You are on page 1of 16

Urtikaria alergik

Perihal Utama Urtikaria dapat bersifat akut atau kronik, dan dapat bersifat alergik (dimediasi oleh imunoglobulin E) atau non alergik (dimediasi oleh efek farmakologik obat seperti aspirin atau respon fase akut). Terdapat beberapa varian urtikaria yang disebabkan faktor fisik seperti paparan kulit terhadap tekanan, getaran, dingin, atau bahkan air (urtikaria aquagenik). Lesi urtikaria dihasilkan di kulit oleh degranulasi sel mast. Urtikaria dapat merupakan tanda adanya vaskulitis urtikaria. Urtikaria kronik merupakan tampilan yang biasa dari kondisi ini, dan dalam sebagian besar kondisi tidak terdapat kemungkinan untuk mengidentifikasi etiologi (urtikaria idiopatik). Terdapat berbagai penyebab urtikaria, meliputi alergi makanan atau obat, infeksi, serta berhubungan dengan penyakit autoimun seperti penyakit tiroid. Autoantibodi pelepas histamin diduga sebagai salah satu penyebab urtikaria. Pengobatan didasarkan pada identifikasi faktor pemicu. Jika hal ini tidak mungkin dilakukan, penggunaan singkat glukokortikosteroid disarankan. Antihistamin merupakan dasar dari pengobatan. Untuk kasus yang lebih berat, obat-obat modulasi imun seperti siklosporin dapat dibutuhkan untuk mengontrol tanda dan gejala proses urtikaria. Agen biologik seperti rituximab dan omalizumab tampak menjanjikan. URTIKARIA AKUT DAN KRONIK Urtikaria, umum dikenal sebagai biduran, ditandai oleh gambaran episodik papul atau plak eritematosa pruritik dengan pembengkakan superfisial dermis (Gambar 1). Urtikaria akut melibatkan durasi gejala kurang dari 6 minggu, dan urtikaria kronik melibatkan durasi gejala 6 minggu atau lebih. Urtikaria akut terjadi pada sekitar 15% hingga 23% populasi, walaupun kasus ini cenderung kurang dilaporkan karena sifat penyakit yang singkat. Prevalensi urtikaria akut meningkat jadi 50% pada individu dengan rhinitis alergi, asma, atau dermatitis atopik. Urtikaria kronik dapat lebih lanjut dibedakan sebagai urtikaria idiopatik fisik atau kronik (CIU/chronic idiopathic urticaria). Urtikaria fisik terdiri dari banyak subtipe di mana pemicu spesifik dapat secara cepat menginduksi biduran, sementara CIU tidak memiliki pemicu yang diketahui. Prevalensi urtikaria fisik tidak diketahui pasti, namun diperkirakan terhitung untuk 20% hingga 35% dari semua urtikaria kronik. CIU terjadi pada sekitar 0.1% hingga 3% populasi dan memiliki predominansi wanita, seperti banyak bentuk urtikaria kronik. Gambaran klinis dan selular urtikaria Secara klinis, lesi urtikaria sangat gatal dan dapat timbul di bagian tubuh manapun, biasanya timbul cepat dan bertahan 1 - 24 jam. Tidak seperti penyakit kulit pruritik lain seperti dermatitis atopik, pasien dengan urtikaria lebih mengalami penurunan rasa gatal dengan gosokan pada kulit dibanding garukan, sehingga membuat ekskoriasi kulit sebagai temuan yang langka pada CIU. Lesi dapat bervariasi dalam ukuran dan dapat konfluen (Gambar 1). Pembengkakan yang diamati dengan urtikaria disebabkan pergerakan plasma dari pembuluh darah kecil ke jaringan ikat sekitar. Angioedema, atau pembengkakan jaringan dermis, subkutan, dan submukosa dalam, sering terjadi bersama urtikaria namun memiliki waktu resolusi lebih lambat, secara tipikal lebih dari 24 jam, walaupun daerah pembengkakan besar dapat memerlukan waktu lebih lama untuk beresolusi (Gambar 2). Angioedema dideskripsikan dengan ditandai rasa nyeri atau rasa terbakar, dan tidak gatal; hal ini mungkin karena keberadaan sel mast yang sedikit dan ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis
1

dalam. Angioedema sering melibatkan membran mukosa, lokasi lazim adalah wajah, bibir, lidah, faring, dan ekstremitas (Gambar 2). Sebaliknya, urtikaria, baik akut maupun kronik, jarang melibatkan permukaan mukosa kecuali urtikaria dingin, yang dapat melibatkan lidah atau palatum.

Gambar 1. Lesi urtikaria ( courtesy of Carrie McCann, RN, Gambar 2. Angioedema ( courtesy of Koman S. Zikry, Dermatlas: http:// www.dermatlas.org) MD, Dermatlas: http:// www.dermatlas.org)

Wheal klasik yang diamati pada urtikaria akut dan kronik menunjukkan edema dermis dengan dilatasi vena postkapiler dan pembuluh limfatik (Gambar 3A, B). Pada biopsi, infiltrat leukosit secara khas terletak di perivaskular dan secara klasik terdiri dari neutrofil, makrofag, limfosit, dan terkadang eosinofil (Gambar 3A, B). Melalui pemeriksaan imunohistokimia, ekspresi protein TNF- dan IL-3 didapati meningkat pada lesi urtikaria akut dan kronik. TNF merupakan sitokin yang dibuat oleh sel epitel, leukosit, dan sel mast. TNF- dapat menginduksi pelepasan mediator sel mast dan meningkatkan ekspresi molekul adhesi endotel, sehingga peningkatan kadar sitokin ini dalam urtikaria dapat berperan bagi infiltrasi leukosit yang diamati. IL-3 merupakan sitokin yang diproduksi oleh sel mast, sel T, monosit, dan granulosit, dan dapat meningkatkan ekspresi molekul adhesi endotel P-selektin. Ekspresi Pselektin meningkat pada kulit dan serum semua pasien urtikaria kronik. Dua molekul adhesi endotel, integrin endothelial leukocyte adhesion molecule 1 (ELAM-1) dan intercellular adhesion molecule 1 (ICAM-1), didapati meningkat pada lesi urtikaria akut dan kronik. Ekspresi persisten ELAM-1 dan ICAM-1 pada lesi yang lebih dari 6 jam dapat membantu menjelaskan durasi wheal urtikaria yang lama. Anamnesis dan pemeriksaan fisik Dalam diagnosis urtikaria akut atau kronik, anamnesis yang baik adalah bagian yang paling penting (Gambar 4). Onset waktu timbulnya biduran penting diketahui, seperti juga keterkaitan dengan paparan lingkungan atau stresor tertentu. Pasien perlu memberikan deskripsi lesi, termasuk ukuran, warna, pigmentasi, dan kualitas nyeri atau gatal. Lesi urtikaria biasanya gatal dan menunjukkan resolusi komplit tanpa perubahan pigmen kulit. Dokter harus menentukan keberadaan angioedema sehubungan dengan urtikaria. Pada pasien dengan angioedema terisolasi tanpa urtikaria, riwayat keluarga penting diketahui untuk menentukan keberadaan angioedema herediter, karena terdapat sifat autosomal dominan yang melibatkan defek fungsi inhibitor C1 esterase. Riwayat atopi sangat bermanfaat, terutama untuk urtikaria akut, karena (1) individu dengan atopi memiliki prevalensi urtikaria akut lebih tinggi, dan (2) riwayat ini dapat mengungkapkan faktor pencetus. Peran yang paling penting dari anamnesis adalah untuk mengidentifikasi agen pemicu urtikaria atau angioedema pasien. Anamnesis melibatkan pertanyaan mengenai penggunaan obat terakhir, termasuk antibiotik, obat anti peradangan non steroid, dan aspirin. Riwayat makanan yang dikonsumsi sesaat
2

sebelum kemunculan gejala, kemungkinan sengatan serangga, atau perubahan lingkungan juga perlu ditanyakan. Pertanyaan tambahan perlu membahas infeksi terakhir, gejala-gejala penyakit tiroid, riwayat penggunaan alat-alat implantasi, dan, bagi wanita, hubungan kemunculan biduran dengan siklus menstruasi mereka. Evaluasi lebih lanjut stresor kehidupan, seperti pekerjaan pasien dan riwayat kebiasaan merokok, dapat membantu memahami waktu atau eksaserbasi lesi. Evaluasi juga penting dilakukan mengenai bagaimana pasien mengatasi urtikaria dan terapetik apa, termasuk obat non resep dan regimen diet, yang digunakan dan apakah tindakan tersebut mengurangi urtikaria.

Gambar 3. Biopsi lesi urtikaria. A. Gambaran urtikaria akut dengan edema dermis dan infiltrat mononuklear perivaskular. B. Urtikaria kronik juga terdapat infiltrasi neutrofil atau eosinofil tanpa adanya vaskulitis. C. Urtikaria vaskulitis menunjukkan banyaknya infiltrasi neutrofil perivaskular dan beberapa kerusakan neutrofil (dari Fireman, Savin. Atlas of Allergies, 2nd ed.1996, Elsevier Publisher)

Dengan anamnesis rinci, pemeriksaan fisik pada pasien dengan urtikaria dapat bermanfaat dalam menyingkirkan kemungkinan kelainan lain. Pemeriksaan lengkap dan penentuan keberadaan dermatografisme penting dilakukan (Gambar 5). Urtikaria fisik dapat memerlukan manuver tambahan dalam pemeriksaan fisik, seperti uji batu es untuk mengevaluasi urtikaria dingin, dan perlu dirancang sesuai jenis urtikaria yang dicurigai (Gambar 6 dan Tabel 1). Ukuran, distribusi, dan warna lesi perlu dicatat. Wheal secara khas berwarna merah muda atau merah karena dilatasi terinduksi-histamin pada pembuluh darah di kulit, sementara lesi vaskulitik memiliki tampilan dengan warna merah gelap atau ungu karena kerusakan dan kebocoran vaskular (lihat Gambar 1). Lesi-lesi urtikaria dapat secara mudah memucat. Dokter juga perlu memeriksa membran mukosa untuk keberadaan angioedema (lihat Gambar 2). Para pasien juga perlu dievaluasi untuk abnormalitas kelenjar tiroid pada pemeriksaan fisik. Tidak ada uji laboratorik spesifik yang diperlukan untuk semua pasien dengan urtikaria; pengujian dilakukan tergantung pada subtipe (seperi akut, idiopatik kronik, atau fisik) urtikaria seperti diindikasikan di bawah.

Gambar 4. Algoritma diagnosis urtikaria. ACE, angiotensin-converting enzyme

Gambar 5. Dermatografisme. (courtesy of Bernard Cohen, MD, Dermatlas; http://www.dermatlas.org)

Gambar 6. Tes ice-cube untuk urtikaria dingin.

URTIKARIA AKUT Urtikaria akut diklasifikasikan sebagai biduran dengan durasi kurang dari 6 minggu dan terhitung hingga dua pertiga kasus urtikaria. Lesi cepat hilang, bertahan kurang dari 24 jam, namun dapat kembali. Secara klinis, urtikaria akut tidak dapat dibedakan dari urtikaria kronik melalui pemeriksaan fisik saja. Tidak ada uji laboratorik rutin yang perlu dilakukan kecuali untuk mengidentifikasi pemicu, seperti pada kecurigaan reaksi terhadap obat atau makanan. Urtikaria akut dapat diklasifikasikan sebagai respon alergi dimediasi imunoglobulin E (IgE), seperti yang diamati pada alergi makanan, serangga, dan obat; respon yang tidak dimediasi-IgE terhadap pseudoalergen seperti aspirin; atau respon imunologis yang dijumpai dengan transfusi darah dan penyakit febril. Urtikaria terkait alergi makanan terjadi dalam 30 menit hingga 2 jam setelah paparan. Uji untuk alergi makanan tepat dilakukan pada urtikaria akut jika riwayat pasien mengungkapkan urtikaria terkait dengan gejala lain seperti nausea
4

atau muntah, namun alergi makanan bukanlah penyebab yang lazim pada pasien dewasa. Satu penelitian prospektif yang melibatkan para pasien dewasa dengan urtikaria akut menunjukkan bahwa 63% mencurigai makanan sebagai agen penyebab, namun hanya satu dari 109 pasien dikonfirmasi memiliki alergi makanan. Pada anak-anak, alergi makanan memainkan peran lebih besar dalam urtikaria akut, seperti alergi terhadap susu, telur, kedelai, kacang, dan gandum. Beberapa minuman dan makanan yang mengandung amina vasoaktif (seperti, anggur, bir, dan keju) dan pseudoalergen (seperti bahan aditif makanan) telah diimplikasikan dalam urtikaria akut, walaupun hipersensitivitas makanan dimediasi-IgE lebih lazim terjadi. Obat juga dapat menyebabkan urtikaria akut, melalui kerja sebagai alergen atau pseudoalergen. Penisilin merupakan contoh dari alergen, dimediasi-IgE, yang dapat menimbulkan urtikaria, sementara aspirin sering merupakan stimulus yang tidak dimediasiIgE untuk pelepasan histamin. ACE inhibitor juga telah diimplikasikan sebagai pemicu angioedema melalui efek pada jalur bradikinin. Infeksi virus merupakan alasan paling lazim untuk urtikaria akut, dengan onset biduran terjadi beberapa hari setelah mula gejala-gejala viral, dengan urtikaria akut dan infeksi saluran napas atas dilaporkan terjadi bersamaan dalam 28% hingga 62% kasus. Menarik diketahui, tidak ada pemicu yang dapat diidentifikasi pada lebih dari 50% kasus urtikaria akut. URTIKARIA KRONIK Urtikaria kronik menurut definisi adalah wheal yang terjadi sekurang-kurangnya 2 hari per minggu selama sekurang-kurangnya 6 minggu. Dalam urtikaria kronik, reaksi alergi dimediasi-IgE berkemungkinan kecil menimbulkan gejala-gejala yang ada. Penelitianpenelitian yang menyelidiki peran reaksi yang tidak dimediasi-IgE, seperti yang dijumpai dengan salisilat dalam makanan, menunjukkan hasil yang tidak pasti. Satu penelitian menunjukkan penurunan gejala pada 30% pasien setelah 2 minggu mendapat diet eliminasi, namun para pasien tersebut tidak menjalani pemeriksaan awal dan hanya 15% mengalami resolusi gejala sepenuhnya. Urtikaria kronik dapat dibagi menjadi dua subtipe: urtikaria idiopatik kronik (65% 35%) dan urtikaria fisik (20% - 35%). CIU biasa tidak memiliki pemicu yang dapat diidentifikasi dan konsisten serta merupakan penyakit yang timbul dan hilang dengan sendirinya. Sebaliknya, urtikaria fisik dikategorikan ke dalam subtipe menurut pemicu spesifik yang dapat menimbulkan biduran dalam beberapa menit dengan durasi terbatas hingga beberapa jam. Sebaliknya, lesi CIU secara tipikal bertahan selama sekurangkurangnya 6 hingga 8 jam tanpa faktor pemicu yang jelas. Terdapat beberapa persilangan antara CIU dan urtikaria fisik, dengan 40% pasien CIU menampilkan dermatografisme. URTIKARIA FISIK Urtikaria fisik ditandai oleh kemampuan stimulus fisik untuk dapat memicu lesi urtikaria. Urtikaria fisik dapat lebih lanjut dibagi ke dalam banyak subtipe tergantung dari stimulus fisik (Tabel 1), dan lebih dari satu subtipe dapat dijumpai secara bersamaan pada satu individu. Tidak seperti CIU, di mana lesi dapat bertahan hingga 1 hari, biduran pada urtikaria fisik berlangsung sebentar. Ganbaran urtikaria fisik dapat lazim ditemui dalam populasi umum, dengan dermatografisme dilaporkan pada sekitar 45% pasien tanpa riwayat urtikaria kronik. Evaluasi urtikaria fisik sebagian besar diarahkan melalui riwayat pasien dan uji provokatif. Gaya gesek mekanis, seperti gosokan atau garukan pada kulit, merupakan katalis bagi urtikaria dermatografis, di mana lesi timbul beberapa menit setelah aplikasi pemicu. Urtikaria tekan lambat (delayed pressure urticaria) dan angioedema muncul setelah tekanan vertikal diberikan terhadap kulit, dengan lesi, yang sering nyeri, muncul beberapa jam setelah aplikasi dan bertahan hingga 48 jam; subtipe urtikaria ini terutama mengenai telapak tangan,
5

telapak kaki, pantat, dan punggung serta memiliki predominansi pria. Urtikaria getaran (vibratory urticaria) dipicu oleh gaya getar, cukup langka, dan dapat dideskripsikan sebagai bersifat familial dengan pola pewarisan autosomal dominan atau sporadis. Urtikaria dingin familial merupakan penyakit autosomal dominan yang terutama mengenai dewasa muda dan disebabkan perubahan gen CIAS1 pada kromosom 1q.44, yang juga merupakan lokus gen yang terlibat dalam sindrom Muckle-Wells dan sindrom demam periodik autosomal dominan, kedua penyakit ini menampilkan sensitivitas terhadap dingin. Urtikaria kontak dingin, yang terjadi setelah kontak langsung kulit terhadap objek atau udara dingin, juga terjadi terutama pada dewasa muda, wanita, dan di wilayah dengan iklim dingin serta dapat bersifat idiopatik, atau dipicu oleh infeksi bakteri atau virus (lihat gambar 27.6). Urtikaria kontak panas muncul setelah kulit secara langsung bersentuhan dengan objek atau udara hangat; urtikaria jenis ini langka ditemui. Sinar ultraviolet (UV) merupakan pemicu untuk urtikaria matahari, suatu subtipe tergantung IgE yang terjadi pada panjang gelombang 280 hingga 760 nm dan lebih umum mengenai wanita dan dewasa muda. Urtikaria kolinergik dipicu oleh peningkatan temperatur tubuh sehingga dipicu oleh latihan, mandi, dan emosi, dan sedikit oleh konsumsi alkohol atau makanan pedas. Urtikaria kolinergik secara khas mengenai remaja dan dewasa muda, dengan prevalens 11% dilaporkan pada individu berusia 15 hingga 35 tahun dan dicirikan oleh wheal kecil seukuran pin (diameter 1 hingga 5 mm), terkadang dengan halo putih, atau tampilan telur goreng, yang bertahan selama kurang dari satu jam dan dapat ringan sehingga diperkirakan 80% individu dengan subtipe urtikaria ini tidak mencari pertolongan medis. Urtikaria adrenergik juga dideskripsikan sebagai wheal berukuran pin, namun, tidak seperti urtikaria kolinergik, ia dipicu oleh stres dan dapat ditangani dengan propranolol. Urtikaria aquagenik, yang ditimbulkan melalui paparan terhadap air tanpa tergantung temperaturnya, menyerupai urtikaria kolinergik dalam tampilan lesinya namun memiliki predominansi wanita dan mengenai dewasa muda. Urtikaria kontak dapat dimediasi IgE, dengan pemicu berupa tumbuhan seperti rumput, makanan (seperti kacang), obat, kosmetik, bahan kimia, dan tekstil, dan ia berdurasi singkat seperti urtikaria subtipe kolinergik dan adrenergik, terjadi dalam beberapa menit setelah paparan dengan resolusi dalam beberapa jam. Gejala sistemik dapat dijumpai pada urtikaria kontak, terutama jika dimediasi IgE. URTIKARIA IDIOPATIK KRONIK Urtikaria idiopatik kronik terhitung untuk sekitar 80% dari semua urtikaria kronik. Bersifat episodik dan persisten, dengan durasi penyakit biasanya sepanjang 3 hingga 5 tahun. Satu penelitian prospektif mengenai CIU menunjukkan bahwa 94% pasien masih didapati aktif pada 6 bulan, 75% pada 12 bulan, 52% pada 24 bulan, 43% pada 36 bulan, dan 14% pada 5 tahun. Durasi penyakit secara langsung berkorelasi dengan keberadaan penyakit berat, angioedema, dan gambaran autoimun, seperti uji kulit serum autolog positif (lihat di bawah) dan keberadaan antibodi antitiroid. Angioedema ditemui bersama dengan urtikaria pada sekitar 40% hingga 50% individu yang terkena CIU. Gejala yang paling sering dan mengganggu bagi para pasien dengan CIU adalah pruritus, yang biasa secara negatif mempengaruhi tidur mereka, dan sementara kelelahan dan gejala gastrointestinal sebelumnya telah dideskripsikan dengan eksaserbasi, keluhan respiratorik dan arthralgik jarang ditemui. CIU dapat menjadi penyakit yang melumpuhkan secara sosial dan finansial, dengan pengaruh pada kualitas hidup yang sebanding dengan penyakit jantung koroner. Satu penelitian yang melibatkan 170 pasien urtikaria kronik melaporkan gangguan kualitas hidup sedang pada mereka yang menderita CIU saja menggunakan DLQI (Dermatology Life Quality Index), sementara pasien dengan CIU dan riwayat angioedema dan gambaran urtikaria tekanan lambat memiliki gangguan kualitas hidup yang lebih nyata secara signifikan yang menyebabkan disabilitas di tempat kerja dan belajar, gangguan kesejahteraan emosi, dan
6

gangguan aktivitas sosial atau santai. Dibanding penyakit dermatologis yang melumpuhkan lain, gangguan kualitas hidup dalam urtikaria kronik setara dengan gangguan pada pasien dengan psoriasis, jerawat, dan vitiligo. Sebagian frustrasi dalam penanganan urtikaria dikarenakan ketiadaan pemicu yang dapat diidentifikasi untuk eksaserbasi urtikaria, sehingga menyebabkan kesulitan prediksi penyakit. CIU juga menimbulkan beban ekonomi bagi pasien, dengan obat yang banyak, evaluasi medikal, izin dari kerja, dan kunjungan ke departemen gawat darurat. Aspirin dan NSAID dapat memperparah urtikaria dan angioedema melalui inhibisi sintesis prostaglandin. COX-2 inhibitor selektif menyebabkan lebih sedikit gejala ketika dibandingkan terhadap aspirin dan NSAID tradisional dan memberikan pilihan analgesik bagi para pasien dengan urtikaria. Satu penelitian mengenai para pasien urtikaria kronik yang menjalani challenge terhadap aspirin menunjukkan bahwa sekitar 20% pasien CIU memiliki hasil challenge positif sementara mereka dengan urtikaria fisik tidak terpengaruh. Riwayat kecurigaan sensitivitas aspirin berkorelasi amat erat, dengan 92% kasus dikonfirmasi melalui challenge aspirin positif dalam satu penelitian. Para pasien perlu diberi tahu mengenai faktor eksaserbasi potensial ini dan mengetahui bahwa salisilat terdapat dalam jumlah kecil dalam obat, suplemen, atau makanan, termasuk buah, sayur, tanaman obat, dan bumbu. Penyakit tiroid ditemui bersama dengan CIU pada insidens lebih tinggi dibanding dalam populasi umum, dengan keberadaan antibodi tiroid lebih tinggi, secara spesifik antibodi antimikrosomal dan antitiroglobulin. Tiroiditis Hashimoto, dan, terkadang, penyakit Graves merupakan penyakit sistemik satu-satunya yang dilaporkan dengan korelasi terhadap CIU. Dua puluh dua persen pasien CIU dilaporkan memiliki autoantibodi tiroid, hampir dua kali tingkat kejadian yang diamati dalam populasi normal, dan secara tipikal, sebagian besar ditemui eutiroid, walaupun sebagian dapat menjadi hipotiroid dan kadang hipertiroid. Saat ini, autoantibodi tersebut tidak diperkirakan bersifat patogenik dalam urtikaria namun dapat mendukung penyebab autoimun dalam CIU. Penelitian-penelitian mengenai pergantian hormon tiroid pada para pasien dengan CIU dan autoantibodi telah memberikan hasil yang tidak konsisten. Rekomendasi saat ini adalah untuk melakukan skrining untuk penyakit tiroid dan menganani penyakit tiroid yang ada, namun pada waktu ini tidak terdapat bukti jelas bagi penggunaan hormon tiroid pada pasien eutiroid yang memiliki autoantibodi tiroid. Histologi Secara histologik, CIU memiliki kesamaan gambaran lesi dengan urtikaria akut yang terdiri dari infiltrat perivaskular predominan limfositik. Limfosit tersebut terutama mengekspresikan HLA DR atau DQ. Terkadang, neutrofil dijumpai dalam dinding kapiler atau vena post kapiler, namun tidak seperti infiltrat neutrofilik yang dijumpai dalam vaskulitis urtikaria, tidak terdapat bukti kerusakan vaskular, debris nuklear, atau ekstravasasi sel darah merah (lihat gambar 27.3 B, C). Keberadaan sel T CD3+, CD4+, CD8+, dan CD25+, dan juga eosinofil, neutrofil, basofil, dan makrofag, secara signifikan adalah lebih banyak pada kulit CIU dibanding kulit normal. Walaupun infiltrat selular pada CIU ini menyerupai apa yang dijumpai dalam biopsi kulit terinduksi-alergen fase akhir, profil sitokin dalam CIU adalah Th1 dan Th2 dengan ekspresi IFN- dan juga IL-4 dan IL-5 yang tinggi. Patofisiologi urtikaria Sementara patofisiologi urtikaria melibatkan interaksi alergen terhadap IgE yang terikat pada sel mast kulit, patofisiologi urtikaria fisik tidaklah diketahui. Walaupun degranulasi sel mast merupakan komponen yang jelas pada beberapa subtipe urtikaria fisik, seperti urtikaria dermatografis, kolinergik, dingin, dan matahari, imunoglobulin serum juga mungkin berperan seperti didemonstrasikan oleh eksperimen transfer pasif. Peningkatan kadar histamin serum akut telah diamati pada urtikaria dingin setelah paparan terhadap dingin. Pada CIU, terdapat
7

pula bukti degranulasi sel mast yang diamati pada biopsi kulit. Jumlah sel mast tampak serupa pada kulit CIU non lesi dan dengan lesi dan kulit normal, melalui pewarnaan tryptase dan chymase. Walaupun jumlah sel mast tidak berubah, peningkatan kemampuan pelepasan sel mast telah didemonstrasikan pada pasien dengan CIU aktif, yang beresolusi ketika berada dalam remisi penyakit, yang menunjukkan bahwa perubahan pada sel mast bersifat reversibel. Tidak seperti urtikaria akut, urtikaria kronik tidak tampak melibatkan perikatan IgE kepada alergen. Baru-baru ini, terdapat bukti bahwa basofil berperan dalam CIU. Basofil telah dilaporkan baik pada kulit CIU dengan lesi ataupun non lesi menggunakan pewarnaan Basogranulin antibody. Juga, basopenia merupakan gambaran penyakit CIU aktif, dan reduksi jumlah basofil berkorelasi terbalik dengan keparahan penyakit. Juga, seperti dijumpai dengan reaksi alergen fase akhir, basofil yang telah bermigrasi ke kulit dapat berperan dalam durasi dan juga magnitudo lesi urtikaria. Petanda-petanda permukaan basofil tertentu berkorelasi dengan aktivasi basofil dan telah diukur pada CIU, terutama CD63, CD69, dan CD203c. CD63 merupakan anggota superfamili transmembran 4 dan secara cepat dimobilisasi pada permukaan basofil oleh IL-3, alergen, anti-IgE, dan stimuli lain degranulasi, sementara CD69 secara lambat diinduksi setelah stimulasi IL-3. CD203c, juga dikenal sebagai pirofosfat ektonukleotida, adalah unik untuk basofil, sel mast, dan progenitor mereka, dan dimobilisasi oleh alergen dan anti-IgE. Satu penelitian menunjukkan bahwa para pasien CIU menunjukkan peningkatan ekspresi CD63 dan CD69 permukaan basofil dibanding kontrol non alergik, sementara tidak ada perbedaan dijumpai pada ekspresi CD203c antar kelompok. Terlebih lagi, basofil CIU menunjukkan peningkatan respon fungsional terhadap stimulasi reseptor IgE namun tidak terhadap stimuli lain. Satu penelitian menunjukkan bahwa pelepasan histamin yang dimediasi melalui reseptor IgE afinitias tinggi basofil FcRI berkurang pada pasien dengan CIU dibanding kontrol. Temuan ini merupakan paradoks karena antihistamin digunakan untuk menganani CIU, dan pruritus, gejala utama dalam CIU, bergantung pada histamin. Suatu penelitian terkini telah menunjukkan bahwa basofil dalam CIU mengalami perubahan pada pelepasan histamin termediasi-FcRI dan telah menemukan dua pola pelepasan histamin pada pasien dengan penyakit CIU aktif. Sekitar 50% pasien dengan CIU yang diuji ditemukan sebagai responder, melepaskan lebih dari 10% histamin komplit ketika dirangsang dengan stimulus anti-IgE poliklonal, dan 50% merupakan nonresponder melepaskan kurang dari 10% histamin total. Juga, fenotip basofil tersebut tampak stabil ketika pasien sedang berada dalam fase aktif penyakit, namun perubahan fungsi basofil ini berubah seiring remisi penyakit. Urtikaria autoimun Dalam subset CIU yang disebut sebagai urtikaria autoimun, autoantibodi pelepas histamin telah dilaporkan dan dihipotesiskan bersifat patogenik, walaupun hal ini masihlah kontroversial. Autoantibodi tersebut diperkirakan mengaktivasi sel mast dan basofil melalui komplemen dan bekerja melalui C5a untuk mempotensiasi pelepasan histamin. Autoantibodi tersebut dideteksi pada 30% hingga 40% pasien dengan CIU, dan sebagian besar dari autoantibodi tersebut mengarah terhadap subunit reseptor afinitas tinggi, FcRI, sementara sisanya mengarah kepada IgE. Sejalan dengan mekanisme autoimun adalah peningkatan insidens autoantibodi tiroid pada CIU, dan juga laporan bahwa alel HLA kelas II tertentu (DR4, DQ8) terjadi pada frekuensi lebih tinggi pada para pasien CIU dengan autoantibodi. Juga mendukung teori autoantibodi adalah bahwa serum autolog yang diinjeksikan pada kulit pasien CIU dapat menyebabkan respon wheal-and-flare. Hasil uji kulit serum autolog (ASST/autologous serum skin test) ini dikurangi melalui pemberian antihistamin atau 48/80, suatu senyawa degranulasi sel mast, sebelum pengujian. Walaupun demikian, suatu penelitian
8

terkini menunjukkan keberadaan ASST positif pada kontrol sehat dan pasien dengan rhinitis alergi dan juga pada pasien dengan CIU, sehingga menimbulkan keraguan mengenai manfaat ASST dalam diagnosis urtikaria. Juga, keberadaan repon ASST saja tidak membuktikan keberadaan autoantibodi, maka penelitian lebih lanjut dilakukan dan menunjukkan bahwa serum dari pasien CIU ASST positif juga memiliki HRA (histamine-releasing activity) dari basofil donor sehat. Satu penelitian besar mendapati bahwa 40% serum pasien CIU menampilkan HRA ketika dilakukan in vitro pada basofil donor. Walaupun HRA dilaporkan mengindikasikan keberadaan autoantibodi, keberadaan HRA tidak konsisten dengan keberadaan autoantibodi menurut Western blotting pada pasien CIU. Keberadaan HRA serum memiliki efek pada katarakter infiltrasi leukosit pada lesi kulit baru (< 4 jam) atau lama (> 12 jam), meskipun keberadaan autoantibodi sebelumnya telah dikaitkan dengan peningkatan keparahan penyakit. Sebagai tambahan, RHA serum telah didemonstrasikan pada serum normal, dan tidak terdapat korelasi antara HRA dan fungsi FcRI basofil CIU. Masalah lain dengan hipotesis autoantibodi adalah bahwa autoantibodi anti-FcRI juga ditemukan dalam frekuensi sama pada penyakit autoimun lain seperti lupus sistemik dan dermatomiositis dan juga pada subjek normal. juga, anafilaksis jarang ditemui pada CIU, yang merupakan penyakit terbatas-kulit, di mana hal ini diperkirakan terjadi lebih sering bila terdapat autoantibodi yang mengarah kepada basofil dan sel mast. EVALUASI Dalam sebagian besar kasus urtikaria, anamnesis dan pemeriksaan fisik cukup untuk menegakkan diagnosis. Anamnesis yang lengkap dapat mengidentifikasi pemicu potensial seperti obat. Para pasien dengan urtikaria kronik dan penyakit resisten terhadap terapi konvensional atau lesi tidak khas dapat memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk menyingkirkan penyebab sekunder biduran. Uji laboratorik harus mengevaluasi kesehatan umum yang disertai hitung darah lengkap dan hitung jenis, panel metabolik lengkap, dan urinalisis dan menyaring kelainan autoimun atau inflamatorik, seperti vaskulitis, dengan laju endap darah (LED) dan uji ANA (antinuclear antibody). Para pasien dengan angioedema signifikan tanpa urtikaria perlu menjalani pemeriksaan kadar komplemen bersama dengan uji CIinhibitor untuk menyaring angioedema herediter dan didapat karena defisiensi CI esterase inhibitor, yang akan menyebabkan kadar komplemen C4 rendah. Para pasien yang memiliki gejala atau riwayat keluarga penyakit tiroid juga perlu menjalani skrining tiroid melalui pengukuran hormon stimulasi tiroid dan mungkin autoantibodi tiroid. Lesi atipik juga perlu memicu skrining. Infeksi telah diimplikasikan pada urtikaria. Seperti dibahas sebelumnya, infeksi virus, terutama infeksi saluran napas atas karena virus, merupakan penyebab urtikaria akut yang umum. Satu penelitian di Jepang, yang memiliki prevalens Hepatitis C tinggi, menunjukkan bahwa infeksi ini dapat bermanifestasi dengan lesi urtikaria kronik, namun penelitian lebih lanjut di wilayah dengan prevalens rendah tidak mendukung temuan tersebut. Individu dengan faktor-faktor risiko hepatitis infeksiusdirekomendasikan untuk menjalani pengujian yang sesuai. Kultur bakteri jarang diperlukan, karena infeksi bakteri bukan merupakan penyebab lazim urtikaria. Dalam tahun-tahun terakhir, Helicobacter pylori, yang berhubungan erat dengan gastritis dan GERD (gastroesophageal reflux disease), telah diimplikasikan pada CIU dan dapat memicu produksi autoantibodi serta biduran melalui mimikri molekular, namun penelitian-penelitian terkontrol tidak dapat membuktikan hubungan tersebut. Para pasien dengan gejala GERD atau gastritis dapat diuntungkan dari uji serologi H pylori atau dapat diuji melalui endoskopi jika prosedur ini revelan secara medikal. Hitung darah lengkap juga dapat digunakan untuk mencari eosinofilia perifer, yang dapat muncul karena infeksi parasit. Infeksi parasit terkadang merupakan penyebab urtikaria yang perlu diselidiki melalui
9

pemeriksaan tinja untuk telur dan parasit. Uji untuk jamur tidak perlu dilakukan secara rutin, karena jamur bukan merupakan penyebab urtikaria yang sering. RAST (radioallergosorbent test) atau uji kulit dapat bermanfaat jika reaksi hipersensitivitas tipe I atau urtikaria alergi dicurigai. Uji kulit sulit dilakukan pada pasien urtikaria kronik karena prevalens dermatografisme dan gambaran urtikaria tekanan lambat yang tinggi dalam kelompok ini dan juga ketergantungan mereka terhadap antihistamin. Uji kulit lain yang dilakukan di masa lalu untuk menentukan urtikaria autoimun adalah ASST. Karena keberadaan atau ketiadaan autoantibodi tidak mengubah pilihan terapi pada pasien, ASST tidak perlu digunakan sebagai alat diagnostik untuk urtikaria kronik. Juga, penelitian terkini menunjukkan sensitivitas ASST sebesar 53% hingga 55% dan spesifisitas sebesar 28% hingga 31% pada CIU ketika dibandingkan terhadap kontrol sehat atau pasien dengan rhinitis alergi. Pemeriksaan berbasis basofil yang lebih baru yang mencari aktivitas pelepas histamin juga kurang memiliki spesifisitas dan validasi untuk penggunaan klinis. Untuk urtikaria fisik, para pasien tidak tampak diuntungkan dari uji laboratoris lebih lanjut. Pemeriksaan fisik dapat membantu secara substansial dalam menentukan jenis urtikaria fisik yang ada berdasarkan pada uji provokatif (lihat tabel 27.1). Terdapat penyakit-penyakit lain yang berkaitan dengan lesi urtikaria, dan para pasien yang datang dengan gejala-gejala yang tepat perlu dievaluasi untuk kelainan-kelainan tersebut. Vaskulitis urtikaria perlu disingkirkan pada pasien dengan urtikaria kronik yang tidak responsif terhadap terapi konvensional. Durasi lesi vaskulitis urtikarial secara khas bertahan lebih dari 24 jam dan dapat disertai nyeri serta gatal, meninggalkan perubahan kulit residual. Para pasien ini juga dapat mengeluhkan gejala sistemik dan memiliki temuan laboratoris sesuai dengan proses radang, seperti peningkatan LED atau CRP atau kadar komplemen yang rendah. Untuk menyingkirkan vaskulitis urtikaria, uji definitif yang diperlukan adalah biopsi kulit. Gambaran vaskulitis urtikaria pada biopsi adalah leukositoklasia, ekstravasasi sel darah merah, deposisi fibrin, invasi leukosit pada endotel vaskular, dan edema endotel, ketiga gambaran terakhir ini juga dapat diamati pada urtikaria kronik. Juga, urtikaria pigmentosa, suatu subtipe mastositosis, dapat menyerupai lesi urtikaria, kecuali bahwa lesi tersebut berpigmen dan secara tipikal bertahan lebih lama dibanding lesi urtikaria. Sindrom Schnitzler berkaitan dengan lesi urtikaria rekuren, arthralgia, demam, dan LED tinggi serta gammopati monoklonal IgM, dan perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding dan dievaluasi melalui elektroforesis protein serum sebagaimana diindikasikan. TERAPI Untuk urtikaria akut, langkah paling penting adalah mengeliminasi pemicu, jika pemicu dapat diidentifikasi. Juga, penghindaran pemicu potensial tertentu seperti aspirin, NSAID, ACE inhibitor, dan produk-produk yang mengandung kodein yang dapat secara langsung menstimulir sel mast kulit direkomendasikan. Para pasien dapat menggunakan antihistamin untuk membantu mengurangi gejala hingga resolusi episode urtikaria. Secara tipikal, penyekat H1 non sedasi digunakan, walaupun penyekat H2 dan penyekat H1 klasik sedasi, seperti difenhidramin atau hidroksizin, dapat digunakan. Sekitar 44% hingga 91% dari semua pasien urtikaria yang diberi penyekat H1 melaporkan penurunan gejala. Sama seperti ini, terapi urtikaria fisik melibatkan penyekat H1 non sedasi dan penghindaran pemicu. Penyekat H1 non sedasi dapat digunakan untuk mengurangi gejala saat siang hari, sementara penyekat H1 sedasi, seperti hidroksizin, dapat bermanfaat untuk membantu tidur di malam hari. Risiko utama terkait pemberian penyekat H1 adalah rasa mengantuk. Beberapa penelitian terdahulu pada para pasien CIU menunjukkan perbaikan dermatografisme dan pruritus dengan penggunaan bersama penyekat H1 dan penyekat H2 dibanding penyekat H1 saja, walaupun hal ini mungkin disebabkan penyekat H2 meningkatkan konsentrasi serum penyekat H1.
10

Untuk kasus berat urtikaria akut, pemberian singkat kortikosteroid sistemik dapat menghasilkan kontrol yang lebih cepat. Satu penelitian melaporkan bahwa eksaserbasi urtikaria akut bertahan hanya 3 hari pada sekitar 94% pasien yang diteliti dibanding dengan hanya 66% dari pasien yang tidak mendapat steroid. Steroid topikal tidak berperan dalam terapi urtikaria karena aplikasi akan melibatkan wilayah kulit yang lebat dengan manfaat minimal, dengan perkecualian manfaat yang dilaporkan pada urtikaria tekan lambat lokal. Terapi CIU merupakan tantangan yang lebih besar dibanding urtikaria akut dan fisik. Dokter perlu menjelaskan kepada pasien mengenai perjalanan penyakit CIU dan ketiadaan penyebab jelas CIU, karena penjelasan ini dapat mengurangi rasa frustrasi pasien. Pasien harus menghindaripemicu, namun pemicu ini sendiri jarang dapat diidentifikasi pada CIU. Penyekat H1 dan juga penyekat H2 digunakan untuk mengontrol rasa gatal yang amat pada CIU. Satu penelitian melaporkan bahwa 94% pasien dengan urtikaria mengalami penurunan rasa gatal dengan penggunaan penyekat H1, dengan sebagian besar jenis sedasi. Penyekat H1 yang berbeda dapat dicoba karena satu jenis dapat lebih bermanfaat pada satu pasien dibanding pasien lain, dan banyak pasien diberi beberapa penyekat H1 secara bersamaan. Dosis penyekat H1 bervariasi dengan penggunaan dosis supraterapetik sedang diteliti. Doxepin, suatu antidepresan trisiklik dengan sifat-sifat antagonis reseptor H1 dan H2, dapat bermanfaat bagi rasa gatal di malam hari, dan juga membantu dengan depresi terkait penyakit, dan telah ditunjukkan lebih efektif dibanding difenhidramin dalam penanganan CIU. Obatobat seperti simetidin, makrolid, dan beberapa anti jamur dapat kurang efektif ketika digunakan bersama doxepin, sehingga obat tersebut tidak boleh digunakan bersama MAO inhibitor karena risiko sindrom QT memanjang. Bukti penggunaan antagonis reseptor leukotriene pada CIU, walaupun penuh konflik, telah dilaporkan untuk CIU dan urtikaria fisik jenis terinduksi-dingin dan tekanan lambat, dan juga urtikaria akut sensitif-aspirin atau terinduksi-makanan. Berbagai penelitian random terkontrol plasebo melaporkan bahwa montelukast menyebabkan penurunan gejala pada para pasien CIU ketika digunakan sebagai monoterapi atau bersama dengan cetirizine atau desloratadine, namun satu penelitian terkontrol plasebo lain menunjukkan bahwa montelokast ditambah desloratadine adalah setara dengan desloratadine saja, sementara monoterapi montelukast tidak memberikan manfaat dibanding plasebo. Satu antagonis reseptor leukotriene lain, zafirlukast, gagal menunjukkan manfaat dibanding plasebo untuk CIU. Beberapa penelitian hanya menunjukkan manfaat antagonis reseptor leukotriene dalam satu subset pasien CIU dengan ASST positif. Secara keseluruhan, antagonis reseptor leukotriene dapat ditambahkan pada antihistamin pada para pasien urtikaria sebagai uji coba terbatas dan memiliki profil efek samping serupa plasebo. Seperti pada urtikaria akut, kortikosteroid sistemik juga memiliki peran dalam CIU berat resistan antihistamin ketika kontrol cepat diperlukan atau ketika episode angioedema signifikan terjadi. Mekanisme penurunan gejala dengan pemberian kortikosteroid tidak diketahui, namun kortikosteroid dapat mengurangi jumlah sel mast jaringan, sehingga mungkin mengubah migrasi sel mast ke jaringan, meskipun efek ini kontroversial di kulit. Juga, kortikosteroid diketahui untuk (1) secara signifikan mengurangi hitung basofil perifer karena apoptosis dan demarginasi, dan (2) mengurangi respon basofil terhadap stimulus tergantung IgE tanpa efek terhadap jalur non tergantung IgE. Para pasien CIU kronik yang ditangani dengan steroid mengalami peningkatan transien hitung basofil perifer, mungkin menunjukkan penurunan perekrutan basofil ke jaringan. Penggunaan kortikosteroid sistemik perlu dibatasi karena profil efek samping dengan penggunaan berkepanjangan, termasuk risiko osteoporosis, penyakit ulkus peptikum, diabetes, dan hipertensi yang lebih besar. Baru-baru ini, imunomodulator telah digunakan untuk penanganan CIU tidak responsif-antihistamin dan tergantung-steroid. Cyclosporine telah menunjukkan keberhasilan terbatas pada pasien CIU.Cyclosporine mengurangi respon limfosit Th1, menghambat
11

pembentukan antibodi, dan menghambat pelepasan histamin basofil dan sel mast terinduksiIgE. Salah satu penelitian melaporkan bahwa terapi cyclosporine tidak mengubah keberadaan ASST pada pasien yang memasuki remisi obat. Dalam berbagai laporan kasus, sulfasalazine juga telah menunjukkan manfaat dalam CIU dan dalam urtikaria tekanan lambat. Satu penelitian terkini yang melibatkan para pasien dengan CIU non responsif-antihistamin melaporkan bahwa 74% pasien yang ditangani dengan sulfasalazine mengalami perbaikan penyakit signifikan, dengan tambahan 21% menunjukkan perbaikan minimal, dan semua pasien yang ditangani mengurangi atau menghentikan penggunaan steroid mereka. Meskipun mekanisme kerja obat tidak diketahui, dihipotesiskan bahwa sulfasalazine mungkin mengubah pelepasan histamin sel mast dimediasi-IgE, dengan satu penelitian menunjukkan penurunan pelepasan histamin pada sel mast dan dua penelitian terdahulu menunjukkan peningkatan pelepasan histamin pada sel mast dan juga basofil. Dapsone, yang menunjukkan sifat anti radang dan inhibisi fungsi neutrofil, menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam satu penelitian open-label dan mungkin bermanfaat bagi para pasien dengan infiltrat predominan neutrofil pada biopsi kulit. Laporan kasus kecil mengenai cyclophosphamide dan methotrexate juga telah menunjukkan peran potensial obat-obat imunomodulasi dalam CIU. Plasmapheresis telah digunakan dengan tujuan menyingkirkan autoantibodi dengan efek temporer pada aktivitas penyakit. Satu penelitian pada para pasien CIU HRA positif menunjukkan reduksi ASST pada pasien yang ditangani namun menunjukkan respon ASST positif dengan penggunaan serum autolog preinfusi. Infusi imunoglobulin intravena dipelajari pada para pasien dengan autoantibodi anti-FcRI atau anti-IgE fungsional dan telah melaporkan manfaat, namun penelitian berikutnya menunjukkan bahwa perbaikan dengan IVIG (intravenous immunoglobulin) bersifat temporer dan bahwa IVIG amat mungkin bukan merupakan terapi yang efektif untuk CIU. Terapi-terapi lain, walaupun kurang banyak dipelajari, telah digunakan dalam CIU. Diet bebas pseudoalergen selama 3 minggu telah diselidiki dengan keberhasilan terbatas. Psoralen UVA (PUVA) atau fototerapi UVB tidak memiliki manfaat yang terbukti pada CIU, walaupun PUVA diketahui mengurangi jumlah sel mast kulit. Zileuton, suatu inhibitor 5lipoksigenase, menghambat produksi leukotriene B4 dan C4 dan telah menunjukkan keberhasilan dalam satu studi kasus kecil yang melibatkan para pasien urtikaria kronik. Terapi warfarin dipelajari karena kemampuannya untuk mengubah protease sistem komplemen, kinin, pembekuan darah, atau fibrinolitik, yang dapat diaktivasi in vivo dan menyebabkan pelepasan mediator vasoaktif pada CIU, namun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki manfaat dan mekanisme kerja warfarin. Pilihan terapetik lain yang telah disebutkan adalah interferon, mycophenolate mofetil, dan danazol. Patut disayangkan, dengan semua terapetik yang sejauh ini tersedia, sebagian pasien masih mengalami penyakit aktif; maka, terapi baru amat dibutuhkan. Rituximab, suatu antiCD20 monoklonal, telah berhasil digunakan dalam terapi SLE, dan karena peran CD20 dalam perkembangan sel B, ia dapat mengurangi autoantibodi, sehingga membuat rituximab sebagai terapetik potensial untuk CIU. Antagonis TNF-, yang diketahui memiliki sifat anti radang, saat ini digunakan untuk penyakit autoimun seperti rheumatoid arthritis, dan juga penyakit kulit inflamatorik seperti psoriasis, dan dapat memiliki potensi terapi untuk CIU. Terapetik potensial lain yang diizinkan FDA untuk asma alergi adalah omalizumab, suatu anti-IgE monoklonal. Beberapa laporan kasus mengenai urtikaria kronik telah menunjukkan perbaikan signifikan pada aktivitas penyakit. Omalizumab diketahui mengubah pelepasan histamin terinduksi anti-IgE sel mast dan basofil dan diketahui menurunkan IgE bebas dan ekspresi FcRI pada sel mast dan basofil, yang mengurangi target potensial autoantibodi anti-FcRI dan anti-IgE.
12

Urtikaria, terutama urtikaria kronik, memberikan gangguan yang berat pada kualitas hidup pasien, dan merupakan beban medikal serta finansial, dengan biaya kunjungan medikal berulang, spesialis, uji laboratoris, dan obat yang tinggi. Terapi saat ini yang tersedia untuk urtikaria masih belum cukup baik, terutama untuk pasien dengan urtikaria kronik, sehingga hanya meningkatkan rasa frustrasi pasien. Pemahaman yang lebih baik akan mekanisme penyakit ini diperlukan untuk urtikaria akut dan kronik, sehingga dapat memunculkan pilihan terapetik baru.

13

Tabel.1 Klasifikasi urtikaria fisik


Jenis % dari semua urtikaria 7-10% Patogenesis Gambaran Waktu reaksi Uji provokasi Perbedaan pada biopsi Terapi

Dermatografis

Tidak diketahui, namun peningkatan kadar histamin plasma dan eksperimen transfer pasif positif, mengindikasikan proses dimediasiIgE Tidak diketahui

Gaya gesek mekanis menyebabkan lesi. Fenomena Koebner, reaksi wheal-and-flare pada situs tekanan

Tekanan lambat

3-5%

Getaran

Langka

Dingin familial

Tidak diketahui, namun peningkatan kadar histamin dan degranulasi sel mast dilaporkan setelah aplikasi stimuli. Kasus familial memiliki pola pewarisan autosomal dominan. Perubahan gen pada CIAS1 pada kromosom 1q.44. Pola pewarisan autosomal dominan.

Aplikasi tekanan konstan pada kulit menyebabkan eritema dan pembengkakan superfisial dan dalam. Wilayan tekan umum terkena. Predominansi pria Terjadi setelah stimuli getar (seperit saat memotong rumput atau berkendara)

Segera-Dalam 2-5 menit; bertahan 30 menit. 2. Intermediat-Dalam 30 menit-2 jam; bertahan 3-9 jam. 3. Onset lambat (langka)-Dalam 4-6 jam; bertahan 2448 jam. Dalam 3-13 jam; bertahan hingga 48 jam.

1.

Gesek bagian depan atau belakang lengan bawah dengan tounge blade

Sedikit infiltrat leukositik pada dermis atas

Penyekat H1 non sedasi

Aplikasi berat pada satu area selama minimal 10 menit

Infiltrat secara tipikal terletak pada dermis bagian tengah atau bawah. Neutrofil dapat dijumpai pada dermis bawah.

Penyekat H1 non sedasi. Terapi singkat kortikosteroid, antagonis leukotriene dapat juga digunakan.

Dalam beberapa menit; bertahan hingga 24 jam.

Paparan dengan stimuli getar (seperti vortex mixer selama 5 menit)

Penghindaran pemicu.

Tipe cepat dicirikan oleh papula atau makula dengan rasa terbakar dan gejala sistemik seperti arthralgia dan demam. Tipe lambat mengikuti paparan dingin.

Kemunculan lambat dalam 9-18 jam paparan dingin, bertahan 2-3 hari.

1.

2.

Tipe cepatinfiltrat polimorfonuklear Tipe lambatinfiltrat mononuklear

14

Kontak dingin

3-5%

Pelepasan histamin dimediasi-IgE dengan antibodi IgM dan IgG dilaporkan.

Kontak panas

Tidak diketahui, namun sistem komplemen dipengaruhi.

Terjadi dengan paparan dingin terhadap kulit. Dapat disertai angioedema. Terkadang kasus anafilaksis setelah paparan seluruh tubuh terhadap dingin. Terjadi pada situs aplikasi panas. Dibagi dalam jenis non familial cepat dan familial lambat. Diinduksi oleh paparan sinar matahari atau lampu (panjang gelombang 280-760 nm). Paling sering terjadi pada dekade ke-3 dan ke-4 kehidupan, umum mengenai dewasa muda.

Dalam 2-5 menit, ketika kulit menghangat kembali.

Penempatan batu es pada area selama 10-20 menit.

Infiltrat limfositik dan leukositik tidak padat. Infiltrat platelet dan perubahan vaskular juga dapat dilihat.

Penyekat H1 non sedasi. Antagonis leukotriene dapat ditambahkan

Matahari

Langka

Kolinergik

2-7%

Tidak diketahui, namun diduga dimediasi-IgE dengan peningkatan kadar histamin serum, degranulasi sel mast dan eosinofil, dan produksi fotoalergen. Urtikaria matahari sekunder dicirikan oleh abnormalitas metabolisme porfirin yang menyebabkan aktivasi komplemen. Tidak diketahui, namun asetilkolin, yang dilepaskan oleh latihan, dapat melepaskan histamin. Kenaikan histamin dan eosinofil dan faktor kemotaktik neutrofil

Cepat: Dalam 5 menit; hingga 1 jam. 2. Lambat: Dalam 618 jam; bertahan 12-24 jam. Dalam 2-3 menit; bertahan 3-4 jam.

1.

Kontak lokal dengan air atau objek panas.

Penghindaran pemicu.

Paparkan terhadap sinar UV.

Penghindaran paparan sinar matahari dan proteksi kulit. Penyekat H1 non sedasi

Dikarenakan peningkatan temperatur tubuh inti. Biasa dimulai pada wajah dan leher, kemudian menyebar. Wheal yang gatal berukuran kecil (15 mm) dengan

Dalam beberapa menit; bertahan kurang dari 1 jam.

Aktivitas fisik (seperti lari di tempat selama 5 menit).

Infiltrat limfositik dan leukositik tidak padat di dermis bagian atas.

Penyekat H1 non sedasi. Tingkatkan dosis jika perlu. Sebagai tambahan, danazol dapat digunakan.

15

dilaporkan.

Aquagenik

Langka

Kontak

Tidak diketahui, namun mekanisme yang diajukan adalah bahwa air menginduksi pembentukan substansi pelepas histamin. Mungkin dimediasi-IgE.

tampilan telur goreng. Lebih lazim ditemui pada dewasa muda. Kontak dengan air menginduksi biduran kecil yang mirip seperti yang dijumpai pada urtikaria kolinergik. Lebih lazim pada dewasa muda. Pemicu adalah tumbuhan, makanan, obat, dan bahan kimia. Biduran berukuran pin dipicu oleh stres.

Dalam 2 menit; bertahan hingga 1 jam.

Aplikasikan kompres air selama 30 menit.

Degranulasi sel mast ditemui pada kulit yang diuji.

Penghindaran pemicu.

Dalam beberapa menit; bertahan kurang dari beberapa jam.

Penghindaran pemicu.

Adrenergik

Tidak diketahui.

Dalam beberapa menit; bertahan kurang dari 1 jam.

Propranolol.

16

You might also like