dapat diwujudkan antara lain dalam bentuk menghindari kelangsungan yang bermakna tidak sopan karena pada umumnya orang Jawa yang sopan menghindari keterusterangan yang serampangan. Prinsip hidup orang Jawa yang "menghindari keterusterangan yang serampangan " inilah yang menurut Kartomihardjo (1985; 1990) disebut sebagai prinsip empan papan. Sebagai contoh penggunaan empan papan dapat diperhatikan percakapan seseorang yang menginginkan mangga Pak Sastro sebagai berikut. (13) Wah, poh Pak Sastro gedhe-gedhe, yo. [ = Minta mangganya dong, Pak Sastro] (14) Walah, ageng menapanipun. Senaoso ageng ning meniko taksih dereng mateng, raosipun kecut. [ = Wah, jangan lha ini masih muda, lagi pula rasanya masam] (15) Najan kecut, ning yen digawe rujakan, malah enak sing enom Pak Sastro. [ = Masam tidak apa-apa, kalau dibuat rujak malah enak yang masih muda. Minta dong Pak sastro] (16) Leres. Leres saestu meniko. Ning, menawi taksih injing ngaten rujakan saget sakit madaran, saestu meniko. [ = Betul. Betul itu. Tapi kalau pagi begini kan bisa menyebabkan sakit perut. Dibilang jangan kok masih maksa] (17) Sakit madaran? Milo to Pak Sastro? [Tidak dikasih, ya.] 9

(18) Inggih. [Tidak boleh] (19) Yen awan rodok sore ngono, piye Pak Sastro? [Minta satu saja.] (18) Menawi siang radi sonten lha niku cocok. Nanging, sampun siang meniko, nggih. Soalipun kulo badhi kesah. [Dibilang jangan kok masih maksa lho.] (19) Matur nuwun. Yen ngono kapan-kapan wae yo rujakan. Monggo Pak Sastro.[Ya sudah, memang Pak Sastro Pelit.] (20) Inggih, monggo. [Memang] Kemampuan untuk menjelek-jelekkan diri sendiri tanpa bermaksud merendahkan martabat sendiri, kemampuan untuk ethok-ethok (berpura-pura) tanpa maksud menipu, kemampuan menyatakan secara tidak langsung tetapi dapat dimengerti, dan berbicara empan papan merupakan teknik-teknik untuk menghindari konflik dan menyatakan rasa hormat dalam masyarakat Jawa. Hal ini dipandang sangat khas dan dinilai sebagai seni yang positif (Magnis-Suseno, 1991). Di samping tersebut di atas, realisasi kesantunan dalam masyarakat Jawa memperhatikan dua hal, yaitu pilihan bentuk bahasa yang berupa pangucap tuturan sebagai aspek bahasa dan sikap andhap asor sebagai aspek nonbahasa (Geertz, 1981). Andhap asor berarti bersikap santun dengan cara merendahkan diri sendiri kepada setiap orang baik yang sederajat maupun yang derajatnya lebih tinggi. Andhap asor juga berarti bersedia mengalah untuk mencapai keluhuran. Sikap andhap asor tampak dalam percakapan berikut. (21) Ternyata, Bu Jamal pintar masak, ya. (22) Ah, masih belajar, kok Bu. Simpulan Setiap masyarakat mempunyai seperangkat norma yang terdiri atas sejumlah kaidah eksplisit untuk menentukan kesantunan berbahasa. Kaidah itu ditentukan oleh perilaku tertentu, lingkungan, dan cara berpikir masyarakat tersebut. Suatu bentuk tindak berbahasa dianggap santun apabila sesuai dengan norma. Sebaliknya, suatu tindak berbahasa tidak santun apabila tidak sesuai dengan norma. Sebagai orang

10

Timur, orang Jawa mempunyai etika dalam berbahasa. Etika itu terkait dengan prinsip rukun, prinsip hormat, empan papan, andhap asor. Realisasi kesantunan dalam masyarakat Jawa memperhatikan dua hal, yaitu pangucap dan patrap. Pangucap berupa tuturan dan patrap direalisasikan dalam bentuk sikap andhap asor. Andhap asor artinya bersikap santun dengan cara merendahkan diri sendiri kepada setiap orang, baik yang sederajat maupun yang derajatnya lebih tinggi. Kemampuan untuk andhap asor, ethok-ethok, dan berbicara empan papan merupakan sebagian dari cara-cara berbicara sopan dalam masyarakat Jawa. *) Dr. H. Jamal, M.Pd adalah Widyaiswara pada Balai Diklat Keagamaan Surabaya.
DAFTAR RUJUKAN Brown, P. dan Levinson, S.D. 1978. Universals In Language Usage: Politeness Phenomena. Dalam Esthe N. Goody (ed.). Questions and Politeness: Strategie in Social Interaction (hln. 56 289). Cambridge University Press. Brown, P. dan Levinson, S.D. 1987. Politeness: Some Universals ing Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press. Fraser, B. 1978. Acquiring Social Competence in A Second Language. RELC Journal 9: 1 21. Fraser, B. 1990. Perspective on Politeness. Journal of Pragmatics 14 219 236. Geertz, C. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka jaya. Gunarwan, A. 1992. Persepsi Kesantunan Direktif di Dalam Bahasa Indonesia di antara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta; dalam Kaswanti-Purwo, B. (Peny.). Pellba 5 (hln. 179 213). Jakarta: Kanisius. Hartati, R.R. 1996. Pengajaran Bahasa Jawa dan Implikasinya pada Pendidikan UnggahUngguh. Makalah disajikan dalam Kongres Bahasa Jawa II, Malang, 22 26 Oktober 1996. Lakoff, R.T. 1973. The Logic of Politeness, or Minding Your ps and qs, dalam Claudia Corum, T. Cedric Smith-Stark dan Ann Weiser (Eds.), Paper from the Ninth Regional Meeting of the Chicago Linguistic Society (hln. 292 305). Chicago, IL: Chicago Linguistics Society. Leech, G. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman. Leech, G. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Terj. Oleh M.D.D. Oka. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Kartomihardjo, S. 1985. Tanggap Ing sasmita dan Penggunaannya Di Jawa Timur. Denpasar: Masyarakat Linguistik Indonesia.

11

Kartomihardjo, S. 1990. Bentuk Bahasa Penolakan: Penelitian Sosiolinguistik. Malang: Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi PPS IKIP Malang. Magnis-Suseno, F. 1993. Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafati tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Mulder, N. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa: Penjelajahan Mengenai Hubungannya. Jogjakarta: Penerbit Sinar Harapan. Shiradj, Said Agil. 2000. Jangan Ngajari Omong Kasar. Jawa Pos. 30 Oktober: 2. Supadjar, D. 1985. Etika dan tatakrama Jawa Dahulu dan Masa kini; dalam Sudarsono (Ed.), Keadaan dan Perkembangan Bahasa, Sastra, Etika, Tatakrama, dan Seni Pertunjukan Jawa, Bali, dan Sunda. Yogjakarta: Proyek Penelitian dan pengkajian Kebudayaan Nusantara Dirjen Kebudayaan Depdikbud.

12

You might also like