You are on page 1of 12

SKRINING GANGGUAN TAJAM PENGLIHATAN (VISUS) ANAK USIA 7-10 TAHUN SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN BANTUL KABUPATEN BANTUL

TAHUN 2008 Nur Alvira Pasca Wati INTISARI


Latarbelakang: Dunia telah memberikan perhatian yang cukup serius mengenai masalah gangguan penglihatan pada anak karena angka kesakitannya terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia sangat tinggi. Namun, saat ini masih tampak kurangnya perhatian di beberapa daerah Indonesia mengenai masalah gangguan penglihatan khususnya pada anak. Hal ini terbukti dengan adanya program pemeriksaan kesehatan anak SD yang lebih difokuskan pada kesehatan gigi dan mulut, padahal lingkungan sekolah menjadi salah satu pemicu terjadinya penurunan ketajaman penglihatan pada anak, seperti membaca tulisan di papan tulis dengan jarak yang terlalu jauh tanpa didukung oleh pencahayaan kelas yang memadai, anak membaca buku dengan jarak yang terlalu dekat, dan sarana prasarana sekolah yang tidak ergonomis saat proses belajar mengajar. Tujuan: Untuk deteksi dini gangguan ketajaman penglihatan pada anak usia 710 tahun Sekolah Dasar di Kecamatan Bantul Kabupaten Bantul tahun 2008. Metode: Penelitian ini mempergunakan rancangan penelitian observasional dengan metode Cross Sectional, yaitu untuk mendapatkan gambaran prevalensi penyakit gangguan tajam penglihatan (visus) mata pada anak usia 7-10 tahun Sekolah Dasar di Kecamatan Bantul. Hasil: Angka kejadian gangguan tajam penglihatan anak usia 7-10 tahun Sekolah Dasar di Kecamatan Bantul Kabupaten Bantul sebesar 71,0%, namun rata-rata gangguan tajam penglihatan pada anak-anak ini masih berada pada visus ringan, sehingga diharapkan dengan merubah perilaku dan mengkonsumsi makanan yang bergizi dapat menormalkan dan meningkatkan kembali ketajaman penglihatan mereka. Kesimpulan: Anak-anak yang mengalami visus di Kecamatan Bantul sebesar 71,0% dengan faktor-faktor seperti kebiasaan belajar dengan tiduran, posisi membaca dengan jarak yang terlalu dekat, dan kebiasaan lamanya menonton televisi cenderung dapat sebagai faktor pemicu atau memperburuk kejadian visus. Gejala sering mengedipkan atau mengusap mata mempunyai validitas yang cukup tinggi sebagai alat skrining gangguan penurunan ketajaman penglihatan dibandingkan gejala klinis lainnya Kata kunci: belajar sambil tiduran, membaca terlalu dekat, menonton terlalu dekat, mengedipkan mata

34

Pendahuluan Menurut WHO angka kebutaan sebesar 1,5% sudah merupakan masalah sosial. Untuk itu perlu peran serta aktif dari semua pihak untuk menanggulangi masalah kebutaan di Indonesia. Disamping masalah kebutaan, gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi dengan prevalensi 22,1% juga menjadi masalah serius jika tidak cepat ditanggulangi. 10% dari anak usia sekolah (5-19 tahun) menderita kelainan refraksi, sedangkan angka pemakaian kacamata koreksi sampai saat ini masih rendah yaitu 12,5% dari kebutuhan1. Masalah kebutaan pada anak-anak merupakan salah satu masalah kesehatan yang dihadapi oleh dunia terutama negara-negara berkembang seperti Indonesia2. Menurut WHO, 3,9% kebutaan disebabkan oleh kebutaan pada masa anak-anak (chilhood blindness), sehingga peringatan hari penglihatan sedunia Vision For Children memberikan makna bahwa semua orang harus memberikan perhatian kepada anak-anak sebagai generasi penerus yang mengalami gangguan penglihatan atau buta, agar mereka bisa memperoleh kembali fungsi penglihatannya atau mereka dapat menikmati kehidupan yang berkualitas seperti anak-anak normal lainnya, selain itu yang akan dicapai adalah anak-anak bisa tumbuh dan berkembang dengan mata yang sehat, setiap anak bisa pergi ke sekolah, dan orang tua mereka dapat melihat anak-anaknya tumbuh dan berkembang. Dunia telah memberikan perhatian yang cukup serius mengenai masalah gangguan penglihatan pada anak karena angka kesakitannya terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia sangat tinggi. Namun, saat ini masih tampak kurangnya perhatian di beberapa daerah Indonesia mengenai masalah gangguan penglihatan khususnya pada anak. Hal ini terbukti dengan adanya program pemeriksaan kesehatan anak SD yang lebih difokuskan pada kesehatan gigi dan mulut, padahal lingkungan sekolah menjadi salah satu pemicu terjadinya penurunan ketajaman penglihatan pada anak, seperti membaca tulisan di papan tulis dengan jarak yang terlalu jauh tanpa didukung oleh pencahayaan kelas yang memadai, anak membaca buku dengan jarak yang terlalu dekat, dan sarana prasarana sekolah yang tidak ergonomis saat proses belajar mengajar. Masalah penyakit mata pada anak yang dapat berdampak pada kebutaan dan gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi harus dideteksi sedini mungkin ketika anak tersebut mulai terpapar oleh faktor-faktor yang dapat berakibat pada penurunan ketajaman penglihatan (visus). Deteksi dini untuk mengetahui status ketajaman penglihatan pada anak harus didukung oleh tingkat akurasi diagnosis penyakit yang baik. Skrining dengan tujuan diagnostik gejala klinis gangguan penglihatan (visus) pada anak dirasa sangat penting untuk mencegah kejadian gangguan ketajaman penglihatan yang lebih serius pada populasi risiko tinggi seperti pada anak SD, sehingga lebih memudahkan dalam pengobatan secara cepat dan tepat3 karena saat ini beberapa sekolah di Kabupaten Bantul mendapatkan bantuan 200 kacamata gratis bagi anak SD yang dinyatakan mengalami gangguan penurunan ketajaman penglihatan (visus) yang cukup tinggi melalui suatu pemeriksaan mata baik melalui gejala klinis, kartu snellen hingga pada tahap rujukan yaitu dokter spesialis mata. Diharapakan hasil penelitian mengenai skrining gangguan ketajaman penglihatan (visus) yang akan dilakukan pada anak Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Bantul dapat memberikan gambaran awal kepada pihak-pihak terkait dalam bidang kesehatan dan pendidikan untuk mulai memberikan perhatian yang 35

serius pada masalah ini dan meningkatkan jangkauan pelayanan mulai pemerataan pelayanan termasuk pemenuhan sarana prasarana dan peningkatan kualitas pelayanan mata. Metodologi Penelitian ini mempergunakan rancangan penelitian observasional dengan metode Cross Sectional, yaitu untuk mendapatkan gambaran prevalensi penyakit gangguan tajam penglihatan (visus) mata pada anak usia 7-10 tahun Sekolah Dasar di Kecamatan Bantul. Populasi yang akan dilakukan uji skrining adalah populasi yang termasuk dalam risiko tinggi untuk mengalami gangguan ketajaman penglihatan yaitu anak usia 7-10 tahun Sekolah Dasar sebanyak 248 orang karena pada usia ini, anak dalam pertumbuhan sistem penglihatan yang memasuki fase mendatar atau lambat dan mulai terpapar oleh faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penurunan ketajaman penglihatan (visus), sehingga sangat berpotensi menderita kesakitan. Lokasi pelaksanaan skrining gangguan ketajaman penglihatan (visus) dilakukan di masing-masing sekolah yang dijadikan sasaran untuk skrining. Alat pemeriksaan adalah peralatan yang dipergunakan dalam uji diagnostik untuk mengukur gangguan ketajaman penglihatan yang berupa kuisioner gejala klinis yang terdiri atas: sering mengedipkan atau mengusap mata, mata berair dan banyak kotoran, mata merah, gatal dan panas, melihat terlalu dekat atau jauh, cepat lelah bila membaca, suka merasa silau, kebiasaan menonton TV, kebiasaan posisi saat membaca, kondisi penerangan tempat belajar di rumah. Baku emas dalam pelaksanaan skrining ini didasarkan pada pengukuran ketajaman penglihatan dengan alat ukur kartu snellen. Hasil penelitian dan pembahasan 1. Gambaran Penyakit Mata

Tabel 1. Disribusi Hasil Pemeriksaan Tajam Penglihatan Berdasarkan


Tempat Sekolah Dasar di Kecamatan Bantul Tahun 2008 Hasil Pemeriksaan tajam penglihatan (visus) Lokasi Skrining Jumlah Sakit % Tdk Sakit % SD Sutran SD 2 Sabdodadi SD Manunggal 2 Bantul SD Sabdodadi Keyongan SD Ringinharjo Total 33 28 47 16 52 176 70,2 68,3 75,8 72,7 68,4 71,0 14 13 15 6 24 72 29,8 31,7 24,2 27,3 31,6 29,0 57 41 62 22 76 248 % 19,0 16,5 25,0 8,9 30,6 100

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa hasil skrining menunjukkan 71,0% anak SD menderita gangguan ketajaman penglihatan dan penderita

36

terbanyak ditemukan di SD Manunggal 2 Bantul (75,8%), namun jumlah ini tidak terlalu berbeda jauh dengan 4 SD lainnya. Berdasarkan hasil pemeriksaan mata pada 5 SD yang ada di Kecamatan Bantul dengan menggunakan kartu snellen, didapatkan status responden yang mengalami gangguan penurunan ketajaman penglihatan berdasarkan posisi mata (mata kiri dan kanan) dengan nilai visus yang berbeda-beda. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 2. Distribusi Hasil Pemeriksaan Tajam Penglihatan Berdasarkan Posisi Mata Murid SD di Kecamatan Bantul Tahun 2008
Posisi Mata Mata Kanan Mata Kiri Hasil Pemeriksaan tajam penglihatan (visus) Sakit % Tidak sakit % 144 58,1 104 41,9 172 69,4 76 30,6 Jumlah 248 248 % 100 100

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa hasil skrining dengan kartu snellen menujukkan 69,4% anak SD mengalami gangguan penurunan ketajaman penglihatan pada mata kiri lebih besar dibandingkan mata kanan (58,1%), dengan nilai visus pada mata kiri dan kanan yang cukup bervariasi, seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini: Tabel 3. Distribusi Hasil Pemeriksaan Tajam Penglihatan Berdasarkan Nilai Visus Mata Murid SD di Kecamatan Bantul Tahun 2008
Nilai Visus 6/120 6/80 6/60 6/50 6/40 6/30 6/25 Normal 3/60 (hitungan jari) Total Hasil Pemeriksaan tajam penglihatan (visus) Mata Kanan % Mata Kiri % 0 0 1 0,4 2 0,8 3 1,2 1 0,4 1 0,4 6 2,4 6 2,4 17 6,9 35 14,1 46 18,5 72 29,0 71 28,6 53 21,4 104 41,9 76 30,6 1 248 0,4 100 1 248 0,4 100

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa nilai visus paling tinggi dialami pada mata kiri anak SD, seperti visus 6/120 dialami oleh 1 orang anak (0,4%), visus 6/40 oleh 35 anak (14,1%) pada mata kirinya, sedangkan pada mata kanan 17 anak (6,9%), dan visus 6/30 dialami oleh 72 anak (29,0%) pada mata kirinya, sedangkan pada mata kanan 46 anak (18,5%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada tahun 2006 pada 127 siswa kelas V dan VI SD di Manggarai, Jakarta Selatan yang mencapai prevalensi 75,6% (Sagala, 2006), sangat tinggi dibandingan dengan penelitian pada tahun 1984 yang dilakukan pada anak Sekolah Dasar di Kodya Semarang dengan prevalensi 17%4. Berdasarkan prevalensi tersebut, dapat dikatakan gangguan penurunan ketajaman penglihatan mata pada anak tiap tahun akan terus meningkat apabila tidak segera ditangani 37

jika memperhatikan hasil-hasil penelitian dari tahun ke tahun. Hal ini dapat disebabkan karena faktor lingkungan dan perubahan perilaku anak, misalnya membaca terlalu dekat dan sambil tiduran, menonton televisi, bermain video game atau berada di depan layar komputer terlalu lama tanpa memberikan waktu jeda untuk mata beristirahat, maupun dapat disebabkan karena faktor virus atau bakteri yang meyerang mata sehingga anak sering mungusap mata terlalu keras baik itu mata merah kena debu, mata dengan penglihatan yang berbeda seperti rabun jauh dan rabun dekat, hingga iritasi mata akibat kurang tidur (tidur terlalu malam) 5. Seorang siswa tanpa penglihatan yang baik akan sulit menyerap dan memahami pelajaran yang diberikan oleh gurunya dalam proses kegiatan belajar mangajar. Penurunan tajam penglihatan yang minimal mungkin tidak disadari oleh siswa tersebut karena kemampuan pemahaman siswa tersebut terhadap proses yangterjadi pada dirinya belum maksimal. Para guru juga terkadang tidak memahamai kondisi yang terjadi pada siswa tersebut. Penurunan tajam penglihatan yang ringan kalau dibiarkan akan akan berakibat pada beberapa hal yaitu kerusakan mata semakin parah dan prestasi belajar anak akan menurun6. 2. Karakteristik Responden Skrining Dari hasil skrining diperoleh karekteristik responden menurut jenis kelamin laki-laki berjumlah 136 orang (54,8%) dan perempuan 112 orang (45,2%), berdasarkan tabel di bawah ini: Tabel 4. Distribusi Hasil Pemeriksaan Tajam Penglihatan Berdasarkan Jenis Kelamin Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Bantul tahun 2008
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total Hasil Pemeriksaan tajam penglihatan (visus) Sakit % Tidak sakit % 98 72,1 38 27,9 78 69,6 34 30,4 176 71,0 72 29,0 Jumlah 136 112 248 % 54,8 45,2 100

Dari tabel di atas diketahui bahwa penderita gangguan penurunan ketajaman penglihatan pada anak SD lebih banyak pada jenis kelamin lakilaki (72,1%) dibanding jenis kelamin perempuan (69,6%), namun nilai ini tidak terlalu berbeda jauh. Distribusi responden berdasarkan kelompok umur dan status ketajaman penglihatan dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 5. Distribusi Hasil Pemeriksaan Tajam Penglihatan Berdasarkan Jenis Kelamin Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Bantul tahun 2008
Kelompok Umur (tahun) 7 tahun 8 tahun 9 tahun 10 tahun Total Hasil Pemeriksaan tajam penglihatan (visus) Sakit 21 97 43 15 176 % 70,0 69,8 78,2 62,5 71,0 Tidak Sakit 9 42 12 9 72 % 30,0 30,2 21,8 37,5 29,0 30 139 55 24 248 12,1 56,0 22,2 9,7 100 Jumlah %

38

Dari Tabel di atas dapat diketahui bahwa anak SD yang menderita gangguan ketajaman penglihatan paling banyak ditemukan pada kelompok umur 9 tahun (78,2%), namun nilai ini tidak terlalu berbeda jauh dengan kelompok umur lainnya. 3. Karakteristik Perilaku dan Kondisi Lingkungan Belajar Berdasarkan status penggunaan kacamata sebagai alat bantu penglihatan dari keseluruhan subyek penelitian, sebanyak 247 anak (99,6%) tidak mempergunakan kaca mata dengan keadaan visus sakit sebanyak 176 anak (71,0%) dan visus normal 72 anak (29,0%). Beberapa perilaku yang diduga menyebabkan gangguan visus mata. a. Lamanya Kebiasaan Menonton TV Berdasarkan kebiasaan menonton televisi di rumah, menunjukkan 45 murid (18,1%) yang menonton televisi rata-rata selama lebih dari 3 jam per hari mengalami gangguan penurunan ketajaman penglihatan (visus sakit) sebesar 93,3% dan visus normal 6,7%, lebih tinggi dibandingan murid dengan keadaan visus sakit yang menonton televisi lebih dari 2-3 jam dan 1-2 jam. Gambaran variasi lamanya kebiasaan menonton televisi pada tabel 6 menghasilkan nilai probabilitas 0,000 (p<0,05) menunjukkan ada hubungan antara lama menonton televisi dengan gangguan penuruan katajam penglihatan pada anak SD di Kecamatan Bantul. Tabel 6. Distribusi Subyek Penelitian Berdasarkan Lamanya Kebiasaan Menonton TV Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Bantul tahun 2008
Rata-rata lama menonton TV 1-2 Jam 2 3 Jam Lebih 3 jam Total Hasil Pemeriksaan tajam penglihatan (visus) Sakit % Tidak sakit % 95 62,5 57 37,5 39 76,5 12 23,5 42 93,3 3 6,7 176 71,0 72 29,0 Jumlah 152 51 45 248 % 61,3 20,6 18,1 100 Asymp 2 0,000

b. Kebiasaan Posisi Saat membaca di Rumah Kebiasaan posisi membaca subyek saat di rumah seperti pada tabel 8, menunjukkan dari 248 murid sebagian besar membaca dengan posisi duduk sebanyak 193 murid (77,8%) dengan hasil pemeriksaan yang mengalami gangguan penurunan ketajaman penglihatan (visus sakit) sebesar 65,3% dan visus normal 34,7 %, namun nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan anak yang membaca pada posisi tiduran dengan hasil pemeriksaan visus sakit sebesar 90,9%. Artinya murid yang mempunyai kebiasaan membaca dengan posisi tiduran lebih banyak yang mengalami gangguan penurunan ketajaman penglihatan dibandingkan murid yang membaca dengan posisi duduk. Gambaran kebiasaan posisi saat membaca di rumah mempunyai nilai probablitas 0,000 (p<0,05) menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan posisi saat membaca di rumah dengan gangguan penurunan ketajaman penglihatan.

39

Tabel 7. Distribusi Subyek Penelitian Berdasarkan Posisi Saat Membaca di Rumah Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Bantul Tahun 2008
Posisi saat membaca Tiduran Duduk Total Hasil Pemeriksaan tajam penglihatan (visus) Sakit % Tidak sakit % 50 90,9 5 9,1 126 65,3 67 34,7 176 71,0 72 29,0 Jumlah 55 193 248 % 22,2 77,8 100 Asymp. 2 0,000

c.

Kebiasaan posisi anak saat membaca buku seperti pada tabel 9, menunjukkan dari 248 murid sebagian besar membaca buku dengan posisi dekat sebanyak 134 murid (54,0%) dengan hasil pemeriksaan yang mengalami gangguan penurunan ketajaman penglihatan (visus sakit) sebesar 86,6% dan visus normal 13,4%. Gambaran kebiasaan posisi saat membaca buku mempunyai nilai probablitas 0,000 (p<0,05) menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan posisi saat membaca buku dengan gangguan penurunan ketajaman penglihatan Tabel 9. Distribusi Subyek Penelitian Berdasarkan Posisi Saat Membaca di Rumah Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Bantul Tahun 2008
Posisi saat membaca Dekat Jauh Total Hasil Pemeriksaan tajam penglihatan (visus) Sakit % Tidak sakit % 116 86,6 18 13,4 60 52,6 54 47,4 176 71,0 72 29,0 Jumlah 134 114 248 % 54,0 46,0 100 Asymp 2 0,000

d. Kondisi Penerangan Tempat Belajar di Rumah Kondisi penerangan tempat belajar di rumah seperti pada tabel 10, menunjukkan sebagian besar anak belajar di rumah dengan penerangan yang cukup terang sebesar 62,9%, namun murid dengan kondisi penerangan tempat belajar yang redup sebesar 8,5%, lebih banyak yang mengalami gangguan penurunan ketajaman penglihatan (81,0%) dibandingan dengan anak yang belajar dengan lampu yang terang (62,0%) dan cukup terang (73,7%). Gambaran kondisi penerangan tempat belajar mempunyai nilai probabilitas 0,039 (p<0,05) menunjukkan ada hubungan antara kondisi penerangan tempat belajar di rumah dengan gangguan penurunan ketajaman penglihatan. Tabel 10. Distribusi Subyek Penelitian Berdasarkan Kondisi Penerangan Tempat Belajar di Rumah Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Bantul Tahun 2008
Kondisi Penerangan Redup Cukup Terang Terang Total Hasil Pemeriksaan tajam penglihatan (visus) Sakit % Tidak sakit 17 81,0 4 115 73,7 41 44 62,0 27 176 71,0 72 Jumlah % 19,0 26,3 38,0 29,0 21 156 71 248 % 8,5 62,9 28,6 100 Sig. 2 0,039

Hasil penelitian tersebut sangat relevan dengan teori yang menyatakan bahwa faktor gaya hidup, yaitu aktivitas melihat dekat yang terlalu banyak, 40

seperti membaca buku, melihat layar komputer, bermain videogame, menonton televisi, dapat menyebabkan melemahnya otot siliaris mata sehingga mengakibatkan gangguan otot untuk melihat jauh4. Selain itu adanya pengalaman visual, dalam hal ini adanya kejadian berulang yang menyebabkan bayangan tidak jatuh pada retina, misalnya kebiasaan melihat benda dalam jarak terlalu dekat seperti membaca, menonton televisi pada anak-anak yang sebenarnya mata masih memiliki kemampuan akomodasi, dimana sekalipun ia tengah melihat dekat, mata akan menyesuaikan diri untuk tetap dapat melihat secara fokus. Bila kejadian ini terjadi dan dilakukan secara berulang dan terus-menerus tubuh sendiri akan memunculkan sinyal kimiawi yang akan memacu perubahan arah pertumbuhan struktur bola mata. Efek selanjutnya dinding bola mata anak menjadi lebih lemah dan akhirnya mudah memanjang, dan apabila hal ini terjadi, anak akan mengalami kerentanan untuk mengalamai kelainan gangguan penurunan ketajaman penglihatan (myopi) 7 4. Gejala Klinis yang Dialami dan Dirasakan Murid Sekolah Dasar Distribusi murid SD berdasarkan gejala klinis gangguan penurunan ketajaman penglihatan (visus sakit) dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini: Tabel 11. Distribusi Subyek Penelitian Berdasarkan Gejala Klinis Murid Sekolah Dasar di Kabupaten Bantul Tahun 2008
Gejala Klinis Visus Sakit Sering Mengedipkan atau Mengusap Mata Mata Berair dan Banyak Kotoran Mata Merah, Panas, dan Gatal Mata Sering Melihat Terlalu Dekat Cepat Lelah Jika Membaca Sering Merasa Silau Kombinasi Sering Mengedipkan atau Mengusap Mata + Mata Sering Melihat Terlalu Dekat Kombinasi Sering Mengedipkan atau mengusap Mata + Cepat Lelah Jika Membaca Kombinasi Sering Mengedipkan atau Mengusap Mata + Mata Berair dan Banyak Kotoran Kombinasi Sering Mengedipkan atau Mengusap Mata + Mata Merah, Panas, dan Gatal Kombinasi Sering Mengedipkan atau Mengusap Mata + Sering Merasa Silau Kombinasi Sering Mengedipkan atau Mengusap Mata + Mata Berair dan Banyak Kotoran + Mata Merah, Panas, dan Gatal + Mata Sering Melihat Terlalu Dekat + Cepat Lelah Jika Membaca + Sering Merasa Silau Mata Berair dan Banyak Kotoran + Mata Merah, Panas, dan Gatal Mata Sering Melihat Terlalu Dekat + Cepat Lelah Jika Membaca Jumlah 114 63 88 134 107 135 103 82 50 72 100 % 58,1 25,4 35,5 54,0 43,1 54,4 41,5 33,1 20,2 29,0 40,3

23 84 49

9,3 33,9 19,8

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa gejala klinis yang dirasakan oleh murid SD menunjukkan bahwa gejala tunggal paling banyak adalah sering mengedipkan atau mengusap mata (58,1%) dan yang paling sedkit dirasakan adalah gejala mata berair dan banyak kotoran (25,4%), sedangkan setelah dikombinasikan gejala klinis yang paling banyak adalah

41

sering mengedipkan atau mengusap mata + mata sering melihat terlalu dekat (41,5%) dan yang terendah adalah kombinasi seluruh gejala tunggal (9,3%). Hasil Uji diagnostik berdasarkan gejala klinis gangguan penurunan ketajaman penglihatan (visus sakit) di Kabupaten Bantul dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 12. Distribusi Subyek Penelitian Visus Sakit Berdasarkan Gejala Klinis Murid Sekolah Dasar di Kabupaten Bantul Tahun 2008
Gejala Klinis Visus Sakit Sering Mengedipkan atau Mengusap Mata Mata Berair dan Banyak Kotoran Mata Merah, Panas, dan Gatal Mata Sering Melihat Terlalu Dekat Cepat Lelah Jika Membaca Sering Merasa Silau Kombinasi Sering Mengedipkan atau Mengusap Mata + Mata Sering Melihat Terlalu Dekat Kombinasi Sering Mengedipkan atau mengusap Mata + Cepat Lelah Jika Membaca Kombinasi Sering Mengedipkan atau Mengusap Mata + Mata Berair dan Banyak Kotoran Kombinasi Sering Mengedipkan atau Mengusap Mata + Mata Merah, Panas, dan Gatal Kombinasi Sering Mengedipkan atau Mengusap Mata + Sering Merasa Silau Kombinasi Sering Mengedipkan atau Mengusap Mata + Mata Berair dan Banyak Kotoran + Mata Merah, Panas, dan Gatal + Mata Sering Melihat Terlalu Dekat + Cepat Lelah Jika Membaca + Sering Merasa Silau Mata Sering Melihat Terlalu Dekat + Cepat Lelah Jika Membaca Mata Berair dan Banyak Kotoran + Mata Merah, Panas, dan Gatal Visus Sakit 136 55 79 116 100 117 96 80 47 67 98 % 54,8 22,2 31,9 46,8 40,3 47,2 38,7 32,3 19,0 27,0 39,5 p-value 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

23

9,3

0,000

77 44

31,0 17,7

0,001 0,000

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa berdasarkan hasil uji gejala klinis yang memberikan hasil positif gangguan penurunan ketajaman penglihatan paling tinggi adalah sering mengedipkan atau mengusap mata (54,8%) sedangkan yang paling rendah adalah kombinasi seluruh gejala tunggal (9,3%). Gambaran distribusi gejala klinis pada tabel diatas mempunyai nilai probabalitas p<0,05 menunjukkan ada hubungan antara gejala klinis tunggal dan kombinasi dengan gangguan penurunan ketajaman penglihatan.

42

5.

Nilai Validitas dan Nilai Duga atau Prediktif Untuk Masing-masing Gejala yang Dipergunakan Dalam Skrining Gangguan Ketajaman Penglihatan (visus) Nilai validitas dan nilai duga atau prediktif untuk masing-masing gejala yang dipergunakan dalam skrining visus sakit adalah sangat bervariasi

Tabel 13. Hasil Pemeriksaan Gejala Klinis dan Ketajaman Penglihatan (visus) Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Bantul tahun 2008
Gejala Sering Mengedipkan atau Mengusap Mata Mata Berair dan Banyak Kotoran Mata Merah, Panas, dan Gatal Mata Sering Melihat Terlalu Dekat Cepat Lelah Jika Membaca Sering Merasa Silau Kombinasi antara 1 dan gejala 4 Kombinasi antara 1 dan gejala 5 Kombinasi antara 1 dan gejala 2 Kombinasi antara 1 dan gejala 3 Kombinasi antara 1 dan gejala 6 Kombinasi antara 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 Kombinasi antara 4 dan gajala 5 Kombinasi antara 2 dan gejala 3 gejala gejala gejala gejala gejala gejala gejala gejala Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Hasil Pemeriksaan Visus Tidak Sakit Sakit 136 8 40 64 55 8 121 64 79 9 97 63 116 18 60 54 100 7 76 65 117 18 59 96 80 80 96 47 129 67 109 98 78 23 153 77 99 44 132 54 7 65 2 70 3 69 5 67 2 70 0 72 7 65 5 67 Sensitivitas (%) 77,3 31,3 44,9 65,9 56,8 66,5 54,5 45,5 26,7 38,1 55,7 13,1 43,8 25,0 Spesivisitas PPV (%) (%) 88,9 88,9 87,5 75,0 90,3 75,0 90,3 97,2 95,8 93,1 97,2 100 90,3 93,1 94,4 87,3 89,8 86,6 93,5 86,7 93,2 97,6 94,0 93,1 98,0 100 91,7 89,8 NPV (%) 61,5 34,6 39,4 47,4 46,1 47,8 44,8 42,2 34,8 38,1 47,3 32,0 39,6 33,7

Gejala tunggal sering mengedipkan atau mengusap mata mempunyai sensitivitas terbesar (77,3%), sedangkan untuk gejala kombinasi sering mengedipkan atau mengusap mata + sering merasa silau dan sering mengedipkan atau mengusap mata + mata sering melihat terlalu dekat mempunyai sensitivitas terbesar (55,7% dan 54,5%).

43

Kesimpulan 1. Angka kejadian gangguan tajam penglihatan anak usia 7-10 tahun Sekolah Dasar di Kecamatan Bantul Kabupaten Bantul sebesar 71,0%, namun ratarata gangguan tajam penglihatan pada anak-anak ini masih berada pada visus ringan, sehingga diharapkan dengan merubah perilaku dan mengkonsumsi makanan yang bergizi dapat menormalkan dan meningkatkan kembali ketajaman penglihatan mereka. Bagi sebagian kecil anak SD yang melalui proses skrining dinyatakan mengalami gangguan tajam penglihatan dengan visus tinggi yaitu 3/60, 6/120, 6/80, 6/60 dan 6/50 (6,45%) akan dirujuk ke Puskesmas Kecamatan Bantul II dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul untuk diperiksa lebih lanjut dan mendapatkan bantuan kacamata gratis yang menjadi salah satu dari program pemeriksaan kesehatan di Sekolah Dasar Kabupaten Bantul. Faktor-faktor kebiasaan belajar dengan tiduran, posisi membaca dengan jarak yang terlalu dekat, dan kebiasaan lamanya menonton televisi cenderung dapat sebagai faktor pemicu atau memperburuk kejadian gangguan penurunan ketajaman penglihatan pada anak dan semua faktor ini berdasarkan uji statistik ada hubungan yang bermakna. Gejala sering mengedipkan atau mengusap mata mempunyai validitas yang cukup tinggi sebagai alat skrining gangguan penurunan ketajaman penglihatan dibandingkan gejala klinis lainnya.

2.

3.

4.

Saran 1. Untuk mengurangi risiko keparahan pada anak yang terdeteksi mengalami gangguan penurunan ketajaman penglihatan dengan nilai visus yang cukup tinggi (6,45%) secepatnya akan dirujuk ke Puskesmas Bantul II dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul dan diupayakan mendapat bantuan kacamata gratis dan bagi anak yang menderita visus ringan dapat dilakukan pertukaran tempat duduk dengan maksud agar mata tidak berakomodasi terus menerus yang akan menambah kerusakan mata. Pihak sekolah dan orang tua mulai mengupayakan perubahan perilaku dan kebiasaan anak yang dapat mengakibatkan gangguan penurunan ketajaman penglihatan, seperti menonton televisi, menggunakan komputer, bermain video game terlalu lama tanpa memberikan jeda waktu untuk mata beristirahat, kebiasaan membaca dengan posisi tiduran dan jarak yang terlalu dekat, serta mengganti penerangan tempat belajat anak dengan lampu yang lebih terang. Anak mulai dibiasakan mengkonsumsi makanan-makanan yang sehat dan bergizi, terutama sayur mayur dan buah-buahan segar yang mengandung vitamin A untuk menjaga kesehatan mata mereka. Berdasarkan hasil pemantauan kami selama melaksanakan skrining di 5 Sekolah Dasar di Kecamatan Bantul pada kondisi lampu di kelas, kami

2.

3.

4.

44

menyarankan kepada pihak sekolah tersebut untuk memberi, menambah penerangan atau mengganti lampu yang tidak cukup terang. 5. 6. Gejala sering mengedipkan/mengusap mata dapat direkomendasikan untuk alat skrining gangguan tajam penglihatan. Perlu dilakukan skrining gangguan ketajaman penglihatan secara rutin pada murid Sekolah Dasar sebagai salah satu program pemeriksaan kesehatan untuk anak sekolah. Meningkatkan jangkauan pelayanan mulai pemerataan pelayanan termasuk pemenuhan sarana prasarana dan peningkatan kualitas pelayanan mata di beberapa pusat pelayanan kesehatan dan sekolah Meningkatnya kerjasama lintas sektor dan peran swasta termasuk LSM dalam Upaya Kesehatan Mata pada anak Sekolah Dasar.

7.

8.

45

You might also like