You are on page 1of 2

Gizi buruk Hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan bahwa persentase anak balita

a gizi buruk di Indonesia sebesar 5,4% (Depkes RI, 2007). Walaupun angka ini menurun dibandingkan hasil Susenas tahun 2005 (8,8%), tetapi menunjukkan bahwa anak balita gizi buruk masih menjadi masalah kesehatan masyarakat utama, jika di suatu daerah ditemukan gizi buruk > 1% maka termasuk masalah berat (Depkes RI, 2000). Pada indikator derajat kesehatan Indonesia dalam meningkatkan status gizi masyarakat sasaran yang hendak dicapai adalah menurunkan prevalensi balita dengan gizi kurang menjadi 15% dan persentase kecamatan bebas rawan gizi menjadi 80%. Berdasarkan hasil pemantauan Status gizi tahun 2004 hingga tahun 2006 prevalensi gizi kurang dan buruk di Indonesia sebesar 28,6% dengan persentase gizi kurang 20,8% dan gizi buruk 7,8%. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dilaporkan dari 25 juta balita 4,6 juta diantaranya menderita gizi kurang dengan berat badan tidak memenuhi berat normal menurut usianya. Sementara sebesar 3,4 juta balita tergolong kurus dengan berat badan kurang proporsional terhadap tinggi badan dan 3,1 juta balita kegemukan. Sementara target Millenium Development Goals (MDGs) yaitu menurunkan jumlah balita gizi kurang menjadi 10% pada tahun 2015. Walaupun target nasional sudah terlampaui, namun pencapaian tersebut belum merata di 33 provinsi (Depkes RI, 2009).

Sanitasi buruk 1. Secara operasional, terdapat tiga indikator utama parameter sanitasi. Pertama, upaya-upaya peningkatan permintaan (demand) sanitasi dan kebersihan rumah tangga serta masyarakat. Peningkatan permintaan merupakan bentuk rekayasa sosial yang dilakukan pemda guna menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya sanitasi dan kebersihan. Kemudian, berdampak pada peningkatan permintaan masyarakat akan sanitasi sehat sebagai bentuk kesadaran kolektif dan individu. Berikutnya, usaha-usaha untuk mengembangkan dan memasok (supply) produk dan pelayanan sanitasi. Yakni, usaha memenuhi permintaan sanitasi serta kebersihan masyarakat melalui fasilitas pengembangan produk dan pelayanan sanitasi yang sesuai kebutuhan masyarakat setempat. Pemda bisa menjalin kerja sama dengan tukang bangunan, pemilik pabrik, serta supplier produk dan pelayanan sanitasi untuk memahami permintaan masyarakat guna memenuhi kondisi sanitasi sehat. Terakhir, setiap kegiatan dan kebijakan pemda untuk menciptakan lingkungan yang mendukung (enabling environment) perbaikan sanitasi masyarakat dan pencapaian sanitasi total.

2.

Menurut Water and Sanitation Program (WSP), posisi Indonesia pada 2004 telah mencapai angka 55 persen. Atau, terdapat 45 persen orang Indonesia yang belum memiliki akses sanitasi yang baik. Angka tersebut setara dengan 100 juta penduduk. Konsekuensi kondisi sanitasi tersebut adalah munculnya kerugian biaya kesehatan dan kerugian biaya air. Pada 2005, total kerugian biaya kesehatan yang timbul mencapai Rp 2,719 triliun.

You might also like