You are on page 1of 8

I LAPORAN PENELITIAN I

Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakea: Perbandingan Esmasi dan Pengukuran Tekanan Kaf Menggunakan Alat dengan Tanpa Alat di GBPT RSUD dr. Soetomo Surabaya
Incidence of Throat Complaints Post Endotracheal Intubaon: Comparison of Esmaon and Measurement on Cu Pressure With or Without Equipment in GBPT RSUD dr.Soetomo Surabaya
Herdy Sulistyono H ABSTRACT Background: Along with globalizaon era there are much worries about the paent complaints caused by complicaons of medical procedures. Tracheal intubaon procedure rounely conducted for general anesthesia has been associated with throat complaints (i.e sore throat, cough, and hoarseness) caused by the endotracheal tube cu traumac pressure at the tracheal lateral wall. Methods: Fiy ASA class 1 and 2 paents, aged 20 to 60 years undergoing elecve surgeries under general anesthesia with endotracheal intubaon in GBPT dr Soetomo Hospital Surabaya were randomized into two groups: treatment and control groups. The rst was using Endotest special device while the later assessed by clinical esmaon. Throat complaints were recorded 20-24 hours aer surgery. The cu inaons and post operave assessments all conducted by double blinded technique. Result: Air volume injected into endotracheal tube cu in the rst group was averaging 5,24 + 1,66 ml, the later group cu pressure was maintained between 25 and 30 cmH2O as recommended by previous studies. The incidence of throat complaints was considerably lower (20%) compared to other reports in the literature, this study found no signicant dierences of throat complaints incidence between those groups (OR = 0,603, 95% CI = 0,147 to 2,468). Conclusion: A simple and cheap method to inate the endotracheal tube cu using minimal occlusive volume technique was showed relavely safe in daily anesthesia pracce, especially if there is no such more expensive Endotest special device available around. Keywords: Complicaons, Sore Throat, Endotracheal Tube Cu, Inaon Methods

saat dilakukan pembedahan memiliki risiko komplikasi berupa trauma terhadap mukosa saluran nafas, antara lain adalah gejala tenggorok (nyeri tenggorok, batuk, dan suara serak) pasca intubasi. Komplikasi tersebut terutama disebabkan oleh tekanan kaf pipa endotrakea pada dinding lateral trakea. Metode: Subyek adalah pasien yang menjalani operasi pembedahan elekf menggunakan anestesi umum dengan intubasi endotrakea di GBPT RSU dr. Soetomo Surabaya. Setelah mendapatkan persetujuan dari Komite Ek secara random dipilih 50 orang usia 20-60 tahun dengan status PS ASA 1-2, yang dibagi menjadi dua kelompok, perlakuan dan kontrol. Kelompok kontrol pengisian kafnya menggunakan esmasi klinis, sedang kelompok perlakuan memakai alat Endotest. Gejala tenggorok yang muncul pasca intubasi diketahui berdasarkan pemeriksaan 20-24 jam pasca pembedahan. Prosedur pengisian kaf dan pemeriksaan pasca pembedahan tersebut dilakukan secara double blinded. Hasil: Pada kelompok kontrol diisikan ke dalam kaf volume udara rata-rata sebanyak 5,24 + 1,66 ml, adapun pada kelompok perlakuan diatur tekanan kaf antara 2530 cmH2O. Pada penelian ini diperoleh kejadian gejala tenggorok yang cukup rendah (20%) dibandingkan penelian-penelian terdahulu, dimana dak terdapat perbedaan yang signikan diantara kedua kelompok tersebut (OR = 0,603 dengan C1 95% = 0,147-2,468). Simpulan: Pengisian kaf pipa endotrakea secara sederhana dengan hanya bermodalkan spuit, menggunakan minimal occlusive volume technique, masih cukup aman untuk dapat dilakukan sehari-hari apabila dak terdapat fasilitas alat khusus pengukur tekanan kaf Endotest yang relaf jauh lebih mahal. Kata kunci: komplikasi, nyeri tenggorok, kaf pipa endotrakea, metode inasi

ABSTRAK Latar Belakang: Sejalan dengan era keterbukaan, kekuaran mbulnya keluhan atas komplikasi ndakan medis sangatlah beralasan. Tindakan intubasi endotrakeal yang sering dilakukan untuk kepenngan anestesi umum
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 18

Herdy Sulistyono H
Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo - Surabaya

HERDY SULISTYONO H

PENDAHULUAN Tindakan intubasi endotrakea untuk kepenngan anestesi umum seringkali menyebabkan trauma terhadap mukosa saluran nafas atas, yang bermanifestasi sebagai gejala-gejala yang muncul pasca operasi. Beberapa gejala yang dikeluhkan pasien antara lain adalah: nyeri tenggorok (sore throat), batuk (cough), dan suara serak (hoarseness), yang dilaporkan oleh Christensen, dkk serta Loeser, dkk memiliki insidens sebesar 21-65%.1,2 Meskipun dak sampai menyebabkan kecacatan, namun komplikasi ini dapat dirasakan sangat dak nyaman dan bahkan bisa menimbulkan keluhan dari pasien terutama yang akan dipulangkan pasca ndakan yang bersifat poliklinik. Gejala-gejala tersebut, nampaknya merupakan akibat dari terjadinya iritasi lokal dan proses inamasi yang terjadi pada mukosa saluran nafas atas. Penelian oleh Stout, dkk menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemasangan pipa dengan munculnya gejala,3 demikian pula penelian oleh Jensen, dkk yang mengaitkan pengaruh kaf terhadap gejala tenggorok tersebut.4 Dari penelian-penelian yang telah dilakukan terhadap pengaruh pemasangan pipa endotrakea, ternyata minat lebih banyak ditunjukkan kepada lesi yang diakibatkan oleh tekanan kaf terhadap dinding lateral trakhea.5 Beberapa contoh trauma yang terjadi karena pemasangan pipa itu antara lain: hematom, laserasi pada mukosa, laserasi pada plika vokalis, dan bahkan subluksasi karlago aritenoid,6 obstruksi pipa, stenosis subglos, penggeseran atau displacement tube, stridor pascaekstubasi, ulserasi nasal, suara serak, dan obstruksi jalan nafas pascaekstubasi. Sebuah penelian yang dilakukan oleh Sulistyono (1990) di RSUD dr Soetomo7 merupakan sebuah contoh studi tentang komplikasi yang dimbulkan ndakan intubasi endotrakea di Indonesia, namun di luar itu sendiri belum banyak dilakukan penelian yang intensif mengenai hal tersebut. Dalam kenyataan di dalam praktek sehari-hari di GBPT RSU dr Soetomo Surabaya, pada saat pemasangan endotracheal tube, tekanan kaf biasanya diberikan secara trasi klinis. Yang dimaksud ialah menggunakan spuit ukuran 20 cc, diberikan tekanan udara secara perlahan-lahan ke dalam kaf sambil memperhakan suara yang muncul di tenggorok pasien akibat pernafasan buatan venlasi tekanan posif yang diberikan oleh ahli anestesi (minimal occlusive volume technique). Suara yang muncul ini adalah akibat kebocoran udara akhir inspirasi dari paru yang melewa ruangan disela-sela dinding trakhea dan dinding luar pipa endotrakea. Tekanan kaf dianggap sudah mencapai opmal keka dak lagi terdengar suara nafas tersebut.8 Menurut beberapa penelian, metode ini bisa memberikan tekanan kaf dengan kondisi underinaon atau justru overinaon. Tekanan kaf yang kurang dapat memperbesar risiko aspirasi dan sebaliknya tekanan yang berlebihan rentan menimbulkan trauma pada trakhea. Penelian ini akan mengama apakah metode pemberian tekanan kaf dengan metode Minimal occlusive volume technique yang run dilakukan tersebut dak menyebabkan lebih banyak kejadian komplikasi gejala tenggorok dibandingkan apabila tekanan kaf diukur menggunakan alat khusus.

BAHAN DAN CARA KERJA Jenis penelian ini adalah uji klinis randomized clinical trial, dengan model parallel design. Dilakukan randomisasi terhadap subyek kelompok studi dan kelompok kontrol di mana rekrutmen dilakukan pada saat yang sama. Selanjutnya perlakuan diberikan berbeda secara double blinded.9,10 Penelian ini dilakukan di ruang operasi GBPT dan ruang rawat inap pascabedah RSU dr Soetomo Surabaya, September sampai Nopember 2009. Populasi penelian adalah semua pasien yang menjalani pembedahan elekf menggunakan anestesi umum dengan intubasi endotrakea di GBPT RSU dr. Soetomo Surabaya selama periode September Nopember 2009. Sampel adalah penderita yang dilakukan pembedahan elekf menggunakan anestesi umum dengan intubasi endotrakea di GBPT RSU dr. SOetomo Surabaya, selain bedah kepala leher, THT, bedah jantung terbuka, operasi seksio sesarea, dan bedah saraf. Sampel diperoleh dari metode consecuve sampling (peneli meneli semua pasien yang masuk dalam kriteria inklusi dalam kurun waktu tertentu/selama masa pengambilan sampel berlaku, sehingga jumlah pasien yang diperlukan terpenuhi).9,10 Berdasarkan rumus diperoleh jumlah sampel sebesar 22 orang pada masing-masing kelompok kontrol dan perlakuan. Dengan esmasi jumlah sampel putus uji sebesar 10%, maka pada ap grup ditambahkan 3 orang. Sehingga jumlah total sampel adalah 50 orang. Setelah mendapatkan persetujuan dari pania Kelaikan Ek Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSU dr. Soetomo Surabaya, penelian ini mulai dijalankan. Sebagaimana direncanakan, sampel diambil dari pasien-pasien yang dilakukan operasi pembedahan menggunakan anestesi umum dengan pemasangan intubasi endotrakea. Pada kunjungan pra operasi malam hari sebelum pelaksanaan operasi keesokan harinya, dilakukan pemeriksaan akhir terhadap pasien tentang kelayakan masuk kriteria inklusi, mencatat kondisi terakhir pasien, serta memberi penjelasan sekaligus meminta informed consent tentang kesediaan pasien untuk mengiku penelian. Alokasi subyek pada penelian ini dengan desain pararel untuk uji klinis dengan 2 kelompok. Subyek yang memenuhi kriteria penelian dilakukan randomisasi (R). Kemudian dialokasikan menjadi kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Kelompok kontrol dilakukan pengisian kaf pipa endotrakea secara klinis yaitu sampai suara nafas menghilang (minimal Occlusive Volume Technique). Sedangkan kelompok perlakuan pengisian dilakukan menggunakan alat khusus pengukur tekanan kaf. Kedua efek akan dibandingkan terhadap munculnya gejala tenggorok (nyeri tenggorok, batuk dan suara serak) pasca operasi. Data-data hasil penelian dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak komputer SPSS 13.0. for Windows, memakai uji Mann Whitney test, Students test, atau x2 test, sesuai data yang ada. Digunakan ngkat kepercayaan (condence interval) sebesar 95%, a = 0,05 dan power of test atau (1-b) = 0,90. Derajat signikansi dianggap bermakna

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 19

Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakeal I Incidens of Throat Complaint Post Endotracheal Intubation

apabila P < 0,05. HASIL Menurut perhitungan menggunakan rumus sampel penelian eksperimental randomized controlled trial di awal penelian, diharapkan minimal 42 orang dapat dijadikan subyek penelian ini, yaitu masing-masing 21 orang pada kelompok perlakuan dan kontrol. Namun dengan permbangan tentang kemungkinan terjadinya drop out maupun eliminasi pada perhitungan stask, maka diputuskan untuk mengambil jumlah sampel besar sebesar 25 orang pada ap kelompok. Dengan demikian jumlah total subyek penelian adalah 50 orang. Dari seluruh jumlah tersebut dak terdapat subyek yang droup out ataupun dikeluarkan dari perhitungan dan analisa stask, karena meskipun dipilih secara acak dari populasi pasien, namun ternyata semuanya telah memenuhi kriteria yang ditetapkan. Sebelum dilakukan analisis mempergunakan metode analik, perlu diketahui terlebih dahulu pola sebaran data yang diperoleh sebagai hasil penelian ini, sehingga dak akan terjadi kesalahan ataupun kerancuan dalam mempergunakan uji-uji stask. Analisis karakterisk dan sebaran data dari beberapa variabel, yang melipu antara lain variable umur, jenis kelamin, indeks massa tubuh, status PS ASA, dan jenis operasi yang dijalaninya adalah seper yang dilihat pada tabel 1 dan 2. Selanjutnya untuk memaskan bahwa sebaran variabel memenuhi persyaratan distribusi normal, yang dilakukan perhitungan uji Kolmogorov Smirnov dan uji Runs. Uji Kolmogorov Smirnov merupakan salah satu uji Non Parametrik yang dapat dipakai untuk menguji keselarasan data berskala minimal ordinal, mengindikasikan normalitas sebuah distribusi apabila p > 0,05. Sementara uji Runs sendiri untuk data yang bersifat nominal, dengan interprestasi yang sama dengan uji Kolmogorov Smirnov.10 Tabel 1. Distribusi karakterisk demogra, morfometri dan biomedis subyek Kelompok Variabel data p Perlakuan kontrol Jumlah pasien 25 25 Umur (tahun) 42,40 + 42,36 + 0,822 12,69 10,72 Jenis Kelamin 9/16 12/13 0,676 (L/W) Berat Badan 61.08 + 60,60 + 0,659 (kg) 12.67 11,41 Tinggi Badan 162,96 + 165,08 + 0,605 (m) 8,73 6,86 Status PS ASA 8/17 13/12 0,676 (1/2) Tabel 1 menyajikan fakta bahwa subyek penderita yang tergabung dalam kelompok perlakuan dan kelompok kontrol memiliki karakterisk-karakterisk yang hampir mirip. Sebagai contoh, umur subyek berkisar antara 22 sampai 60 tahun dengan nilai rata-ratanya adalah 42,20 16,63

tahun. Sedangkan menurut jenis kelamin, maka terlihat bahwa sebagian besar subyek adalah perempuan, yaitu 16 orang (64%) pada kelompok perlakuan dan 13 orang (52%) pada kelompok kontrol. Adapun menurut penilaian kondisi subyek berdasarkan skoring status PS ASA, pada kelompok perlakuan lebih didominasi oleh status PS ASA 2 yang berjumlah 17 orang (98%), berbeda dengan kelompok kontrol yang jumlah status PS ASA 1 sedikit lebih banyak (13 orang atau 52%) dibanding PS ASA 2. Selain itu juga terlihat pada tabel 1 di atas bahwa sebaran data pada semua variabel memenuhi kriteria disbusi normal karena nilai p nya > 0,05. Namun demikian hasil uji ini dak memiliki ar lain kecuali bahwa memang subyek yang diikutkan dalam penelian berasal dari populasi yang terbesar acak. Dengan kata lain bahwa hasil uji normalitas ini dak serta merta menjanjikan dapat dipergunakannya uji stask parametrik sebagai alat bantu pengambilan keputusan analisis, karena sebagaimana diketahui ternyata sebagian besar variabel data yang kami miliki bersifat kualitaf yaitu data nominal (kategori) dan ordinal. Untuk mengetahui jenis ndakan operasi yang dijalani pasien-pasien yang menjadi subyek penelian, jenis pembiusan umum yang dipilih, serta lamanya waktu yang dibutuhkan untuk ndakan operasi tersebut, dilakukan pengelompokan terhadap variabel-variabel data yang ada pada tabel 2. Tabel 2. Jenis ndakan operasi, jenis anestesi umum, dan lamanya operasi
Kelompok Perlakuan (n = 25) Kontrol (n = 25) FreFre(%) (%) kuensi kuensi 8 3 8 3 3 32 12 32 12 12 8 1 8 8 32 4 32 0 32

Variabel Jenis operasi Orthopedi Ginekologi Digestif Urologi Onkologi (Breast) Jenis anestesi umum Inhalasi TIVA Lamanya operasi < 1 jam 1 2 jam 2 3 jam 3 4 jam

13 12

52 48

13 12

52 48

2 15 7 1

8 60 28 4

2 11 10 2

8 44 40 8

Setelah dilakukan pengelompokan terhadap data yang ada, maka terlihat pada tabel 2 di atas bahwa subyek sebagian besar diambil dari penderita yang menjalani jenis operasi orthopedi dan digesf. Terhadap sejumlah 8 Orang (32%) subyek yang dilakukan operasi orthopedi atau digesf tersebut pada masing-masing kelompok perlakuan dan kontrol.

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 20

HERDY SULISTYONO H

Jenis operasi orthopedi yang dijalani subyek melipu antara lain operasi reposisi pada dislokasi sendi serta pemasangan orif (baik plang maupun pinning) pada ekstrimitas atas dan/atau bawah. Sebagai contoh adalah ndakan pemasangan orif plang pada close fracture antebrakii 1/3 distal, plang pada close fracture kruris, dan plang klavikula. Sedangkan jenis operasi digesf lebih bervariasi, mulai dari operasi appendektomi, herniotomi, hingga laparatomi. Selain itu bisa didapa operasi mini laparatomi pada operasi ginekologi atau urologi. Adapun pada kelompok kontrol juga tampak terdapat beberapa subyek yang menjalani jenis operasi bedah onkologi yaitu mastektomi. Berikutnya pada tabel 3 dan tabel 4 berikut ini dipaparkan data tentang penggunaan pipa endotrakea untuk ndakan anestesi umum, yang melipu antara lain: ukuran diameter interna yang dipilih, tekanan kaf diawal dan di akhir ndakan operasi untuk kelompok perlakuan, serta volume udara yang diisikan ke dalam kaf sesuai teknik minimal occlusive volume pada kelompok kontrol. Pada tabel 3 tersebut dapat dilihat bahwa baik pada kelompok perlakuan maupun kontrol terdapat lebih dari separuh (72%) pipa endotrakea jenis kinked yang dipergunakan. Adapun ukuran diameter interna yang tersering dipergunakan adalah 7,5 mm (masing-masing 52 % dan 44%). Tabel 3. Jenis dan ukuran pipa endotrakea
Kelompok Variabel Perlakuan (n = 25) Frekuensi Jenis ETT Kinked Non kinked Ukuran diameter interna ETT 7,0 mm 7,5 mm 8,0 mm 18 7 (%) Kontrol (n = 25) Frekuensi 18 7 (%)

72 28

72 28

8 13 4

32 52 16

4 11 10

16 44 40

Tabel 4. Tekanan dan volume kaf pipa endotrakea


Variabel Kelompok Perlakuan (n = 25) Tekanan awal Tekanan akhir Beda Tekanan Kelompok kontrol (n = 25) Volume Satuan Ratarata Minimum Maksimum K-S value p

(cmH2O) (cmH2O) (cmH2O)

29,20 + 1,15 29,36 + 3,99 0,96 + 4,08

26 20 -8

30 34 10

1,97 1,13 0,80

0,01* 0,16 0,54

mL

5,24 + 1,66

11

1,79

0,03*

Pada tabel 4 ditampilkan hasil pengumpulan data tentang tekanan kaf yang diberikan pada kelompok perlakuan menggunakan alat Endotest@, dan volume udara yang diisikan kedalam kaf sesuai teknik yang dipergunakan di GBPT RSU Dr. Soetomo yaitu Minimal Occlusive Technique. Tampak bahwa tekanan kaf awal yang diberikan maksimal adalah 30 cmH2O. Sementara, volume udara yang diisikan bervariasi antara 4 sampai 11 ml, dengan rata-ratanya sebanyak kurang lebih 5,24 ml. Untuk beda tekanan awal dan akhir bervariasi antara 8 sampai dengan 10 cmH2O. Saat dilakukan perhitungan analisis stask mempergunakan uji satu sampel Kolmogorov-Smirnov terhadap data tekanan udara dan volume udara yang diisikan kedalam kaf, didapatkan ngkat kemaknaan (p) < 0,05 pada variabel tekanan awal dan volume. Fakta ini hanya memiliki satu ar, yaitu bahwa pemberian tekanan ataupun volume udara ke dalam kaf dak dilakukan secara acak dan bukan merupakan sebuah distribusi normal. Tabel 5 berikut ini menyajikan perhitungan dan analisis tentang kejadian gejala tenggorok; yang berupa nyeri tenggorok, batuk, dan suara serak; pasca ndakan intubasi endotrakea saat dilakukan anestesi umum. Untuk melihat secara garis besar, telah dilakukan pengelompokan data-data tentang beberapa variabel yaitu jenis sampel, umur, jenis kelamin, ukuran ETT, jenis ETT, penggunaan agent inhalasi serta lamanya waktu dilakukannya ndakan operasi. Pada tabel 5 berikut ini terdapat rekapitulasi data tentang kejadian gejala tenggorok yang dialami subyek penelian dinjau dari beberapa variabel yang dianggap mungkin berpengaruh. Selain dilakukan penggelompokan terhadap karekterisk-karekterisk tersebut, juga dilakukan uji stask Mann Whitney untuk mencoba mengetahui apakah terdapat perbedaan kejadian gejala tenggorok akibat pengaruh variabel-variabel itu. Namun sayangnya, ternyata hasil uji menunjukkan dak adanya perbedaan bermakna secara stask, yang dicerminkan oleh derajat signikasi P> 0,05 pada seluruh variabel yang diuji. Apabila hanya selintas saja diama tampak kelompok kontrol, yang menggunakan teknik minimal occlusive volume untuk pengisian kaf, menunjukkan kejadian gejala tenggorok ringan relaf lebih banyak dari pada kelompok perlakuan. Namun begitu, dari analisis yang dilakukan diketahui bahwa perbedaan ini dak signikan secara stask (p=0,484). Gejala nyeri tenggorok juga sekilas terlihat lebih banyak dialami oleh kelompok umur 50-60 tahun, sedangkan gejala batuk justru dak dialami sama sekali oleh kelompok umur ini. Hasil uji stask juga dak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,680). Dari variabel jenis kelamin, terlihat bahwa subyek perempuan lebih banyak yang mengalami gejala tenggorok ini, meskipun juga dak signikan secara stask (p=0,395). Berdasarkan analisa faktor endotracheal tube, dapat diama bahwa ukuran diameter interna 7,0 mm dan jenis yang kinked relaf lebih banyak berkaitan dengan gejala tenggorok pasca intubasi. Namun demikian, uji stask

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 21

Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakeal I Incidens of Throat Complaint Post Endotracheal Intubation

juga menunjukkan dak adanya perbedaan yang signikan secara stask (p>0,05). Pada kelompok-kelompok tersebut (ukuran diameter interna p= 0,25 dan jenis ETT p=0,533). Tabel 5. Rekapitulasi kejadian gejala tenggorok pascaintubasi endotrakea
Variabel Jenis sampel Perlakuan Kontrol Umur 20-30 31-40 41-50 50-60 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Ukuran ETT 7,0 mm 7,5 mm 8,0 mm Jenis ETT Kinked Non Kinked Beda Tekanan Awal dan Akhir < 0 cmH2O 0 5 cmH2O > 5 cmH2O Teknik Anestesi Inhalasi TIVA Lama Operasi < 1 jam 1 2 jam 2 3 jam 3 4 jam Nyeri Tenggorok* Skor Skor 0 1 23 21 11 11 9 13 19 25 9 23 12 31 13 2 4 0 1 1 4 2 4 3 1 2 5 1 Batuk* Skor Skor 0 1 24 23 10 11 9 17 20 27 11 23 13 34 13 1 2 1 1 1 0 1 2 1 1 1 2 1 Suara serak* Skor Skor 0 1 24 23 10 11 10 16 20 27 10 24 13 34 13 1 2 1 1 0 1 1 2 2 0 1 2 1

nikan secara stask (p=0,291). Sesuai dengan tujuan utama penelian yaitu mengetahui adanya perbedaan kejadian gejala tenggorok pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, dilakukan uji stask yang hasilnya tercantum pada tabel 6. Untuk lebih memudahkan perhitungan maka kejadian gejala tenggorok dikelompokkan lagi menjadi 2 kelompok besar saja, yaitu subyek yang sama sekali dak mengalami gejala apapun serta subyek yang mengeluh gejala walaupun ringan saja. Tabel 6. Kejadian gejala tenggorok pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
Gejala Tenggorok Ya dak 4 21 6 19 10 40

Kelompok Perlakuan Jenis sampel Kontrol Total

Total 25 25 50

7 14 2 22 22 4 23 14 3

0 2 0 4 2 0 3 3 0

7 15 2 23 24 4 25 15 3

0 1 0 3 0 0 1 2 0

7 16 1 23 24 4 25 15 3

0 0 1 3 0 0 1 2 0

Ket: * skor 2 dan 3 dak dicantumkan karena dak dikeluhkan oleh satupun penderita. Dilakukan uji MannWhitney, diberi tanda ** bila p < 0,05.

Mengama beda tekanan kaf yang diukur pada awal dan akhir ndakan operasi, terlihat beberapa menunjukkan peningkatan tekanan dan beberapa yang lain justru menggambarkan penurunan tekanan kaf. Namun setelah dilakukan analisa stask juga dak didapatkan perbedaan yang signikan diantara kelompok tersebut (p=0,678). Penggunaan agen anestesi inhalasi menjadi perhaan karena seolah-olah menyebabkan kejadian gejala tenggorok lebih banyak daripada teknik anestesi TIVA (Total Intra Venous Anesthesia). Seper terlihat jelas pada tabel 5 diatas, kejadian masing-masing gejala tenggorok yang terjadi pada kelompok agen inhalasi hampir 2 kali lipat daripada kelompok TIVA. Setelah dilakukan uji stask ternyata menunjukkan perbedaan yang dak terlalu signikan (p=0,05). Sehingga dengan demikian mungkin perlu untuk dilakukan pendalaman mengenai hal ini. Pada variabel lamanya operasi terlihat bahwa kelompok operasi yang memakan waktu 2-3 jam terlihat paling banyak mengalami kejadian gejala tenggorok, walaupun juga akhirnya dak menunjukkan perbedaan yang sig-

Pada tabel 6 di atas dapat diama data tentang kejadian gejala tenggorok pasca ndakan intubasi endotrakea pada dua kelompok yang berbeda, yaitu kelompok perlakuan yang tekanan kafnya diisi dengan alat khusus dan kelompok kontrol yang tekanan kafnya diisi sebagaimana prosedur sehari-hari melalui esmasi dengan teknik Minimal Occlusive Volume. Pada tabel ini terlihat bahwa angka kejadian gejala tenggorok pada penelian ini adalah sebesar 20% (10 dari 50 subyek). Selain itu, data tersebut disajikan dalam bentuk tabel 2 x 2 untuk selanjutnya dilakukan perhitungan Odds Rao, yaitu sejenis Risiko Relaf pada penelian kohort. Hasil Odds Rao sebesar 0.603 diatas dapat dibaca sebagai risiko terjadinya gejala tenggorok pada kelompok perlakuan adalah sebesar 0.603 kali dibandingkan kelompok kontrol. Namun demikian, sayang sekali, dikarenakan interval kepercayaan (Condence Interval/CI) mencakup angka 1 maka kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa dak terdapat perbedaan kejadian gejala tenggorok pada kedua macam cara pengisian kaf pipa endotrakea atau bahwa perbedaan cara pengisian kaf pada ndakan intubasi dalam penelian ini dak memiliki hubungan dengan kejadian gejala tenggorok pasca ndakan. PEMBAHASAN Perkembangan teknologi saat ini sebenarnya telah jauh memberikan keuntungan kepada para praksi dan klinisi bidang Anestesiologi dan Reanimasi untuk melakukan ndakan intubasi endotrakea secara lebih aman dan nyaman untuk pasien. Pipa endotrakea dengan kaf yang memiliki daya regang (compliance) nggi, yang ditujukan untuk mencegah kebocoran gas anestesi dan kemungkinan terjadi aspirasi, diciptakan khusus dengan ruang volume besar namun tekanan rendah (high-volume low-pressure cu) sehingga tekanan terhadap dinding mukosa trakea dapat diminimalkan. Namun begitu, dikarenakan karakterisk mukosa trakea yang terbentuk dari epitel pseudostraed berbulu silia, menyebabkan dinding tersebut sangat sensif terhadap pergeseran dengan dinding luar pipa endotrakea.1,3,6,11 Oleh sebab itu, dalam penelian ini

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 22

HERDY SULISTYONO H

berupaya dihindari melakukan semua ndakan atau kondisi yang dapat menimbulkan bias terhadap munculnya gejala tenggorok yang dak murni disebabkan oleh cara pengembangan kaf itu sendiri. Beberapa yang dicoba untuk dieliminasi antara lain: adanya penyulit pada saluran nafas atas subyek semisal infeksi atau keradangan kronis yang diakibatkan riwayat merokok lama, pemasangan pipa nasogastrik yang diduga juga dapat menyebabkan tambahan iritasi, prosedur ndakan intubasi yang kasar dan dilakukan berulang kali, penyedotan lendir (suconing) yang berlebihan, gerakangerakan kepala leher yang berlebihan atau berulang-ulang saat ndakan operasi dilakukan, serta semakin lamanya ndakan intubasi dilakukan sehingga dibatasi dipilih hanya ndakan-ndakan operasi yang kurang dari 4 jam. Selain semua hal eksternal penng tersebut, faktor pipa endotrakea sendiri juga mendapat perhaan cukup serius supaya dak menimbulkan bias yang besar. Sengaja untuk penelian ini dipilihkan ukuran diameter interna yang diperkirakan paling sesuai (t) untuk masing-masing subyek. Dipergunakan pipa endotrakea yang masih steril dari kemasan pabrik, yang pemilihan ukurannya dilakukan melalui perbandingan dengan ukuran keliling ibu jari saat subyek masih bagun. Selanjutnya diberikan lubrikasi menggunakan spray XylocaineR 2% dimulai dari ujung distal sampai dengan ukuran lebih 15 cm dari ujung pipa endotrakea, dan nan nya juga akan dengan dilakukan penyemprotan cairan yang sama kedalam faring saat dilakukan ndakan laringoskopi. Untuk mencegah terjadinya insidens batuk di sekitar saatsaat subyek di-ekstubasi dan dibangunkan, menurut rencana semula akan diberikan Lidocain 2% 1,5 mg/kgBB kurang lebih 3 menit sebelum melakukan ekstubasi. Namun pada kenyataannya hal ini dak dilakukan secara run, selama subyek dak terlihat mengalami iritasi hebat. Pencegahan yang dilakukan adalah dengan membatasi suconing hanya cukup untuk membersikan lendir yang ada saja. Disadari bahwa hal ini berisiko untuk terjadinya aspirasi, oleh karena itu benar-benar harus diyakinkan faring dan rongga mulut sudah bersih dari lendir. Selain itu juga disyaratkan subyek penelian tersebut sudah sadar sesaat sebelum dilakukan ekstubasi. Untuk mencegah bisa juga dak digunakan gas nitrit oksida (N2O) pada penelian ini. Dalam prakk ndakan anestesi sehari-hari gas N2O ini sering digunakan bersamasama agen inhalasi lain untuk mendapatkan efek analgesia dan mengurangi kebutuhan gas inhalasi tesebut. Semua literatur hasil penelian yang mencari hubungan antara pengembangan kaf dan pemakaian gas N2O kedalam kaf yang berrongga.12,13,14,15 terjadi proses dan mencapai puncaknya pada fase 1 jam pertama penggunaan gas N2O, yang selanjutnya turut mengisi dan meningkatkan tekanan oleh kaf ke dinding mukosa trakea di sekelilingnya.16,17 Seper halnya penelian-penelian lain sebelumnya tentang kejadian gejala tenggorok pasca ndakan intubasi endotrakea, dak ditemukan kaitan bermakna antara karakterisk demogra dan morfometri dengan kejadian gejala tenggorok. Sengupta dkk, Parwani dkk, Braz dkk, adalah contoh para peneli yang dalam laporannya menyatakan tentang hal serupa tersebut.18,19,20

Umur pasien yang rata-rata adalah masing-masing 42,04 12,69 tahun pada kelompok perlakuan dan 42,3610,72 tahun pada kelompok kontrol, sedaknya menggambarkan proporsi subyek penelian yang membentuk distribusi normal. Kelompok umur dewasa muda (31-50 tahun) ini jumlahnya hampir separuh subyek penelian. Pipa endotrakea (ETT) yang dipakai untuk penelian ini adalah sesuai dengan yang sehari-hari digunakan di lingkungan RSU Dr. Soetomo, yaitu merek RuschR produksi perusahaan negara Uruguay, yang bersifat high-volume low-pressure. Bernhard dkk. telah melaporkan dalam publikasi ilmiah mereka tentang karakterisk dan ukuranukuran pipa endotrakea ini, beserta beberapa merek pipa endotrakea lain yang banyak dipakai di seluruh dunia.5 Dari dua jenis pipa endotrakea yang ada, yaitu kinked dan non kinked, ternyata sebagian besar yang dipakai oleh subyek penelian ini adalah jenis kinked, yaitu masing-masing 18 buah (72%) pada kelompok perlakuan maupun kontrol. Hal ini sangat wajar terjadi karena hampir semua jenis operasi yang dipilih adalah yang dak memerlukan pengaturan posisi-posisi khusus, semisal miring atau tengkurap, sehingga dak terlalu besar kekhawaran terjadinya kinking pada pipa endotrakea yang dipergunakan. Adapun ukuran diameter interna yang dipilih sebagian besar adalah 7,5 mm, yaitu 13 kali penggunaan (52%) pada kelompok perlakuan dan 11 kali penggunaan (44 %) pada kelompok kontrol. Untuk pemilihan ukuran diameter interna ini, seper telah dijelaskan sebelumnya, biasanya disesuaikan secara esmasi klinis dengan memperhakan berat badan subyek atau membandingkan ukuran jari kelingking subyek dengan nomer pipa endotrakea yang hendak digunakan. Tabel 4 menunjukan gambaran tentang besarnya tekanan atau jumlah volume udara yang diisikan kedalam kaf pipa endotrakea dalam penelian ini. Dari aspek pengisian kaf dengan menggunakan alat khusus pengukur tekanan kaf yang dipergunakan dalam penelian ini (Endotest), telah direkomendasikan tekanan udara sesuai range tertentu, yaitu 25-30 cmH2O. Sehingga besaran tekanan udara yang telah diberikan kedalam kaf daklah terlalu bervariasi, yaitu selama masih berada di dalam rentang aman tersebut. Dan setelah dilakukan analisis stask nampak bahwa ratarata tekanan udara yang diisikan kedalam kaf adalah 29,20 1,15 cmH2O, dimana pemberian tekanan terendah adalah 26 cmH2O dan ternggi 30 cmH2O. Pada pengisian kaf menggunakan teknik minimal occlusive volume untuk kelompok kontrol, rata-rata volume udara yang diisikan adalah sebanyak 5,241,66 ml. Hasil ini sesuai dengan yang telah diperkirakan sebelumnya, karena pada prakk sehari-hari pengisian udara untuk kaf di lingkungan RSU Dr. Soetomo juga berkisar kurang lebih 5 ml. Sebagai perbandingan, sebuah publikasi ilmiah oleh Sengupta dkk, menemukan bahwa volume udara yang diisikan ke dalam kaf, mempergunakan metode palpasi dan mendengarkan kebocoran udara tekanan posif di beberapa rumah sakit di Louisville USA, rata-rata adalah sebanyak 4,41,8 ml.18 Variabel tekanan akhir kaf, yang diukur pasca ndakan operasi selesai atau sesaat sebelum dilakukannya

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 23

Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakeal I Incidens of Throat Complaint Post Endotracheal Intubation

ndakan ekstubasi, juga diobservasikan dalam penelian ini. Sebenarnya dak ada tujuan tertentu untuk mengukur tekanan udara kaf ini, melainkan hanya sekedar keinginan mengetahui dan mencocokkan berbagai informasi yang ada, bahwa tekanan kaf bisa berubah di akhir ndakan operasi, jika dibandingkan dengan tekanan awal, Dinyatakan bahwa gas N2O bisa menyebabkan fenoma tersebut. Namun karena pada penelian ini dak digunakan jenis agen inhalasi tersebut dalam ar hanya gas O2 murni ditambah agen inhalasi tertentu (misal Halotan, Isouran, dll), diduga dak terdapat banyak perbedaan dengan tekanan kaf awal yang diberikan bahwa nilai rata-rata tekanan kaf akhir adalah sebesar 29,363,99 cmH2O. Sebagai perbandingan, penelian yang dilakukan Manissery dkk melaporkan bahwa pada anestesi menggunakan 67 % N2O sebagai agen inhalasi, tekanan kaf pada akhir 1 jam pertama ditemukan sebesar rata-rata 62,612,33 cmH2O. Padahal sebagaimana sudah diketahui, bahwa tekanan kaf di atas 50 cmH2O (37 mmHg) yang merupakan crical perfusion pressure sudah akan menyebabkan terjadinya penghenan aliran perfusi darah ke jaringan mukosa cincin trakea dan dinding posterior.21 Pada tabel 3 yang menyajikan data tentang penggunaan agen anestesi inhalasi terlihat bahwa variabel ini sangat besar kemungkinan dapat ikut menyebabkan kejadian gejala tenggorak. Terbuk dengan jumlah kejadiannya yang lebih banyak daripada teknik anestesi TIVA (Total Intra Venous Anesthesia), yaitu hampir 2 kali daripada kelompok TIVA. Dan setelah dilakukan uji stask ternyata menunjukan perbedaan yang dak terlalu signikan (p=0,05). Hingga penelian ini dilakukan masih belum ditemukan, berbagai terbitan ilmiah, tentang pengaruh penggunaan gas inhalasi terhadap gejala tenggorok pasca intubasi. Oleh karena itu penulis masih belum dapat mengambil kesimpulan yang mendalam terhadap fenomena tersebut. Namun demikian bukan dak mungkin apabila dilakukan penelian yang lebih khusus dan dengan melibatkan subyek penelian jauh lebih banyak, akan bisa diketahui seberapa besar hubungan antara kedua aspek tersebut. SIMPULAN Salah satu keterbatasan dari penelian ini adalah bahwa penilaian skoring gejala tenggorok yang mbul hanya dilakukan sekali saja, dalam rentang waktu 20-24 jam pasca ndakan operasi dan anestesi. Sebenarnya alasan utama dipilihnya masa tersebut adalah permbangan bahwa kejadian gejala tenggorok tersering dan terparah keluhannya muncul didalamnya.7 Selain itu, dianggap pada masa waktu 20-24 jam pasca ndakan operasi dan anestesi apabila dilakukan wawancara dan penilaian keparahan gejala, akan diperoleh data subyekf yang baik karena pengaruh anestesi umum yang diberikan sudah hilang. Namun apakah dimungkinkan terjadinya delayed symptoms, tentunya diperlukan penelian lebih lanjut dengan desain yang lebih advanced yaitu dengan observasi prospecve cohort. Sebagai hasil penelian terhadap 50 orang pasien yang dilakukan operasi pembedahan elekf menggunakan anestesi umum dengan intubasi endotrakheal di GBPT RSU.

Soetomo Surabaya selama periode penelian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Pasien-pasien yang dijumpai dalam penelian ini memiliki karakterisk antara lain : umur mereka bervariasi antara 22 sampai 60 tahun dengan rata-rata adalah 42,20 16,63 tahun, sebagian besar adalah perempuan yaitu 29 orang (58%), dan memiliki kondisi preoperaf yang sebagian besar (60%) adalah status PS ASA 2. 2. Jenis-jenis operasi pembedahan yang didapat selama periode penelian melipu antara lain orthopedi, ginekologi, digesf, urologi, dan onkologi (breast). Dimana jumlah terbanyak pasien adalah yang menjalani operasi orthopedi dan digesf, keduanya secara bersama-sama mencapai 64% dari keseluruhan. 3. Pipa endotrakea yang digunakan untuk intubasi pada pasien selama periode penelian lebih dari separuhnya (72%) adalah jenis kinked, dengan ukuran diameter interna yang tersering digunakan adalah 7,5 mm (48%). Tekanan kaf yang diberikan dengan alat EndotestR adalah sesuai dengan tekanan yang rekomendasikan yaitu antara 25-30 cmH2O, sedangkan volume udara yang diisikan rata-rata sebanyak 5,241,66 ml. 4. Kejadian gejala tenggorok yang dialami pasien selama periode penelian hanya melipu nyeri tenggorok dan batuk minimal saja, yang terjadi pada 10 (20%) pasien. Semua faktor yang diperkirakan memiliki kaitan dengan kejadian tersebut; misal umur, jenis kelamin, ukuran diameter interna dan jenis pipa endotrakea, jenis agen anestasi, serta lama operasi; ternyata dak menunjukkan hubungan yang signikan secara stask (p>0,05). 5. Kejadian gejala tenggorok pasca intubasi endotrakheal pada pasien yang dilakukan intubasi dengan pengisian kaf pipa endotrakea berdasarkan esmasi klinis atau sesuai tekanan yang diukur dengan alat khusus pengukur tekanan kaf EndotestR memiliki Odds Rao MantelHaenszel =0,603 dengan CI 95% (0,147;2,468), yang berar dak ada perbedaaan antara keduanya dan/ atau bahwa perbedaan cara pengisian kaf pada ndakan intubasi dalam penelian ini dak memiliki hubungan dengan kejadian gejala tenggorok pascandakan. DAFTAR PUSTAKA 1. Christense Am, Willemoes-Larsen H, Lundby L, Jakobsen KB. Postoperave throat complaints aer tracheal intubaon. Br J Anaesth. 1994; 73: 786-7. 2. Loeser EA, Bene GM, Orr DL, Stanley TH. Reducon of postoperave sore throat with new endotracheal tube cu. Anesthesiology. 1980; 52: 257-9. 3. Stout DM, Bishop MJ, dwersteg JF, Cullen BF. Correlaon of endotracheal tube size with sore throat and hoarseness following general anesthesia. Anesthesiology. 1987; 67: 419-21. 4. Jensen PJ, Hommelgaard P, Sondergaard P, Eriksen S. Sore throat aer operaon: inuence of tracheal intubaon, intra cu pressure and type of kaf. Br J Anaesth. 1982; 54: 453-6. 5. Bernhard WN, Yost L, Turndorf H. Cued tracheal tubes-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 24

HERDY SULISTYONO H

6. 7.

8.

9.

10. 11.

12.

13.

14.

15.

16. 17. 18.

19.

20. 21.

physical and behavioral characteriscs. Anesth Analg. 2003; 61: 36-41. Kambic V, Radsel Z. Intubaon lesions of the larynx. Br J Anaesth. 1998; 50: 587-90 Sulistyono H. Pengaruh intubasi endotrakheal pada gangguan tenggorok: Perbandingan pemakaian pipa endotrakheal bersih dan steril. Warta IKABI. 1990; 3 (1): 32-38. Steward SL, Secrest JA, Norwood BR. A comparison of endotracheal tube cu pressures using esmaon techniques and direct intra cu measurement. AANA Journal. 2003; 71 (6): 443-7. Sukidin M. Metode Penelian, Membimbing dan Mengantar Kesuksesan Anda dalam Dunia Penelian. Insan Cendikia, Surabaya, 2005. Wawolumaya C. Metodologi Riset Kedokteran: Metode Epidemiologi Eksperimen. Sea BJ, Jakarta, 1997. Dobrin P, Caneld T. Kaf endotracheal tubes: mucosal pressure and tracheal blood ow. The American Journal of Surgery. 1977; 133: 562-7 Nguyen T, Saidi N. Nitrous oxide increases endotracheal cu pressure and the incidence of tracheal lesions in anesthezed paents. Anest Analg. 199; 89 (1): 187-90 ODonnell JH. Orotracheal tube intra cu pressure inially and during anesthesia including nitrous oxide. CRNA: Clin Forum Nurse Anesthest. 1995; 6: 79-85, 2000. Bensaid S, duvaldesn P. Nitrous oxide increases endotracheal cu pressure and the incidence of tracheal lesions in anesthezed paents. Anesth Analg. 1999; 89: 187-90 Manissery JJ, Shenoy V, Ambareesha M. Endotracheal tube cu pressures during general anaesthesia while using air versus a 50% mixture of nitrous oxide and oxygen as inang agents. Indian J Anaesth. 2007; 57 (1): 24-27 Vandam LD. Introducon to Anesthesia. Longnecker DE, Murphy FL, eds. WB Saunders Co, Philadelphia, 1999. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4th ed. McGraw-Hill Co, Inc. New York. 2006 Sengupta P, Sessler DI, Maglinger P. Endotracheal tube cu pressure in three hospitals, and the volume required to produce an appropriate kaf pressure. BMC Anesth. 2004; 4: 1-6. Yadi DF, King LS. A simple endotracheal tube cu pressure measuring device: an inexpensive alternave. Anest & Crit Care. 2007; 25: 225-32. Parwani V, Hanh IH, Krieger P. Assesing Endotracheal tube cu pressure. Amerg Med Serv. 2006; 35: 82-4. Seegobion Rd, Vanhasselt GL. Endotracheal cu pressure and tracheal mucosal blood ow: endoscopic study of eects of four large volume cu. Br Med J. 1984; 288: 965-8.

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 25

You might also like