You are on page 1of 5

PEMENTASAN WAYANG SEBAGAI MEDIA INFORMASI DALAM UPAYA PREVENTIF PENYEBARAN HEPATITIS B DI INDONESIA

Oleh : Ni Made Meilani

Dewasa ini, hepatitis menjadi suatu permasalahan global, utamanya hepatitis B. Bagaimana tidak, angka kejadian hepatitis B cenderung tinggi di dunia bahkan di Indonesia. Berdasarkan data WHO (2008), penyakit Hepatitis B menjadi pembunuh nomor 10 di dunia. Dua miliar orang di seluruh dunia telah terinfeksi virus dan sekitar 600.000 orang meninggal setiap tahun karena hepatitis B. Kemampuan penularan virus hepatitis B yaitu 50 sampai 100 kali lebih tinggi dibandingkan dengan HIV. Hal ini dapat menyebabkan penyakit hati kronis dan menempatkan orang pada risiko tinggi kematian dari sirosis hati dan kanker hati. (WHO, 2012). Menurut Sulaiman (1994) dalam Siregar (2006), pada saat ini di dunia diperkirakan terdapat kira-kira 350 juta orang pengidap (carier) HbsAg dan 220 juta (78 %) di antaranya terdapat di Asia termasuk Indonesia. Indonesia menjadi negara dengan penderita Hepatitis B terbanyak di dunia setelah Cina dan India dengan jumlah penderita 13 juta orang. Penderita penyakit Hepatitis B diperkirakan 1 dari 20 penduduk di Jakarta. Sebagian besar penduduk kawasan ini terinfeksi virus Hepatitis B sejak usia anak-anak. Sejumlah negara di Asia 8-10% populasi orang menderita Hepatitis B kronik (Sulaiman, 2010).

Berdasarkan pemeriksaan HbsAg pada kelompok donor darah di Indonesia, prevalensi hepatitis B berkisar antara 2,50% - 36,17%. Selain itu di Indonesia infeksi virus hepatitis B terjadi pada bayi dan anak, diperkirakan 25% - 45% pengidap adalah karena infeksi perinatal. Hal ini berarti bahwa Indonesia termasuk daerah endemis penyakit hepatitis B sehingga termasuk negara yang diimbau oleh WHO untuk melaksanakan upaya pencegahan imunisasi. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang menemukan bahwa sebanyak 10 %

atau sekitar 25 juta penduduk Indonesia dipekirakan terinfeksi virus hepatitis. Sebanyak 50 % di antaranya berkembang menjadi kronis dan 10 % lainnya berkembang menjadi kanker hati.

Seperti yang telah diketahui bahwa penularan virus hepatitis sangat cepat, 50 sampai 100 kali lebih cepat dibanding HIV. Penularan virus hepatitis B yaitu langsung melalui darah atau air mani dan cairan vagina dari orang yang terinfeksi. Hebatnya lagi,tidak seperti HIV, virus hepatitis B dapat bertahan hidup di luar tubuh setidaknya selama tujuh hari. Dalam waktu kurang lebih seminggu ini, virus tetap dapat menyebabkan infeksi jika memasuki tubuh seseorang yang tidak memiliki perlindungan khusus terhadap VHB atau yang sebelumnya belum mendapat imunisasi (WHO, 2012). Penularan infeksi virus hepatitis B melalui berbagai cara yaitu parenteral dan non parenteral. Parenteral yaitu penularan melalui penembusan kulit atau mukosa misalnya melalui tusuk jarum atau benda yang sudah tercemar virus hepatitis B. Model penularan ini biasanya terjadi di negara berkembang. Sedangkan non parenteral terjadi karena persentuhan yang erat dengan benda yang tercemar virus hepatitis B. Secara epidemiologik penularan infeksi virus hepatitis B dibagi 2 cara penting yaitu penularan vertikal yang berarti ibu yang HBsAg positif menularkan kepada anak yang dilahirkan yang terjadi selama masa perinatal. Resiko terinfeksi pada bayi mencapai 50-60 % dan bervariasi antar negara satu dan lain berkaitan dengan kelompok etnik. Selanjutnya ada penularan horizontal yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari seorang pengidap virus hepatitis B kepada orang lain disekitarnya, misalnya melalui hubungan seksual (Siregar, 2006).

Gejala hepatitis B ini terbilang unik. Kebanyakan penderita tidak mengalami gejala apapun selama fase infeksi akut. Namun pada beberapa orang akan mengalami gejala seperti menguningnya kulit dan mata (jaundice), warna urin gelap, kelelahan yang amat sangat, mual, muntah dan nyeri perut yang terjadi berminggu-minggu. Dokter Rino A Gani dari Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia menyatakan, sekitar 20 % orang dengan hepatitis B mengetahui dirinya

terinfeksi dan sisanya yaitu sekitar 80 % tidak tahu dirinya membawa virus di dalam tubuh.

Melihat kenyataan bahwa kesadaran masyarakat masih rendah, upaya pengenalan terhadap penyakit hepatitis B perlu lebih digalakkan lagi. Diperlukan suatu sarana penyuluhan yang bersifat menarik dan dapat mengedukasi semua umur dari

berbagai kalangan. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk menawarkan konsep penyuluhan hepatitis B melalui tontonan yang menarik yaitu atraksi pewayangan.

Mendengar kata wayang memang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat daerah Jawa dan Bali. Wayang adalah suatu karya seni yang bercitarasa tinggi. Kesenian wayang dapat disebut sebagai simbol sebuah jembatan yang menghubungkan budaya-budaya terlihat dalam penuangan unsur-unsur konsep yang ada pada cerita dan tokoh-tokoh wayang itu sendiri seperti misalnya unsur filosofis, unsur estetis dan unsur krateristiknya. Menurut R.T. Josowidagdo, wayang berarti ayang-ayang atau bayangan karena yang kita lihat adalah bayangannya pada kelir yaitu kain putih yang dibentang sebagai pentas pergelaran wayang. Jenis wayang ada bermacam-macam, diantaranya wayang purwa, wayang madya, wayang gedog, wayang golek, wayang orang dan lain-lain.

Wayang merupakan kesenian asli Indonesia yang memang sudah ada sejak jaman kerajaan dahulu. Tentu saja wayang memiliki nilai-nilai luhur yang datang dari sumber-sumber Indonesia sendiri. Dari sistem kepercayaan asli Indonesia, wayang menyerap ajaran dan nilai-nilai tentang : 1. Penghormatan kepada alam, kemudian berkembang menjadi penghormatan kepada Tuhan. 2. Penghormatan kepada Tuhan menghasilkan penghormatan kepada leluhur dan nenek moyang. 3. Penghormatan kepada pemimpin menghasilkan penghormatan kepada sifatsifat kepemimpinan/sifat-sifat atau sikap-sikap kepemimpinan yang baik,

seperti jiwa kepahlawanan, pengorbanan kepada manusia lain, sifat gotong royong dan sebagainya.

Selain fungsi hiburan yang sering kita lihat saat ini, wayang juga berperan sebagai media informasi dan media pendidikan. Wayang sebagai media pendidikan karena ditinjau dari isi cerita yang dipentaskan seringkali mengajarkan tentang nilai baik buruk dalam kehidupan manusia. Baik manusia sebagai individu atau manusia sebagai anggota masyarakat. Wayang sebagai suatu media informasi karena dapat memberikan pehaman pada suatu nilai tradisi. Selain itu dapat dipakai pula sebagai alat pendekatan bagi masyarakat untuk memahami suatu masalah dan seluk beluknya. Jika meninjau tentang fungsi wayang sebagai media hiburan, tentu saja hal ini sudah lumrah di masyarakat. Wayang sering dipakai sebagai pertunjukan di berbagai macam acara yang esensinya untuk menghibur masyarakat.

Melihat fungsi wayang sebagai media hiburan, media pendidikan sekaligus media informasi, maka sekiranya wayang dapat menjadi suatu media dalam penyampaian informasi tentang penyakit hepatitis B di masyarakat. Bentuk penyampaian informasi tersebut seperti penyuluhan, hanya saja dikemas lebih menarik dan atraktif. Wayang masa kini tidak melulu berbentuk tokoh-tokoh cerita masa lalu, namun sudah dikemas sesuai dengan zaman modern saat ini. Seperti wayang yang berbentuk anak-anak sekolahan dan sebagainya yang tergantung dari cerita yang dipentaskan. Wayang yang digunakan untuk media informasi tentang hepatitis B ini akan sangat baik jika disesuaikan dengan kehidupan masyarakat masa kini sehingga akan lebih mudah dimengerti. Bahasa yang digunakan juga harus bahasa sehari-hari yang mudah dipahami. Sasarannya adalah semua umur dan bukan hanya dari kalangan pedesaan namun juga perkotaan. Dalam penyampaian informasi ini tentunya dibutuhkan pemahaman para dalang tentang hepatitis B. Maka dari itu, dalam hal ini diperlukan keterlibatan para praktisi kesehatan. Merekalah yang sebelumnya akan mengedukasi si dalam tentang penyakit hepatitis B ini. Mengingat dalang tidak berlatar belakang pendidikan kesehatan, materi yang disampaikan hanya bersifat

superfisial. Hal-hal yang diberikan seperti faktor resiko, pencegahan dan gejalagejala awal. Selanjutnya bagaimana cerita yang dipentaskan akan diatur oleh sang dalang. Jalan cerita disesuaikan dengan kreativitas dalang. Tentunya tujuan utamanya adalah agar pesan tersampaikan dengan baik kepada masyarakat.

Metode penyampaian informasi tentang penyakit hepatitis B melalui wayang diharapkan dapat diterapkan di seluruh daerah di Indonesia. Dengan tampilan wayang yang menarik dan atraktif ini hendaknya mampu menarik minat masyarakat banyak. Tidak hanya mementingkan kuantitas, yang lebih penting adalah kualitas dimana diharapkan masyarakat mengerti dan bisa aware terhadap bahaya hepatitis B. Esensi dari metode ini adalah sebagai upaya preventif terhadap penyebaran penyakit hepatitis B. Seperti kalimat yang sudah sering kita dengar bahwa mencegah memang lebih baik daripada mengobati.

You might also like