You are on page 1of 27

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar.

Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Pun pada saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk

penguburannya Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masvarakat. Sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak melakukan wanprestasi. Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA. Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) yang berisi

~1~

keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan

ketentuan yang berlaku. Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 62 tahun Indonesia merdeka, negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) baru sebatas menandai dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal berkembang menjadi kepemilikan individual. Terkait dengan banyak mencuatnya kasus sengketa tanah ini, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengatakan, bahwa terdapat sedikitnya terdapat 2.810 kasus sengketa tanah skala nasional. Kasus sengketa tanah yang berjumlah 2.810 kasus itu tersebar di seluruh indonesia dalam skala besar. Yang bersekala kecil, jumlahnya lebih besar lagi.

~2~

BAB II PEMBAHASAN A. SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA 1. Sebelum Indonesia Merdeka Dalam membicarakan sejarah hukum agraria, kita perlu meninjau dahulu sejarah kehidupan manusia dan dalam lintasan sejarah ini pulalah hukum agraria itu lahir dan berkembang. Sejarah kehidupan manusia pada dasarnya dapat dijabarkan melalui tahap-tahap berikut ini.

Dalam tahap I, manusia dalam kehidupan yang dikatakan


primitif, baru mengenal meramu sebagai sumber penghidupannya yang pertama kali dan satu-satunya pula.Pada tahap ini oarang tentu saja masih secara nomaden atau mengembara tanpa tempat tinggal yang tetap dari hutan yang satu ke hutan yang lain dan dari daerah satu ke daerah yang lain.

Dalam tahap II, manusia telah menemukan mata


pencaharian baru yakni berburu yang biasanya juga masih dilakukan oleh nomden yakni mengembara dari hutan ke hutan mengikuti hewan buruan yang ada.

Dalam tahap III manusia menemukan mata pencaharian


yang baru lagi, yakni berternak meskipun sistem pelaksanaannya pun masih primitif dan nomaden pula. Dalam tahap ini, mata pencaharian manusia masih tetap berternak namun pola hiup manusia kemudian berubah dari hidup mengembara menjadi pola

~3~

hidup menetap. Tetapi dalam pola ternak yang menetap ini, manusia tidak mempersoalkan pengetahuannya dalam bidang pertanahan megingat sebagian besar pemikiran mereka masih berpusat pada bidang peternakan.

Dalam tahap IV yang merupakan perkembangan lebih


lanjut dari pola hidup menetap, barulah manusia mulai bercocok tanam sebagai mata penchariannya. Pada tahap inilah baru manusia mengingat memikirkan an mempersoalkan sehubungan keadaan dengan tanah mata

kepentingannya

pencahariannya yang baru itu. Tetapi pengetahuan tentang hal pertanahan manusia pada masa itu tentu saja masih sangat sederhana dan sepit, terbatas hanya pada hal-hal yang berkenaan dengan keperluan atau masalah yang tengah dihadapnya saja. Disamping itu kehidupan manusia dalam tahap ini pun masih bersifat sangat pasif terhadap alam, artinya manusia hanya bias menerima saja segala akibat yang ditimbulkan oleh alam tanpa sedikitpun bisa berusaha mencegahnya, misalnya dalam hal terjadi Manusia bencana pada alam masa seperti itu banjir dan sebagainya. dapat

paling-paling

hanya

mengelakkannya saja dengan satu-satunya cara mengembara atauberpindah-pindah ke daerah yang lain dan memulaimata pencaharian mereka itu dari awal lagi. Jadi pada masa itu manusia memang telah mengenal hal-ihwal pertanahan, tetapi

~4~

belum mampu mengubah alam yang tentunya disebabkan karena masih kurangnya atau sangat terbatasnya pengetahuan dan ketiadaan alat.

Dalam tahap V, pola hidup berkelompok sudah semakin


umum mewarnai kehidupan manusia. Dalam tahap ini manusia telah mengenal mata pencaharian berdagang barter tetapi tentu masih dalam taraf,pola dan system sederhana, yakni tukarmenukar barang. Dalam system atau pola perdagangan ini, uang sebagai alat tukar umum belum dikenal orang karena

pembayaran atas pembelian suatu barang dilakukan melalui pertukarannya dengan barang lain yang harganya dianggap sebanding. Bersamaan dengan berkembangnya perdagangan ini, kian berkembang pula mata pencaharian bercocok tanam sehingga dengan demikian berarti bahwa perhatian dan pengetahuan orang pada bidang pertanahan kian berkembang pula. Dalam tahap inilah Hukum Agraria mulai lahir meskipun belum secara formal maupun material dapat dikatakan masih sangat primitive, masih sangat jauh dari memadai. Hal ini tentu saja disebabkan karena dalam hukum agraria yang masih primitif itu pengaturan hak dan kewajiban timbal-balik antara penguasa dan warga masih belum serasi.

~5~

Melalui perkembangan zaman, Hukum Agraria tersebut menjadi kian berkembang mengalami berbagai penempurnaan dan pembaharuan setahap demi setahap hingga sekarang ini. Jadi riwayat sejarah Hukum Agraria sebagamana juga bidang hukum lainnya mulai lahir dan berkembang melalui suatu evolusi yang lama dan panjang, sejak mulai adanya pengetahuan dan inisiatif manusia untuk menciptakan kehidupan serasi melalui hokum yang berkenaan dengan pertanahan, yang dalam hal ini dapat kita anggap sebagai embrio Hukum Agraria itu sendiri. Selanjutnya pada zaman Hindia Belanda, Hukum Agraria dibentuk berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan Belanda dahulu yang merupakan dasar politik Agraria Pemerntah Hindia Belanda dengan tujuan untuk mengembangkan

penanaman modal asing lainnya diperkebunan-perkebunan .Utuk mencapai tujuan ini pemerintah Hindia Belanda telah menciptakan pasal 51 dari Indische Staatregeling dengan 8 ayat. Ke-8 ayat ini kemudian dituangkan ke dalam undang-undang dengan nama Agrariche Wet dan dimuat dalam Stb. 1870-55. Kemudian dikeluarkan keputusan Raja dengan nama Agrarisch Besluit yang dikeluarkan tahun 1870. Agrarisch Besluit ini dalam pasal 1 memuat suatu asas yang sangat penting yang merupakan asas dari semua peraturan Agraria Hindia Belanda. Asas ini disebut Domein Verklaring atau

~6~

juga bisa disebut asas domein, yaitu asas bahwa semua tanah yang tidak bisa dibuktikan pemiliknya adalah domein Negara yaitu tanah milik negera. Setelah Proklamasi kemerdekaan Negara kita tahun 1945, undang-undang Agraria diatas dengan segala peraturan

organiknya dan buku ke-2 KUHS tentang benda, kecuali peratuaran-peraturan mengenai hipotek, telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh undan-undang Pokok Agraria tahun 1960 yang mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960 hingga sekarang hanya berlaku satu undang-undang yang mengatur agraia, yaitu Undang-undang Pokok Agraria No.5/1960. Ini berarti bahwa dalam bidang hukum agraria telah tercapai keseragaman hukum, atau dengan istilah hukumnya telah terdapat unifikasi hukum agrarian yang berarti bahwa berlaku satu hukum agraria bagi semua warga Indonesia. Jadi dualisme dan pluralisme dalam bidang hukum agrarian telah dapat dihapuskan. a. Masa Pra-Kolonial Pola pembagian wilayah yang menonjol pada masa awal kerajaan-kerajaan di Jawa adalah berupa pembagian tanah ke dalam beragam penguasaan atau

pengawasan,yang diberikan ke tangan pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh raja atau yang berwenang di

istana.Agaknya,pada masa itu konsep pemilikanmenurut

~7~

konsep

Barat

(property,eigendom)

memang

tidak

dikenal,bahkan juga bagi penguasa.Karena itu tanah-tanah tersebut bukannya dimiliki oleh pejabat-pejabat

atau penguasa, melainkan bahwa para penguasa itu dalam artian politik mempunyai hak jurisdiksi atastanah-tanah dalam wilayahnya yang dengan kekuasaan dan pengaruhnya dapat mereka pertahankan,dan secara teoritis juga

mempunyai hak untuk menguasai ,menggunakan ataupun menjual berlaku. Pada awal abad digantikan Jendral ke-19 oleh VOC bangkrut dan hasil-hasil buminya sesuai dengan adat yang

penguasaannya Belanda.Gubernur perubahan

pemerintahKerajaan memprakarsai untuk meniptakan

Daendels

perubahan

administrasi

kekuasaan politik yang lebih sistematis .Tetai sejauh itu masalah penguasaan tanah secaraformal belum memperoleh perhatian sepenuhnya.Barulah ketika pemerintahan saat itu Raffles ,yaitu

Inggrismenggantikannya memperkenalkan teorinya

(1811-1816) yang

terkenal

teoridomein, masalah keagrariaan memperoleh perhatian yang sebenarnya.Zaman Raffles inilah yang dapatdianggap sebagai tonggak sejarah yang pertama dalam soal keagrariaan ,di Indonesia.

~8~

b. Masa Pemerintah Inggris (1811-1816) Sebagai Gubernur Jendral di Indonesia,Raffles menginginkan agar langkah politiknya memperoleh pembenaaran, yaitu teori domeinnya. Maka pada tahun 1811, dibentuklah sebuah PanitiaPenyelidikan yang diketuai oleh Mackenzie dengan tugas melakukan penyelidikan statistik mengenaikeadaan agraria. Berdasarkan hasil peenyelidikan inilah Raffles menarik kesimpulan bahwa semuatanah adalah milik raja atau

pemerintah. Inilah yang dikenal sebagai teori domein dariRaffles. Sehingga dibuatlah system penarikan pajak bumi (landrente),yaitu setiap petani diwajibkanmembayar pajak sebesar 2/5 dari hasil tanah

garapannya. Teori Raffles ini ternyata mempengaruhikebijakan agraria selama sebagian besar abad ke -19 c. zaman cultuurstelsel (1830) Gubernur Jenderal Van den Bosch melaksanakan apa yang disebut cultuurstel sel atau tanam paksa. Dasarnya adalah teori Raffles (domein), yaitu bahwa tanah adalah milik pemerintah. Para Kepala Desa dianggap menyewa kepada Pemerintah,dan selanjutnya Kepala Desa meminjamkan kepada petani. Maka isi pokok Cultuurstelsel bahwa 1/5 dari tanah si pemilik tanah harus ditanami dengantanaman tertentu yang dikehendaki oleh pemerintah,seperti nila, kopi, tembakau, dansebgainya, kemudian harus diserahkan kepada Pemerintah (untuk di ekspor ke Eropa). Hasil politik Tanam Paksaini ternyata melimpah bagi Pemerintah Belanda, sehingga menimbulkan iri hati bagi kaum pemilik modal swasta.

~9~

d.

Perubahan undang-undang dasar belanda (1848) Terjadi pertentangan antar kaum liberal yang menentang

Cultuurstelsel dengan kaum konservatif. Kemenangan pertama dipetik oleh golongan liberal ketika pada tahun 1848 akhirnya Undang-Undang Dasar Belanda dirubah yaitu dengan adanya ketentuan di dalamnya yang menyebutkan bahwa pemerintahan di tanah jajahan harus di atur dengan undang-undang. Undang-Undang yang dimaksud ternyata baru selesai pada tahun 1954,yaitu dengan keluarnya RegeringsRegelment (RR) 1854. Pada tahun 1865 Menteri Jajahan Frans Van de Putte,seorang

liberal,mengajukan RancanganUndang-Undang, yang isi nya antara lain adalah bahwa Gubernur Jenderal akan memberikan hak erfpacht selam 99 tahun; hak milik pribumi diakui sebagai hak milik mutlak (eigendom); dan tanahkomunal dijadikan hak milik perorangan eigendom.Ternyata RUU ini ditolak oleh parlemen, demikianlah sampai saat itu tujuan golongan swasta Belanda untuk menanam modalnya di bidang pertanian di Indonesia, belum tercapai. e. Zaman liberal (1870) Menteri Van de Putte jatuh karena dianggap terlalu tergesa-gesa memberikan hak eigendom kepada pribumi. Pada tahun 1867/1868, pemerintah jajahan lalu mengadakan suatu penelitian tentanghak-hak penduduk Jawa atas tanah, yang dilakukan di 808 desa di seluruh Jawa. Namun ternyata, pemerintah Belanda tidak sabar menunggu hasil penelitian tersebut.Pada tahun 1870, enam tahun sebelum laporan itu

~ 10 ~

terbit, Menteri Jajahan de wall mengajukan RUU yang akhirnya diterimaoleh parlemen. Isinya terdiri dari 5 ayat.Kelima ayat ini kemudian ditambahkan kepada 3 ayat dari pasal62 RR,yang kemudian dijadikan pasal 51 dari Indische Staatsreggeling (IS).Inilah yang disebut

denganAgrarische Wet 1870, yang diundangkan dalam Lembaran Negara (Staatsblad) BO.55, 1870. Dengan demikian tahun 1870 merupakan tonggak yang sangat penting dalam sejarah agraria di Indonesia.Karena sejak itu maka berduyun-duyunlah modal swasta Eropa masuk keIndonesia.Muncullah perkebunan swasta besar di Sumatera dan juga Jawa.Tujuan UndangUndang Agraria 1870 untuk memberikan kesempatan luas bagi modal swastaasing memang berhasil.Tapi tujuan lainnya,yaitu melindungi dan memperkuat hak tanah bagi bangsaIndonesia asli ternyata jauh dari harapan.Hal ini terjadi karena banyak para sultan sultan yangmemberikan konsesi atas tanah nya kepada pihak asing,dengan kata lain mengabaikan kepentinganrakyat nya,Hal ini menyebabkan kemiskinan masyarakat Indonesia asli.Menanggapi hal tersebut,Pemerintah Kolonial membentuk Panitia Penyelidik Kemiskinan(Mindere WelvaartCommissie) pada tahun 1902.Namun laporan lengkap penelitian itu (MindereWelvaart Onderzoek)) ternyata baru selesai tahun 1920.Pencerminan rasa bersalah pemerintah Belandaditunjukkan dengan di bentuknya kebijakan baru yang terkenal dengan istilah Politik Etis dengan tokoh utamanya C.Th. van Deventer. Mulai awal abad ke-20 itu pemerintah berusaha memperbaiki keadaan

~ 11 ~

melalui enam bidang yaitu, irigasi, reboisasi, transmigrasi, system perkreditan, pendidikan dan kesehatan masyarakat. Walaupun disana sini usah tersebut memang dirasakan hasilnya, namun kebijaksanaan ini secara fundamental tidak berhasil mentransformasikan

masyarakat pedesaan. Kebijaksanaan perkreditan misalnya, dianggap tidak bersifat memacu perubahan dan perkembangan ekonomi, melainkan sekedar mempertahankan status quo. Masa Kemerdekaan

Hukum Agraria Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1960.


Diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan di tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan tanah oleh masyarakt sudah menjadi hal yang sangat komplek karena masyarakat yang belum berkesempatan menduduki tanah perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah. Sejak pengakuan keadulatan oleh Belanda atas negara Indonesia, barulah pemerintah mulai menata kembali pendudukan tanah oleh rakyat dengan melakukan hal-hal berikut : 1. Mendata kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yang mengusahakan tanah-tanah perkebunan untuk usaha pertanian. Di daerah Malang luasnya tanah perkebunan 20.000 Ha. pendudukan oleh rakyat seluas 8.000 Ha. Daerah Kediri luas tanah perkebunan 23.000 Ha.

~ 12 ~

pendudukan oleh rakyat seluas 13.000 Ha. dan menurut perkiraan dari luas tanah perkebunan di Jawa yang seluas 200.000 Ha. telah diduduki rakyat seluas 80.000 Ha. 2. Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua perkebunan lambat laun akan menghambat usaha pembangunan kembali suatu cabang produksi yang penting bagi negara serta memperlambat pesatnya diperlukan. kemajuan Sebagian produksi tanah hasil-hasil perkebunan perkebunan yang yang di sangat daerah

terletak

pegunungan sehingga taidak cocok untuk usaha pertanian, untuk itu perlu ditertibkan. 3. Pemakian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah

pegunungan tersebut dikuatirkan akan menimbulkan bahayb erosi dan penyerapan air. 4. Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan ketegangan dan kekeruhan yang membahayakan keamanan dan

ketertiban umum. Untuk itu, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1954 tentang : Penyelesaian soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. Penyelesaian akan diusahakan bertingkat 2 (dua) sebagai berikut : 1. Tahap pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segala sesuatu dapat dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antar pemilik perkebunan dengan rakyat/penggarap;

~ 13 ~

2.

Tahap kedua; apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) tidak berhasil, maka dalam rangka penyelesaian penggarapan tanah perkebunan tersbut akan mengambil kebijakan sendiri dengan memperhatikan :

a.

Kepentingan rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan yangbersangkutan;

b.

Kedudukan perusahaan perkebunan di dalam susunan perekonomuian negara. Agar pelaksanaan dari keputusan tersebut dapat berjalan dengan sebaik-baiknya, maka diatur ketentuan sebagai berikut :

1.

Kemungkinan pencabutan dan pembatalan hak atas tanah perkebunan milik para pengusaha, baik sebagian meupun seluruhnya, jika mereka dengan sengaja menghalangi upaya penyelesaian;

2. 3.

Ancaman hukum terhadap mereka yang melanggar atau menghalangi; Ancaman hukuman terhadap mereka yang tidak dengan seizin pemilik perkebunan, masih terus memakai tanah perkebunan sesudah tuntutan ini diberlakukan;

4.

Ketentuan tentang harus mengadakan pengosongan. Untuk mencegah pendudukan kembali tanah perkebunan oleh rakyat, maka pemerintah megeluarakan perarturan tentang larangan pendudukan tanah tanpa izin yang berhak yaitu Undang-undang Nomor : 51 Prp. Tahun 1960.

~ 14 ~

Selain ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali hukum pertanahan pemerintah telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan sebagai berikut : 1. Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan Perusahaan Nasionalisasi. 2. Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan. 3. Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan Pemerintah dan Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan. 4. Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara Belanda yang kembali ke negerinya. Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan

Setelah Indonesia Merdeka

a.

Masa orde lama


Setelah 15 tahun Indonesia merdeka, maka pada tanggal 24 September 1960, lahirlah Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,yang kemudianterkenal dengan istilah UUPA.Lahirnya UUPA bukan proses yang pendek.Karena setelah Indonesiamerdeka, sejak awal sebenarnya pemerintah telah mulai memperhatikan masalah agraria.Mulai PanityaAgraria Yogya (1948), Panitya Jakarta (1951), Panitya Suwahjo(1956), Rancangan

Soenarjo(1958),dan akhirnya Rancangan Sadjarwo(1960).Lahirnya UUPA-

~ 15 ~

1960,yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang, No.56 tahun 1960 (yang dikenal sebagai Undang-Undang Landreform) sebenarnya merupakan hasildari usaha untuk meletakkan dasar strategi pembangunan seperti yang dianut juga oleh

berbagai Negara Asia pada masa awal sesudah Perang Dunia kedua (Jepang,Korea,Tiwan,India,Iran,dan lain-lain).Namun dalam kurun waktu kurang lebih 22 tahun setelah Indonesia merdeka,kondisi social

politik serta kurangnya dana memang tidak memungkinkan untuk melaksanakan pembangunan ekonomisecara teratur.Demikian pula

program Landreform mengalami hambatan besar. Sesungguhnya ,semangat dan jiwa UUPA pada hakekatnya bersifat kerakyatan,populistik (dalam arti komunistik,sekaligus bukan

kapitalistik).Kerangka UUPA itu disusun dalam kondisi yangada saat itu.Sebagai sebuah Undang-Undang yang berisi peraturan-peraturan dasar .,diperlukan penjabaran lebh lanjut.Namun,sebagian besar hal itu belum sempat tergarapkeburu terjadi pergantian pemerintah dari yang lama ke pemerintahan Orde Baru yang mengambil dasar keebijakanyang sama sekali berbeda.

b.

Masa Orde Baru


Belum sampai terlaksana sepenuhnya apa yang diprogramkan dalam Reformasi Agraria padamasa Orde Lama,terjaditragedi nasional dalam tahun 1965,yang melahirkan Orde Baru.Penguasa OrdeBaru mewarisi situasi nasional dalam keadaan perekonomiaan Negara yang

~ 16 ~

menyedihkan dankonstelasi politik yang dinilai sebagai penyimpangan dasar dari sila-sila Pancasila dan Undang-UndangDasar 1945.Ciri kebijakan pemerintah Orde Baru ditandai oleh dua hal pokok.Pertama : Secara umum,strategi pembanguannya mengandalkan kepada bantuan, hutang, dan investasi dari luar negeri, dan bertumpu kepada yang besar(betting on the strong), tidak berbasis pada potensi rakyat.Kedua :Khusus dalam hal kebijakan masalah Agraria,dsadari oleh tidak oleh para perumus kebijakan padamasa awal Orde Baru itu, Indonesia mengambil jalan apa yang sekarang dikenal sebagai By-passApproach, atau pendekatan jalan pintas.Alur pemikiran pendekatan ini adalah sebagai berikut :reforma agraria umumnya lahir sebagai respon terhadap suatu stuktur agraria yang terasa tidak adil,yang pada gilirannya berpotensi bagi terjadinya konflik agraria.Untuk menangani konflik agraria , orang harus memahami dulu apa maknanya.Penganut pendekatan jalan pintas berpandangan bahwa(sebagai asumsi dasar) makna konflik agraria adalah masalah pangan. Karena itu, buat apa susah suah melakukan reforma agraria?Kita tangani saja secaralangsung masalah pangan.Kebetulan lahirnya Orde Baru bersamaan waktunya dengan Revolusi Hijaudi Asia.Maka diambillah jalan pintas,mengusahakan tercapainya swasembada pangan melalui RevolusiHijau tanpa Reforma Agraria.Swasembada pangan memang pernah dicapai,namun ternyata konflik agraria bukannya lenyap melainkan justru terjadi dimana-mana.Salah satu produk hokum pertama Penguasa

~ 17 ~

Orde Baru adalah Undang-Undang Nomor 5Thun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kehutanan.Dalam praktek pelaksanaan nya Undang Undang tersebut juga menimbulkan kenyataan perlakuan yang tidak adil pada masyarakat hokum adatdan warganya,yang tanah ulayatnya diberikan dengan Hak Pengusahaan Hutan

kepada pengusaha.(bertentangan dengan UUPA). Ketentuan-ketentuan landreform,biarpun formal tidak dicabut

selama Era Orde Baru tidak tampak dilaksanakan,dengan segala akibatnya dalam penguasaan tanah-tanah pertanian, baik yangmengenai batas luas maupun lokasinya.Biarpun kebijakan pembangunan dan pelaksanaannya berbeda dengan semangat yang mealndasi UUPA ,tetapi undang-undang tersebut dan peraturan-peraturan pelaksanaannya selama Orde Baru masih dapat memberikan dukungan legal yang diperlukan

tanpamengalami perubahan formal substansinya.

c.

Masa Reformasi
Orde Reformasi tampak membawa perombakan yang asasi dalam kebijakan pembangunannasional di bidang ekonomi,sebagai yang

ditetapkan dalam kebijakan pembangunan nasional di bidangekonomi, sebagai yang ditetapkan dalam TAAP MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Politik EkonomiDalam Rngka Demokrasi Ekonomi, yang berbeda benar dengan kebijakan pembangunan ekonomiOrde Baru.TAP MPR tersebut ditetapkan atas dasar pertimbangan,bahwa pelaksanaan

DemokrasiEkonomi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 UUD 1945

~ 18 ~

belum terwujud.Dinyatakan dalam TAPMPR tersebut, bahwa politik ekonomi mencakup kebijaksanaan , strategi dan

pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip dasar DemokrasiEkonomi,yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak, untuk sebesar besarnya kemakmuranrakyat,sebagaimana dimaksud dalma pasal 33 UUD 1945.Politik Ekonomi nasional diarahkan untuk menciptakan struktur ekonomi nasional ,agar teerwujud pengusaha menengah yang kuat dan besar jumlahnya,serta terbentuk keterkaitan dan kemitraan yang saling menguntungkan antar pelaku ekonomiyang meliputi usaha kecil,menengah dan koperasi, usaha besar swasta san Badan Usaha Milik Negara,yang saling memperkuat untuk mewujudkan Demokrasi Ekonomi dan efisiensi nasional yang berdayasaing

tinggi.Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lainnya,harus dilaksanakan secaraadil dengan menghlangkan segala bentuk penguasaan dan kepemilikan dalam rangka

pengembangankemampuan ekonomi usaha kecil,memengah, kopersi,serta masyarakat luas.Tanah sebagai basis usaha pertanian harus diutamakan penggunaannya bagi pertumbuhan pertanian rakyat,yang

mampumelibatkan serta memberi sebesar besarnya kemakmuaran bagi usaha kecil, menengah, dam koperasi.Demikian garis besar kebijakan pembangunan bidang ekonomi Orde Reformasi, yang berbeda benar dengan kebijakan Penguasa Orde Baru, tetapi sejalan dengan semngat yang terkandung dalamUUPA,sebagai yang dikemukakan di atas.Kebijakan

~ 19 ~

Orde Reformasi tentang keberpihakan pada rakyat banyak,khususnya usaha kecilmenengah dan koperasi.Tanpa mengabaikan peranan usaha besar danBadan Usaha Milik Negara. Kebijakan di bidang ekonomi sebagaimana yang dikemukakan di atas kiranya sesuai dengansemngat yang melandasi Hukum Tanah yang ada sekarang,yang konsepsi,asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokoknya dituangkan dalam UUPA.Maka reformasi di bidang Hukum Tanah yang perludiadakan ,bukan penyempurnaan merupakan kegiatan perombakan, melainkan dan ketentuan-ketentuanya, hingga bias

lembaga

memberikan dukungan legal dan substansial yang lebih mantap bagi terwujudnya tujuan yang hendak dicapai dengan kebijakan ekonomi baru ,yang kembali kepada pengutamaan kepentingan rakyat banyak.Dalam rangka mewujudkan tujuan kebijakan Orde Reformasi di

atas,penyempurnaan yangdimaksud yaitu,antara lain berupa penyelesaian pembentukan undang-undang yang mengatur Hak Milik atas tanah, penegasan dan pemasyarakatan asas-asas dan tata cara perolehan tanahuntuk berbagaikeperluan pembangunan,pengaturan penanganan tanah, pembatasan pemilikan tanah non pertanian,penyempurnaan tanah-tanah dengan

ketentuan

mengenai

pembardayaan landeform

terlantar,penyesuaianketentuan-ketentuan

perkembangan keadaan dan kebutuhan pembangunan serta pengaturan kembali pembagian kewenangan di bidang pertanahan dalam rangka dekonsentrasi danmedebewind.

~ 20 ~

4.

Problem Pokok Agraria Saat Ini Pergantian rezim, dari pemerintahan Soekarno ke pemerintahan Soeharto, telah mengakibatkan berbagai mandat dari hasil-hasil positif dari UUPA ikut berhenti. Masa ini dikenal dengan masa pemandulan dan penghancuran kebijakan agraria yang bersifat populis, dan era konsolidasi bagi pembangunan kapitalisme di Indonesia. Penghentian program reforma agraria salah satu dampaknya adalah meningkatnya petani tak bertanah dan petani gurem. Sensus pertanian tahun 1963 sampai 2003 memperlihatkan rata-rata penguasaan lahan oleh petani dari satu periode sensus ke periode sensus yang lain relatif sangat kecil, yaitu antara 0,81 sampai 1,05 hektar. Sementara di Jawa, pulau dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, rata-rata penguasaan lahan oleh petani selama lebih dari 40 tahun sekitar 0,45 hektar. Hal ini menggambarkan bahwa penguasaan tanah di masa kolonial tidak banyak berubah setelah kemerdekaan. (Bachriadi & Wiradi;2009). Ironisnya, kesalahan orde baru dengan tidak menjalankan reforma agraria kembali diulangi pemerintahan di era reformasi. Sehingga akibatnya adalah: Pertama, terjadi akumulasi dan monopoli penguasaan atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya yang mengakibatkan ketimpangan yang sangat serius.

~ 21 ~

Kedua, berlangsung konflik dan sengketa agraria secara meluas dan berkepanjangan tanpa ada mekanisme penyelesaiannya, serta diikuti dengan pelanggaran hak asasi manusia. Ketiga, terbangun sistem hukum agraria yang tumpang tindih, tidak berpihak pada kepentigan rakyat serta menjadi pemicu lahirnya sengketa dan konflik agraria. Keempat, struktur perekonomian bangsa Indonesia menjadi rapuh dan bangunan industrialisasi yang tidak kokoh sehingga melahirkan persoalan struktural lainnya, seperti kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, laju urbanisai yang tak terkendali serta hancurnya bangunan produktivitas rakyat secara menyeluruh.

~ 22 ~

1. Agrarische Wet 1870 Sekitar tahun 1830 pemerintah penjajahan (VOC/Belanda)berusaha kesempatan pihak-pihak pengusaha swasta untuk

mempersempit

memperoleh jaminan yang kuat atas tanah-tanah yang diusahainya, seperti untuk memperoleh hak eigendom. Kepada para pengusaha oleh pemerintah hanya dapat diberikan hak sewa atas tanah-tanah kosong dengan waktu yang terbatas yaitu tidak lebih dari 20 tahun sebagai hak persoonliij. Tanah tersebut tidak dapat dijadikan jaminan hutang. Demikian juga dengan hak erfpacht oleh pemerintah tidak dapat diberikan, karena masih menghargai hak-hak adat yang tidak rnengenal adanya hak erfpact. Adanya peraturan-peraturan pertanian besar akan bertentangan dengan politik perekonomian Pemerintah (Cultuur stelsel) yang memaksa penduduk menanam tanaman tertentu sesuai dengan yang diperintahkan. Tahun 1860-1870, diajukan rancangan wet yang mengatur tentang pertanian yang dapat dilakukan di tanah bangsa Indonesia. Penduduk Indonesia diberi izin menyewakan tanah kepada bukan bangsa Indonesia. Dalam rancangan wet tersebut dimuat antara lain:

Tanah negara (domein negara) dapat diberikan hak erfpacht paling lama 90 tahun. Persewaan tanah negara tidak dibenarkan. Persewaan tanah oleh orang Indonesia kepada bangsa lain akan diatur. Hak tanah adat diganti dengan hak eigendom Tanah komunal diganti menjadi milik, jasa. Wet ini hanya berlaku di Jawa dan Madura.

Akhirnya pada tahun 1870 dibawah pimpinan Menteri Jajahan De Waal, Agrarische Wet ini ditetapkan dengan S.1870-55. Yang dimaksud dengan

~ 23 ~

agrarische wet 1870 adalah suatu undang-undang yang dibuat di negeri belanda pada tahun 1870. Agrarische Wet tahun 1870 menghilangkan kesulitan-kesulitan berkenaan dengan pemberian tanah berdasarkan peraturan tahun 1856, dengan mengijinkan para pemilik modal untuk memperoleh hak sewa turun temurun (erpacht) dari pemerintah untuk periode sampai dengan 75 tahun dan juga menyewa tanah dari penduduk pribumi. Pada saat yang sama undang-undang tersebut menjamin kepemilikan penduduk pribumi atas hak-hak adat mereka yang telah ada atas tanah, dan memungkinkan pula meraka mendapatkan hak milik pribadi. Walaupun di dalam AW diberikan kepastian hukum kepada rakyat pribumi, dimana rakyat harus berikan hak-haknya yang pasti apabila tanahnya disewakan dan harus diberikan ganti rugi apabila tanah nya diambil alih untuk kepentingan umum, Akan tetapi pada dasarnya tujuan dari AW adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada pengusaha swasta agar dapat berkembang di hindia belanda. Sebagai peraturan pelaksanaan dari Agrariche wet, dengan keputusan Raja, tanggal 20 Juli 1980 No. 15 ditetapkan Keputusan agraria (Agrarisch Bsluit) dengan S. 1870-118, yang berlaku untuk Jawa Madura. Sedangkan untuk luar Jawa dan Madura sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam peraturan ini, akan diatur dengan suatu ordonnantie. Pada pasal 1. Agrarisch besluit, dimuat tentang pernyataan-pernyataan secara umum (algemene-domeinverklaring) yang menganut suatu prinsip (azas) agraria yaitu pernyataan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan eigendom seseorang adalah tanah negara (domein van den Staat) Negara adalah sebagai eigenaar (pemegang hak milik) atau jika terbukti ada hak eigendom orang lain diatasnya. 2. Burgerlijk Wetboek (BW)

~ 24 ~

Dalam hukum perdata pada dasarnya diadakan perbedaan antara hukum yang berlaku bagi golongan eropa, timur asing, dan pribumi.bagi golongan eropa dan timur asing berlaku hukum perdata barat, sedangkan bagi golongan pribumi berlaku hukum perdata adat. Dengan berlakunya dualisme hukum pertanahan di Indonesia, yang disamping berlakunya hukum adat berlaku juga hukum barat, maka mengenai hak hak atas tanah dikenal hak-hak adat dan hak-hak barat di dalam KUH Perdata, buku kedua, tentang Hak Kebendaan, dikenal beberapa hak perorangan atas tanah, seperti hak eigendom, opstal, erfpacht, sewa hak pakai (gebruik) , hak pinjam (bruikleen). 3. AWAL KEMERDEKAAN

a. Pengawasan terhadap Penindakan Hak-Hak Atas Tanah. b. Penguasaan Tanah-Tanah Sesuai dengan domein yang dianut oleh hukum agraria pada jaman kolonial, yang mengatakan bahwa semua tanah yang diatasnya tidak ada eigendom seseorang atau milik menurut hukum adat adalah milik negara yang bebas (vrijlandsdomein) Pada jaman penjajahan Jepang fungsi vrijlandsdomein ini mulai menyimpang. Untuk menertibkan keadaan ini pemerintah mengeluarkan suatu peraturan tentang Penguasaan Tanah Negara ini yaitu P.P Nomor 8 Tahun 1953. Di dalam Peraturan pemerintah ini dijelaskan bahwa penguasaan atas tanah negara diserahkan Menteri Dalam Negeri kecuali jika penguasaan ini oleh Undang-undang atau peraturan lain telah diserahkan kepada suatu kementerian. c. Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat Untuk mencegah semakin meluasnya penggarapan yang dilakukan oleh rakyat terhadap tanah-tanah perkebunan, maka dengan Undang-Undang Darurat nomor 8 Tahun 1954., ditetapkan bahwa kepada Gubernur

~ 25 ~

ditugaskan untuk mengadakan perundingan antara pemilik perkebunan dan rakyat penggarap mengenai penyelesaian pemakaian tanah itu. d. Penghapusan Tanah- Tanah Partikelir Sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang menginginkan adanya kehidupan yang adil dan merata maka ketentuan-ketentuan pertanahan yang berlaku pada zaman Hindia Belanda yang nyata-nyata bertentangan dengan rechts-idea bangsa Indonesia harus segera dihapuskan. Ketentuan yang bertentangan itu antara lain pengakuan tentang tanah-tanah partikelir. Oleh karena itu maka dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958, tanah-tanah partikelir ini dihapuskan. Yang dimaksud dengan tanah partikelir dalam Undang-Undang ini adalah tanah eigendom yang pemiliknya mempunyai hak-hak pertuanan (sebelum Undang-Undang berlaku). Yang dimaksud dengan hak pertuanan ialah :

hak

untuk

mengangkat

atau

mengesahkan

pemilikan

serta

memberhentikan kepala-kepala kampung atau desa dan kepalakepala umum.

hak untuk menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk. hak mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa biaya atau hasil tanah dari penduduk. hak untuk mendirikan pasar-pasar, memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan. hak-hak yang menurut peraturan lain dan/atau adat setempat sederajat dengan hak pertuanan.

Dengan dihapuskannya tanah-tanah partikelir ini, maka tanah sebut menjadi tanah negara. Kepada pemilik tanah diberikan ganti rugi berupa uang atau bantuan lainnya.

~ 26 ~

~ 27 ~

You might also like